"Say, lo mau jadi pacar gue nggak? Kalau nggak mau ya udah, gue aja yang jadi pacar lo."Bagi Danish tawuran adalah hiburan. Tidak perlu balok kayu, pedang panjang atau senjata ramah lingkungan untuk menaklukan lawan, sebotol sunblock bisa diandalkan untuk menghadapi sekolah musuh. Sebab panas matahari bisa membakar kulit dan pukulan balok di tubuh tidak lebih menyeramkan dibanding ancaman kanker. Lagipula glowing butuh usaha dan wajah gantengnya harus dijaga.Danish akan menghadapi mereka dengan tangan kosong, kecuali kepepet boleh ambil balok. Namun dia jatuh hati pada seorang gadis anak perwira TNI. Tentu saja itu sebuah tantangan bagi siswa badung yang gemar tawuran. Apakah gadis itu akan berhasil Danish dapatkan?
View MoreDanish membuka kaca mobil dan menjulurkan sedikit tangannya keluar, merasakan panas matahari yang sengit membakar kulit, kemudian buru-buru menarik tangan dengan kulit suci itu dan menutup rapat jendelanya kembali.
“Bener-bener neraka bocor ke Jakarta,” dumelnya sembari merogoh-rogoh produk perawatan kulit, ada yang dikemas dalam botol dan beberapa lagi berbentuk tube. Danish membaca labelnya satu persatu.
Ada banyak jenis merek krim pelindung matahari yang dia koleksi, semua mempunyai fungsi dan kegunaannya tersendiri. Ada plus dan minusnya. Mulai dari yang berbentuk krim seperti pasta, encer seperti air, kental seperti sperma dan lengket seperti lotion. Danish mengelompokkannya dalam beberapa jenis. Dan berhubung hari ini panasnya bukan main, mungkin mirip dengan panas di Arab atau Mesir, Danish memilih salah satu produk yang dikirimkan kakak kandungnya dari Qatar.
Fotoprotector ISDIN dengan kandungan SPF 50+ berbentuk lotion cepat meresap ke dalam kulit—meski dia harus menerima umpatan dari salah satu sahabatnya nanti, berhubung mulutnya agak bocor, karena produk itu membuatnya terlihat seperti donat gula, atau buah kesemek.
Danish bersiul ringan sambil mengoleskan benda cair agak kental itu ke seluruh tubuh hingga wajahnya—wajah yang terpenting, itu adalah aset bumi dan langit, dan melirik sekilas orang yang duduk di sebelah kanan, yang hobinya diam saja seperti manekin pajangan di pasar Tanah Abang.
“Nish, lo denger nggak?” tanyanya dengan mata segaris.
Aryandra Yasa, butuh keajaiban untuk membuatnya buka suara, teman Danish sejak era masih sama-sama memakai popok hingga mimpi basah dan bertahan hingga saat ini.
“Iya.” Danish menjawab setelah menyelesaikan ritual sesi pertama.
Patung hidup di hadapannya itu berdecak kecil, seolah tidak meyakini jawaban yang dilontarkan Danish barusan. “Coba ulang gimana strateginya?”
Danish termenung untuk beberapa detik pertama, masih dengan tangan memegangi botol sunblock, sedikit informasi, Danish dan kemampuan berpikir juga mengingatnya sangat tidak bisa diandalkan. Gara-gara terlalu fokus pada produk perawatan kulit, semua strategi perang dan cara mereka untuk kabur dari medan tempur menguap dari kepala.
Pemuda pecinta perawatan tubuh itu mengerjap beberapa kali dan menatap Aryan bolak-balik dengan botol krim pelindung matahari yang tengah dipegangnya saat ini, lalu meringis.
“Boleh ulang sekali lagi, Yan?”
“Si tai!”
Aryan mengumpatnya. Manusia irit bicara yang hobinya menyembunyikan seluruh tubuh itu keluar dan membanting pintu mobil sambil menepuk dada ketika satu orang yang lain, sudah di luar sejak tadi, memberikan isyarat padanya untuk absen muka. Dua teman Danish itu sepertinya sedang berbalas pantun dengan para berandal yang berjejal di hadapan mereka sekarang.
Sementara menunggu teman-temannya melakukan negosiasi dengan tim lawan, Danish cepat-cepat menyelesaikan ritual lainnya, menggulung celana panjang hingga ke paha dan mengoles sunblock merata hingga ke tempat terdalam. Dia sangat meyakini bahwa panas matahari sanggup membakar kulitnya yang hanya dilapis kain katun ini.
Danish mendengar suara siulan tiga kali, yang tandanya pertarungan akan segera dimulai dan dia harus bersiap keluar dari mobil sekarang sembari membereskan peralatan ritualnya.
“Eh, bangsat, lo masih di situ? Lama banget, keburu udahan, woy!”
“Si boncel kampret,” umpat Danish pelan yang dia yakini tidak akan didengar oleh seseorang di luar sana karena orang itu baru saja membuatnya kaget hingga botol sunblock yang Danish pegang jatuh ke bawah jok. “Sabar,” ucapnya sambil keluar dari mobil dan merasakan aura peperangan sudah sangat pekat di udara.
Danish sangat menyukai suasananya. “Aset gue perlu dilindungi, safety comes first,” ujarnya sambil membelai kulit wajahnya yang pasti sudah aman terlindungi kali ini.
“Pakai kondom aja lo sekalian, biar aman!” Angga—si boncel tadi, temannya, sama dengan si patung hidup, mengomel.
Ya, maksudnya bukan pengaman yang itu, kan? Apa jadinya jika seorang pemimpin tawuran pakai kondom di sekujur badan? Angga kadang memang ada-ada saja.
Danish tersenyum sekilas pada dua temannya yang berdiri penuh gaya di sisi kiri mobil, Aryan membalas dingin dan Angga menyunggingkan senyuman miring sambil menikmati kudapan favoritnya—Nabati SIP rasa keju dengan bungkus berwana kuning.
Lalu Danish mengepalkan tangan di udara dan berlari kencang menembus kerumunan yang riuh oleh teriakan penuh semangat peperangan. “Mana Agung?!” tanyanya pada salah satu anak buah Konoha yang ada di dekatnya sambil sibuk menghalau pukulan balok kayu yang bertubi-tubi mencoba untuk mengenai tubuhnya.
Dia mengayunkan pukulan seringan bulu yang mampu membuat lawannya terjengkang jatuh, sebagai penganut aliran karate Kyoksukin, Danish melancarkan pukulan dan tendangan ke arah lawan tanpa ampun. Lalu berlari lagi di tengah kerumunan untuk mencari target yang sesungguhnya—Agung, pemimpin pasukan SMK Zamrad yang sudah berani-beraninya mengeroyok Oliver, salah satu anggota Konoha yang paling berjasa.
“Woy, banci!” teriaknya ketika melihat sosok dekil dengan deretan gigi menonjol itu tengah melakukan baku hantam dengan beberapa anak Konoha yang mengerubunginya.
Danish kesulitan untuk mencapai Agung, banyak kuman di jalanan yang terlebih dahulu harus ia kibaskan. Tangannya tetap terkepal sebagai bentuk pertahanan siaga, secara mendadak Danish melakukan spinning backfist saat merasakan seseorang datang dari arah belakang, dan kakinya bergerak memutar ke arah lain memakai teknik dwi hurigi, melompat memutar membentuk gesture seperti mengait untuk menyerang ke arah leher lawan.
Dan kembali berlari membelah kerumunan dengan tinju serta kaki yang bergerak semena-mena, mengenai kaki, perut dan bawah perut, leher, punggung hingga kepala lawan-lawan kecilnya. Danish dilahirkan untuk jadi petarung ulung, bertarung dengan tangan kosong adalah nama tengahnya dan dia menyukai julukan itu. Tidak peduli lawan-lawannya datang dengan persenjataan ramah lingkungan, Danish lebih mengandalkan kedua tangan dan kakinya sebagai aset yang utuh.
“Setan!” umpatnya ketika merasakan pukulan balok kayu di belakang tubuh. Danish berbalik, melayangkan tinju bertubi dan dengan kepekaan berlebih segera menyimpan fokus tenaga di kedua kaki sambil berputar ke arah yang lain, melayangkan tendangan tornado dan langsung membuat lawannya terjengkang jauh.
“Banci-banci emang doyannya main belakang, ya.” Pemuda itu mengibaskan debu yang sedikit menempel di lengan baju dan kembali melayangkan tinju tanpa ampun ke segala penjuru.
Danish terengah, tapi merasakan kepuasan yang tidak bisa didapatkannya dari hal lain ketika melakukan kegiatan ini. Langkahnya semakin mantap mendekati pimpinan lawan dan segera mengambil kuda-kuda cepat untuk melompat hingga kakinya mengenai tubuh Agung yang dipenuhi kerumunan. Semua anak Konoha di sana menyingkir, memberinya jalan, Agung adalah miliknya.
“Buset, ini mau ngajak berantem apa ngelenong? Bedak lo medok amat kayak doger monyet perempatan.”
“Berisik!”
Danish segera melayangkan pukulan sekaligus tendangan bertubi, menyatukan teknik Muay thai dan taekwondo yang sudah lama dia pelajari, menyerang Agung yang masih sempat-sempatnya menyombongkan diri di hadapannya saat ini. Pemuda hitam dekil itu terjengkang jatuh dan Danish melompat ke depan untuk menahan tubuhnya, memegangi kerah baju dan melancarkan serangan lebih lanjut.
“Sial,” umpatnya kasar ketika punggung tangan dan tulangnya nyeri karena mengenai gigi Agung yang ingin selalu eksis dalam kondisi apa saja. “Jigong lo bau, setan!”
Danish bangkit dan mengayunkan kakinya sampai Agung berguling dan meringis kesakitan. Sepertinya cukup, Agung tidak bisa bangun hingga kawanannya datang memberi pertolongan. Danish sengaja memberikan service istimewa kepadanya karena, Agung membawa empat orang anak buahnya dan mengepung Oliver lalu menyerempetnya dengan motor jam 5 pagi tadi.
Dan Oliv—begitu mereka memanggilnya, adalah anggota Konoha paling loyal yang pernah Danish temui. Oliv selalu berada di garda terdepan bersamanya, memecah kerumunan, berani berdarah, meski kemampuan beladirinya belum seberapa hebat. Dia merasa harus bertanggung jawab atas Oliv dan membalaskan dendamnya. Danish berdiri di tengah medan peperangan, tangannya di pinggang dan memutar leher untuk relaksasi sejenak.
Pandangannya menyapu keadaan sekitar, Konoha hampir aman, musuh mulai tumbang dan hanya bersisa kurang dan setengahnya saja. Harusnya, mereka mundur sekarang karena Agung—pemimpinnya sudah tumbang hanya dengan beberapa kali pukulan ringan.
“Danish!”
Terlambat, Danish hanya sempat menangkis pukulan balok itu agar tidak mengenai tengkorak kepalanya namun berhasil memukul keras tangan yang ia jadikan perisai. Sementara ujung balok yang membentuk sudut runcing mengenai pipi mulus bening bercahaya miliknya dan menyebabkan rasa perih juga beberapa titik darah yang merembes mengenai jari-jari tangan ketika dia memeriksa keadaan.
“BANGSAT!” umpatnya keras lalu memungut balok dengan sebelah tangan sedangkan tangan lain memegang batu sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Danish mengunci tatapannya pada target yang melukai kulit mulus beningnya barusan, berlari membabi buta tak peduli teriakan menggema bersahut-sahutan memanggil-manggil namanya. Dia mengayunkan balok dan memukul siapa pun yang menghalanginya dengan batu besar di tangan. Danish kesurupan. Selalu begitu ketika tahu bahwa ada bagian kulitnya yang terluka. Dia tidak terima.
“Danish!”
“Nish, udah!”
“Danish, udah woy!”
“Hokage, itu Danish di sana!”
Bahkan saat ini geng Konoha justru membelot untuk menahan serangan yang akan dia lancarkan pada si pembuat luka di pipinya. Mereka menahannya, sedangkan sasaran target Danish meneriakkan kata ampun sejak tadi, meskipun Danish tentu akan mengabaikannya.
“Awas!” teriaknya seperti orang kesetanan, napasnya terengah. Danish sungguh-sungguh marah. “Awas atau gue hajar kalian semua!” Dia mengulang, masih dengan amarah yang sama.
“Jangan, Nish! Mati anak orang!”
“Ntar lo di penjara!”
“Peduli setan!” umpatnya kencang. “AWAS!”
Danish kembali akan mengayunkan tongkat balok di tangannya ketika tiba-tiba saja ada tepukan pelan di pipinya yang terluka, Angga datang dengan plester di tangan. Danish buru-buru menghalau dan menolaknya, luka di wajah adalah masalah besar, dia tidak akan membiarkan si pembuat luka itu lepas dengan mudah dan hidup tenang.
“Setan, lo diem dulu!”
“Bangke!” Danish hampir terjengkang saat tangan Angga melingkari lehernya dan membawa posisi tubuh mereka sejajar berhubung Angga dan tinggi badannya yang menyedihkan itu tidak bisa diajak kerjasama bahkan saat Danish sibuk bertarung. Dia harusnya diam saja seperti biasa dan mengawasi keadaan sambil makan Nabati SIP keju yang begitu dia suka.
“Nih, udah aman. Udah ganteng lagi lo sekarang,” ucapnya disertai senyuman ringan setelah menempel plester di wajah Danish dengan sempurna.
“Gambar apa nih plesternya?” Danish—sempat-sempatnya bertanya. Dia mengusap luka yang kini sudah tertutup itu, pilihan terbaik memang, daripada lukanya kemasukan debu dan kotoran lalu dia infeksi dan sesuatu yang buruk harus menimpa wajahnya yang maha suci ini.
“Gambar lope, biar soswit kayak kita berdua.” Angga tertawa. “Udah, ah nggak usah baper lo! Buang tuh balok, malu-maluin aja,” kata Angga terakhir kali setelah menepuk pelan pipinya dan bertingkah sangat so sweet yang entah kenapa selalu bisa membuat Danish luluh begitu saja.
Dia segera membuang persenjataan yang ada di tangannya sekarang, lalu anak-anak Konoha yang menghadangnya mulai berpencar kembali, tidak lagi bermaksud menghalangi. Danish tersenyum miring, ingat betul siapa yang melukainya dan menyingsingkan lengan baju untuk kembali mengejar orang itu.
“Mata dibalas mata!” teriaknya disertai sorak sorai gemuruh para anggota peperangan yang semakin terbakar semangat melihat musuh mulai berjatuhan dan diperkirakan beberapa detik kemudian akan mundur teratur meninggalkan arena tawuran.
Namun tawa dan sorak kemenangan yang bergaung itu tidak berlangsung lama, alarm dalam kepala Danish menyala ketika suara klakson sedan mewah Aryan sayup-sayup terdengar di antara kerumunan yang mulai ricuh dan sibuk menyelamatkan diri tanpa memandang pasukan. Danish berlari memutar arah, dia ingat Jalur yang harus dilaluinya untuk keluar dari arena tawuran dan Aryan sudah menunggu di titik jemput untuk jadi penyelamatnya—seperti biasa.
“Amankan diri, cepat lari dan sembunyi!” teriak Danish terakhir kali sebelum dia menyelip ke sela-sela bangunan dan ruko di kawasan itu untuk mencari jalan pintas demi menemui Aryan yang sudah menunggunya.
Klakson mobil Aryan kembali terdengar untuk menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Dia melihat Angga berlarian dari arah lain dengan kaki tidak seberapa panjang dan berniat untuk membopong sahabatnya itu—kalau boleh. Tapi sembilan detik berikutnya mereka berhasil mengamankan diri ditandai dengan bunyi pintu mobil yang berdebum dan deru mesin yang melaju kencang dalam kemudi Aryan.
Mendadak, patung hidup itu bisa jadi pembalap ulung di saat-saat terdesak seperti sekarang. “Kita ke markas, harus cek keadaan anak-anak gimana,” ucap Angga kemudian.
Mereka harus selamat, ah, bukan. Mereka semua pasti selamat. Danish meyakininya.
ªªª
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments