BINA BANGSA memang rajanya bangunan sekolah lantaran memiliki lorong dan tikungan yang banyak. Sehingga disediakan papan penunjuk jalan bagi pendatang baru yang bahkan penghuni aslinya sendiri masih ada yang rentan tersesat. Mengerti benar bahwa petunjuk jalan merupakan suatu hal yang penting dan nyaris seluruh orang membutuhkannya. Apalagi di hari-hari penting seperti hari ini, contohnya.
Bina Bangsa kedatangan tamu penting yaitu kunjungan tahunan dari para ketua OSIS dari sekolah-sekolah lain. Nah, karena Jessica adalah murid yang paling baik hati dan ingin mereka mendapat sambutan terbaik dalam sejarah pertemanan antar sekolah. Maka dari itu si gadis tersenyum manis di gerbang dan melambaikan tangan pada sang ketua OSIS Bina Bangsa, yaitu Arzan. Dan menemukan Jessica lengkap dengan seluruh atribut sekolah merupakan hal terjanggal yang pernah ia lihat sebelumnya. "Lo ... ngapain, Jes?" tanya Arzan kelewat ragu dan betulan aneh. Gadis berponi tersebut berdeham sejenak sebelum tersenyum penuh arti melirik Dhani yang merinding. Tatapan laki-laki itu seolah berkata, "Nggak usah liat-liat gue, setan!" Tajam sekali, soalnya. Jessica menyerahkan paper bag sewarna putih pada Arzan. "Burger buat kalian orang-orang berjasa di Bina Bangsa. Gue harap kalian suka, belinya pake hati lo." Kala Arzan menelaah benar makanan bawaannya, si gadis menambahkan. "Yang warna merah muda dihias langsung sama Rosa, lho, Zan. Hope you like it. Gue dapet tugas dari Bu Inda kalau gue ngedampingin kalian nyambut tamu-tamu penting kita." Dhani mengerutkan keningnya. Total menolak dengan sekuat tenaga, jelas saja. Ia tidak pernah sekalipun akur dengan cucu pemilik sekolah itu. "Dalam rangka apaan? Kita nggak dapet kabar apapun, tuh. Mau bikin ulah 'kan lo? Ketebak banget anㅡ" "Ssssttt! Babe, jangan marah-marah. Nanti lo suka sama gue lagi, 'kan gue nggak bisa bales perasaan lo. Benci jadi cinta, lho," sela Jessica usai meletakkan jari telunjuknya di bibir Dhani kemudian ia menariknya dan mengendus jarinya sendiri. "Bau juga jigong lo, Dhan," komentarnya. Dhani gumoh. Ingin sekali melahap Jessica hidup-hidup tetapi mengetahui benar bahwa tenaga si gadis tak bisa dianggap main-main, maka pemuda tersebut mendengus kesal dan memilih menjaga jarak. "Jadi lo beneran di utus Bu Inda?" "Telepon sendiri kalau enggak percaya," sahut Jessica, jelas sekali menantang. Sepersekian detik berikutnya Jessica tersenyum kala melihat beberapa orang yang mengenakan almamater berbedaㅡperwakilan setiap sekolah. Gadis itu lantas mengeluarkan ponselnya saat Arzan menyambut mereka dengan senyum hangat di pagar. "Selamat datang. Perjalanannya lancar?" tanya Arzan ramah. Ben mengangguk dan matanya mengedar guna mengagumi pahatan gerbang masuk yang benar-benar menyegarkan mata. Terlebih-lebih lagi yang bisa masuk ke dalam sekolah betulan orang-orang yang memiliki kartu ID Bina Bangsa selainnya harus membawa surat rujukan. "Tentu. Berkat jemputan yang kalian kirim. Gue merasa sangat tersanjung bisa berkunjung kemari," kata Ben tak kalah ramah. Selanjutnya Arzan terkejut kala Jessica menggeser tubuhnya dan mengulurkan tangan pada Ben. "Hai ... Ben? Halo, gue Jessica. Tolong inget dan hapal nama gue, ya. Selamat datang di Bina Bangsa, gue harap sambutannya menyenangkan. Terima kasih sudah mau berkunjung." Ben belum mampu mencerna sempurna apa yang dipaparkan gadis asing di hadapannya. Terlebih-lebih lagi kala gadis serupa boneka tersebut mundur, seolah mengambil jarak dan masih tersenyum lebar sebelum sebuah insiden terjadi. "Welcome to my school, Loser!" serunya lantang dan membunyikan trompet sekeras mungkin. "Ini pesta sambutan buat kalian budak-budak sekolah tercinta, yuhuuuuuu! Woooo!" Mereka semua diguyur air warna-warni yang jatuh dari langit-langit bangunan. Pekikan mengudara kencang luar biasa, umpatan serta makian terlisankan dengan amat sempurna sementara Jessica terbahak-bahak di tempatnya dan memandang Ilion dengan beberapa teman-teman lainnya. "Kena semua nggak?!" tanya Ilion berteriak dari atas. Jessica mengirimkan sinyal agar mereka semua segera pergi usai mengangguk sebagai jawaban. Tawa beberapa anak laki-laki itu perlahan-lahan menghilang. Gadis itu menatap mereka semua yang sudahㅡwell, warna-warni selayaknya anak ayam yang dijual murah di pasar. Jangankan Ben, Dhani saja meradang luar biasa. Firasatnya benar, Jessica takkan suka rela datang kemari kalau tak ingin merusuh. "Lo gila, hah?!" "Arzan! Ini apa-apaan, hah?!" teriak Ben, marah. Jessica menoyor kepala Ben kala laki-laki itu ingin menyampaikan kalimat baru. "Nggak ada yang boleh teriak-teriak di sekolah gue selain para penghuninya. Dan tolong sampein salam gue ke Rodeva, temen lo 'kan di SMA Jayalingga? Dia nantangin gue tauran sore ini." Gadis itu menepuk-nepuk pipi Ben singkat lalu mendongak sejenak. "Ini fitur terbagus di Bina Bangsa, atapnya bisa dibuka karena pemandangnya bagus tapi atap kacanya kayanya rusak sampe ikutan ke buka juga. So, selagi gue ngomong pake mulut. Inget nama gue. Je-ssi-ca!" Si empunya berbalik kemudian dan mengibaskan tangannya di udara. "Dadah! Gue mau mengundurkan diri dari acara ini. Bye, so good to know you, loser." *** Chelsie pusing tujuh keliling. Kepalanya berdenyut luar biasa. Dadanya memanas seolah jantung siap meledak setelah mendengar pengaduan salah satu anggota OSIS. Jessica berulah lagi dan di sama sang sahabat malah sibuk tertawa melihat video lucu di ponsel. Wow! Jessica memang takkan pernah berubah. Suka sekali mengganggu anak-anak OSIS. "Esie, kalau lo ngeliat gue kayak gitu terus. Nanti matanya bisa jatoh, lho," celetuk Jessica tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Berikutnya seolah sadar akan sesuatu si gadis menurunkan kaki dari meja lab dan memandang sang sahabat penasaran. "Gimana? Sambutan gue kali ini estetik banget, 'kan?" Rosa mengacungkan jempolnya; merasa bangga. "Terdabest! Harusnya lo kasih warna merah darah aja, supaya lebih creepy lagi kesannya," komentarnya, terdengar jauh lebih sinting. Jenna berhenti melihat-lihat gambar di tabletnya dan melirik Jessica dengan gelengan kecil. "Ini ... lebih parah dari tahun lalu, sih." Jessica mengibaskan rambutnya sombong. "Gue gitu lho," ujarnya berbangga diri. "JESSICA! DEMEN BANGET YA LO NGERUSUH! YA ALLAH! SINI DEKETAN! GUE AJA YANG NGEJAMBAK LO, SINI!" Jessica melotot. Buru-buru berlari dari amukan Chelsie yang melepaskan sepatu guna memberi pelajaran gadis berponi tukang rusuh tersebut. Wajahnya semakin memerah nyalang memandang sang sahabat. Jenna menahan pergelangan tangan Chelsie yang ingin melemparkan gelas kaca bekas penelitiannya tadi. "Dari kecil nih anak nggak pernah berubah. Demen banget jail. Makin gede makin menjadi! Sini lo!" Jessica menyenggol Rosa, "Emak lo kalau marah ngeri juga, ya. Sadako insecure ngeliat mukanya. Serem, cuy!" "Emak lo bukan gue." Jenna tertawa mendengarnya namun menahan diri mati-matian lantaran Chelsie mengatur napas dan menahan marah. "Udah-udah. Mau mulut lo berbusa juga dia nggak bakalan jadi anak baik." Rosa memiringkan kepala sepenuhnya bingunh, ritme mulutnya mengunyah permen karet melambat. "Anak baik itu kayak gimana, sih? Gue suka bingung sendiri mikirin jawabannya." Saat Chelsie menoleh dengan tampang senggol-bacok, Rosa buru-buru mengangkat tangan. "Nggak usah di jawab juga nggak papa. Ikhlas, ridho, rela. G****e masih beroperasi, tenang. Woles, bruh!" Jessica mengerang kemudian dan mengembuskan napas berat, membiarkan dirinya jatuh terduduk ke atas lantai laboratorium kimia. Pandangan seolah menerawang. "Cuma males jadi anak baik. Toh, nggak ada yang bakalan ngasih apresiasi, iya nggak sih? Kita ... ini sama." Chelsie merubah air wajahnya dan mengembuskan napas berat kemudian mengangguk samar. Ia menyandarkan pinggang pada ujung meja dan menunduk kecil. "Bener juga. Kayak gue, nih. Menang olimpiade senasional aja belum dapet tepuk tangan." "Okay," Rosa sadar suasananya agak terasa berat sekarang. "Can we talk another story? Suasananya udah mulai berat, i don't like it. Gue berasa lagi sidang jadinya." Jenna tertawa mendengarnya. "Lain kali, ajak kita kalau ngerusuh. Biar nambah agenda BK pake foto muka kita berempat berjemur di depan tiang bendera bukan di pantai. Epik nggak tuh waktu di ceritain pas tua entar?" "Boleh juga." Si Poni mengedikkan bahunya. "Ide bagus. Bisa diatur. Ibu Ratu ikut tidak?" Seluruh pandangan tertuju pada Chelsie, tampaknya butuh pemikiran panjang sebelum memberikan gelengan. Mereka menghembuskan napas kecewa dan si gadis terkekeh geli melihatnya. "Lain kali, gue masih harus banggain nyokap. Gue join kalau waktunya udah tepat," katanya, berniat memberikan kalimat penenang. "Padahal enak dihukum bareng-bareng. Entar kakek gue bangga cucunya bahagia di sekolah ini. Ya, kagak? Hahaha, emang cucu teladan gue." Jessica menyibak poninya sekilas. Satu sekon kemudian senyum Jessica luntur ketika suara dingin dan mencekam menyahut sok ramah. "Ouh, bagus sekali, Jessica. Saya akan dengan senang hati menghukum kamu. Jadi ... mari berjalan suka rela ke ruangan saya. Buku kasus saya sudah rindu dengan nama kamu." Jessica membeku, mati! Ketangkep gue!JIKA diingat kembali dalam kurun waktu satu bulan, kejahatan yang telah Jessica lakukan memang terorganisir dan patut mendapatkan hukuman. Yeah, si empunya sendiri tidak akan menangkis segala macam tuntutan dari pihak yang bersangkutan. Hanya saja dari sekian banyak hukuman-hukuman yang ada di Bina Bangsa bahkan sampai ada daftarnya dan diurutkan berdasarkan seberapa besar poin kesalahan. Kenapa Jessica harus mendapatkan hukuman menghormati Sang Saka Merah Putih alih-alih menyapu halaman?! Bukannya berniat kurang ajar tetapi sudah ada waktu khusus untuk itu, jadi menyingkirkan sampah-sampah di lapangan barangkali merupakan pilihan bijaksana. Namun Dhani menyanggah kelewat cepat dengan wajah merah; betulan marah. "Kalau disuruh yang lain yang ada Jessica nyuruh-nyuruh temennya, Bu. Pilihan ini lebih baik!"Benar-benar pemuda kutu buku yang satu itu. Menyebalkan sekali! Hm, mungkin motor Dhani akan tergantung di pohon nanti. Lihat saja. Haha! Jessica takkan tinggal diam begitu saja.
BAGIAN sial apa dari hidup yang sangat kalian benci? Kalau Jessica banyak. Banyak sekali sampai-sampai dua puluh jari yang ia miliki tak cukup untuk menghitungnya. Kendati demikian pun si gadis berponi tersebut paham benar bahwa bernapas bahagia setiap waktu adalah sebuah kemustahilan. Toh, katanya, rasa sedih dan bahagia selalu ditakar seimbang untuk semua manusia. Hanya saja Jessica kurang mempercayainya. Contohnya seperti acara keluarga besar yang mesti Jessica hadiri setiap dua kali sebulan. Argh! Berada di satu ruangan yang dengan orang-orang yang engkau benci itu sama halnya dengan oksigen ada di depan mata tetapi lehermu dicekik kuat hingga bernapas bebas merupakan fatamorgana belaka. Err! Menjijikan. Menjengkelkan! Membayangkan bagaimana senyuman demi senyuman palsu disunggingkan murah meriah membuat perut Jessica mendadak bergejolak mual bukan main. Bertempat di sebuah restoran bintang lima milik sang kakek yang tentunya seluruh menu utama dihidangkan di depan mata. Beraga
SESEORANG pernah berkata ketika jiwa tengah diliputi amarah yang harus dilakukan adalah berhitung dalam hati. Jessica pikir itu saran terkonyol dari sekian juta petuah yang ada di dunia. Iya, awalnya si gadis berpikir demikian sebelum kalimat yang disampaikan laki-laki berwajah kalem itu berguna baginya untuk melalui hari-hari berat. Sangat berguna, sekali, dan Jessica menyesal telah menertawakannya sore itu. Jessica akui sumbu emosinya ini pendek, sangat pendek malahan. Dia mudah marah akan sesuatu hal sepele bahkan terkadang suka melepas tantrum besar-besaran kalau-kalau Chelsie tidak datang guna menenangkan. Suatu waktu, ia ingin membenarkan komentar-komentar yang dilontarkan orang secara percuma. Bahwa Jessica mutlak pembawa masalah murni di hidupnya sendiri sekaligus bagi orang-orang sekitarnya. Maka daripada itu si gadis akan melupakan rentetan adegan kemarahannya di restoran secepat mungkin. Napasnya terhembus kasar serta berat lalu mendongak kemudian guna melihat lembayung
"TEMEN lo gila ya, Mas?" celetuk Daniel bertanya sangsi, menjauhkan puntung rokok dari bibirnya dan menatap Thomas yang memasang raut wajah jengkel. Bersama hati yang ringan Thomas membuang rokok Daniel ke tanah. "Thom, anjir, Thom. Mas-mas pale lu!" tukasnya kesal. "Ah, bangsat! Rokok terakhir gue, Mas!" Daniel berencana memungut rokoknya yanh menggelinding mengenaskan di tanah namun Gerald keburu datang dan menginjaknya dengan dramatis. Daniel membeku, "Anjing kalian berdua!" umpatnya. Gerald tersenyum sadis sebelum menendang rokok sang kawan menjauh dari area. "Tobat lo, bangsat! Paru-paru lo item entar, mampus!""Ck, bajinglah! Kan pembahasan kita bukan itu tadi. Argh! Sial!" gerutu Daniel, menggaruk kesal belakang kepalanya lalu menjatuhkan punggung ke sofa. Ditunjuknya Alvin menggunakan dagu. "Noh, liat! Temen lo-lo pada gila ketawa-ketawa sendiri."Di sebelahnya Thomas memasang ekspresi sulit, sembari mengunyah bakwan di mulut ia bertanya, "Lha, Alvin pernah waras emangnyaㅡa
TAHU apa yang dilakukan Alvin ketika bertemu Jessica pukul 08:56 di lapangan Bina Bangsa?Tentu, pemuda kelinci tersebut bersikap sesuka hati sampai-sampai berani datang telat dan berujung dihukum bersama Jessica; lagi-lagi menghormat bendera dengan murid-murid lainnya. Lagi, Alvin seakan lupa atas perbuatan kurang ajarnya tempo hari dan Jessica harus rela tangannya berhenti mengayun tatkala sebuah pertanyaan dilemparkan kepadanya yang dibalut nada suara penasaran bukan kepalang dan seraut wajah serupa.“Lo punya pacar, Jes?”Ya Tuhan! Cobaan macam apalagi ini?!Gadis berponi tersebut memejamkan matanya, menurunkan tangan dan berusaha mengatur napas agar tidak meledakkan bom nuklir di sini. Perasaannya makin jengkel saat ia meniup poninya kasar. Jessica bahkan tidak punya kalimat baru lagi untuk memaki Alvin lantaran semua kosa kata dalam kamus sudah ia keluarkan semua.Pertanyaan ada satu, jadi Jessica dulunya betulan pengkhianat negara, ya? Tolong jawab! Atau setidaknya berikan solu
“JADI… ” Pria yang menjabat sebagai kepala sekolah tersebut memejamkan mata erat bukan main sembari mengurut pelipisnya. Niat hati ingin mengusir denyutan pening di kepala namun menyadari betul bahwa gadis berponi di depannya tidak merasa bersalah sedikitpun. Pak Henry mulai panas. “ … kamu ngelakuin itu buat bales dendam?”Tolong katakan bahwa Pak Henry salah lihat saat Jessica tengah memberikan senyuman serta mengangguk penuh keyakinan sekarang?“Iya, Pak.”“Ini mainan?” tanya sang kepala sekolah dengan nada serak; nyaris mengalami trauma pada benda hitam di atas mejanya itu.Jessica lagi-lagi mengirim dua anggukan. “Benar s
DESISANkesakitan lolos dari keduanya belah bibirnya tatkala sepasang manik itu terbuka. Bagaikan dihantam gada, kepalanya pening bukan main. Tak ada yang bisa pemuda kelinci tersebut lakukan selain meringis ke sekian kalinya sembari mengurut pelipisnya yang makin berkedut tajam.Alvin berkedip beberapa kali guna mencerna, apa yang telah terjadi pada dirinya sampai-sampai ia berbaring di ranjang UKS begini? Satu detik kemudian ketika departemen ingatan melakukan reka ulang adegan sebelum dia tak sadarkan diri. Matanya melotot tak percaya sementara bibirnya sukses dibuat mengumpat tertahan guna memaki-maki dirinya dalam hati karena bisa-bisanya ia pingsan di tengah keramaian.Ck! Menyebalkan! Menjengkelkan!Dan Jessica pelaku utamanya! Ck! Sial! Sial
KAKI-KAKIramping itu mengayun ringan sedangkan kedua telapak tangan bertumpu pada pembatas atap. Tolong jangan mempermasalahkan Jessica yang duduk di atas sana sementara jarak dia dari tanah adalah 13 meter. Tolong juga jangan khawatir. Kegiatan semacam itu acapkali dilakukan ketika kepalanya terlalu berisik dan benang kusut di dalam tak kunjung bisa ia luruskan. Satu-satunya yang bisa gadis berponi itu lakukan adalah duduk di sana. Membiarkan semilir angin mengusap setiap inci kulit hanya untuk bersikeras mengais sebuah afeksi tentram pada semesta.Dari gedung utama ini seluruh penjuru Bina Bangsa bisa di nikmati lantaran merupakan bangunan tertinggi. Di barat, beberapa anak memilih tinggal dan bermain basket. Atau banyak yang menyusup ke gelanggang renang untuk mencuriwi-fiyang memang cukup kencang di sana.Well,sak