“Nggak semudah itu, Ferguso,” jawabnya setelah menghabiskan dua porsi es krim dan waffle padahal tadi seingat Danish gadis itu bilang bahwa dia sudah makan. Apakah waffle bukan makanan? Pencuci mulut saja?
“Terus? Gue harus gimana biar kita bisa pacaran?”
Sayna tampak memikirkan sesuatu, dan Danish penasaran dengan pemikiran gadis itu. Mengejutkan sekali hari ini, tiba-tiba saja Danish mengutakan perasaannya secepat dia menyadari perasaan itu beberapa hari yang lalu. “Gue nggak mau lo ikut tawuran, ngumpul sama anak geng—”
“Oke.” Danish memotongnya cepat. Semudah itu memang, asal demi Sayna, hanya Sayna, karena Sayna. Lagipula dia tahu bahwa hal-hal yang Sayna larang memang tidak baik.
“Dan nggak ikut remedial terus,” sambungnya lagi, yang justru membuat Danish terperangah.
“Gimana caranya gue nggak ikut remedial kalau nilai gue nggak cukup? Nggak lulus KKM?” Dia kebingungan.
“Ya, belajar yang bener, Danish.” Sayna manyun, mungkin ini sepele untuk anak-anak pintar, tapi bagi Danish ini tidak sesederhana itu. “Lagian apa bagusnya coba imej bintang kelas remedial? Harusnya lo malu punya predikat kayak gitu.”
Memangnya Danish yang menjuluki dirinya sendiri seperti itu? Tidak, kan? “Karena ngejar imej bintang kelas anak pinter susah, Say. Apa salahnya kan gue jadi bintang kelas remedial?”
“Nggak salah, tapi ya, nggak bagus juga.”
Danish mengernyit. “Kenapa nggak bagus?” tanyanya bingung. “Remedial itu kayak kesempatan kedua, kesempatan buat memperbaiki kesalahan kita di ujian dan soal pertama. Kenapa jadi lebih baik dan jadi bintang pas remedial itu nggak bagus? Gue lulus ujian, Say. Dengan hasil kerja keras gue sendiri, meski gue harus ngulang dua kali.”
Apa seburuk itu? Apa buruk memberi seseorang kesempatan untuk memperbaiki diri dan justru dia sungguh-sungguh saat kesempatan itu diberikan kepadanya hingga mendapat hasil yang memuaskan? Hasil yang sempurna? Danish memang butuh belajar lebih keras, dua kali lipat lebih giat jika ingin benar-benar mengerti. Maka dari itu dia selalu berhasil mendapat nilai terbaik saat remedial, walaupun yang tertera di lembar laporan adalah nilai standar. Yang penting Danish mengerti, kan? Apa sih artinya sebuah angka kalau dia tidak benar-benar paham?
Sayna menggeleng setelah sekian lama waktu bergerak dan tidak ada kata bergaung di antara mereka berdua. “Gue... pengen yang normal aja.”
Seperti ada yang menyentil dada Danish saat mendengar Sayna mengatakan hal barusan. Jadi selama ini, dia memang tidak terlihat normal di mata gadis yang dia sukai. Danish mengangguk paham, dia tahu tidak semua orang memandang dari sudut yang sama dengannya, dia paham pemikirannya tidak bisa dipaksakan pada Sayna, dia mengerti kenapa Sayna menginginkan hal tersebut.
“Oke, bantu gue belajar kalau gitu.”
“Nyokap lo banyak duit, Nish. Lo bisa bayar bimbel mahal atau apa kek, datangin guru les privat ke rumah.”
Sayna tidak paham, bagi Melia—ibu kandung Danish, ini semua baik-baik saja. Beliau tidak pernah protes ataupun menuntutnya macam-macam. Asal Danish jadi anak baik—di luar suka tawuran, dia aman, asal tidak ketahuan.
“Nggak mau.” Danish menggeleng. “Gue maunya belajar sama lo, bukannya lo suka belajar bareng gitu, ya? Sama anak-anak sekolah lain? Sharing atau apalah itu. Gue mau ikutan.”
Sayna bergidik, tampak tidak setuju dan langsung mendorong kursinya jauh untuk berdiri menuju kasir. Pasti dia akan membayar dua es krim waffle yang dia makan tadi. Tidak tahu kalau Danish sudah membayarnya diam-diam duluan.
“Nish,” panggilnya. Gadis itu kembali setelah sempat bicara sebentar di depan kasir. “Gue punya duit, jangan suka bayar-bayarin gue makan tanpa izin kayak gitu.”
Tadinya Danish ingin membantah, tapi begitu dia sadar bahwa gadis di hadapannya ini adalah Sayna, dia urung. Danish langsung mengangguk setuju. “Lain kali gue nggak gitu.”
“Lain kali kalau kita belajar bareng di kafe atau apa, kita patungan buat bayar makan sama sewa room.”
“Kita nge-room?” Otak korslet Danish bisa langsung jenius kalau membahas hal seperti ini.
“Iya.” Sayna mengangguk. “Gue tahu tempat yang bisa disewa buat belajar dan bisa pesen makan juga.”
Oh, sewa tempat untuk belajar. Danish kira tadi apa, dadanya sudah berdesir tak keruan. Tapi omong-omong... “Ini maksudnya... lo setuju bakal belajar bareng gue?” Danish tak kuasa menahan senyum. “Maksudnya, ngajarin gue gitu?”
Sayna mengangguk. Semudah itu.
Danish semringah, pasti wajahnya sudah merah.
“Iya, yuk ah pulang. Udah sore, ntar kemaleman nyampe rumah,” ajaknya sambil lalu dan membuka pintu kafe untuk keluar.
Danish bangkit dengan terburu-buru, senyumnya masih setia bertengger, pipinya mulai pegal, mungkin nanti Danish akan minum jamu pegal linu milik ibunya setelah sampai di rumah. Semuanya gara-gara Sayna.
“Say,” panggil Danish ketika mereka sudah sampai di luar. “Kenapa setuju ngajarin gue?”
Gadis pujaannya itu menoleh, tampak cantik dengan riasan wajah sederhana. Sayna selalu cantik tanpa perlu banyak usaha. “Gue harus ikut berkontribusi dong buat mencerdaskan calon pacar.”
Calon pacar? Calon pacar katanya?!
Danish pasti sudah gila sekarang, dia menahan jeritan hingga Sayna di sebelahnya tertawa pelan. Kenapa jadi terbalik begini, ya? Siapa yang membuat hati siapa berbunga-bunga? Bukankah itu biasanya dilakukan seorang laki-laki pada gadisnya?
“Gih, sana pulang. Hati-hati di jalan, sampai rumah kabarin gue.”
Lho? Apa lagi ini? Kenapa Sayna seperti angin sih? Tiba-tiba menaikkannya tinggi karena Danish adalah daun yang gugur dari dahan, lalu sedetik kemudian berubah haluan dan menjatuhkannya hingga tersungkur seperti sekarang.
“Kok... nggak bareng gue?” tanya Danish, menumpahkan keheranan yang terlintas di kepalanya. “Oh, itu ya. Gara-gara keranjang laundry. Nggak apa-apa gue bisa titip dulu di sini, ntar gue antar lo terus balik buat ambil lagi ke sini.”
“Nggak usah.” Sayna terkekeh. “Nanti lo capek.”
“Nggak, Say—”
“Bukan gara-gara itu, kok.” Sayna memotongnya cepat. “Meskipun keranjang lo itu nggak ada, gue nggak akan pulang bareng lo.”
“Kenapa?” Danish memasang tampang ala anak anjing andalannya. Berharap Sayna bermurah hati kali ini.
Gadis itu mengendikkan bahu. “Gue... jadi cewek ke berapa yang duduk di jok belakang si Jalu, Nish?”
Oh, jadi gara-gara itu.
***
Sayna menyukainya, itu adalah hal yang pertama kali Danish yakini melihat respons gadis itu ketika ia menyatakan perasaannya kemarin. Tapi aneh juga, kenapa seseorang yang menyukai orang lain bisa bersikap seperti itu? Seperti Sayna kepadanya selama ini? Dia bahkan hanya ramah di saat tertentu. Sayna tidak seperti anak-anak perempuan lain yang terang-terangan bilang menyukainya. Danish kira, Sayna bahkan membencinya.
“Dih, Danish. Gue nitip es krim cokelat malah dibeliin yang vanila. Ngelamun aja lo!” Suara Hamam membuat Danish terperanjat.
Oh, jadi sejak tadi Danish senyam-senyum di sepanjang koridor menuju kelas setelah dari koperasi sekolah? Dan sepanjang perjalanannya itu dia terus memikirkan Sayna tanpa henti. Seperti orang kasmaran saja.
“Nish!” Hamam meneriakinya sekali lagi. “Mana nih es krim cokelat pesenan gue? Lo janji ya traktir kalau gue ngasih contekan pidato.”
“Tenang.” Danish tersenyum iseng seraya membuka salah satu sekat kecil di tas sekolahnya, kemudian mengeluarkan kacamata hitam anti sinar UV dari sana. “Pake ini coba.”
Dia menyerahkan kacamata itu pada Hamam, dan dengan begitu Hamam menurutinya segera, sementara Danish membuka kemasan es krim vanilla yang sejak tadi dia pegang.
“Gimana? Jadi cokelat, kan?” Danish menyodorkan es krim putih itu ke hadapan wajah Hamam yang tengah mengenakan kacamata hitam.
“Wah, iya! Jadi cokelat. Hahaha. Makasih, Nish!”
Danish tertawa sambil menepuk dada dan menyerahkan es krim itu pada Hamam, disambut tawa beberapa anak di kelas yang melihat tingkah mereka berdua.
“Penipuan lo mah!” Arvin berteriak dari sudut lain. “Mam, ntar kalo gedenya si Danish jadi kang dagang lo mending nggak usah beli deh, ditipu mulu kasian.”
“Eh, gue nggak nipu, ya.” Danish membela diri. “Si kunyuk minta es krim cokelat, bukan es krim rasa cokelat. Noh, lihat dia nggak masalah makan es krim vanila pake kacamata asal di mata dia es krimnya jadi warna cokelat.”
Tawa di kelas itu mengalun lagi, diam-diam, Danish melirik Sayna yang bisa dibilang jarang menibrung obrolan tidak berfaedah di kelas mereka. Gadis itu sibuk dengan novel barunya, setelah dua jam pelajaran tadi mereka habiskan untuk tes lisan Bahasa Indonesia.
“Nish, gue pulang bareng lo, ya.” Seorang gadis muncul, menyerobot tempat duduk Danish dan duduk di kursinya.
“Ini masih jam istirahat pertama, Jenab. Main booking pulang aja.”
“Dih, gue nggak mau keduluan sama yang lain,” kata gadis itu dan Danish berhasil membaca label nama di bagian dada kiri seragamnya. Oh, Lianka. Jadi yang ini toh yang namanya Lianka.
“Nggak ya, mohon maaf gue sekarang nggak bisa di-booking lagi soalnya gue bakal punya cewek sendiri. Ntar cewek gue marah dong.”
“Hah? Mau punya cewek?”
Lianka mengeraskan suara, yang tentu jadi pancingan gadis-gadis lain di kelas mereka. Mendadak, tempat duduk Danish jadi dikerubungi oleh anak-anak perempuan. Dan Danish kesulitan mengintip ke arah tempat duduk Sayna, takut kalau gadis itu berpikir macam-macam tentangnya.
“Siapa yang mau punya cewek?”
“Nggak seru lo, Nish! Lo itu pemuda ganteng, pemuda ganteng itu milik bersama, nggak boleh ada ceweknya.”
Danish melongo, tiba-tiba saja jadi kikuk sendiri. Dan kenapa telinga mereka mendadak tajam saat Danish iseng mengumumkan status barunya sekarang? Bahwa dia tidak bersedia ditempeli lagi. Diam-diam Danish memanjangkan leher, pura-pura menggeliat, dan melirik Sayna yang ternyata tengah menatap ke arahnya. Mampus. Danish sedang bunuh diri.
“Nish, lo nggak kasihan sama calon cewek lo nanti?” tanya salah satu dari mereka, Danish tidak ingat namanya ya Tuhan... kenapa harus ada banyak nama di dunia ini?
“Kasihan kenapa?” tanya Danish polos. Di sebelahnya Hamam sibuk menjilati es krim dan masih mengenakan kacamata hitam. Tidak paham kalau Danish sedang butuh bantuan.
“Kasihan ya, fans lo itu banyak! Apalagi anak-anak kelas 1, belum anak kelas 3. Kalau cewek lo dibuli gimana? Dikurung di toilet, terus disiksa gitu.”
“Kenapa dia harus digituin?” Danish kebingungan.
“Aduh, si kampret. Untung ganteng.” Lianka menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala.
“Bukan anak sini, kan?” tanya yang lainnya. Berambut pendek dengan alis mata yang cetar seperti Dora.
“Ya, jelas anak sini kalau dia takut boncengin cewek pulang biar nggak diamuk sama ceweknya.”
“Oh, iya bener juga.”
“Tapi kira-kira siapa, ya?” tanya Cacha sambil menopang dagunya dengan sebelah tangan. Akhirnya Danish ingat nama anak perempuan dengan rambut sebahu dan lesung pipi di sebelah kiri itu.
“Kalian semua...” Danish menjeda sambil menatap mereka dengan hati-hati. “Nggak akan gangguin dan seret dia ke toilet, kan?”
Liankan berdeham, lalu mengibaskan tangan. “Nggak kok, tenang aja.”
“Kasih tahu, Nish. Biar jaga-jaga nih kita semua,” ujar si rambut pendek alis Dora. Tapi Danish peka karena menangkap kejahatan terselubung di matanya.
“Maksudnya gini, kalau pun kalian seret dia ke toilet, gue nggak khawatir dia yang bonyok, justru lo semua yang babak belur.”
“Hah?” Cacha terperangah.
“Parah nih Danish, lo pacaran sama cowok?” Nana ikut buka suara.
“Lo homo?”
“Lo pacaran sama anak geng itu, ya?”
“Ih, diem dulu!” Danish menghentikan mereka semua. “Dia jago beladiri, jadi nggak mungkin bisa kalian buli.”
“Jago beladiri?” Lianka menggumamkan, disusul dengan gerakan kepala dari anak perempuan lainnya dan tentu saja ini sudah jadi rahasia umum. Bahwa gadis jago beladiri di sekolah ini tidak banyak, dan salah satunya bahkan ada di kelas mereka.
“Say...na?”
Dan hari patah hati nasional season 2 pun dimulai.
Hari ini Danish tidak membawa si Jalu ke sekolah, dia diantar ibunya pagi-pagi dengan Mercy yang jarang dia naiki, lalu berencana pulang dengan Sayna naik angkutan umum. Tapi sejak kerusuhan di kelas tadi, tentu saja gejolak dan lonjakan besar tidak dapat dihindari, Sayna langsung berubah. Dia tampak marah, beberapa anak bertanya dan Sayna tentu saja menampiknya. Dia terlihat keberatan dengan kabar yang berembus di kelas, dan mungkin akan menyebar di seantero sekolah tak lama lagi.Memang se-aib itu Danish baginya, padahal Danish sudah janji untuk tidak ikut tawuran dan belajar yang giat agar tidak remedial terus setelah ulangan maupun ujian.“Pergi lo,” usir Sayna kepadanya saat Danish berjalan tepat di belakang gadis itu menuju halte Transjakarta terdekat dari sekolah.“Gue nggak bawa motor, jadi mau naik bis.” Danish membela diri, dan tetap berjalan di belakangnya. “Kita satu jurusan kan, ya?” tanyanya kemudian, padahal Dan
Andai matahari mau minum paracetamol, mungkin cuaca tidak akan sepanas ini. Danish mengibas-ngibaskan kaus olahraga yang dipakainya, setelah mengoleskan sunblock tipis-tipis ke seluruh tubuh secara merata, dia menyusul teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruang cuci laki-laki. Hari ini adalah pelajaran olahraga, dan bukannya Danish tidak suka, hanya saja kegiatan outdoor seperti berolahraga bisa membuatnya terbakar matahari, dan dia keberatan.Kenapa mereka tidak olahraga di dalam gedung saja? Kenapa harus berlari memutari lapangan upacara? Kenapa harus—“Nish!” Danish terperanjat saat suara Hamam dari arah belakang mengejutkannya. Anak itu terlambat datang, dia bahkan baru keluar dari ruang ganti tanpa memakai kaus olahraga.“Kenapa lo telat?” tanya Danish kepadanya. Sebagian anak IPA 3 sudah berkerumun dekat lapangan, Sayna juga ada di sana, rambutnya dikuncir tinggi, dia memakai sepatu olahraga jenis yang sa
Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.“Nish, gue pulang bareng lo!”Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sem
Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya. “Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali. “Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet. “Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja. “Mau dipakai buat senjata tawuran
Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.Danish gila tiap melewati koridor itu.“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bi
Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. &l
Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da
“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.“Pelajaran apa ini?”“Biologi, Danish!”Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan t
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka