Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.
Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.
“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”
“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. “Buat berduaan sama Lianka kemarin atau buat hari ini karena lo ingkar janji dan main sama anak geng lo lagi?”
Danish mengerjap, beberapa anak perempuan memerhatikan dan Danish enggan kalau pembicaraan mereka didengar. Lantas dia menarik lengan Sayna lembut lalu membawanya duduk di bangku dekat taman sekolah, sementara Danish di hadapannya berdiri sambil menyelipkan jari ke sela-sela tas.
“Buat dua-duanya,” jelas Danish pelan. “Gue punya alasan buat dua-duanya, Say. Lianka kemarin kesorean, gue udah paksa dia naik taksi tapi dia nggak mau. Dan gue baru tahu kalau dia kayak gitu cuma buat ngucapin perpisahan aja, ngasih kita selamat dan janji buat ngedukung. Dan tadi itu—”
“Penting banget emang, Nish?”
“Apa?”
“Dukungan kayak begituan itu? Ngelakuin hal nggak penting kayak gitu itu?”
“Sayna...” Danish duduk di samping gadis itu. “Penting dalam kamus orang itu berbeda, yang menurut lo nggak penting belum tentu buat orang lain.”
“Dan lo merasa itu penting?”
Danish diam untuk beberapa waktu. “Sampai kemarin mungkin... iya.” Dia menganguk dan ada kilat luka di mata Sayna-nya, jelas bahwa gadis itu tidak suka mendengar kenyataan yang terlontar barusan. “Karena gue yang mulai, gue sering kasih mereka tumpangan, harapan, dan gue pikir Lianka bisa jadi akhir buat semuanya. Mewakili cewek-cewek yang gue perlakukan sama.”
Sayna menggelengkan kepala. “Terserah, Nish. Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo.”
“Gue janji kemarin buat yang terakhir kalinya.”
Sayna mengangkat wajah yang terus menunduk untuk menatap ujung sepatu sepanjang mereka berbincang dan menoleh ke arahnya, menatap Danish lekat-lekat, dan yang baru Danish sadari bahwa bola mata Sayna berwarna cokelat, cantik dan menghanyutkan. Untuk beberapa nano detik matanya membawa Danish menyelam, dan sudut bibirnya tertarik membuat sebuah lengkungan yang ternyata menular ke bibir Sayna. Gadis itu tersenyum, tiba-tiba saja, seperti terhipnotis.
“Dan buat geng Kobang?” tanyanya kemudian.
“Tadi gue ngobrol lumayan lama karena minta keluar,” jelas Danish pelan. Sejujurnya, masih ada perasaan tidak rela di sudut hati yang susah sekali dia ungkapkan. Sayna mungkin tidak tahu bahwa geng Konoha tidak seburuk reputasinya. “Tapi ada beberapa hal terakhir yang harus gue lakukan sebagai tanda perpisahan.”
“Apa?” Sayna mengerutkan alis.
Danish membuang pandang, memilih untuk tidak menjawabnya sebab dia yakin bahwa Sayna tidak akan setuju pada hal itu. Mereka diam untuk beberapa waktu, membiarkan beberapa orang berbisik untuk menggunjingkan keduanya, dan Danish terpaku saat bertatapan dengan Angga, Aryan juga Oliv dari jauh. Angga menyunggingkan senyum dan mengacungkan ibu jari ke arahnya, Aryan tetap jadi patung, sementara Oliv melambaikan tangan.
Memikirkan bahwa dirinya harus jauh-jauh dari sobat kentalnya itu membuat sesuatu di balik tulang dadanya berdenyut. Aryan dan Angga teman Danish sejak dulu sekali, orang yang sudah tahu borok-boroknya, yang tidak pernah meninggalkannya. Tapi... bukankah sesuatu yang kita anggap baik tidak selalu memberi efek baik juga?
Pemuda itu menoleh ke samping dan mendapati Sayna masih terus menatapnya sejak tadi, orang ini yang akan membawa Danish ke jalan yang benar. “Yuk, pulang! Michiko udah nungguin mama sama papanya naikin dia buat kali pertama.” Danish bangkit duluan sambil menjulurkan tangan, meminta Sayna ikut dengannya. Tapi bukan Sayna kalau gadis itu menurut begitu saja.
“Sekali lagi lo pake perumpamaan mama dan papa gue slepet lo, Nish,” ucapnya dengan wajah cemberut sedangkan di sebelahnya, Danish tertawa heboh.
“Kan lucu sih, Say. Anak-anak SD aja pacaran udah pake ayah bunda, kita jangan mau kalah dong!”
“Terus kalau kita putus nanti jadi janda sama duda?”
“Emang sekarang kita udah jadian?”
Sayna mendadak menghentikan langkah, dan Danish suka ekspresi tertangkap basah yang membayang di mata gadis pujaannya itu. Dia mendecih pelan, Danish lagi-lagi tertawa, lalu keduanya berjalan dengan tenang ke arah parkiran.
“Tapi, Say, gini lho.” Danish membuka kembali percakapan mereka sambil berjalan di sebelah gadisnya dengan riang. “Masa kita belum jadian aja udah ngomongin putus sih? Jangan jadi janda sama duda dong, siapa tahu nanti kita jadi mama papa beneran, iya nggak?”
“Bacot lo, Nish.” Gadis itu melengkungkan senyum tertahan di bibirnya.
Danish menyengir. “Pernah nggak, Say, lo kepikiran jodoh lo lagi apa sekarang?”
“Nggak,” jawab gadis itu datar tanpa terlihat peduli atau apa.
“Kok gitu?”
“Ngapain gue kepikiran kalau gue tahu dia lagi ngapain aja sekarang.”
“Hm?”
Danish tertinggal di belakang, sebab Sayna meneruskan langkah dan tidak terlalu peduli pada apa yang telah diucapkannya barusan. Sementara di sisi lain, Danish memeras kerja otaknya mati-matian, menarik ulur kesimpulan, sebelum bola lampu di atas kepalanya menyala dan memberi pencerahan bahwa Sayna barusan membalas gombalan yang gagal Danish selesaikan.
“Ah... Saynaaaa!” pekiknya dengan aura super bahagia sementara yang namanya dipanggil berlari cepat ke parkiran sambil menutup wajah.
Jadi, mereka berdua kejar-kejaran ala film India dari jalan setapak taman sekolah sampai menuju tempat parkir, dengan Danish yang terus meneriakkan nama Sayna sambil merentangkan tangan ala Shakrukh Khan, sementara Sayna terus membalasnya dengan berbagai kalimat penyangkalan.
“Gue nggak kenal, gue nggak kenal sama ini orang!” tegasnya kemudian dan malah memancing tawa setiap orang yang menyaksikan.
ªªª
Sayna: Nish, nanti sore kita mulai belajar bareng. Gue tunggu di Crematology.
Sial. Danish menepuk jidat tatkala mendapati pesan itu saat dia baru membuka ponselnya pagi ini. Bagaimana caranya mengatur jadwal sekolah, tawuran serta belajar tambahan? Hari ini adalah jadwalnya menyerang anak-anak Zamrad demi seutas tali kutang. Danish sudah berjanji pada teman-teman gengnya, dia tidak mungkin ingkar.
Dan Sayna... mana mungkin lagi dia menolak ajakan gadis itu. Jangankan menolak, justru hal itu yang sangat Danish tunggu-tunggu. Dia sangat menantikan hari di mana Sayna bersedia mengajaknya jalan-jalan berdua tanpa embel-embel tidak sengaja bertemu. Jadi, Danish harus bagaimana sekarang? Dia galau berat.
“Gue bawa motor aja,” ucapnya dengan alis berkerut, khawatir orang-orang ini akan mencurigainya untuk bisa kabur. “Gue ada pelajaran tambahan, jadi harus cepet-cepet kabur setelah bikin musuh babak belur.”
Aryan di hadapannya mengernyit. Penyerangan akan dilakukan pukul 2 siang, dan matahari pukul segitu sedang gencar-gencarnya. Sementara di hadapan mereka sekarang berdiri seorang Danish Adiswara yang tumben-tumbenan tidak takut pada matahari dengan menolak naik mobilnya siang bolong begitu. Apa ini bisa dijadikan catatan baru untuk rekor MURI?
“Pokoknya, habis jumatan kita ngumpul lagi, jangan lupa pada makan siang dulu, isi energi.” Randy Tanjung—yang biasanya tidak pernah ikut lagi kali ini kembali mengambil posisi sebagai ketua geng. Dia mengajak serta beberapa anak kelas 3 yang dulu sempat aktif dan bergabung di garda terdepan Konoha.
“Oke gini.” Angga mengajak para ninja dari kelas 2 untuk berembuk ke arahnya setelah selesai mendengarkan instruksi dari anggota geng senior. “Kita ke Bulungan, soalnya Zamrad paling deket ke daerah sana. Paling enak kalau digiring ke arah belakang blok M, gue nggak tahu Tanjung bakal negoisasi atau enggak, jadi kita siap-siap aja.”
Danish mendengarkan dengan seksama meski debar dalam dadanya tak keruan. Dia bisa saja mati konyol hari ini, tawuran di daerah Blok M bukan main, polisi bisa dengan cepat meringkus mereka semua, dan dirinya tidak bisa bergabung dengan para Hokage. Danish harus menyiasati diri untuk berbagai kemungkinan di lapangan sebab dia akan kabur dengan motornya sendiri.
Aryan menjelaskan strategi seperti biasanya. Menandai titik-titik di mana mereka menyimpan kendaraan dengan aman, dan ke mana arah lari paling masuk akal dibanding berhambur tak keruan. Berdasarkan pengamatan, jika situasi tawuran segera diendus oleh polisi terdekat, mereka hanya punya waktu sekitar 8 menit untuk bertarung dengan tenang sebelum adegan kejar-kejaran.
“Heh, ulet keket, urusan kita belum selesai!” Suara teriakan Tanjung terdengar menggema ketika Agung cs bermunculan dari pasar Blok M ke arah mereka. Di tangannya, Andre dan Rian terjinjing dengan wajah bonyok serta seragam sekolah berantakan, sepertinya pancingan mereka gagal.
“Lain kali kirim umpan yang gesit.” Agung menyengir dengan gigi rebondingan dan senyum cerah berkilau yang dipantulkan sinar matahari. Lalu gerombolan berbaju hijau itu mendorong Rian dan Andre ke hadapan Randy, keduanya babak belur.
Belum apa-apa saja mereka sudah kalah dua.
Danish, Aryan dan Angga berdiri di belakang mobil, menunggu kapan komando serangan itu bergaung dari Randy hari ini, sebab pertarungan yang sekarang adalah perjuangan untuk tali kutang pacarnya Randy, jadi biarkan dia yang memimpin.
“Gue tadinya nggak akan ngasih ampun.” Randy Tanjung memulai negoisasi tahap berikutnya setelah berhasil mengamankan 2 anggota geng yang terluka bahkan sebelum tawuran sempat dimulai. “Tapi berhubung kita masih bisa ngomong baik-baik, ada niatan buat sujud di kaki gue nggak hari ini?”
Agung dan teman-temannya tertawa sumbang. “Kalau ini perkara tali kutang, mumpung kita di pasar nih, lo pilih sendiri mau kutang yang modelan gimana buat gantiin punya pacar lo kemaren itu. Biar gue beliin dua biji, mayan buat gonta ganti.”
“Bangsat!” Randy memekik. “Kita SMA Nyusu menentang segala bentuk pelecehan terhadap susu maupun antek-anteknya.”
“Goblo, malu gue.” Danish, Aryan dan Angga di belakang mobil merosot turun setelah mendengar ocehan komandan tawuran mereka hari itu. Ini adalah alasan dan penyebab tawuran paling memalukan seumur hidup.
“Si Tanjung pake dijelasin segala lagi.” Angga menimbrung.
“Semangat ya kalian, para pembela tali kutang.” Aryan menyeringai, karena dia biasanya memang tidak pernah ikut turun. Tidak mau capek, kotor, panas dan berkeringat, masih mending Danish yang melakukan perawatan dulu sebelum bertarung.
“Pasukan ninja Konoha siap-siap!” Randy buka suara yang refleks membuat 3 pemimpin Konoha dari SMA Nyusu itu bangkit dari tempat berjongkoknya barusan. Kepala mereka menyembul dari bagian atas kap mobil yang parkir menyamping, ketiganya berjejer seperti tangga, yang membuat senyum Randy melebar hingga ke telinga. Merasa bangga karena memiliki ninja hebat di kubunya.
“Bawa pasukan lo juga tetep kalah jumlah, nyet!” Agung meludah ke samping. “Bawanya yang itu-itu mulu lagi, cowok-cowok bedakan.”
Agung tentu langsung menunjuk Danish, karena siapa yang siang bolong begini wajahnya putih pucat seperti kesemek kering?
“Bedakan juga mereka udah numbangin anak-anak lo berapa kali?” Randy menyombong dan tersenyum ke arah ninja juniornya.
“Ini masih lama?” tanya Danish, sebab dia sudah bersiap sejak tadi dan belum ada tanda untuk maju dan berkelahi.
Orang-orang yang berada di dekatnya segera menoleh, termasuk Angga dan Randy. “Kan kita ngasih lo waktu buat ritual dulu, nyet! Buruan elah, gue nggak tahu mesti ngomong apaan lagi,” bisik Randy kepadanya.
“Dih, udah nih gue udah siap tinggal nyerang doang,” balas Danish ikut berbisik.
“Heh!” panggil Agung dari seberang mereka. “Lagi pada ngapain? Ngeper liat jumlah kita semua?”
“Anjeng!” umpat Angga sembari membanting kemasan nabati-nya ke kaca mobil yang terbuka. Di hadapan mereka sekarang, bukan hanya anak berseragam hijau ala ulet keket khas Zamrad, tapi anak-anak SMK Penerbangan juga turut bergabung, memberi kerabatnya bantuan.
“Sial, kita harus berantem mati-matian sekarang.” Aryan juga ikut mengumpat, padahal dia biasanya diam aja.
“Nish, udah siap, kan? Sunblock SPF 55 udah dipake semua?” Angga meraba-raba wajahnya yang separuh tertutup masker, menepuk-nepuk pipi Danish pelan. “Oke, udah. Lengket kayak peju biasanya.”
“Monyet,” umpat Danish dari balik masker. “Bang Randy, buruan! Gue udah siap!”
Randy di hadapannya mengangguk dan kembali membelakangi mereka, lalu pemuda itu mengacungkan tangan ke udara, disusul dengan suara Angga yang bergema setelahnya dan langkah Danish yang maju paling dulu setelah melihat aba-aba.
“Serang!”
Teriakan itu bergaung di udara, Danish langsung melayangkan pukulan dan tendangan setelah peregangan singkat saat berlarian menuju kubu lawan. Ini akan jadi pertarungan terakhirnya, akan jadi penampilan terbaiknya dan Danish akan melakukannya dengan sepenuh jiwa. Masa bodoh dengan alasan mereka bertarung adalah karena tali kutang yang ditarik dengan lancang, tapi kehadiran SMK Penerbangan sebagai bala bantuan untuk Zamrad justru membuat adrenalinnya terpacu makin tinggi. Danish menghajar anak-anak itu dengan jurus membabi-buta.
“Kostum lo bagus, Nish.” Oliv di sebelahnya berkejaran dengan balok di tangan. “Udah kayak ninja betulan.”
“Tengkyu,” ucap Danish sambil tersenyum senang meski tangan dan kakinya bergerak liar untuk menghantam lawan.
Dia terengah untuk beberapa saat, merasakan nyeri di bahu kanan sebab pukulan helm dari Zamrad sempat mengenainya. Danish melihat ke sekitar, Angga dan Aryan ikut turun ke lapangan, karena jumlah lawan mereka dua kali lipat dibanding biasanya, Konoha tidak perlu siasat, mereka hanya harus turun dan bertindak.
“Agung!” teriak Danish seperti biasa, mencari musuh bebuyutan sekaligus lawan legendarisnya. Dia masih merasa belum menang kalau gigi tonggos Agung belum ada yang patah atau pun goyah.
“Nish, di sini!” teriak Anggun dari sebelah kirinya.
Danish menyeringai dan berlari memecah kerumunan di sebelah kiri, pertarungan mereka kali ini cukup gila, Danish tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya nanti saat polisi datang, tapi dia tidak peduli, selama Agung belum tersentuh tangan itu artinya dia belum selesai.
“Kena lo!”
“Bego! Ini gue!” teriak Ricky yang jadi korban salah sasaran Danish barusan.
“Eh, sori-sori.”
“Makanya tu masker buka, Nish! Ketutup kan mata lo.”
“Masker buat nutup mulut sama hidung, bego.”
“Danish buruan! Ini gue pegangin!” teriak Anggun sekali lagi dengan tubuh tinggi besarnya yang memegangi kerah belakang Agung hingga lawan mereka itu menggantung seperti anak monyet dijinjing induk gorila.
Bugh! Danish memutar tumit dan berjinjit dengan satu kaki untuk melayangkan tendangan tepat di leher Agung dan pemuda tonggos dekil itu terjerembab. Danish seolah ditarik ke era pertarungan sebelumnya, dia menduduki Agung setelah sempat menginjak perut lawannya itu hingga Agung memekik kencang.
“Lain kali jangan cuma tali kutang, tali jemuran lo tarik sekalian.”
Bugh! Pukulan demi pukulan dia layangkan ke wajah Agung, di sekitarnya ada Anggun dan Ricky yang sibuk menghalau anak buah Agung untuk mendekat. Danish begitu bernafsu untuk setidaknya mematahkan dua gigi lawan sebagai kenang-kenangan di pertarungan terakhirnya, sebelum Agung memekik kencang setelah darah dan ngilu di tangan Danish semakin menggila.
“Bukan gue!” teriak Agung, setengah merengek, setengah lagi memohon ampun. “Bukan gue yang narik tali kutangnya.”
“Siapa?!” Danish balas berteriak. “Temen lo yang mana?”
“Guntur,” jawab Agung sambil meringis ngilu.
“Cuma satu doang?” Danish tidak langsung percaya. “Satu orang doang yang narik talinya?”
“Ya iyalah bego kalo yang nariknya sekompi itu cewek udah kayak diseret arus tsunami.”
Bugh!
“Si tai masih aja berani sama gue.” Danish tersenyum senang saat salah satu dari gigi ikonik Agung melonggar dan mengeluarkan darah segar. “Satu lagi.”
Bugh!
“Itu buat Oliv yang kapan hari lo serempet pake motor pagi-pagi,” ujarnya dengan cengiran lebar serta membuka masker yang menutup wajahnya sejak tadi. “Lo harus inget gue, Danish.” Pemuda itu mengedip genit sambil menepuk dada dan bangkit. “Nanti gue ganti biaya implan gigi,” ujarnya terakhir kali.“Danish!” teriak Agung sesaat setelah Danish bangkit dari atasnya dan berjalan menjauh. “Jauh-jauh sama yang namanya Danish!”
Tawa Danish dan sebagian anak Konoha yang mendengarnya menggelegar di udara, sudah jadi rahasia umum kalau Danish bisa menggila seperti zombie di Train to Busan andai melihat sedikit saja ada luka di ujung kulitnya. Dan sekarang buku jarinya berdarah, memar-memar karena bekerja keras memukuli gigi Agung barusan.
“Hokage pertama, Danish lukaaaa!” teriak anak-anak gengnya saat melihat Danish berdiri terpaku sambil memandangi punggung tangan yang memar.
Dan seperti biasa, seseorang yang paling cerdas mendinginkan emosinya di lapangan sudah datang, lari tergopoh-gopoh lalu menarik tangannya yang terluka. “Itu droplets,” kata Angga dengan plester baru yang dia ambil dari saku. “Awas lo hati-hati kena virusnya Agung.”
Danish tertawa. “Gue harus karantina mandiri dua minggu.”
“Fiyuh!” Angga meniup plester yang sudah dia tempel di tangan Danish. “Udah tuh,” ujarnya dengan senyum tersungging di sebelah bibir. “Selamat bertarung buat yang terakhir, Nish! Gue bakal kangen lari-larian nempelin plester luka pas tawuran.”
Mungkin suasana saat ini tidak ada romantis-romantisnya, tapi Danish tersentuh, dia tersenyum lebar sebelum kembali mengacungkan tangan di udara dan berteriak untuk melakukan penyerangan berikutnya. Mencari Guntur, biang keladi dari semua pertarungan ini. Mencari tersangka penarik tali kutang yang lancang sekali menghina SMA Nyusu secara tidak langsung.
“Nih, orang yang lo cari!” Aryan si patung hidup manekin pajangan Pasar Tanah Abang mendorong seseorang yang sudah tergolek lemah ke hadapannya. “Belum mati dia,” jelas pemuda itu melihat Danish melongo kebingungan.
“Lha, Yan?” Danish refleks melawan ketika ada serangan datang ke arah mereka, sementara di belakangnya, Aryan menginjak seseorang yang Danish anggap sebagai Guntur sambil memainkan ponsel dengan kedua tangan. “Woy, Yan!” panggil Danish melolong sebab Aryan melakukan hal yang tidak sepatutnya dia lakukan di tengah suasana tawuran.
“Gue disuruh berangkat les Bahasa Inggris sama nyokap,” decaknya dengan sebelah kaki menekan seseorang yang dia tahan di bawahnya. “Gue nggak bisa lama-lama.”
“Lha, iya gue juga!” pekik Danish tak fokus karena dia sibuk menghalau datangnya balok kayu serta senjata ramah lingkungan lain yang nyaris mampir ke badan.
“Sial!” decak Aryan sambil menendang dan berputar di sebelahnya hingga Danish bisa mengambil napas dengan tenang selama 2 detik. “Kapan sih polisi datang?” Dia menggerutu tidak senang.
Sejak kapan ada anak yang hobi tawuran tapi malah menantikan kedatangan polisi untuk membubarkan pertarungannya?
“Sampai kita menang,” ujar Danish dengan napas terengah. Di hadapan mereka, anak-anak SMK penerbangan berjatuhan dan menggelepar seperti lele kehabisan air. “Sampai kita semua bisa lari dan Zamrad sialan itu ketangkep semua.”
“Sinting lo!” umpat salah satu dari anak-anak itu dan sebagiannya lagi berlarian setelah Danish mendaratkan kaki di bokong mereka satu persatu.
“Lemah!” teriak Danish dengan senyum mengembang di wajah.
Pertarungan mereka berlangsung sengit, bagaimanapun hebatnya geng Konoha, tapi mengingat jumlah mereka yang terlalu sedikit membuat Danish dan para ninja hebat di gengnya kelelahan setengah mati. Satu dari mereka melawan setidaknya 3 orang sekaligus bertubi-tubi, beberapa anggota geng sendiri sudah banyak yang luka dan babak belur, hanya sebagian kecil yang masih memiliki wajah mulus dan kulit tak terkena lecet sedikit pun.
“Poli... si,” kata Tanjung terengah dengan ponsel yang dia tunjukkan di tangan kanan. “Polisi mau datang.” Senior Danish itu tertawa setelah mengatakannya. “Lari lo semua!”
Danish melongo, sempat membiarkan beberapa kali tubuhnya terkena pukulan benda tumpul, sementara Aryan sudah berlarian menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Dan suasana di medan tempur sama sekali belum stabil, sebagian besar masih melakukan baku hantam yang tersebar di berbagai sudut.
“Guys, polisi!” pekik Angga di tengah-tengah. “Lari!” teriakannya menggema dan membuat semua peserta tawuran dari dua kubu berpencar, terpecah belah, termasuk Danish yang kali ini tidak ikut mobil Aryan dengan Angga.
Dia buru-buru berlari sambil melepas jaket dan masuk ke gedung pasar Blok M, menuju parkiran tempat Michiko dititipkan. Jarak blok M ke Crematology hanya 3,4 kilometer saja, harusnya bisa ditempuh dengan waktu 7 menit melalui jalan Gunawarman. Danish ingat kalau Sayna menunggunya di sana. Tapi sebelum itu dia harus membersihkan diri, ganti baju kalau bisa, karena Sayna pasti akan menanyakan banyak hal padanya. Banyak sekali hal.
Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da
“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.“Pelajaran apa ini?”“Biologi, Danish!”Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan t
Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men
Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.“Paket, Mas?”Danish terperanjat—nyari
Herdian dan Arvin berlarian dari arah kantin dengan segelas es teh manis cap mpok Jenab dan roti isi kacang merah yang biasa Danish beli. Sementara itu, di sisi kirinya Hamam tengah mengipas-ngipasi Danish dengan topi sekolah, di sisi kanan ada Rafid yang mengelap butiran keringat di dahi Danish memakai handuk cap merah putih.Suasana kelas 2 IPA 3 pagi itu benar-benar berbeda, karena pukul 8 pagi tadi Danish seperti kerasukan Jungkook BTS muncul di tengah-tengah lapangan upacara lalu ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya. Sebuah keajaiban luar biasa melihatnya merelakan diri berjemur tanpa riasan seperti donat gula dan berbaris dengan tenang dalam upacara bendera hari Senin pagi. Meskipun setelahnya, Danish menggelepar seperti ikan kekurangan air, seperti musafir di padang pasir.“Nish, minum nih minum.” Herdian menyodorkan es teh manis ke hadapan teman sekelasnya yang terkenal sebagai idola SMA Nyusu dengan wajah panik. Nyaris setahun satu kelas de
Jagakarsa ke Kemang Raya membutuhkan waktu tempuh sekitar 18 sampai 20 menit lewat Jalur-Jalur tertentu. Dan berhubung Michiko masih memakai plat nomor sementara, Danish harus pintar-pintar menyiasati jalan-jalan tikus dari sekolah ke rumah Sayna demi menghindari polisi. Karena sejatinya plat nomor sementara tidak boleh dipakai oleh kendaraan baru dengan jangkauan jarak tertentu. Dan Danish membawa Michiko terlalu jauh.“Say,” panggil Danish saat mereka berhenti di lampu merah dengan untaian kendaraan berjejer yang tidak manusiawi lagi di hadapan.“Apa?” Sayna mendekat ke bahu sebelah kirinya, dan helm mereka beradu karena hal itu.“Gue sayang sama lo.” Danish tersipu-sipu. Ditatapnya gadis itu lewat spion dan terlihat sama tersipunya.“Gue juga,” bisik Sayna pelan. Suara kendaraan di seberang mereka meredamnya, tapi Danish masih bisa mendengar suara gadis itu dengan jelas. “Banget malah,” imbuhn
“Oh, begini ya rupanya kelakuan di luar rumah. Pulang sekolah pacaran di pom bensin!” Sayna dan Danish kontan menoleh saat seorang bocah ingusan mengendarai Vario putih dan helm cokelat susu memepet jalan mereka dari sisi kanan. Dan yang Danish ingat tentang anak itu adalah, mata sipit serta rambut lurusnya yang bagus, mirip dengan Sayna. “Siapa yang pacaran di pom bensin?” Sayna nyolot sambil menoyor kepala adiknya yang berbalut helm. “Pulang lo!” Dia membentak. “Teteh yang harus pulang, buruan turun! Pulang sama aku. Aduin ke ibu nih.” “Heh!” “Hai.&rdqu
“Tuh, dia datang. Gue ke perpus dulu, Say. Kalau lo sempet nanti susul aja.”“Oke.” Sayna mengangguk sambil mengacungkan ibu jari di udara, sementara matanya sibuk memindai deretan kalimat dari cerita fiksi dalam buku yang terbuka di atas mejanya sekarang. Dia baru mendongak saat bunyi kursi plastik di hadapannya bergeser tanda ditarik oleh seseorang.“Udah laper? Tumben jam segini ngajak ke kantin.”“Haus,” ujar Sayna, mengisyaratkan tatapan matanya pada kemasan Teh Kotak yang bertengger di sebelah kiri meja. “Jadi lo mau tetap terlibat dalam organisasi geng Kobang itu?” tembaknya langsung, setelah tadi susah payah menahan diri dan meminta Danish tidak lagi terlibat dalam hal tercemar seperti itu.“Salah satu syarat kalau gue mau keluar, ya gue harus tetap bayar uang kas bulanan.”Apakah benar begitu? Sayna baru tahu bahwasannya geng sekolah abal-abal itu ternyata memiliki sus
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka