Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya.
“Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali.
“Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet.
“Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja.
“Mau dipakai buat senjata tawuran, Bu,” celetuk Ikrar sambil terkekeh.
Sayna mendelik jengkel. “Mau aku bagiin ke temen, Bu. Di rumah juga nggak ada yang makan selain ayah.”
“Ih, udah jangan!” Ibunda menarik paper bag itu dari tangannya buru-buru. “Udah kalau ayah nggak mau makan mah biar ibu jadiin campuran buat bikin puding atau setup roti kekinian itu. Jangan dibawa ke sekolah. Jangan dibagiin ke temennya.”
Alis Sayna nyaris bertaut. “Emang kenapa. Bu?”
“Kasihan temennya,” cicit sang ibu yang tentu saja membuat ledakan tawa menggelegar dari mulut adik semata wayang Sayna, Ikrar si usil tak ada lawan.
“Itu yang aku pikirin dari tadi, Bu.” Bocah laknat itu memulai. “Dosa apa teman si Teteh yang bakal kebagian roti ini? Kayaknya fatal banget, ya.”
Sepertinya dilempar adonan dough kemarin belum cukup, Ikrar harus dilempar kursi sekalian agar tidak selalu ikut campur.
“Mungkin di masa lalu temannya si Teteh pernah jadi pembunuh bayaran.”
“Mungkin.” Ibunda mengangguk-angguk dengan sebelah tangan memegang dagu. “Malang nian nasib anak itu.”
Sayna murka, rasanya tidak semalang itu juga nasib penerima roti-roti buatannya ini. Dia segera merampas paper bag dari tangan sang ibu lalu pergi setelah mengucapkan salam. Sabar, Sayna... jangan durhaka pada orangtua. Gadis itu menahan kesal sepanjang perjalanan menuju sekolah bersama sang ayah.
“Teteh tenang aja.” Suara ayahnya terdengar sayup-sayup di antara angin pagi dan bunyi kendaraan. “Kalau rotinya dikembalikan, biar ayah yang makan.” Sayna lupa kalau ada satu orang lagi yang pasti tidak akan ketinggalan jatah untuk menggodanya pagi ini. “Tapi, teh, kalau yang makan roti itu teman cowok dan dia merasa baik-baik aja. Perlu Teteh pertimbangkan.”
“Pertimbangkan apa?” Sayna menyahut.
“Pertimbangkan buat jadi pacar,” jawab sang ayah lembut. “Lumayan buat antar jemput dan bantuin ayah menghabiskan penderitaan itu di masa depan.”
Ya Tuhan... bahkan roti buatan tangan Sayna disebut dengan penderitaan. Kenapa dia harus hidup di sekeliling orang-orang ini? Sayna memijit pelipisnya tak habis pikir. Obrolannya dengan orang-orang serumah cukup menguras energi pagi ini.
“Say!” panggil suara itu, di pagi hari begini, bahkan saat ayah belum sepenuhnya menghilang dari depan gerbang sekolah. “Pagi, Sayna yang senyumnya selalu cerah secerah masa depan kita.”
Gadis itu tidak bisa untuk tidak tertawa walau matanya masih melirik-lirik dan berharap sang ayah tidak sedang memergokinya dengan Danish pagi ini.
“Lo datang pagian?”
“Demi bisa jalan bareng lo ke kelas.”
Sayna menaikkan alis, jawaban sejujur itu membuatnya merinding pagi-pagi begini.
“Ada yang mau gue tunjukin sama lo. Sini!” Danish menarik tangannya pelan dan mereka berjalan ke arah parkiran sepeda motor di sebelah kanan setelah pos satpam.
Pagi itu masih cukup sunyi, hanya beberapa kendaraan terparkir di sana dan udara belum sepanas biasanya. Danish berhenti di depan sepeda motor yang mereka beli dua hari lalu dan tersenyum bangga di hadapannya.
“Gue dikasih plat nomor sementara.” Pemuda itu menunjukkan plat berwarna putih dengan tulisan berwarna merah kepadanya. “Gue udah nggak sabar pengen pulang bareng lo, boncengan ke mana-mana berdua sama lo.” Dia tersenyum. Senyum yang menular ke bibir Sayna.
Senyum yang lucu, yang menggemaskan, karena mata Danish nyaris tertutup oleh lengkungan berbentuk sabit di wajahnya sekarang. Dan Sayna berdeham, dadanya terasa penuh, seperti ada tukang kebun yang sedang memekarkan bunga-bungaan di sana.
“Hai, Michiko. Aku Sayna.” Gadis itu melambaikan tangan pada Yamaha FreeGo di hadapannya.
“Salaman dong, salaman.”
Sejak berani dekat dengan Danish dan mencoba memberi pemuda itu kesempatan, Sayna sering terhipnotis tiba-tiba, sering melakukan hal impulsif bersamanya, dan seperti pagi ini, dia menurut begitu saja ketika Danish memberi tahunya untuk melakukan hal konyol. Setelah memberi nama untuk sepeda motor, sekarang juga dia harus bersalaman dengan motor itu.
“Tapi, Nish, biasanya kalau temen kita pake sepatu baru kan sepatunya diinjek. Kalau motor baru?” Danish melongo dan Sayna terkekeh. “Michiko belum dapat tendangan dari gue kayak si Jalu.” Kaki gadis itu melayang dan menyentuh ujung ban sepeda motor baru milik pemuda pujaannya.
“Ahhh... Sayna!” pekiknya kaget dan langsung berjongkok di hadapan motor itu sambil mengusap-usap ban yang baru saja disentuh ujung sepatu Sayna. “Maafin, ya? Mama kamu emang suka gitu.” Danish berbisik-bisik, tapi karena masih cukup senyap, Sayna tetap bisa mendengarnya.
“Siapa mama?”
“Lo lah, kan lo yang ngasih dia nama.”
Gadis itu juga menyentuh ujung bokong Danish dengan sepatunya. “Mama-mama pala lo! Terus lo siapa? Papanya gitu?”
“Ya, iya gue, kan gue yang beli. Atau lo mau siapa? Hamam jadi papanya Michiko?”
Sayna menarik tas pemuda itu dan membawanya berdiri. “Sembarangan!” omelnya kesal.
“Ih, udah bagus gue mau jadi papanya. Lo kalau jadi mama sendiri disangka janda lho, single parent, kayak nyokap gue.”
Danish cengengesan dan entah kenapa Sayna tidak bisa menanggapinya sama. Dia masih selalu sedih dengan kenyataan Danish tidak dibesarkan oleh orangtua utuh, Sayna masih terus memikirkan perkataan pemuda itu tempo hari, saat dia bercerita bahwa tidak pernah punya sosok ayah selama ini. Dan yang membuatnya terus-terusan terganggu adalah senyum pemuda itu, senyum di wajah Danish. Kenapa dia tidak sedih saat mengatakannya? Kenapa Danish... tidak merasa ada yang salah atau kurang?
“Dadah, Michiko. Sampai jumpa pulang sekolah, ya! Nanti pulang bareng mama papa.”
Plak! Sayna langsung menggeplak punggung Danish dari arah belakang dan pemuda itu mengaduh kesakitan. “Itu namanya KDRT! Lo sepagi ini udah nendang Michi, terus ngegeplak gue,” rengek Danish.
“Alah, pelan gitu. Cengeng amat kalian.” Danish manyun, tapi Sayna segera punya cara untuk membujuknya. “Gue bikin ini kemarin.” Gadis itu mengacungkan paper bag yang sejak tadi dia bawa.
“Wah...” Dan tepat seperti dugaannya, mata Danish berbinar lebar, semudah itu membujuk Danish, ya Tuhan...
“Buat gue?”
Sayna mengangguk-angguk dengan cengiran lebar, semoga saja Danish tidak curiga pada cengiran antagonisnya ini. “Mau makan sekarang? Cuci tangan dulu.” Gadis itu menyerahkan hand sanitizer yang selalu dia simpan dalam saku seragam.
“Iya, mau.” Danish menurut. Setelah membersihkan tangan, dia buru-buru membuka kantong cokelat dalam genggamannya tersebut lalu mengintip ke dalam, menghirup aroma butter yang seketika menyeruak saat kemasan itu dibuka. “Wah, wangi banget!”
Senyum Sayna semakin lebar, mungkin dia akan kelihatan seperti Joker tak lama lagi, karena menyunggingkan senyum dengan kejahatan terselubung di dalam dada. Danish mengambil satu buah roti dan menggigitnya sambil mengerutkan hidung—sebab roti itu keras, lalu mengunyahnya penuh semangat, seperti kuda lumping sedang makan beling.
Senyum Sayna berubah menjadi ringisan, ayah benar, roti buatannya cocok disebut sebagai roti penderitaan.
“Nish?” Sayna mengkhawatirkan keadaan pemuda itu, sebab dia menghabiskan satu roti dan berniat mengambil roti berikutnya. Padahal tadi Sayna jelas-jelas melihat Danish menelan rotinya susah payah.
“Makasih ya, Say.” Dia tersenyum. Dan senyumnya aneh, senyum itu tulus. Matanya tidak tampak keberatan menikmati roti-roti penderitaan yang Sayna bawakan. “Ini boleh buat gue semua, kan?”
“Hah?” Sayna mengerutkan dahinya bingung. Danish tidak salah? Apa ini yang disebut cinta itu buta, ya? Selain buta mata juga buta rasa. “Lo yakin nggak kenapa-napa?”
“Kenapa?” Pemuda itu mengunyah rotinya santai sambil berjalan bersisian. “Gue suka roti yang bisa dikunyah lama kayak gini, lebih seru aja gitu. Nyokap kalau bikin biasanya empuk, cepet habis.” Danish cengengesan.
Ini efek dia terlalu suka pada Sayna atau apa? Kenapa pemuda itu baik-baik saja saat makan roti penderitaan buatannya? Kenapa Danish tidak menyumpah serapah seperti Ikrar?
“Ini lo bikin sendiri?” tanyanya lagi, tidak memberikan Sayna kesempatan untuk berpikir lebih lama dan hanya mengangguk polos untuk menjawabnya. “Wih, hebat! Makasih banget pokoknya!”
Sayna jelas tahu, bukan hanya kali ini Danish diberi makanan buatan seorang gadis. Tapi melihat caranya berterima kasih dan berbincang, Sayna jelas senang. Ini berbeda dengan cara Danish berhadapan pada gadis-gadis lainnya.
“Gue mau tanya.”
“Apa?” Sayna sigap menjawab.
“Jadi, kapan lo sayang sama gue?”
Mata Sayna melebar, ditanya seperti itu pagi-pagi mana bisa otaknya berpikir dan memberi jawaban dengan benar. Dia hanya memasang reaksi aneh sementara Danish di sebelahnya tertawa senang.
“Curang banget deh lo, Say.”
“Curang apa?” Sayna mengerutkan alis, bertanya-tanya. Topik pembicaraan mereka berubah dengan cepat.
“Mentang-mentang cakep, bikin anak orang sayang sembarangan. Kayak gue gini,” katanya sambil menunjuk dada dan tertawa dengan pipi yang merona.
Danish jago sekali ya, membuat Sayna berbunga-bunga.
ªªª
Biologi adalah mata pelajaran yang paling membuat Danish ingin menyerah. Kata-kata aneh, hafalan-hafalan, istilah ilmiah, mungkin Danish bisa gila tidak lama lagi hanya karena membaca buku Biologi saja. Dan ketika pemuda itu merebahkan kepalanya tepat di atas meja dengan tangan menjulur ke depan, matanya bertatapan dengan Hamam, temannya itu juga tengah melakukan hal yang sama. Andai ini anime, pasti orang-orang akan menggambar mereka seperti sepasang kekasih sesama jenis yang tidak punya masa depan.
“Kenapa lo?” Danish lebih dulu membuka suara.
“Gue mending disuruh lari keliling lapangan sepuluh kali, ketimbang begini,” ujarnya pelan.
Danish mengangguk. “Wasting time banget.”
“Sesungguhnya wasting time hanyalah membuang waktu.”
“Setuju.”
Hamam mengerjap-ngerjap dan menaikkan kepala, seolah teringat sesuatu. “Gue harus minum yang seger-seger, lo mau nitip? Gue ke kopsis sama Arvin.”
Danish merogoh saku dan memberikan lembaran uang 5 ribuan pada pemuda itu. Paham bahwa Hamam sedang memberi kode halus untuk minta jatah jajan harian darinya. Dan Hamam seperti biasa menerimanya penuh sukacita, Danish tidak masalah selagi dia punya uang, dia akan membelanjakan teman-temannya sesering yang mereka ingin. Terutama Hamam, di kelas ini Hamam adalah teman sejatinya. Dan teman sejati itu seperti ingus, dia selalu hadir saat air mata datang bercuruan jatuh. Layaknya Hamam yang setia pada Danish tak peduli apa.
“Lo beli apa nih?” Hamam melebarkan lembaran-lembaran uang itu di hadapannya. “Bank Indonesia, lima ribu rupiah,” ucapnya keras-keras seperti sedang membacakan undang-undang.
“Gue mau—”
“Eh, lo tahu, nggak? Bank ini ngaku-ngaku doang,” potong Hamam yang membuat Danish mengurungkan niat untuk meneruskan kalimatnya.
“Ngaku-ngaku gimana?” Danish terpancing.
“Sebenarnya, yang melahirkan uang adalah Mpok Indonesia. Bank Indonesia cuma membuahi.”
Danish langsung terpingkal-pingkal mendengar banyolan temannya yang satu itu, beberapa orang anak di kelas juga ikut bergabung karena suara Hamam saat mengatakannya barusan cukup keras untuk didengar. Bahkan ketika Danish menolehkan kepala ke belakang tubuh, dia mendapati Sayna—mamanya Michiko tengah tersenyum, tidak biasanya. Sayna yang biasanya jarang berbaur.
“Sayna senyumnya cerah banget, kayak masa depan kita.” Danish menggodainya walau jarak mereka tidak terlalu dekat, dan sorak riuh anak-anak di kelas terdengar bergemuruh.
“Suram masa depan lo kalau remedial mulu bareng si Hamam,” jawabnya tak acuh.
“Eh, tapi kan—”
“Danish!” panggil seseorang dari arah pintu kelas yang membuat semua orang kompak melihat ke arah sana. Seorang siswa dari kelas lain terlihat mencari keberadaannya, Danish tidak tahu dia kelas berapa dan siapa namanya. Kenapa Danish harus berurusan dengan banyak manusia yang namanya saja tidak dia ketahui, ya Tuhan? Kenapa?
“Ada apa?” Danish bangkit mendekati anak itu dan berjalan ke arah pintu.
“Lo dipanggil sama Bang Randy, disuruh ke markas. Ada hal penting yang mau diomongin.”
“Randy?” Danish mengerutkan dahi. Tolong jangan salahkan dia karena ingatannya yang seperti ikan dori. “Randy Tanjung?”
“Iya.” Si pembawa berita itu mengangguk dan Danish menggaruk kepalanya gusar.
“Itu yang tadi mau gue omongin.” Hamam tiba-tiba ada di sebelahnya dan menepuk bahu Danish dari belakang. “Cuma gue lupa.”
“Apa?”
“Aryan tadi pagi bawa mobil, gue curiga mereka mau nyerang,” bisik Hamam.
Namun itu tidak mungkin. Tidak mungkin ada serangan tanpa melibatkan Danish untuk mengatur strategi perang. Jelas-jelas dia yang diandalkan turun ke lapangan, mana mungkin Aryan, Angga, Oliv, Anggun dan geng Konoha melewatkannya. Danish hanya beberapa hari tidak ke markas, dan sudah sejauh ini pergerakan yang dibuat tanpa melibatkannya?
“Nish, mau ke mana?” Danish terperanjat saat Sayna tiba-tiba juga ada di dekatnya, persis di belakang Hamam. “Kita ke kantin bareng, kan?” tanyanya dengan suara lembut tapi tatapan yang membuat Danish takut.
“Gu...gue dipanggil sama anak kelas 3 dulu,” ucap Danish gugup.
“Siapa?”
“Bang Randy. Randy Tanjung.”
Di SMA Nusantara Satu alias SMA Nyusu, mana ada anak yang tidak kenal pada pentolan sekolah itu. Berandalan super tidak manusiawi yang sangat dihindari oleh siswa mana pun, termasuk Danish dan anak Konoha yang lain.
“Siapa itu Randy? Kepala sekolah? Jadi bisa manggil-manggil lo seenaknya?”
“Say, gini—”
“Randy Tanjung itu masih jadi pimpinan atas geng Konoha sih, Say.” Hamam menyahut di tengah-tengah, dan Danish ingin menjahit mulut anak itu detik ini juga.
“Oh, si leluhur geng Kobang itu? Yang mukanya codet kena pisau cukur Buser, ya?” Sayna memiringkan bibir sambil mengatakannya dan melipat tangan di dada. “Lo udah janji ke gue, Nish.”
Danish mengangguk. “Iya, Say.”
“Gue pegang janji lo.”
“Janji?” Hamam yang berdiri di antara mereka kebingungan. “Eh, Say bentar deh, geng Kobang apaan?”
“Konoha bangsat,” ucapnya sambil lalu, meninggalkan Danish yang bimbang dan setengah mati kebingungan.
Jadi, dia harus memenuhi panggilan itu, atau tidak?
“Nish, berarti lo dikatain bangsat juga dong sama Sayna?”
Kenapa sih lelembut sebiji ini tidak berhenti bicara?
ªªª
Ternyata Danish tidak menyusulnya ke kantin, dia berbohong. Danish tidak menepati janji untuk tidak lagi bergaul dengan berandalan itu. Pemuda itu membohonginya terang-terangan di depan hidung. Dan membuat Sayna sangat tidak bernafsu untuk makan apa pun saat ini, padahal tadi di kelas dia lapar sekali.
“Udah, Say sama gue aja. Danish tuh omongannya nggak bisa dipegang.” Reno memecah hening di deretan meja panjang yang ditempati anak kelas 2 IPA 3. Masing-masing dari mereka sudah duduk berhadapan dengan hidangan ala kantin sekolah di depan tubuh.
Sayna dengan mie ayam tanpa mie, Tania dengan batagor favoritnya, Arvin, Hamam, Herdian, Reno, Rafid, Chaca, Nana, Nui, dan yang lain dengan makanan mereka. Meja ini ribut sekali, suasana kantin juga riuh, namun tanpa Danish rasanya semua ini terasa aneh. Beberapa hari ini belakangan Sayna terus bersamanya saat jam istirahat, antisipasi andai pemuda itu diculik oleh teman gengnya dari kelas sebelah.
“Apa sih yang istimewa dari Danish, Say? Selain dia ganteng lah.” Reno kembali buka suara dan langsung menerima geplakan kepala dari Arvin yang duduk di sebelahnya.
“Perlu gue jelasin, ha?” tanya pemuda itu pada sang teman. “Danish itu anak orang kaya, baik, suka traktir kita-kita, jago beladiri, nggak kere kayak lo!”
“Danish juga nggak songong.” Hamam menambahkan, sebagai salah satu orang yang paling dekat dengan Danish di kelas mereka.
Dan Sayna termenung mendengar semua penuturan teman-temannya, tentang Danish tentu saja. Dengan melupakan fakta bahwa dia punya wajah yang menawan, kelebihan Danish yang lainnya sangat bisa diperhitungkan. Ibu dan ayah pasti tidak keberatan kalau Sayna punya pacar seperti Danish. Asal dia berhenti tawuran dan gabung dengan geng sekolah itu, ya Tuhan... hanya itu. Imej itu akan sulit sekali diterima oleh orangtuanya, terutama ayah.
“Apa yang istimewa dari Danish?”
“Nggak ada.” Ucapan Sayna itu berhasil membuat semua kepala yang mengisi meja itu terangkat untuk menatapnya. “Tapi nggak ada yang istimewa tanpa dia.”
Dehaman tertahan dan suara cie yang tidak berani keluar berdesas-desus dari tiap anak yang mendengarnya. Kalau ada Danish, mereka berani berteriak karena Danish anak yang supel dan ramah. Tapi pada Sayna, jangan harap mereka bisa melakukannya.
“Dan lo masih gantungin dia kayak gini, Say?” Suara seorang gadis tiba-tiba menyahut, yang Sayna kenali sebagai ketua tim cheerleader sekolah, dan katanya menempati urutan kedua gadis paling cantik se-SMA Nyusu.
“Siapa yang ngomong barusan?” jawab Sayna dengan pertanyaan balik lalu bertatap muka dengan Lianka yang duduk di seberangnya sebelah ujung kanan, cukup jauh dari posisinya sekarang. “Oh, cewek yang mepetin calon pacar gue?”
Lianka dan gengnya langsung membeliak, mungkin mereka pikir Sayna tidak tahu apa-apa soal Danish. “Say, udah. Yuk, cabut ke kelas kalau lo udah kenyang,” bisik Tania yang duduk persis di sebelahnya, gadis itu pasti mencium bau-bau bibit baku hantam di sekitar mereka.
“Diem dulu,” pinta Sayna yang matanya masih menatap Lianka lekat-lekat. “Lo tahu apa hubungan lo sama bangke?” tanyanya melanjutkan. “Sama-sama busuk, Lian.”
“Itu kemarin nggak seperti yang lo pikir, Say.”
“Tapi seperti yang gue lihat,” bantah Sayna. “Gue nggak masalah ya, waktu Danish masih free dan kalian nempelin dia kayak lintah. Tapi sekarang jelas-jelas lo semua tahu gue sama dia lagi dalam masa pendekatan—”
Sayna menggantung ucapannya, dia malu meneruskan ini tapi entah kenapa merasa perlu mengatakannya pada Lianka juga teman-teman satu gengnya yang keranjingan diantar pulang oleh Danish bergantian, terjadwal, sampai Sayna hafal jadwal mereka di luar kepala. Saat ini Danish tengah memperjuangkannya, dan Sayna mau mereka tidak mengganggu lagi, dalam bentuk apa pun.
ªªª
Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.Danish gila tiap melewati koridor itu.“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bi
Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. &l
Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da
“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.“Pelajaran apa ini?”“Biologi, Danish!”Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan t
Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men
Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.“Paket, Mas?”Danish terperanjat—nyari
Herdian dan Arvin berlarian dari arah kantin dengan segelas es teh manis cap mpok Jenab dan roti isi kacang merah yang biasa Danish beli. Sementara itu, di sisi kirinya Hamam tengah mengipas-ngipasi Danish dengan topi sekolah, di sisi kanan ada Rafid yang mengelap butiran keringat di dahi Danish memakai handuk cap merah putih.Suasana kelas 2 IPA 3 pagi itu benar-benar berbeda, karena pukul 8 pagi tadi Danish seperti kerasukan Jungkook BTS muncul di tengah-tengah lapangan upacara lalu ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya. Sebuah keajaiban luar biasa melihatnya merelakan diri berjemur tanpa riasan seperti donat gula dan berbaris dengan tenang dalam upacara bendera hari Senin pagi. Meskipun setelahnya, Danish menggelepar seperti ikan kekurangan air, seperti musafir di padang pasir.“Nish, minum nih minum.” Herdian menyodorkan es teh manis ke hadapan teman sekelasnya yang terkenal sebagai idola SMA Nyusu dengan wajah panik. Nyaris setahun satu kelas de
Jagakarsa ke Kemang Raya membutuhkan waktu tempuh sekitar 18 sampai 20 menit lewat Jalur-Jalur tertentu. Dan berhubung Michiko masih memakai plat nomor sementara, Danish harus pintar-pintar menyiasati jalan-jalan tikus dari sekolah ke rumah Sayna demi menghindari polisi. Karena sejatinya plat nomor sementara tidak boleh dipakai oleh kendaraan baru dengan jangkauan jarak tertentu. Dan Danish membawa Michiko terlalu jauh.“Say,” panggil Danish saat mereka berhenti di lampu merah dengan untaian kendaraan berjejer yang tidak manusiawi lagi di hadapan.“Apa?” Sayna mendekat ke bahu sebelah kirinya, dan helm mereka beradu karena hal itu.“Gue sayang sama lo.” Danish tersipu-sipu. Ditatapnya gadis itu lewat spion dan terlihat sama tersipunya.“Gue juga,” bisik Sayna pelan. Suara kendaraan di seberang mereka meredamnya, tapi Danish masih bisa mendengar suara gadis itu dengan jelas. “Banget malah,” imbuhn
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka