Home / Fiksi Remaja / Hey, Danish! / 12. Go Public II

Share

12. Go Public II

Author: Vinnara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?

Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.

“Nish, gue pulang bareng lo!”

Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sembari menoleh ke belakang, tampak Lianka sedang menyengir lebar memamerkan deretan giginya yang berhias behel berwarna kuning, mirip dengan warna jigong.

“Ih, kan udah gue bilang!” Danish mendecak jengkel seraya membuka kembali helmnya. “Gue sekar—”

“Iya, iya, gue tahu.” Lianka memotong cepat. “Tapi Sayna udah pulang dari tadi, Nish. Dia nggak bakal tahu, terus gue nih memang nggak ada yang jemput dan ini udah sore. Anterin gue, ya?”

“Naik taksi,” omel Danish lalu merogoh saku untuk mencari dompetnya. “Nggak usah lo ganti,” katanya seraya menyerahkan lembar 50ribuan pada Lianka.

“Ih, Nish!”

“Turun, Li!”

“Hah? Apa? Apa kata lo barusan?”

“Apa?” Danish terbengong untuk beberapa detik. Matanya mengerjap, apa yang membuat situasinya jadi berbeda? Dia juga tidak mengerti. “Apa?” ulangnya sekali lagi.

“Lo barusan nyebut nama gue, Nish.” Lianka tertawa. “Ini buat yang pertama kalinya lo nyebutin nama gue dengan bener kalau gue nggak salah.”

Sepenting itukah? Hanya karena Danish menyebut namanya dengan benar, Lianka harus sesenang itu? Apa sih yang salah dengan otak anak-anak perempuan selain Sayna?

“Terus?”

“Terus sekarang lo antar gue pulang.” Lianka memasangkan helm terbalik di kepalanya. “Ini buat yang terakhir, Nish. Setelah ini gue jamin lo bakalan mepetin Sayna dengan aman dan tenang. Lo nggak tahu power gue, kan? Gue ini ketua tim cheerleaders, Nish.”

“Wah, serius?” Kenapa Danish tidak tahu, ya?

Dan dengan pasrah, akhirnya Danish mengantarkan teman sekelasnya itu untuk pulang ke rumah. Meskipun sesuatu di dalam dadanya berdesir tidak enak, dia merasa telah berbuat curang pada Sayna. Merasa sangat brengsek, padahal Sayna belum tentu peduli pada hal seperti ini.

Lima belas menit di perjalanan Lianka memintanya berbelok ke kawasan pemukiman mewah di daerah Cilandak, rumah-rumah dengan model yang mirip satu sama lain berjejer, Danish yakin 100% kalau dia disuruh datang lagi sendiri ke sini, dia tidak akan tahu yang mana rumahnya Lianka.

“Nish,” panggil seseorang yang duduk di belakangnya.

“Apa?”

“Gue kira... asdfghkl...”

“Hah?”

“Gue kira lo... asdfghjkl...”

Apa sih? tanya Danish dalam hatinya. “Oh, iya iya.”

“Iya iya apa?” Lianka menggeplak helm Danish dengan galak dan otomatis membuat pemuda itu berhenti mendadak.

“Apa sih?”

“Rumah gue udah kelewat, bego!”

“Lha, ngapa lo nggak bilang?”

“Gue dari tadi ngoceh di belakang!”

Danish manyun, dipikirnya tadi Lianka hanya tengah mengajaknya bergibah ria seperti biasa, bukan sedang menunjukkan alamat rumahnya. Tapi sungguh, semua rumah di sini mirip. Kenapa Lianka tidak masuki saja salah satu yang paling dekat dengan mereka, kan? Kalau dia salah masuk, pasti bisa di-refund.

“Lagian siapa suruh tinggal di perumahan yang catnya sama, modelnya sama, mirip-mirip. Pusing pala gue,” omel Danish saat Lianka turun dari motornya sembari mengembalikan helm bogo yang entah dia dapat dari mana.

Lianka menyengir, gadis itu merapikan rambut sambil bertingkah sok imut di hadapannya. “Akhirnya, Nish, lo berhasil juga nganterin gue pulang ke rumah dengan selamat.”

“Emang biasanya enggak?”

Gadis itu mengangguk. “Gue pernah ditinggal di depan Indomaret, di pom bensin—”

“Itu bukan ditinggal,” sanggah Danish cepat. “Tapi ketinggalan.”

“Sama aja, Nish.” Lianka terbahak. “But, akhirnya gue harus mengatakan hal ini meskipun berat.” Danish mengernyit bingung. “Selamat tinggal, Nish. Semoga lo sama Sayna langgeng dan bahagia, ini buat yang pertama dan terakhir kalinya gue diantar pulang sama pemuda paling ganteng satu sekolah. Gue bisa kontrol mulut netijen pake power gue, tapi gue nggak bisa ya, menanggulangi patah hati besar-besaran setelah berita ini tersebar. Lo siap-siap aja denger kabar ada yang gantung diri di pohon toge atau semacamnya.”

Danish tertawa. Dia tidak tahu sebenarnya organisasi apa yang dipimpin oleh teman sekelasnya ini tapi yang pasti, Lianka adalah penggerak para Pengabdi Danish di sekolah alias para Danishta.

“Oke, makasih.” Danish tersenyum senang, akhirnya dia tidak menyesal karena mengantar Lianka pulang.

“Gue masuk dulu, ya. Dah, Danish!”

Danish melambai seraya memberikan senyum terbaiknya, merasa senang karena dirinya mendapat dukungan, entah kenapa. Semangatnya untuk mendekati dan meresmikan status dengan Sayna semakin berkobar. Pemuda itu termenung untuk sesaat, agak bingung, karena lagi-lagi dia menemukan perbedaan antar Sayna dengan gadis-gadis lainnya.

Lianka tidak seperti Sayna, dia tidak menyuruhnya untuk memberi kabar setelah sampai di rumah. Hanya Sayna yang seperti itu. Sayna-nya.

***

“Shhh....”

Dari pintu samping dekat garasi rumah, Danish bisa mendengar obrolan dua wanita yang bersahutan itu menggema di seluruh penjuru ruangan. Dan ketika ia mencari sumber suara, sang ibu tengah sibuk menguleni adonan terigu dengan tangan sambil melakukan panggilan video dengan Dinara di ponselnya.

“Mbak!” panggil Danish ceria melihat wajah kakak kandungnya itu memenuhi layar.

“Udah pulang kamu?” tanyanya basa-basi, Danish mengangguk senang.

 “Mbak kapan pulang?” Danish mengutarakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang sering terulang di kepalanya, kapan Dinara pulang? Kapan kakaknya tinggal bersamanya lagi di rumah ini?  Danish dibesarkan oleh wanita itu, karena Melia sibuk mengurusi bisnis laundry sejak mereka kecil. Dinara adalah sahabatnya, saudaranya, sekaligus ibu asuhnya.

“Mau pulang kok sayang,” ujar wanita itu menimbang-nimbang. “Kalau dihitung ya tiket pesawat pulang pergi lumayan juga, Dek, sementara Mbak sama Mas Haikal kan lagi nabung.”

Danish melirik sang ibu yang tampak kecewa—sama seperti dirinya, mendengar hal itu. Tapi Danish tidak mau membuat kakaknya merasa terbebani, jadi dia hanya mengangguk dan tersenyum. Padahal ini sudah tahun ketiga mereka tidak bertemu, Dinara bekerja terlalu keras demi masa depannya, demi kenyamanannya kelak setelah berumah tangga. Hingga dia seolah melupakan apa yang tersisa saat ini, apa yang ditinggalkannya dan sangat merindukannya, ada Danish dan Melia yang setia menunggu Dinara kembali.

“Mbak udah komunikasi sama Vio, gaun dan semua yang Mbak persiapkan buat pesta nanti udah dia sanggupi. Kamu katanya suka main di butik Vio, ya?”

Danish mengangguk. “Banyak cewek cantik,” jawabnya jujur dan Dinara serta ibunya tertawa.

“Gaya tuh, Mbak, dia mau pacaran katanya. Udah beli motor baru segala kemarin, motor khusus buat pacaran.”

“Cie...” Dinara meledeknya. “Udah gede ya kamu, Nish. Biasanya hari-hari mikirin sunscreen mulu sama sunblock, sekarang kepikiran pacaran juga nih.”

Danish menepuk dada bangga.

“Nanti Mbak kirimin skincare juga buat dia sekalian, tapi kenalin ke mbak, ya? Kasih lihat gitu kek fotonya.”

“Iya.” Danish merona disaksikan oleh ibu serta kakaknya yang sibuk tertawa kencang. Kupingnya sampai panas sekali.

“Kenalin ke Mama juga,” kata Melia cepat. “Terus ajak ke sini seminggu 2 kali aja, Mama mau minta tolong dia buat bikinin kamu roti.”

ªªª

Ada tidak enaknya juga dekat dengan seseorang yang populer di sekolah—maksudnya, Sayna juga populer, tapi tidak bisa mengalahkan kepopuleran Danish. Karena pemuda itu membawa si Jalu ke sekolah hari ini, mereka jadi tidak bisa pulang sama-sama. Sebab bagi Danish, Sayna seperti pantang naik ke atas jok motornya itu.

Namun saat tengah asyik berselancar di I*******m, tiba-tiba saja Sayna melihat akun penggemar Danish mengunggah foto pemuda itu tengah berduaan dengan Lianka di parkiran. Dan selanjutnya bisa ditebak, Danish mengantar gadis itu pulang, mereka berboncengan.

Sayang sekali, tidak ada jadwal latihan taekwondo hari ini.

Bugh!

“Teh, aduh!” Ikrar memekik tatkala Sayna meninju adonan roti yang ada di hadapannya saat ini. “Mau bikin roti apa bikin makanan anjing sih?”

Bocah SMP itu mengomel karena untuk ke sekian kalinya Sayna membanting adonan di atas meja pastry dengan nafsu yang berlebih. Pelampiasannya saat tengah marah, bentuk positif dari penyaluran emosi, agar tenaganya tidak terbuang sia-sia dengan memukuli bantal atau guling di kamar sendiri.

“Itu roti pas udah jadi kalau nggak keras kayak sendal jepit, pasti alot banget kayak hubungan Teteh sama gebetannya.”

“Diem!” Sayna menggeram sambil memelototi adiknya dengan tangan senantiasa meremas adonan.

“Ngaku deh, roti bikinan Teteh itu nggak pernah ada yang bener! Keras banget, dipake ngelempar badak juga badaknya mati.”

Bugh!

“Aw!”

Kali ini bukan bantingan di meja, tapi sekepal adonan lengket dan bau ragi itu mendarat di pipi adiknya. Sayna tersenyum puas, siap dengan amunisi berikutnya jika Ikrar masih berani mengadu bacot dengannya seperti barusan.

“Bu... si Teteh!” teriak anak itu, mengadu pada ibunda, seperti biasa. “Masa Adek dilempar pake adonan sendal jepitnya, Bu?”

Ikrar melipir ke kamar ibu mereka sembari memegangi pipi yang masih belepotan adonan, mengadu dan melebih-lebihkan perkara, senang sekali melihat kakanya dimarahi oleh ibunda. Ada masalah apa sih, hidupnya itu? Jadi manusia kurang ajarnya diborong sendiri, tidak dibagi-bagi.

Sebenarnya Ikrar tidak sepenuhnya berbohong juga, roti buatan Sayna selalu keras, alot, kadang seret di tenggorokan. Hanya ayah yang bersedia memakannya sampai tuntas, itu pun dicelup ke air teh agar lembut, bisa dikunyah dan lebih manusiawi. Kalau tidak, ayah bilang roti buatan tangannya lebih cocok dijadikan sesajen wewe gombel.

Sayna suka membuat roti sejak lama, dia merasakan sesuatu yang berbeda saat membuatnya. Namun meski sudah menggunakan resep yang sama—sama persis malah, dengan resep para chef idola, roti buatan Sayna selalu berbeda. Dia seolah dikutuk untuk tidak pernah bisa membuatnya. Entah ini takdir macam apa, padahal kelak Sayna ingin punya kafe dan toko roti sendiri, seperti tempat yang sering dia kunjungi untuk belajar bersama.

Saat membuat roti, Sayna merasakan keajaiban yang bersifat ilmiah sebenarnya. Dari terigu, telur, ragi, susu dan telur yang lembek dan lengket, adonan berubah menjadi empuk, mengkilap hingga tidak lengket di tangan. Dan setelah proses proofing dilangsungkan, adonan yang tadinya seukuran bola kasti bisa mengembang hingga seukuran semangka. Sayna merasa semua itu masih seperti keajaiban, membuatnya ingin terus mencoba berulang-ulang.

“Lagi PMS ya, teh?” Ibunda muncul dari balik pintu kamar, disusul Ikrar yang hiperbola memegangi pipinya seolah habis ditonjok oleh tenaga kuda, padahal hanya lemparan kecil saja.

“Nggak kok, Bu. Aku udah dapet kemarin, baru aja selesai,” jawabnya cuek dengan mata melotot ke arah adiknya. Sayna pasti akan dimarahi oleh ibunda sebentar lagi karena sudah melakukan tindak kekerasan di rumah ini.

“Udah sini, ibu yang lanjutin manggang. Kamu istirahat, cek lagi tugas buat besok di sekolah.”

Sayna mengangguk dan segera mencuci tangan untuk kemudian kembali ke kamar dan memeriksa ponsel yang sudah ia abaikan selama berjam-jam setelah menemukan foto Danish tadi di I*******m. Dadanya masih berdenyut mengingat hal itu, dia ingin sekali bertanya kenapa Danish melakukannya, bukankah Danish bilang kalau dia menyukainya? Meminta Sayna jadi pacar? Berjanji akan berubah? Lalu kenapa?

Danish: P for Punteun.

Danish: Neng Sayna lagi apa?

Danish: Assalamualaikum.

Entah kenapa Sayna bisa membayangkan wajah usil itu hanya dengan membaca pesan-pesan yang masuk sejak 1 jam lalu itu ke ponselnya.

Danish: Suka micin nggak, Neng?

Pesan berikutnya menyusul.

Sayna: G.

Danish: Kalau micintaiku?

Sayna mengulum senyum dengan hidung kembang kempis menghalau banyak udara.

Sayna: Nggak!

Danish: Enak ya jadi lo.

Sayna: Enak apanya?

Danish: Tahu-tahu ada yang kangen. Gue orangnya. Hehe.

Sayna: BCT.

Danish: Lo egois banget jadi orang.

Hah? Tunggu... kenapa balasannya begini? Danish... tidak biasanya langsung tersinggung seperti ini. Sayna kenal betul siapa pemuda itu dan bagaimana sikapnya. Masa hanya dengan 3 huruf itu dia marah, sih?

Sayna: Maksud lo? Egois gimana?

Dadanya bergermuruh tidak normal.

Danish: Ya egois aja.

Danish: Nyokap lo manusia, bokap lo manusia, tapi kok lo nya bisa jadi bidadari?

Sayna tidak bisa menahan kedutan di sudut bibir. Dia menjerit tertahan dengan wajah tenggelam di atas bantal sambil memukul-mukulkan kaki ke ujung tempat tidurnya. Danish sialan! Bisa-bisanya membuat jantung Sayna repot sekali hari ini. Sudah membuatnya kesal luar biasa, khawatir, cemas, dan sekarang—

Danish: Gue beneran suka sama lo. Pacaran, yuk!

Sayna: Sori, gue nggak bisa.

Danish: Terus?

Sayna: Kita temenan aja.

Danish: Yah... temen gue udah banyak, Say.

Sayna: Ya udah, kita musuhan.

Danish: Yah... Sayna.

Sayna cekikikan sendiri, dia bisa membayangkan ekspresi Danish dengan bibir manyun dan tatapan memelas andalannya itu, seperti anak kecil yang minta dibelikan permen lolipop harga dua ribu.

Danish: Kalau nggak mau pacaran ya udah.

Danish: Tapi gue boleh kan bilang suka sama lo hari ini?

Danish: Kalau besok gimana?

Danish: Besok lusa?

Danish: Besoknya habis lusa?

Danish: Gimana kalau selamanya?

Danish: Gue boleh kan suka sama lo sebanyak itu?

ªªª

Related chapters

  • Hey, Danish!   13. Michiko

    Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya. “Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali. “Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet. “Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja. “Mau dipakai buat senjata tawuran

  • Hey, Danish!   14. Mengakhiri Perjanjian

    Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.Danish gila tiap melewati koridor itu.“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bi

  • Hey, Danish!   15. Pertarungan Terakhir

    Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. &l

  • Hey, Danish!   16. Luka dan Pelampiasan

    Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da

  • Hey, Danish!   17. Menggebu-gebu

    “Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.“Pelajaran apa ini?”“Biologi, Danish!”Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan t

  • Hey, Danish!   18. Latar Belakang yang Berbeda

    Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men

  • Hey, Danish!   19. Kamuflase

    Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.“Paket, Mas?”Danish terperanjat—nyari

  • Hey, Danish!   20. Berubah Haluan

    Herdian dan Arvin berlarian dari arah kantin dengan segelas es teh manis cap mpok Jenab dan roti isi kacang merah yang biasa Danish beli. Sementara itu, di sisi kirinya Hamam tengah mengipas-ngipasi Danish dengan topi sekolah, di sisi kanan ada Rafid yang mengelap butiran keringat di dahi Danish memakai handuk cap merah putih.Suasana kelas 2 IPA 3 pagi itu benar-benar berbeda, karena pukul 8 pagi tadi Danish seperti kerasukan Jungkook BTS muncul di tengah-tengah lapangan upacara lalu ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya. Sebuah keajaiban luar biasa melihatnya merelakan diri berjemur tanpa riasan seperti donat gula dan berbaris dengan tenang dalam upacara bendera hari Senin pagi. Meskipun setelahnya, Danish menggelepar seperti ikan kekurangan air, seperti musafir di padang pasir.“Nish, minum nih minum.” Herdian menyodorkan es teh manis ke hadapan teman sekelasnya yang terkenal sebagai idola SMA Nyusu dengan wajah panik. Nyaris setahun satu kelas de

Latest chapter

  • Hey, Danish!   Pengabdi Cogan yang Ketinggalan

    Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin

  • Hey, Danish!   Ekstra - Hubungan dan Ujian

    Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men

  • Hey, Danish!   Ekstra - Lubang Hidung Danish

    Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.

  • Hey, Danish!   Ekstra - Hadiah Perpisahan

    Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya

  • Hey, Danish!   Ekstra - Pindahan

    Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga

  • Hey, Danish!   Ekstra - Bujang Nyoesoe

    Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir

  • Hey, Danish!   70. Pacaran

    Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema

  • Hey, Danish!   69. Hari Kelulusan

    Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“

  • Hey, Danish!   68. Siap-siap Berpisah

    Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka

DMCA.com Protection Status