Share

BAB 1 : Pesta Sambutan

BINA BANGSA memang rajanya bangunan sekolah lantaran memiliki lorong dan tikungan yang banyak. Sehingga disediakan papan penunjuk jalan bagi pendatang baru yang bahkan penghuni aslinya sendiri masih ada yang rentan tersesat. Mengerti benar bahwa petunjuk jalan merupakan suatu hal yang penting dan nyaris seluruh orang membutuhkannya. Apalagi di hari-hari penting seperti hari ini, contohnya.

Bina Bangsa kedatangan tamu penting yaitu kunjungan tahunan dari para ketua OSIS dari sekolah-sekolah lain.

Nah, karena Jessica adalah murid yang paling baik hati dan ingin mereka mendapat sambutan terbaik dalam sejarah pertemanan antar sekolah. Maka dari itu si gadis tersenyum manis di gerbang dan melambaikan tangan pada sang ketua OSIS Bina Bangsa, yaitu Arzan. Dan menemukan Jessica lengkap dengan seluruh atribut sekolah merupakan hal terjanggal yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Lo ... ngapain, Jes?" tanya Arzan kelewat ragu dan betulan aneh.

Gadis berponi tersebut berdeham sejenak sebelum tersenyum penuh arti melirik Dhani yang merinding. Tatapan laki-laki itu seolah berkata, "Nggak usah liat-liat gue, setan!" Tajam sekali, soalnya.

Jessica menyerahkan paper bag sewarna putih pada Arzan. "Burger buat kalian orang-orang berjasa di Bina Bangsa. Gue harap kalian suka, belinya pake hati lo." Kala Arzan menelaah benar makanan bawaannya, si gadis menambahkan. "Yang warna merah muda dihias langsung sama Rosa, lho, Zan. Hope you like it. Gue dapet tugas dari Bu Inda kalau gue ngedampingin kalian nyambut tamu-tamu penting kita."

Dhani mengerutkan keningnya. Total menolak dengan sekuat tenaga, jelas saja. Ia tidak pernah sekalipun akur dengan cucu pemilik sekolah itu. "Dalam rangka apaan? Kita nggak dapet kabar apapun, tuh. Mau bikin ulah 'kan lo? Ketebak banget anㅡ"

"Ssssttt! Babe, jangan marah-marah. Nanti lo suka sama gue lagi, 'kan gue nggak bisa bales perasaan lo. Benci jadi cinta, lho," sela Jessica usai meletakkan jari telunjuknya di bibir Dhani kemudian ia menariknya dan mengendus jarinya sendiri. "Bau juga jigong lo, Dhan," komentarnya.

Dhani gumoh. Ingin sekali melahap Jessica hidup-hidup tetapi mengetahui benar bahwa tenaga si gadis tak bisa dianggap main-main, maka pemuda tersebut mendengus kesal dan memilih menjaga jarak.

"Jadi lo beneran di utus Bu Inda?"

"Telepon sendiri kalau enggak percaya," sahut Jessica, jelas sekali menantang.

Sepersekian detik berikutnya Jessica tersenyum kala melihat beberapa orang yang mengenakan almamater berbedaㅡperwakilan setiap sekolah. Gadis itu lantas mengeluarkan ponselnya saat Arzan menyambut mereka dengan senyum hangat di pagar.

"Selamat datang. Perjalanannya lancar?" tanya Arzan ramah.

Ben mengangguk dan matanya mengedar guna mengagumi pahatan gerbang masuk yang benar-benar menyegarkan mata. Terlebih-lebih lagi yang bisa masuk ke dalam sekolah betulan orang-orang yang memiliki kartu ID Bina Bangsa selainnya harus membawa surat rujukan.

"Tentu. Berkat jemputan yang kalian kirim. Gue merasa sangat tersanjung bisa berkunjung kemari," kata Ben tak kalah ramah.

Selanjutnya Arzan terkejut kala Jessica menggeser tubuhnya dan mengulurkan tangan pada Ben. "Hai ... Ben? Halo, gue Jessica. Tolong inget dan hapal nama gue, ya. Selamat datang di Bina Bangsa, gue harap sambutannya menyenangkan. Terima kasih sudah mau berkunjung."

Ben belum mampu mencerna sempurna apa yang dipaparkan gadis asing di hadapannya. Terlebih-lebih lagi kala gadis serupa boneka tersebut mundur, seolah mengambil jarak dan masih tersenyum lebar sebelum sebuah insiden terjadi.

"Welcome to my school, Loser!" serunya lantang dan membunyikan trompet sekeras mungkin. "Ini pesta sambutan buat kalian budak-budak sekolah tercinta, yuhuuuuuu! Woooo!"

Mereka semua diguyur air warna-warni yang jatuh dari langit-langit bangunan. Pekikan mengudara kencang luar biasa, umpatan serta makian terlisankan dengan amat sempurna sementara Jessica terbahak-bahak di tempatnya dan memandang Ilion dengan beberapa teman-teman lainnya.

"Kena semua nggak?!" tanya Ilion berteriak dari atas.

Jessica mengirimkan sinyal agar mereka semua segera pergi usai mengangguk sebagai jawaban. Tawa beberapa anak laki-laki itu perlahan-lahan menghilang. Gadis itu menatap mereka semua yang sudahㅡwell, warna-warni selayaknya anak ayam yang dijual murah di pasar. Jangankan Ben, Dhani saja meradang luar biasa. Firasatnya benar, Jessica takkan suka rela datang kemari kalau tak ingin merusuh.

"Lo gila, hah?!"

"Arzan! Ini apa-apaan, hah?!" teriak Ben, marah.

Jessica menoyor kepala Ben kala laki-laki itu ingin menyampaikan kalimat baru. "Nggak ada yang boleh teriak-teriak di sekolah gue selain para penghuninya. Dan tolong sampein salam gue ke Rodeva, temen lo 'kan di SMA Jayalingga? Dia nantangin gue tauran sore ini." Gadis itu menepuk-nepuk pipi Ben singkat lalu mendongak sejenak. "Ini fitur terbagus di Bina Bangsa, atapnya bisa dibuka karena pemandangnya bagus tapi atap kacanya kayanya rusak sampe ikutan ke buka juga. So, selagi gue ngomong pake mulut. Inget nama gue. Je-ssi-ca!"

Si empunya berbalik kemudian dan mengibaskan tangannya di udara. "Dadah! Gue mau mengundurkan diri dari acara ini. Bye, so good to know you, loser."

***

Chelsie pusing tujuh keliling. Kepalanya berdenyut luar biasa. Dadanya memanas seolah jantung siap meledak setelah mendengar pengaduan salah satu anggota OSIS. Jessica berulah lagi dan di sama sang sahabat malah sibuk tertawa melihat video lucu di ponsel. Wow! Jessica memang takkan pernah berubah. Suka sekali mengganggu anak-anak OSIS.

"Esie, kalau lo ngeliat gue kayak gitu terus. Nanti matanya bisa jatoh, lho," celetuk Jessica tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Berikutnya seolah sadar akan sesuatu si gadis menurunkan kaki dari meja lab dan memandang sang sahabat penasaran. "Gimana? Sambutan gue kali ini estetik banget, 'kan?"

Rosa mengacungkan jempolnya; merasa bangga. "Terdabest! Harusnya lo kasih warna merah darah aja, supaya lebih creepy lagi kesannya," komentarnya, terdengar jauh lebih sinting.

Jenna berhenti melihat-lihat gambar di tabletnya dan melirik Jessica dengan gelengan kecil. "Ini ... lebih parah dari tahun lalu, sih."

Jessica mengibaskan rambutnya sombong. "Gue gitu lho," ujarnya berbangga diri.

"JESSICA! DEMEN BANGET YA LO NGERUSUH! YA ALLAH! SINI DEKETAN! GUE AJA YANG NGEJAMBAK LO, SINI!"

Jessica melotot. Buru-buru berlari dari amukan Chelsie yang melepaskan sepatu guna memberi pelajaran gadis berponi tukang rusuh tersebut. Wajahnya semakin memerah nyalang memandang sang sahabat.

Jenna menahan pergelangan tangan Chelsie yang ingin melemparkan gelas kaca bekas penelitiannya tadi. "Dari kecil nih anak nggak pernah berubah. Demen banget jail. Makin gede makin menjadi! Sini lo!"

Jessica menyenggol Rosa, "Emak lo kalau marah ngeri juga, ya. Sadako insecure ngeliat mukanya. Serem, cuy!"

"Emak lo bukan gue."

Jenna tertawa mendengarnya namun menahan diri mati-matian lantaran Chelsie mengatur napas dan menahan marah. "Udah-udah. Mau mulut lo berbusa juga dia nggak bakalan jadi anak baik."

Rosa memiringkan kepala sepenuhnya bingunh, ritme mulutnya mengunyah permen karet melambat. "Anak baik itu kayak gimana, sih? Gue suka bingung sendiri mikirin jawabannya." Saat Chelsie menoleh dengan tampang senggol-bacok, Rosa buru-buru mengangkat tangan. "Nggak usah di jawab juga nggak papa. Ikhlas, ridho, rela. G****e masih beroperasi, tenang. Woles, bruh!"

Jessica mengerang kemudian dan mengembuskan napas berat, membiarkan dirinya jatuh terduduk ke atas lantai laboratorium kimia. Pandangan seolah menerawang. "Cuma males jadi anak baik. Toh, nggak ada yang bakalan ngasih apresiasi, iya nggak sih? Kita ... ini sama."

Chelsie merubah air wajahnya dan mengembuskan napas berat kemudian mengangguk samar. Ia menyandarkan pinggang pada ujung meja dan menunduk kecil. "Bener juga. Kayak gue, nih. Menang olimpiade senasional aja belum dapet tepuk tangan."

"Okay," Rosa sadar suasananya agak terasa berat sekarang. "Can we talk another story? Suasananya udah mulai berat, i don't like it. Gue berasa lagi sidang jadinya."

Jenna tertawa mendengarnya. "Lain kali, ajak kita kalau ngerusuh. Biar nambah agenda BK pake foto muka kita berempat berjemur di depan tiang bendera bukan di pantai. Epik nggak tuh waktu di ceritain pas tua entar?"

"Boleh juga."

Si Poni mengedikkan bahunya. "Ide bagus. Bisa diatur. Ibu Ratu ikut tidak?"

Seluruh pandangan tertuju pada Chelsie, tampaknya butuh pemikiran panjang sebelum memberikan gelengan. Mereka menghembuskan napas kecewa dan si gadis terkekeh geli melihatnya.

"Lain kali, gue masih harus banggain nyokap. Gue join kalau waktunya udah tepat," katanya, berniat memberikan kalimat penenang.

"Padahal enak dihukum bareng-bareng. Entar kakek gue bangga cucunya bahagia di sekolah ini. Ya, kagak? Hahaha, emang cucu teladan gue." Jessica menyibak poninya sekilas.

Satu sekon kemudian senyum Jessica luntur ketika suara dingin dan mencekam menyahut sok ramah. "Ouh, bagus sekali, Jessica. Saya akan dengan senang hati menghukum kamu. Jadi ... mari berjalan suka rela ke ruangan saya. Buku kasus saya sudah rindu dengan nama kamu."

Jessica membeku, mati! Ketangkep gue!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status