Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.
Danish gila tiap melewati koridor itu.
“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!
“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bilang lo udah beberapa hari nggak ngumpul di markas, bahkan Hokage-hokage aja nggak ada yang tahu lo ke mana.”
“Buset, ya gue di kelas lah, Bang. Capek gue naik mulu ke markas tuh di lantai 5. Kelas gue di lantai 2. Gila aja kan gue kali-kali istirahat lah.” Danish membual alasan.
“Yakin?” Randy Tanjung memiringkan bibir. “Bukan karena sesuatu yang lain, nih?”
“Sesuatu yang lain apaan, elah?”
“Lo nggak ada niatan buat berhenti dari keanggotaan ninja Konoha, kan?” Di sekolah ini, bisik-bisik dengan angin pun bisa terdengar dengan cepat. “Nish!” bentaknya, dan Danish terperanjat.
“Ada, Bang.” Danish menjawab jujur. “Gue kan bentar lagi mau ujian.”
“Gue yang mau ujian,” sangkal Randy buru-buru. “Nih, ya sejak lo sama temen-temen lo itu gue kasih wewenang di sekolah ini, kita semua aman, kita selalu menang. Lo gue angkat jadi Hokage juga bukan tanpa alasan, Nish. Lo yang terkuat di antara semua ninja yang pernah gue kenal. Apa jadinya kalau lo keluar?”
“Gue keluar nggak akan tiba-tiba bikin pasukan kita lemah lah, Bang.” Danish menyangkal juga. “Masih ada Angga, Aryan, Oliv, Anggun, Andre, Ricky, Rian...” Danish menyebutkan nama teman-teman yang paling dia ingat saat bertarung di garda terdepan bersamanya. “Mereka semua hebat.”
“Si Angga yang tiap tawuran cuma nontonin sambil makan nabati itu? Si Aryan yang nggak ada tampang-tampangnya jadi tukang gelud? Dan banci-banci kayak Oliv sama Anggun? Yang lainnya gue nggak kenal, Nish. Dan di antara orang-orang ini cuma lo yang paling bener kalau bertarung.”
Mimpi apa Danish terjebak dalam kebanggaan tidak penting ini? Awal mula geng sekolah terbentuk adalah ketika mereka baru saja menyelesaikan masa orientasi, dan Randy Tanjung sebagai ketua yang berkuasa saat itu merekrut semua anak potensial. Termasuk di dalamnya Danish, Angga dan Aryan yang memang sudah saling kenal sejak dulu.
Masa kejayaan Randy adalah neraka. Dia senang memalak dengan alibi uang keamanan, padahal jelas-jelas keamanan sekolah mereka diserahkan kepada sekuriti, kenapa juga perlu membayar sejumlah uang pada Randy?
Namun menjelang pertengahan tahun, Randy menyerahkan kedudukan, dia jadi pemantau, tugas-tugas ketua diemban oleh Danish dan kawan-kawan. Tidak ada yang benar-benar jadi ketua sungguhan, karena kekuatan anggota baru cenderung imbang. Jika Danish paling jago di lapangan, maka Angga hebat menyuarakan seruan dan penggerak serangan, sedangkan Aryan banyak bertindak sebagai penasihat serta pengatur strategi perang.
Sejak tiga Hokage baru berkuasa, pergerakan geng mereka senyap dan tidak terendus pihak keamanan sekolah. Tidak ada palak-memalak uang. Semua anggota wajib membayar uang kas untuk berbagai keperluan dan dipegang oleh Anggun sebagai bendahara Konoha. Meski beberapa anak yang punya uang lebih harus membayar lebih besar demi menyumpal mulut Randy agar orang itu tidak mengganggu ketenteraman lagi.
“Lo tahu adik kita kan, Nusantara Dua?”
Danish mengangkat kepala. Sialnya lagi, sekolah ini berdiri beberapa cabang di bawah naungan yayasan yang sama. Jika mereka Nusantara Satu alias Nyusu maka tentu saja ada Nusantara Dua sebagai adiknya. Bodohnya, sekolah-sekolah musuh kadang melakukan serangan salah sasaran kepada siswa Nusantara Dua karena seragam yang mereka pakai sama persis. Dan sayang sekali, di sana tidak terdapat geng atau apa, maka tugas Konoha juga melindungi adik-adik dari sekolah yang satu yayasan dengan mereka. Sial.
“Kenapa, Bang?” tanya Danish malas-malasan. “Salah sasaran lagi Zamrad?”
“Nggak, mereka sengaja nantang,” ucapnya serius. “Besok kita nyerang. Kali ini gue ikut.”
Danish mengernyit heran, Randy Tanjung sudah hampir setahun tidak pernah terjun ke lapangan. “Kalau lo turun gue nggak ikut, ngapain kan? Ada lo udah pasti menang.”
“Nggak bisa gitu dong, Nish!”
“Bisa.” Danish bersikeras. “Udah ya, gue balik ke kelas.”
“Nish, ah! Woy! Gue nggak bisa stay lama, kan gue mesti belajar buat ujian. Woy! Danish! Gue udah kelas 3, woy!”
Danish tidak menggubris, dia memanjangkan langkah di koridor para penyamun itu dan menutup telinga rapat-rapat seolah tidak mendengar apa pun. Anggap saja semua teriakan itu adalah lebah berdengung, atau nyanyian putri duyung terkutuk di laguna yang suka menggodai para pria patah hati untuk dijadikan makan malam.
Karena lift penuh, Danish berbelok ke kanan menuju tangga, tetap mengabaikan jerit-jerit mengerikan yang bergaung, dia harus menuju markas, Angga dan anak geng Konoha pasti ada di sana. Mereka perlu meluruskan sesuatu.
“Nish!” Hamam tahu-tahu muncul dari arah tangga dan tengah naik menuju ke arahnya. Di sebelah kanan pemuda itu terdapat plastik teh es manis ala Mpok Jenab, penjual es teh legendaris di kantin sekolah.
“Ngapain lo ke sini?”
“Ngejemput lo, sekalian bawain minum.” Hamam mengacungkan plastik es teh cap Mpok Jenab berisi es batu itu ke udara yang tentu saja membuat Danish kebingungan setengah mampus.
“Mana es teh-nya?”
Hamam cengengesan. “Gue kan ke sini naik tangga tuh, terus di perjalanan nan terjal dan mendaki itu gue haus, jadi gue minum deh es teh-nya.”
“Sampai habis?” tanya Danish.
“Iya.” Hamam menyengir polos.
Danish menggelengkan kepala, kadang berteman dengan sesama idiot juga membuatnya lelah. Dia tidak banyak menggubris dan berlarian menuruni anak tangga, Danish harus kembali ke gedung sebelah—tempat kelasnya berada dan naik ke lantai 5 menemui para anggota geng sebelum bel masuk berbunyi.
“Nish, lo mau ke mana buru-buru amat?” Hamam di belakangnya menyusul tergopoh-gopoh. “Sayna nungguin dari tadi.”
“Sial!” umpatnya kesal, ingat pada gadis itu dan janji-janji yang sudah dia ucapkan namun belum dia tunaikan. “Bilang sama dia gue ada urusan.”
“Urusan apa? Ke mana? Sama siapa? Sampai kapan selesainya? Ngapain aja? Gue mesti laporan ke Sayna, Nish!”
“Sejak kapan lo jadi kacung dia?” tanya Danish emosi.
“Sejak barusan, sejak dia janji mau ngasih gue contekan tiap ulangan.”
“Gampangan banget lo.”
Danish berlari meninggalkan Hamam, menuju lift di gedung kelas dua dan melesat meninggalkan teman sekelasnya itu demi menuntaskan perasaan gondok dalam dadanya sekarang. Dia tidak peduli harus berdesakan dalam lift, terus mengabaikan jerit-jerit dan sapaan, konsentrasinya terpecah belah.
Dan sekarang dia sampai di markas, ruang penyimpanan alat-alat olahraga yang jarang dipakai untuk berkegiatan. Di sana, sudah ada Anggun, Oliv, Andre, dan Angga. Sisanya anak kelas 1 yang tengah push up, mungkin mereka melakukan keisengan fatal.
“Masih inget jalan ke sini, Nish?” Angga yang paling dulu menyapa. Seperti biasa, dia memegang Nabati SIP kemasan jumbo di tangan kanannya, menikmati camilan nenek-nenek itu dengan santai, berdiri di antara adik kelas mereka dengan tinggi badannya yang tidak seberapa.
“Siapa yang ngaduin ke si Tanjung kalau gue jarang ngumpul?” Danish langsung menanyakan maksudnya tanpa aba-aba, tanpa memperdulikan pertanyaan Angga sebelumnya. “Aryan yang kalau nggak diseret, nggak gue ancam pake santet aja jarang banget ke sini nggak masalah tuh, kenapa harus banget giliran gue diaduin ke manusia sebiji itu?”
“Weh, tenang dulu, tenang. Kenapa Hokage ketiga marah? Ayo, duduk dulu, duduk.”
“Diem!” bentak Danish pada Oliv yang barusan menggodanya. “Ga, jawab.”
“Gini.” Angga meletakkan camilan favoritnya itu dan menjilati jari-jari tangan sebelum mendekati Danish yang tengah murka.
“Kita semua sepakat nggak akan lagi ngelibatin anak kelas 3.” Danish menyela.
“Ih, bentar dulu kambing! Kan ini gue mau jawab,” jelasnya sambil berjinjit dan menepuk bahu Danish agar pemuda itu bersedia duduk dan Angga tidak sakit leher karena mendongak terus menerus. “Jadi, tadi tuh manusia ke sini, dia minta kita nyerang emang. Ada gangguan ke Nyusda, dan... kebetulan lo nggak ada. Jadi ya, kita jawab aja seadanya.”
“Jawab apa?” tanya Danish penasaran.
“Kalau lo udah beberapa hari nggak ikut ngumpul.”
“Kenapa dia nggak sekalian nanyain Aryan dan panggil Aryan ke sarang penyamun itu?”
“Karena Aryan udah biasa jarang ikut kumpul.”
“Tai!” umpat Danish kesal. Dia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba jadi sangat kesal. Mungkin karena sendirian dipanggil ke kelas 3, atau mungkin karena Angga tidak membelanya di depan Tanjung, atau... sesederhana karena dia sudah ingkar janji pada Sayna hari ini meski sesungguhnya Danish tidak sudi melakukan itu.
“Gue denger Aryan hari ini bawa mobil. Mau nyerang?” tanyanya lagi, mengingat gosip yang disampaikan Hamam pagi ini.
“Nggak, nggak.” Angga mengibaskan tangan. “Ban motornya bocor jadi dia bawa mobil. Besok kita nyerang, di bawah pimpinan Tanjung.”
“Najis gue nggak sudi.” Danish menolaknya buru-buru.
“Nish, lagi PMS, ya? Marah-marah mulu,” tanya Oliv yang baru selesai menghitung push up untuk anak-anak kelas satu dan menyuruh mereka bubar dari hadapannya.
“Marah dia, kayak burung dalam sangkar. Pengin terbang bebas tapi ditahan sama pawangnya.” Anggun tertawa dengan mulut terbuka seperti kudanil gila. “Yang mana pawangnya, Nish? Yang suka lo jajanin Teh Kotak, ya?”
Danish ingin sekali menendang Oliv andai dia tidak ingat bahwa pemuda itu baru saja diserang dan diserempet motor oleh musuh mereka.
“Cemen!” Angga di sebelahnya ikut tertawa. “Lemah amat perasaan, disetir cewek aja lo manut, Nish. Gue denger dia anak taekwondo, harusnya kalau jadian sama dia kita ada perekrutan anggota lah! Ajakin tawuran bareng, lumayan kan kita dapat tambahan tenaga.”
“Anjing lo!” umpat Danish sambil melayangkan tendangan pada Angga dan pemuda mini itu tersungkur dengan bokong mendarat lebih dulu.
“Eh, santai, bos, santai.” Anggun segera melerai.
“Gue nggak pernah masalahin kalau gue yang lo hina dan lo bejek-bejek, Ngga! Tapi jangan cewek gue, bangsat!” umpatnya lagi, kasar. Di bawah sana Angga tertawa sambil mengaduh-aduh memegangi bokongnya yang ngilu. Danish yakin itu pasti sakit.
“Oke, gue inget ini sebagai serangan orang kasmaran ya, Nish. Jadi nggak akan gue ambil hati.” Angga berdiri dibantu Oliv dengan menarik tangannya ke atas. “Nah, bel udah bunyi. Ayo balik ke kelas,” ajaknya kemudian.
Angga dan emosinya kadang patut diacungi jempol. Dia bukan kaum sumbu pendek seperti Danish.
“Gue pengen berhenti,” ucap Danish dengan suara bergetar. “Gue nggak mau terus-terusan kayak gini, Ga. Nyokap gue janda dan kakak gue TKW, mati-matian kerja bukan buat nyekolahin gue jadi anak berandalan kayak gini.”
Angga menatapnya sebentar dengan alis mata berkerut lalu mengangguk. “Iya, gue ngerti. Ayo kita ke kelas,” ajaknya lagi.
“Sori,” gumam Danish pelan saat Angga berada tepat di sebelahnya. Angga melempar senyum sambil menepuk bahu Danish dengan gaya yang gentleman. “Andai gue sepinter lo, Ga, mungkin gue nggak harus milih. Gue tetap bisa jadi orang meski gue pernah nakal kayak gini. Tapi kalau gue terusin—”
“Udah, Nish, santai aja.” Orang di sebelah kiri Danish ikut menyahut dan melingkarkan tangan di sekitar bahu. “Lo tahu, nggak? Kita semua akan berhenti pada waktunya. Mungkin ini waktu lo.”
Sobat Danish yang satu ini bernama Anggun, bukan Anggun C Sasmi, namanya Anggun Wijaya, anak Satpol PP asal Pangandaran yang tinggal nomaden di Jakarta. Anggun tidak mewakili namanya sama sekali, dia benar-benar tidak ada anggun-anggunnya. Justru tinggi, besar, hitam seperti gorila dan jago pencak silat.
Geng Konoha yang keseluruh anggotanya disebut ninja tidak ada yang betul-betul berguru jadi ninja betulan, sebagian besar malah mirip tinja. Danish anak taekwondo, Angga menguasai boxing, Anggun di pencak silat, Aryan karate, dan yang lainnya hanya modal nekat plus jurus beladiri ala kutu kupret.
“Perpisahan ya, Nish, sekali lagi aja.” Oliv juga ikut buka suara. Dia bukan siapa-siapanya Chelsea Olivia, hanya nama saja yang mirip. Oliv dan Anggun memang seringkali disalahpahami berkat namanya yang feminim, tapi tidak apa-apa, mereka berdua hebat.
“Iya, lagian si Tanjung ikut. Biar nggak kena sasar lagi lo ntar.” Angga juga ikut menimbrung selama perjalanan mereka kembali ke kelas. “Kalau dia turun dan lo nggak ada, gue khawatir aja sih kepemimpinan geng diambil alih lagi, karena dia ngerasa kehilangan orang kepercayaan buat handle anak-anak. Dan lo tahu gimana kacaunya sekolah sama Konoha kalau dia ikut campur tangan, gue nggak mau itu sampai terjadi, Nish.”
Danish merenungkannya selama mereka berempat berjalan di lorong-lorong koridor yang mulai sepi sebab sebagian besar anak-anak sudah kembali ke kelas untuk menunggu jam pelajaran berikutnya. Angga benar, pertama kali mereka datang dan Randy Tanjung berkuasa dengan teman-temannya, sekolah ini dan geng berandalnya sangat mengerikan.
“Oke.” Dia mengangguk setuju. “Buat yang terakhir,” ujarnya dengan menenang-nenangkan debaran di dada. Merasa sangat bersalah pada Sayna tapi tidak bisa menolak hal ini juga. Danish tidak mungkin mengabaikan teman-teman yang sudah lama bergaul dengannya begitu saja.
“Apa pemicu serangan kali ini?” Danish merasa perlu tahu apa alasan mereka menyerang SMK Zamrad besok siang.
“Gini,” Angga seperti biasa, menjelaskannya seperti orang hendak diskusi kelas. “Lo tahu anak Nyusda yang diserang itu ceweknya si Tanjung?”
Danish menggaruk pelipis. “Mereka nyerang cewek sekarang?” benar-benar tidak bisa dibiarkan.
“Nggak bisa disebut penyerangan juga sih.” Angga ikut-ikutan menggaruk pelipisnya. “Ini cewek pas lagi jalan tali kutangnya ditarik gitu sama anak Zamrad, pelecehan seksual emang.”
“Lha?” Danish terperangah. “Ini bisa diselesaikan pake baku hantam satu lawan satu nggak, sih? Masa masalah beginian dijadiin alasan nyerang? Malu banget gue!”
“Ih, tunggu dulu, gue belum selesai.” Angga menghentikan Danish berjalan. “Jadi, mereka udah satu lawan satu, dan Bang Tanjung menang. Tapi nggak sampai di situ, mereka malah bawa pasukan dan ngeroyok si Tanjung nih, babak belur lah dia. Biar gimana juga dia masih anak Konoha, dia dikeroyok masa kita diem aja?”
Danish menggaruk kepalanya gusar. Angga benar, Tanjung merupakan anak geng yang solid sebenarnya, dia akan menghindari pertempuran besar kalau masih bisa diselesaikan satu lawan satu dulu. Tapi masalahnya, selain Danish sedang tidak minat ikut tawuran ini juga alasan yang... aduh, masa gara-gara tali kutang mereka tawuran?
“Galau lagi kan lo?” Angga di hadapannya cengengesan. “Gue sih, ayo aja. Mayan buat peregangan otot dan memicu adrenalin sih, gabut banget soalnya.”
Itu pasti pemikiran para jomblo, kata Danish dalam hatinya. Danish kan hampir tidak jomblo ya, jadi dia sangat sibuk. Boro-boro berpikir ikut tawuran.
“Tapi ini masalahnya... tali kutang doang.” Danish akhirnya buka suara lagi. “Kita perang besar-besaran demi ngebelain tali kutang anak orang.”
“Harga diri, Nish. Penghinaan itu.” Anggun menimpali.
“Bener, Nish. Mana masih sodaraan, kalau bukan kita yang bela, siapa lagi?” Oliv juga ikut bicara. “Lagian nih ya, lo masa lupa dari mana kita berasal?”
“Gue?” Danish menunjuk dada. “Dari nyokap sama bokap lah, dari setetes mani dan segenggam tanah,” jawabnya polos.
“Si ogeb!” Angga terkekeh setelah menoyor kepalanya. “Kita ini anak SMA Nusantara Satu alias SMA Nyusu! For your information, kita membela segala bentuk persusuan di dunia ini. Semua hal yang berkaitan dengan dunia susu-menyusu. Dan asal lo inget, yang namanya susu pasti berhubungan sama kutang, dan ini masalah dipicu sama tali kutang. Jadi jelas, kita semua harus turun buat membela harga diri dan lo ikut tawuran buat yang terakhir kali. Gimana?”
Danish melongo, rasanya dulu motto geng mereka bukan itu. Kenapa sekarang jadi meleset jauh, ya? Tapi tidak ada cara lain, Danish janji ini untuk yang terakhir kali, setelahnya dia akan kembali ke jalan yang benar. Danish harus menepati janjinya pada Sayna.
“Oke, gue ikut besok. Suruh Aryan bawa mobil kayak biasa.”
ªªª
Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. &l
Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da
“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.“Pelajaran apa ini?”“Biologi, Danish!”Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan t
Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men
Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.“Paket, Mas?”Danish terperanjat—nyari
Herdian dan Arvin berlarian dari arah kantin dengan segelas es teh manis cap mpok Jenab dan roti isi kacang merah yang biasa Danish beli. Sementara itu, di sisi kirinya Hamam tengah mengipas-ngipasi Danish dengan topi sekolah, di sisi kanan ada Rafid yang mengelap butiran keringat di dahi Danish memakai handuk cap merah putih.Suasana kelas 2 IPA 3 pagi itu benar-benar berbeda, karena pukul 8 pagi tadi Danish seperti kerasukan Jungkook BTS muncul di tengah-tengah lapangan upacara lalu ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya. Sebuah keajaiban luar biasa melihatnya merelakan diri berjemur tanpa riasan seperti donat gula dan berbaris dengan tenang dalam upacara bendera hari Senin pagi. Meskipun setelahnya, Danish menggelepar seperti ikan kekurangan air, seperti musafir di padang pasir.“Nish, minum nih minum.” Herdian menyodorkan es teh manis ke hadapan teman sekelasnya yang terkenal sebagai idola SMA Nyusu dengan wajah panik. Nyaris setahun satu kelas de
Jagakarsa ke Kemang Raya membutuhkan waktu tempuh sekitar 18 sampai 20 menit lewat Jalur-Jalur tertentu. Dan berhubung Michiko masih memakai plat nomor sementara, Danish harus pintar-pintar menyiasati jalan-jalan tikus dari sekolah ke rumah Sayna demi menghindari polisi. Karena sejatinya plat nomor sementara tidak boleh dipakai oleh kendaraan baru dengan jangkauan jarak tertentu. Dan Danish membawa Michiko terlalu jauh.“Say,” panggil Danish saat mereka berhenti di lampu merah dengan untaian kendaraan berjejer yang tidak manusiawi lagi di hadapan.“Apa?” Sayna mendekat ke bahu sebelah kirinya, dan helm mereka beradu karena hal itu.“Gue sayang sama lo.” Danish tersipu-sipu. Ditatapnya gadis itu lewat spion dan terlihat sama tersipunya.“Gue juga,” bisik Sayna pelan. Suara kendaraan di seberang mereka meredamnya, tapi Danish masih bisa mendengar suara gadis itu dengan jelas. “Banget malah,” imbuhn
“Oh, begini ya rupanya kelakuan di luar rumah. Pulang sekolah pacaran di pom bensin!” Sayna dan Danish kontan menoleh saat seorang bocah ingusan mengendarai Vario putih dan helm cokelat susu memepet jalan mereka dari sisi kanan. Dan yang Danish ingat tentang anak itu adalah, mata sipit serta rambut lurusnya yang bagus, mirip dengan Sayna. “Siapa yang pacaran di pom bensin?” Sayna nyolot sambil menoyor kepala adiknya yang berbalut helm. “Pulang lo!” Dia membentak. “Teteh yang harus pulang, buruan turun! Pulang sama aku. Aduin ke ibu nih.” “Heh!” “Hai.&rdqu
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka