JIKA di ingat-ingat kembali dalam kurun waktu satu bulan belakangan ini, daftar panjang kejahatan yang telah Jessica lakukan sangat terorganisir, sistematis dan sudah sepatutnya mendapat hukuman. Yah, sang empunya sendiri tidak akan menangkis segala macam tuntutan dari pihak yang bersangkut bersama segudang kerugian yang mereka terima. Jessica akan menerimanya dengan lapang dada. Hanya saja dari sekian banyak jenis hukuman-hukuman yang ada di Bina Bangsa bahkan sampai ada daftarnya dan di urutkan dari seberapa besar poin kesalahan. Kenapa malah Jessica harus mendapatkan hukuman menghormati Sang Saka Merah Putih alih-alih menyapu halaman atau berbagai hal hukuman lainnya yang menggunakan tenaga?
Bukannya berniat kurang ajar atau tidak menghormati perjuangan sampai titik darah penghabisan dari para pahlawan yang berguguran di masa lalu, hanya saja bukankah mereka sudah punya waktu khusus untuk itu? Jadi menyingkirkan sampah-sampah di lapangan sekolah atau membersihkan toilet barangkali merupakan pilihan bijaksana, bukan? Iya, 'kan? Harusnya begitu namun Dhani, manusia tinggi semampai itu alias tidak sampai satu meterㅡyah, sebenarnya tidak seburuk itu tetapi Jessica hanya suka mengolok-olok manusia menyebalkan begituㅡmenyanggah kelewat cepat dengan wajah semacam ceri busuk; betulan marah agaknya. "Kalau disuruh yang lain yang ada Jessica nyuruh-nyuruh temennya, Bu. Pilihan ini lebih baik untuk menjaga keorisinalitas hukuman, Bu!" Benar-benar pemuda kutu buku yang satu itu. Menyebalkan sekali! Paham sekali dengan akal bulus yang hendak ia lakukan. Hm, kalau begini jadinya mungkin-mungkin saja motor Dhani akan tergantung di pohon nanti. Lihat saja. Haha! Jessica takkan tinggal diam begitu saja atas penghinaan ini. Dia akan balas dendam pada pemuda itu. Oke. Mari abaikan saja seonggok kekesalannya yang agak menggunung tadi. Keringat nan mengucur deras dari pelipis sampai ke dagu sangat-sangat kapabel membuat dirinya kegerahan dan cukup sekali membuat dia membayangkan diri berlari dari posisi dan melemparkan diri masuk ke dalam kolam ikan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Iya, mereka. Mereka berdua. Hei! Ini aneh. Jessica kontan benar-benar tidak menyukainya. Dari sekian ratus murid Bina Bangsa yang berandalan, sulit di atur dan nakal minta ampun. Mengapa ia harus di hukum bersama dengan Alvin? Kenapa harus berdua begini?! Mengapa?! Memangnya dunia akan mendadak runtuh kalau laki-laki gila itu tidak ada?! Kan, tidak! Ini makin-makin menyebalkan. Well, jika kalian tidak tahu siapa pemuda sombong di sebelahnya. Kalian akan tahu nanti seberapa menjengkelkan dan gilanya pemilik nama Alvin itu. Hiih! Jessica saja stres tingkat tinggi menghadapinya dan bisa jadi kalian akan mundur perlahan setelah mengenalnya secara menyeluruh. Akan tetapi ia lebih menyarankan kalian untuk tidak coba-coba. Ada baiknya begitu apalabila masih menginginkan hari-hari yang damai berada di genggaman. "Kata orang kita mirip," kata Alvin disertai tatapan genit. Laki-laki itu terkekeh lucu dan dengan kurang ajarnya menjawil dagu si gadis yang langsung mendapat tatapan tajam. Alvin tersenyum geli, "Mungkin kita jodoh." Jessica meludah. Ekspresinya masam sekali sekarang. "Najis! Jauh-jauh! Pait-pait! Amit-amit!" "Lo menggunakan kata berulang sebanyak tiga kali jadi lo pengen kita punya tiga pasang anak kembar?" tanya Alvin, masih santai sekali ketika menaikkan enam jarinya. Alisnya naik sebelah dan sorot matanya menatap penuh arti. "Yang sakit ngelahirin ya elo, gue mah ayok aja bikinnya." Oleh sebab itu, di landasi perasaan marah bukan kepalang akibat sumbu emosinya yang pendek, dengan segenap jiwa raga Jessica menaikkan kakinya secepat kilat, niat hati ingin menendang kepala Alvin agar sekurang-kurangnya laki-laki itu kembali mampu menggunakan akal sehatnya dengan baik. Namun pemuda itu lebih gesit lagi, ia dengan tangkas menepis kaki Jessica dan buru-buru menghindar lewat memberi jarak aman antara keduanya. Tersenyum menghina, tanpa bisa di terka dan di cegah kemudian Alvin justru menarik lengan sang lawan cepat untuk ia balikkan kilat tubuh tersebut dan melingkarkan tangannya pada punda Jessica. Argh! Argh! Jessica geram sekali. Sekali pun ia tidak pernah menang adu otot dengan Alvin. Hasilnya selalu imbang dan di beberapa kali kesempatan Jessica kalah cerdik. Ck! Sial! Sial! Sial! Lihat saja sekarang, posisi mereka sangat-sangat tidak keren! Alvin malah kelihatan tengah memeluknya dari belakang! Ya Tuhan! Tak perlu dideskripsikan seberapa besar kebencian Jessica terhadap laki-laki serupa kelinci itu. "Lepasin, bangsat!" Jessica berusaha melepaskan diri tetapi kalah tenaga dari si pemuda. Dia berdecak, "Lo mau apa, sih?! Sialan!" Pemuda serupa kelinci tersebut menundukkan kepalanya, menyetarakan tinggi dengan kepala Jessica lalu berbisik seraya menyeringai. "Mau lo aja gimana?" Alvin itu manusia berengsek bukan main dan Jessica adalah bajingan yang tidak pernah tanggung-tanggung dalam membabat habis lawannya. Tidak ada kata setengah-setengah dari mereka, apa yang di mulai harus lakukan sampai tuntas, termasuk menyulut lawan masing-masing. Seperti sekarang contoh nyatanya. Emosinya memuncak cepat beratus-ratus kali lipat sekarang sampai-sampai wajah gadis berponi tersebut memerah bukan main. Bagaikan ada bara api yang terlempar ke wajahnya. Entahlah emosi tersebut datang karena panas terik, marah atau bisa jadi lantaran malu di lihat oleh para penghuni Bina Bangsa lainnya yang menonton mereka dari area koridor sekitar. Entah apa-apa saja yang mereka semua komentari saat ini, bisik-bisik yang makin membuat perasaannya memburuk. Gadis serupa boneka tersebut segera menaikkan siku guna memukul telak dagu sang lawan dan kemudian menarik kuat tangan Alvin yang bertengger di lehernya. Alvin sukses dibanting kuat ke tanah. Semua orang terperangah sementara pelaku hanya memandang cukup puas. Napas Jessica memburu total sementara sepasang iris itu berkilat marah memandang Alvin penuh kebencian. Berbeda kemarahan yang membalut si gadis poni, Alvin malah terkekeh-kekeh sinting di posisi. Sudah ia duga, Jessica takkan mengalah secepat itu. "Denger ya, bangsat!" serunya lantang. "Kalau lo cuma mau ngabisin waktu main-main ke gue karena bosen dan gabut. Tolong cari cewek lain yang bisa lo mainin! Gue nggak ada waktu ngurusin sampah kayak lo!" tandasnya berang, tampak tak ingin di ganggu gugat. Alvin melirik si gadis yang mudah sekali terbakar sumbu emosinya lalu tertawa senang. Ia berdiri, menepuk-nepuk debu halus di tangan dan menyorot santai. Seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. "Kenapa harus emosi sih, Sayang? Hmm? Lo cemburu gue main-main sama cewek lain?" Alvin merangkul mesra pundak Jessica lalu berbisik seduktif. Sudah dapat dipastikan, laki-laki itu ingin membangunkan singa betina. "You are the one i have, don't worry." Yang lebih pendek mendorong kasar tangan si lelaki yang menyentuhnya dengan kurang ajar. Jessica memandang sinis, tak tahu lagi harus apa agar laki-laki gila itu enyah dari hidupnya. Alvin melebarkan mata tatkala Jessica melayangkan kepalan tangan yang sayang sekali meleset sebab ia reflek menghindar. Jessica mengerang dan terus-menerus melempar bogem mentah. Shoot! Untuk kali ini Jessica tersenyum puas ketika pukulan terakhir mengenai tulang pipi Alvin. Didorongnya kuat dada Alvin hingga si empunya terhuyung ke bawah. "Kena lo, sial! Enyah lo!" Alvin terkikik geli dan melemparkan dua anggukan geli. "Lo imut deh kalau udah marah. Yakin nggak mau bikin sindikat kejahatan terbaik dan terepik sepanjang sejarah bareng gue? We can be popular, Babe." "Najis!" Pemuda itu terbahak-bahak dan kesempatan tersebut di ambil Jessica untuk menyumpal mulut sampah Alvin dengan kepalan tangannya. Namun belum saja berhasil mengenai si empu tangannya sudah terlebih dahulu di tangkap. Kali ini pelakunya bukan Alvin. Irisnya menoleh kebingungan menemukan Hardiㅡsekretaris kakeknyaㅡberada di sini. "Nona, Anda sebaiknya mengurangi penggunaan kekuatan Anda secara berlebihan," ujarnya dan menurunkan tangan Jessica pelan-pelan. Hardi melanjutkan tenang, "Pak Demian menanti kedatangan Anda di restoran, Nona. Saya datang untuk menjemput." Jessica mengerang kesal, kakinya memukul angin sembarang sesudah memeriksa tanggal. "Hari ini? Masih siang, Pak." Hardi hanya tersenyum mendengarnya. "Saya hanya mengikuti instruksi Pak Demian, Nona. Anda bisa datang ke sana untuk tau tujuan beliau." Sang gadis berponi menaikkan sebelah alisnya, memandang penasaran sepenuhnya. "Mereka semua ... udah kumpul?" "Saya kurang tau, Nona. Saya mendapat perintah lewat telepon," sahut Hardi sopan. Gadis berponi tersebut mengangguk kesal, menyugar rambut panjangnya dan melirik Alvin yang penasaran di posisi. Ditunjuknya sebal wajah Alvin. "Kita lanjut lagi nanti. Awas lo!" Alvin melemparkan senyuman termanisnya dan membungkuk kecil. "Baik, Tuan Putri." Oh! Jelas. Alvin tengah meledek. "Berengsek lo! Mati lo abis ini!"Begitulah proses adegan kepergian Jessica meninggalkan lapangan utama sekolah nan di warnai dengan bisik-bisik yang mana seketika langsung hening ketika si empu dengan sumbu emosi pendek tersebut berteriak memaki-maki mereka. Yah, memang belum ada yang mampu melawan kegarangan Jessica di Bina Bangsa kecuali Alvin yang mana dengan rela hati melemparkan dirinya sendiri ke taman penuh ranjau. Baginya ini menyenangkan dan seru. Memang di luar nalar, tak semua orang dapat memahami kesenangan yang ia peroleh dari mengganggu Jessica. Tidak akan ada yang pernah mengerti, tidak akan.
Alvin tertawa pelan, total terhibur hari ini. "Emang, ya. Dia lucunya agak unik." Perhatiannya cepat teralihkan saat menemukan sesosok gadis menghampiri. Ah, sekarang waktunya ya? Alvin lantas menyunggingkan senyum paling ramah yang ia miliki. "Vin, pipi lo nggak kenapa-napa?" tanya Tiara, nadanya terdengar khawatir. Ah, suara manis ini. Terdengar sangat-sangat ... memuakan. Pemuda tersebut mengelus lambat bekas kemerahan samar hasil dari keganasan Jessica. Ia mendesis singkat, "Lumayanlah. Tenaga badak namanya." Tiara menyodorkan botol minumannya malu-malu. "Airnya dingin. Bisa ngompres pipi lo, nih." Alih-alih menerimanya, Alvin berdeham agak panjang sembari memiringkan kepala sebelum menatap penuh makna pada Tiara. Ia mengulas senyum tipis, "Gimana kalau lo ngobatin gue di UKS?"BAGIAN sial apa dari hidup yang sangat kalian benci? Kalau di tanya, Jessica punya banyak sekali. Terlalu banyak sampai-sampai dua puluh jari yang gadis itu miliki tidak akan cukup untuk menghitungnya. Terlalu banyak hal merepotkan nan Jessica benci hingga membuatnya mengerutkan kening tidak suka sepanjang hari. Kendati demikian pun sang gadis berponi tersebut paham benar bahwa bernapas bahagia dengan tenang nan tentran setiap waktu adalah sebuah kemustahilan. Setidaknya di atas bumi yang mulai rusak ini. Toh, katanya rasa sedih dan bahagia selalu di takar seimbang untuk semua manua. Hanya saja Jessica kurang mempercayainya. Jessica lebih percaya dan tertarik dengan apa yang terjadi di lapangan. Dunia nyata selalu tampak mengerikan kian hari berlalu. Salah satu contohnya ialah seperti acara sederhana keluarga besar Atriyadinata yang mesti Jessica hadiri setiap dua kali sebulan. Sang kakek berpikir cara ini efektif untuk tetap menjalin komunikasi dan memperindah harmonisasi keluarga
TATKALA amarah menguasai sel demi sel di sekujur tubuh seseorang pernah berkata padanya, untuk menenangkan jiwa yang sedang di liputi amarah absolut maka hal yang harus di lakukan adalah berhitung. Entah itu di dalam hati atau di lakukan secara lisan. Yang mana katanya akan sangat-sangat membantu mengontrol gelegak emosi yang tengah membara. Jessica pikir itu adalah saran terkonyol dari sekian juta petuah yang berada di dunia ini. Ya, awalnya gadis berponi tersebut demikian sebelum kalimat yang di sampaikan laki-laki berwajah kalem itu ternyata cukup ampuh dan berguna baginya dalam melalui hari-hari berat nan menguras tenaga sekaligus energinya. Sangat berguna, sungguh dan Jessica sepenuhnya menyesal telah menertawai saran tulus laki-laki tersebut sore hari itu. Jessica mengakui dengan baik bahwa ia memiliki sumbu emosi yang terbilang pendek, sangat pendek malahan. Dia mudah sekali tersulut amarahnya akan sesuatu hal yang terkadang tergolong sepele. Bahkan terkadang dia tidak akan su
"TEMEN lo gila ya, Mas?" celetuk Daniel bertanya sangsi, menjauhkan puntung rokok dari bibirnya bersama kepulan asap yang keluar dari kedua belah bibirnya. Ia kontan merasa tidak mengerti sekarang sementara itu di sana Thomas menatap sinis dan memasang raut wajah jengkel. Dengan perasaan gondok luar biasa ingin sekali memukul sang kawan, Thomas menjulurkan tangannya merebut rokok tersebut dan membuangnya ke tanah dengan kasar. "Thom, anjir, Thom. Mas-mas pale lu!" tukasnya kesal. "Nama gue secakep itu lo panggil mas-mas, jijik tau nggak. Kalau cewek masih oke, lah elu? Merinding sebadan-badan gue." "Ah, bangsat! Rokok terakhir gue, Mas!" decak Daniel kalang kabut melihat rokok terakhir miliknya terlihat mengenaskan di tanah. Laki-laki bertubuh tegap tersebut berencana ingin segera memungut kembali tapi Gerald terlebih dahulu datang dan menginjak batang putih lunak itu dengan dramatis. Daniel membeku. "Anjing kalian berdua!" makinya, meradang juga ujung-ujungnya. Mendengar suara f
KENDATI tahu dan mengenal diri sendiri dengan baik, maka lebih dari siapa pun Alvin mengetahui dengan benar bahwa dalam hidupnya tantangan nan memicu adrenaline merupakan kegiatan harian yang paling ia sukai. Lebih dari apa pun. Karena dengan melakukannya ia dapat menikmati hidup penuh keseruan tiada tara dan tidak perlu mendekam di dalam kamar di gelung kebosanan. Ew! Alvin tidak ingin menghabiskan waktu mudanya hanya dengan menatap dinding kamar, buku-buku, bangunan sekolah dan bersikap baik sebagai seorang murid. Tidak, tidak. Alvin menolak untuk hidup semembosankan itu. Jadi oleh sebab itu, tahu apa yang Alvin lakukan ketika bertemu Jessica pada puku. 08:56 WIB di lapangan utama Bina Bangsa?Tentu saja. Pemuda kelinci tersebut bertingkang laku sesuka hati sampai-sampai berani datang telat dan berujung di hukum bersama Jessica; lagi-lagi menghormat bendera, bedanya kali ini ada beberapa murid yang juga menemani mereka berdua, dua penguasa sekolah. Pun laki-laki itu seolah lupa atas
“JADI … ” Kepala berdenyut-denyut. Bahu naik-turun. Jantung masih berdebar-debar. Kemurkaan belum sepenuhnya sirna dari dalam rongga dada. Pria berusia 52 tahun yang telah lama menjabat sebagai kepala sekolah tersebut memejamkan matanya erat bukan main sembari mengurut pelipis nan masih berkedut kejam. Niat hati ingin segera mengusir denyutan pening di kepala akan tetapi menyadari betul bahwa salah satu siswi di hadapan tidak menunjukkan gelagat orang bersalah sedikit pun membuat Pak Henry makin memanas. Ia ingin marah, memaki atau membentak gadis berponi tersebut karena tingkah laku ajaibnya di lapangan sekolah tadi, akan tetapi Pak Henry ingat betul dengan siapa ia berhadapan sekarang. Lebih tepatnya terhadap siapa orang yang berada di belakang Jessica. Tentu saja pemilik yayasan, Demian Atriyadinata. Pria baya itu merasa usia terus berkurang apabila berurusan dengan Jessica dan segudang catatan kenakalannya. "... kamu ngelakuin itu buat bales dendam, Jessica?" Ha! Siapa saja tolong
NYAWANYA rasa-rasanya seolah seperti baru saja di tarik dari tubuh kemudian di lepaskan lagi dan mendatangkan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Desisan lantas lolos dari kedua belah bibir pemuda kelinci tersebut, sembari membuka sepasang tirai matanya secara perlahan-lahan guna menyusaikan kontras cahaya matahari yang masuk, Alvin serta-merta membuka mata hanya untuk merasakan kepalanya berdenyut sakit gila-gilaan. Seakan-akan ia baru saja di hantam gada dengan kekuatan maksimal tepat di atas ubun-ubun kepalanya, menghantarkan rasa berkunang-kunang pada pandangannya tiap kali ia bergerak. Pemuda serupa kelinci tersebut berdecak sebal ketika pening di kepala tidak kunjung membaik bahkan setelah ia berusaha tenang guna menetralisir denyutan demi denyutan nan datang, namun nihil, Alvin malah semakin merasa sakit kepala di buatnya. Tangannya pun beralih mengurut pelipis, berharap dapat mengurangi setidaknya sedikit sakit dari kepalanya yang terasa berputar-putar.Alvin mengerjapkan mata be
APABILA kepala sedang berisik, sama bisingnya dengan ingar bingar pasar malam, barangkali memandang sesuatu hal yang indah akan menetralisirkan segala pening bercampur penat pada sekujur tubuh. Sekurang-kurangnya departemen pikiran di dalam otak sekiranya mau ambil rehat sejenak usai berkelahi dengan departemen hati yang selalu enggan berkompromi. Hari ini angkasa menyuguhkan langit biru yang indah, di temani awan-awan dengan beragam bentuk serta mentari yang tampak gagah di singgsananya. Tidak ketinggalan juga semilir angin menyejukkan cuaca panas nan sedang mendera bumi. Kaki-kaki ramping tersebut berayun-ayun ringan berirama selagi dua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap bangunan. Tolong jangan mempermasalahkan atau mempertanyakan alasan Jessica untuk duduk di tempat berbahaya demikian, nan sekali salah salah bergerak, maka tewas bukan lagi sekadar kekhawatiran belaka usai jatuh dari ketinggian 25 meter. Jangan terlalu mencemaskan, Jessica sudah biasa melakukan kegiatan ter
DUNIA memang sedang tidak baik-baik saja. Perempuan mawar tersebut mengerjapkan matanya beberapa kali, ia terpaku akan betapa merahnya wajah sang sahabat berponinya yang satu tersebut. Jessica sedang menahan amarah yang bergumul di bawah kulit, bahu sang gadis bahkan sampai naik-turun dengan tangan terkepal kuat di bawah sana. Jessica seolah tampak bersiap guna melepaskan kemurkaan, mengamuk membabi buta dan menghancurkan apa saja yang berada di dekatnya usai mereka sampai di kelas lantaran mereka mendapati meja puan berponi tersebut dengan dekorasi serba merah muda. Tidak hanya itu saja, ada belasan cokelat dan boneka beruang mini nan tersusun rapi dan sialnyaㅡpoin ini yang semakin membuat dia murkaㅡwajah beruang-beruang merah muda tersebut malah berganti dengan foto wajah Jessica. Terdiri dari ekspresi nyeleneh, penuh amarah dan tertawa sampai mulutnya terbuka. Sungguh, apabila tidak ingat akan situasi dan kondisi yang sedang terjadi maka barangkali Rosa hampir meletuskan gelak t
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan