KALAU-KALAU membahas tentang interior bangunan sekolah maka sudah pasti Bina Bangsa akan keluarga sebagai pemenang. Bina Bangsa memang terkenal sebagai rajanya bangunan sekolah lantaran memiliki begitu banyak lorong dan tikungan pada tiap-tiap bangunan menjulang tinggi nan saling terhubung satu sama lain. Sehingga pihak sekolah menyediakan papan penunjuk jalan bagi pendatang baru karena rumitnya membedakan tiap-tiap koridor, bahkan tak ayal penghuni aslinya sendiri terkadang masih ada nan rentan tersesat. Mengerti benar bahwa petunjuk jalan merupakan suatu hal yang sangat-sangat krusial dan nyaris di butuhkan seluruh orang. Apalagi pada hari-hari penting seperti hari ini, contohnya.
Bina Bangsa kedatangan tamu penting yaitu kunjungan tahunan dari para ketua OSIS dari sekolah-sekolah lain. Nah, karena Jessica adalah murid yang paling baik hati dan ingin mereka mendapat sambutan terbaik dalam sejarah pertemanan antar sekolah ini. Maka dari itu si gadis datang dengan senyuman manis di gerbang dan melambaikan tangan pada sang ketua OSIS Bina Bangsa, yaitu Arzan. Dan menemukan Jessica lengkap dengan seluruh atribut sekolah merupakan hal terjanggal yang pernah laki-laki jangkung lihat sebelumnya. "Lo ... ngapain, Jes?" tanya Arzan kelewat ragu dan betulan aneh. Gadis berponi tersebut berdeham sejenak sebelum tersenyum penuh arti melirik Dhani yang merinding. Tatapan laki-laki itu seolah berkata, "Nggak usah liat-liat gue, setan!" Tajam sekali, soalnya. Jessica menyerahkan paper bag sewarna putih pada Arzan. "Burger buat kalian orang-orang berjasa di Bina Bangsa. Gue harap kalian suka, belinya pake hati lo." Kala Arzan menelaah benar makanan bawaannya, si gadis menambahkan. "Yang warna merah muda di hias langsung sama Rosa, lho, Zan. Hope you like it. Gue dapet tugas dari Bu Inda kalau gue ngedampingin kalian nyambut tamu-tamu penting kita." Dhani mengerutkan keningnya. Total menolak dengan sekuat tenaga, jelas saja. Ia tidak pernah sekalipun akur dengan cucu pemilik sekolah itu. "Dalam rangka apaan? Kita nggak dapet kabar apapun, tuh. Mau bikin ulah 'kan lo? Ketebak banget anㅡ" "Ssssttt! Babe, jangan marah-marah. Nanti lo suka sama gue lagi, 'kan gue nggak bisa bales perasaan lo. Benci jadi cinta, lho," sela Jessica usai meletakkan jari telunjuknya di bibir Dhani kemudian ia menariknya dan mengendus jarinya sendiri. "Bau juga jigong lo, Dhan," komentarnya. Dhani gumoh. Ingin sekali melahap Jessica hidup-hidup tetapi mengetahui benar bahwa tenaga si gadis tak bisa di anggap main-main, maka pemuda tersebut mendengus kesal dan memilih menjaga jarak daripada tekanan darahnya terus naik secara signifikan karena Jessica. Lebih baik menjaga jarak saja. "Jadi lo beneran di utus Bu Inda?" "Telepon sendiri kalau enggak percaya," sahut Jessica, jelas sekali menantang. Sepersekian detik berikutnya Jessica tersenyum kala melihat beberapa orang yang mengenakan almamater berbedaㅡperwakilan setiap sekolah. Gadis itu lantas mengeluarkan ponselnya saat Arzan menyambut mereka dengan senyum hangat di pagar. "Selamat datang. Perjalanannya lancar?" tanya Arzan ramah. Ben mengangguk dan matanya mengedar guna mengagumi pahatan gerbang masuk yang benar-benar menyegarkan mata. Terlebih-lebih lagi yang bisa masuk ke dalam sekolah betulan orang-orang yang memiliki kartu ID Bina Bangsa selainnya harus membawa surat rujukan. "Tentu. Berkat jemputan yang kalian kirim. Gue merasa sangat tersanjung bisa berkunjung kemari," kata Ben tak kalah ramah. Selanjutnya Arzan terkejut kala Jessica menggeser tubuhnya dan mengulurkan tangan pada Ben. "Hai ... Ben? Halo, gue Jessica. Tolong inget dan hapal nama gue, ya. Selamat datang di Bina Bangsa, gue harap sambutannya menyenangkan. Terima kasih sudah mau berkunjung." Ben belum mampu mencerna sempurna apa yang dipaparkan gadis asing di hadapannya. Terlebih-lebih lagi kala gadis serupa boneka tersebut mundur, seolah mengambil jarak dan masih tersenyum lebar sebelum sebuah insiden terjadi. "Welcome to my school, Loser!" serunya lantang dan membunyikan trompet sekeras mungkin. "Ini pesta sambutan buat kalian budak-budak sekolah tercinta, yuhuuuuuu! Woooo!" Mereka semua diguyur air warna-warni yang jatuh dari langit-langit bangunan. Pekikan mengudara kencang luar biasa, umpatan serta makian terlisankan dengan amat sempurna sementara Jessica terbahak-bahak di tempatnya dan memandang Ilion dengan beberapa teman-teman lainnya. "Kena semua nggak?!" tanya Ilion berteriak dari atas. Jessica mengirimkan sinyal agar mereka semua segera pergi usai mengangguk sebagai jawaban. Tawa beberapa anak laki-laki itu perlahan-lahan menghilang. Gadis itu menatap mereka semua yang sudahㅡwell, warna-warni selayaknya anak ayam yang dijual murah di pasar. Jangankan Ben, Dhani saja meradang luar biasa. Firasatnya benar, Jessica takkan suka rela datang kemari kalau tak ingin merusuh. "Lo gila, hah?!" "Arzan! Ini apa-apaan, hah?!" teriak Ben, marah. Jessica menoyor kepala Ben kala laki-laki itu ingin menyampaikan kalimat baru. "Nggak ada yang boleh teriak-teriak di sekolah gue selain para penghuninya. Dan tolong sampein salam gue ke Rodeva, temen lo 'kan di SMA Jayalingga? Dia nantangin gue tauran sore ini." Gadis itu menepuk-nepuk pipi Ben singkat lalu mendongak sejenak. "Ini fitur terbagus di Bina Bangsa, atapnya bisa dibuka karena pemandangnya bagus tapi atap kacanya kayanya rusak sampe ikutan ke buka juga. So, selagi gue ngomong pake mulut. Inget nama gue. Je-ssi-ca!" Si empunya berbalik kemudian dan mengibaskan tangannya di udara. "Dadah! Gue mau mengundurkan diri dari acara ini. Bye, so good to know you, Loser." *** Chelsie pusing tujuh keliling. Kepalanya berdenyut luar biasa. Dadanya memanas seolah jantung siap meledak setelah mendengar pengaduan salah satu anggota OSIS. Jessica berulah lagi dan di sama sang sahabat malah sibuk tertawa melihat video lucu di ponsel. Wow! Jessica memang takkan pernah berubah. Suka sekali mengganggu anak-anak OSIS. "Esie, kalau lo ngeliat gue kayak gitu terus. Nanti matanya bisa jatoh, lho," celetuk Jessica tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Berikutnya seolah sadar akan sesuatu si gadis menurunkan kaki dari meja lab dan memandang sang sahabat penasaran. "Gimana? Sambutan gue kali ini estetik banget, 'kan?" Rosa mengacungkan jempolnya; merasa bangga. "Terdabest! Harusnya lo kasih warna merah darah aja, supaya lebih creepy lagi kesannya," komentarnya, terdengar jauh lebih sinting. Jenna berhenti melihat-lihat gambar di tabletnya dan melirik Jessica dengan gelengan kecil. "Ini ... lebih parah dari tahun lalu, sih." ia berkomentar seadanya. Jessica mengibaskan rambutnya sombong. "Gue gitu lho," ujarnya berbangga diri. "JESSICA! DEMEN BANGET YA LO NGERUSUH! YA ALLAH! SINI DEKETAN! GUE AJA YANG NGEJAMBAK LO, SINI!" Jessica melotot. Buru-buru berlari dari amukan Chelsie yang melepaskan sepatu guna memberi pelajaran gadis berponi tukang rusuh tersebut. Wajahnya semakin memerah nyalang memandang sang sahabat. Jenna menahan pergelangan tangan Chelsie yang ingin melemparkan gelas kaca bekas penelitiannya tadi. "Dari kecil nih anak nggak pernah berubah. Demen banget jail. Makin gede makin menjadi! Sini lo!" Jessica menyenggol Rosa, "Emak lo kalau marah ngeri juga, ya. Sadako insecure ngeliat mukanya. Serem, cuy!" "Emak lo bukan gue." Jenna tertawa mendengarnya namun menahan diri mati-matian lantaran Chelsie mengatur napas dan menahan marah. "Udah-udah. Mau mulut lo berbusa juga dia nggak bakalan jadi anak baik." Rosa memiringkan kepala sepenuhnya bingung, ritme mulutnya mengunyah permen karet melambat. "Anak baik itu kayak gimana, sih? Gue suka bingung sendiri mikirin jawabannya." Saat Chelsie menoleh dengan tampang senggol-bacok, Rosa buru-buru mengangkat tangan. "Nggak usah di jawab juga nggak papa. Ikhlas, ridho, rela. G****e masih beroperasi, tenang. Woles, bruh!" Jessica mengerang kemudian dan mengembuskan napas berat, membiarkan dirinya jatuh terduduk ke atas lantai laboratorium kimia. Pandangan seolah menerawang. "Cuma males jadi anak baik. Toh, nggak ada yang bakalan ngasih apresiasi, iya nggak sih? Kita ... ini sama." Chelsie merubah air wajahnya dan mengembuskan napas berat kemudian mengangguk samar. Ia menyandarkan pinggang pada ujung meja dan menunduk kecil. "Bener juga. Kayak gue, nih. Menang olimpiade senasional aja belum dapet tepuk tangan." "Okay," Rosa sadar suasananya agak terasa berat sekarang. "Can we talk another story? Suasananya udah mulai berat, i don't like it. Gue berasa lagi sidang jadinya." Jenna tertawa mendengarnya. "Lain kali, ajak kita kalau ngerusuh. Biar nambah agenda BK pake foto muka kita berempat berjemur di depan tiang bendera bukan di pantai. Epik nggak tuh waktu di ceritain pas tua entar?" "Boleh juga." Si Poni mengedikkan bahunya. "Ide bagus. Bisa diatur. Ibu Ratu ikut tidak?" Seluruh pandangan tertuju pada Chelsie, tampaknya butuh pemikiran panjang sebelum memberikan gelengan. Mereka menghembuskan napas kecewa dan si gadis terkekeh geli melihatnya. "Lain kali, gue masih harus banggain nyokap. Gue join kalau waktunya udah tepat," katanya, berniat memberikan kalimat penenang. "Padahal enak dihukum bareng-bareng. Entar kakek gue bangga cucunya bahagia di sekolah ini. Ya, kagak? Hahaha, emang cucu teladan gue." Jessica menyibak poninya sekilas. Satu sekon kemudian senyum Jessica luntur ketika suara dingin dan mencekam menyahut sok ramah. "Ouh, bagus sekali, Jessica. Saya akan dengan senang hati menghukum kamu. Jadi ... mari berjalan suka rela ke ruangan saya. Buku kasus saya sudah rindu dengan nama kamu." Jessica membeku, mati! Ketangkep gue!JIKA di ingat-ingat kembali dalam kurun waktu satu bulan belakangan ini, daftar panjang kejahatan yang telah Jessica lakukan sangat terorganisir, sistematis dan sudah sepatutnya mendapat hukuman. Yah, sang empunya sendiri tidak akan menangkis segala macam tuntutan dari pihak yang bersangkut bersama segudang kerugian yang mereka terima. Jessica akan menerimanya dengan lapang dada. Hanya saja dari sekian banyak jenis hukuman-hukuman yang ada di Bina Bangsa bahkan sampai ada daftarnya dan di urutkan dari seberapa besar poin kesalahan. Kenapa malah Jessica harus mendapatkan hukuman menghormati Sang Saka Merah Putih alih-alih menyapu halaman atau berbagai hal hukuman lainnya yang menggunakan tenaga? Bukannya berniat kurang ajar atau tidak menghormati perjuangan sampai titik darah penghabisan dari para pahlawan yang berguguran di masa lalu, hanya saja bukankah mereka sudah punya waktu khusus untuk itu? Jadi menyingkirkan sampah-sampah di lapangan sekolah atau membersihkan toilet barangkali
BAGIAN sial apa dari hidup yang sangat kalian benci? Kalau di tanya, Jessica punya banyak sekali. Terlalu banyak sampai-sampai dua puluh jari yang gadis itu miliki tidak akan cukup untuk menghitungnya. Terlalu banyak hal merepotkan nan Jessica benci hingga membuatnya mengerutkan kening tidak suka sepanjang hari. Kendati demikian pun sang gadis berponi tersebut paham benar bahwa bernapas bahagia dengan tenang nan tentran setiap waktu adalah sebuah kemustahilan. Setidaknya di atas bumi yang mulai rusak ini. Toh, katanya rasa sedih dan bahagia selalu di takar seimbang untuk semua manua. Hanya saja Jessica kurang mempercayainya. Jessica lebih percaya dan tertarik dengan apa yang terjadi di lapangan. Dunia nyata selalu tampak mengerikan kian hari berlalu. Salah satu contohnya ialah seperti acara sederhana keluarga besar Atriyadinata yang mesti Jessica hadiri setiap dua kali sebulan. Sang kakek berpikir cara ini efektif untuk tetap menjalin komunikasi dan memperindah harmonisasi keluarga
TATKALA amarah menguasai sel demi sel di sekujur tubuh seseorang pernah berkata padanya, untuk menenangkan jiwa yang sedang di liputi amarah absolut maka hal yang harus di lakukan adalah berhitung. Entah itu di dalam hati atau di lakukan secara lisan. Yang mana katanya akan sangat-sangat membantu mengontrol gelegak emosi yang tengah membara. Jessica pikir itu adalah saran terkonyol dari sekian juta petuah yang berada di dunia ini. Ya, awalnya gadis berponi tersebut demikian sebelum kalimat yang di sampaikan laki-laki berwajah kalem itu ternyata cukup ampuh dan berguna baginya dalam melalui hari-hari berat nan menguras tenaga sekaligus energinya. Sangat berguna, sungguh dan Jessica sepenuhnya menyesal telah menertawai saran tulus laki-laki tersebut sore hari itu. Jessica mengakui dengan baik bahwa ia memiliki sumbu emosi yang terbilang pendek, sangat pendek malahan. Dia mudah sekali tersulut amarahnya akan sesuatu hal yang terkadang tergolong sepele. Bahkan terkadang dia tidak akan su
"TEMEN lo gila ya, Mas?" celetuk Daniel bertanya sangsi, menjauhkan puntung rokok dari bibirnya bersama kepulan asap yang keluar dari kedua belah bibirnya. Ia kontan merasa tidak mengerti sekarang sementara itu di sana Thomas menatap sinis dan memasang raut wajah jengkel. Dengan perasaan gondok luar biasa ingin sekali memukul sang kawan, Thomas menjulurkan tangannya merebut rokok tersebut dan membuangnya ke tanah dengan kasar. "Thom, anjir, Thom. Mas-mas pale lu!" tukasnya kesal. "Nama gue secakep itu lo panggil mas-mas, jijik tau nggak. Kalau cewek masih oke, lah elu? Merinding sebadan-badan gue." "Ah, bangsat! Rokok terakhir gue, Mas!" decak Daniel kalang kabut melihat rokok terakhir miliknya terlihat mengenaskan di tanah. Laki-laki bertubuh tegap tersebut berencana ingin segera memungut kembali tapi Gerald terlebih dahulu datang dan menginjak batang putih lunak itu dengan dramatis. Daniel membeku. "Anjing kalian berdua!" makinya, meradang juga ujung-ujungnya. Mendengar suara f
KENDATI tahu dan mengenal diri sendiri dengan baik, maka lebih dari siapa pun Alvin mengetahui dengan benar bahwa dalam hidupnya tantangan nan memicu adrenaline merupakan kegiatan harian yang paling ia sukai. Lebih dari apa pun. Karena dengan melakukannya ia dapat menikmati hidup penuh keseruan tiada tara dan tidak perlu mendekam di dalam kamar di gelung kebosanan. Ew! Alvin tidak ingin menghabiskan waktu mudanya hanya dengan menatap dinding kamar, buku-buku, bangunan sekolah dan bersikap baik sebagai seorang murid. Tidak, tidak. Alvin menolak untuk hidup semembosankan itu. Jadi oleh sebab itu, tahu apa yang Alvin lakukan ketika bertemu Jessica pada puku. 08:56 WIB di lapangan utama Bina Bangsa?Tentu saja. Pemuda kelinci tersebut bertingkang laku sesuka hati sampai-sampai berani datang telat dan berujung di hukum bersama Jessica; lagi-lagi menghormat bendera, bedanya kali ini ada beberapa murid yang juga menemani mereka berdua, dua penguasa sekolah. Pun laki-laki itu seolah lupa atas
“JADI … ” Kepala berdenyut-denyut. Bahu naik-turun. Jantung masih berdebar-debar. Kemurkaan belum sepenuhnya sirna dari dalam rongga dada. Pria berusia 52 tahun yang telah lama menjabat sebagai kepala sekolah tersebut memejamkan matanya erat bukan main sembari mengurut pelipis nan masih berkedut kejam. Niat hati ingin segera mengusir denyutan pening di kepala akan tetapi menyadari betul bahwa salah satu siswi di hadapan tidak menunjukkan gelagat orang bersalah sedikit pun membuat Pak Henry makin memanas. Ia ingin marah, memaki atau membentak gadis berponi tersebut karena tingkah laku ajaibnya di lapangan sekolah tadi, akan tetapi Pak Henry ingat betul dengan siapa ia berhadapan sekarang. Lebih tepatnya terhadap siapa orang yang berada di belakang Jessica. Tentu saja pemilik yayasan, Demian Atriyadinata. Pria baya itu merasa usia terus berkurang apabila berurusan dengan Jessica dan segudang catatan kenakalannya. "... kamu ngelakuin itu buat bales dendam, Jessica?" Ha! Siapa saja tolong
NYAWANYA rasa-rasanya seolah seperti baru saja di tarik dari tubuh kemudian di lepaskan lagi dan mendatangkan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Desisan lantas lolos dari kedua belah bibir pemuda kelinci tersebut, sembari membuka sepasang tirai matanya secara perlahan-lahan guna menyusaikan kontras cahaya matahari yang masuk, Alvin serta-merta membuka mata hanya untuk merasakan kepalanya berdenyut sakit gila-gilaan. Seakan-akan ia baru saja di hantam gada dengan kekuatan maksimal tepat di atas ubun-ubun kepalanya, menghantarkan rasa berkunang-kunang pada pandangannya tiap kali ia bergerak. Pemuda serupa kelinci tersebut berdecak sebal ketika pening di kepala tidak kunjung membaik bahkan setelah ia berusaha tenang guna menetralisir denyutan demi denyutan nan datang, namun nihil, Alvin malah semakin merasa sakit kepala di buatnya. Tangannya pun beralih mengurut pelipis, berharap dapat mengurangi setidaknya sedikit sakit dari kepalanya yang terasa berputar-putar.Alvin mengerjapkan mata be
APABILA kepala sedang berisik, sama bisingnya dengan ingar bingar pasar malam, barangkali memandang sesuatu hal yang indah akan menetralisirkan segala pening bercampur penat pada sekujur tubuh. Sekurang-kurangnya departemen pikiran di dalam otak sekiranya mau ambil rehat sejenak usai berkelahi dengan departemen hati yang selalu enggan berkompromi. Hari ini angkasa menyuguhkan langit biru yang indah, di temani awan-awan dengan beragam bentuk serta mentari yang tampak gagah di singgsananya. Tidak ketinggalan juga semilir angin menyejukkan cuaca panas nan sedang mendera bumi. Kaki-kaki ramping tersebut berayun-ayun ringan berirama selagi dua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap bangunan. Tolong jangan mempermasalahkan atau mempertanyakan alasan Jessica untuk duduk di tempat berbahaya demikian, nan sekali salah salah bergerak, maka tewas bukan lagi sekadar kekhawatiran belaka usai jatuh dari ketinggian 25 meter. Jangan terlalu mencemaskan, Jessica sudah biasa melakukan kegiatan ter
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di
GELEGAK amarah. Urat saraf yang menonjol. Wajah memerah penuh resah. Ekspresi keruh terang-terangan menyatakan isi hati. Layar demi layar di depan mata nan menampilkan rekaman CCTV beberapa lokasi tidak berhasil membuatnya puas. Demian makin murka. Dalam satu kali gerakan, dia menghempas kasar benda-benda berteknologi canggih tersebut. "KALIAN SEMUA TIDAK BECUS! UANG YANG SAYA KELUARKAN SELAMA INI UNTUK KALIAN TERNYATA SIA-SIA! SAYA INGIN CUCU SAYA DI TEMUKAN TAPI KALIAN SEMUA TIDAK MAMPU MELAKUKAN ITU! APANYA YANG SULIT MENCARI SEORANG ANAK PEREMPUAN YANG MASIH SMA?! KELUAR KALIAN DARI RUMAH SAYA! DASAR TIKUS-TIKUS KOTOR! JANGAN PIKIR UNTUK KEMBALI MENGINJAKKAN KAKI DI SINI SEBELUM CUCU SAYA DI TEMUKAN ATAU KALIAN AKAN TAU APA AKIBAT GAGAL MENJALANKAN TUGAS DARI SEORANG DEMIAN! CAMKAN ITU!"Satu minggu berlalu sejak menghilangnya Jessica. Entah sesakit apa hati anak malang tersebut sampai-sampai memilih untuk pergi. Demian gagal menjadi rumah bagi cucunya. Demian gagal menjadi zona a
JESSICA benar-benar lenyap begitu saja. Bagaikan di telan bumi dan terdampai di dunia antah berantah. Tidak dapat terdeteksi. Tidak dapat di telusuri. Tidak dapat di temukan. Kabar menghilangnya cucu bungsu dari keluarga konglomerat Atriyadinata memang tidak di beritakan pada surat kabar, berita di TV atau pun pada seluruh platform media sosial. Namun satu hal pasti, ketidakhadiran puan tersebut secara mendadak jelas-jelas menggemparkan seisi sekolah. Entah itu murid-muridnya, guru berserta staff dan sekaligus pedagang di kantin. Ketiadaan eksistensi Jessica sungguh-sungguh menjadi topik hangat bahkan usai genap seminggu sang penguasa sekolah tersebut menghilang tanpa kabar. Beberapa dari mereka berusaha menggali informasi dari sumber pasti, tentu itu adalah tiga sahabat sang topik utama Bina Bangsa, akan tetapi seperti yang telah di terka-terka, mereka sempurna dalam kebungkaman. Lebih tepatnya mereka sama sekali tidak tahu-menahu mengenai keberadaan Jessica sekarang. Hembusan na
ORANG-ORANG dulu berkata bahwa rumah adalah tempat paling aman, nyaman dan tepat untuk beristirahat dari berisiknya hiruk-pikuk dunia. Kehangatannya akan mampu meluruhkan segala penat dan lelah tanpa pamrih. Di semua buku, selebaran, iklan atau penjelasan literatur pun mengatakan hal serupa. Rumah adalah tempat kau untuk pulang. Setidaknya itu yang mereka ingin bagikan ke seluruh umat manusia. Tapi sialnya, tidak semua dari mereka memaparkan lebih detail mengenai rumah macam apa yang baik guna menyambut rusaknya jiwa akan permainan benang takdir. Atas segala ujian alam bagi tiap-tiap mereka yang bernapas. Mereka lupa menambah satu paragraf kenyataan bahwa tidak semua rumah itu terasa seperti pulang. Kadang kala justru mirip seperti neraka. Memang tidak panas, namun gelegak amarah yang terus-menerus mendidih, lontaran makian, teriakan melengking, barang demi barang melayang, tuduh menuduh dan sejenisnya. Mana mungkin tempat yang terasa seperti arena peperangan tersebut cocok di katakan