“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.
Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.
“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.
“Pelajaran apa ini?”
“Biologi, Danish!”
Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.
“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan terselip di antara kerutan hidung dan dahinya yang berlipat.
“Kanker pankreas!” jawabnya sambil menjentikkan jari dan tersenyum puas. “Akhirnya gue inget.”
“Kok kanker pankreas, sih?” Sayna setengah merengek, hampir ingin menyerah mengajari bocah besar di hadapannya ini. “Kejauhan banget anjir! Itu namanya sembelit, Danish! Sembelit! Ini pelajaran anak SD. Lo kalo susah boker emang langsung kepikiran kanker, hah? Lo seenggaknya nyari pepaya dulu, kan?”
Danish memiringkan kepala. “Buat apa pepaya?” tanyanya polos dan Sayna menepuk jidat untuk selanjutnya menjambak-jambak rambut sendiri. “Eh, Say... gue ini berdasarkan data yang valid kok. Kapan hari ya gue nonton film Korea sama mbak gue, terus itu anaknya susah boker dari kecil sampai jadi emak-emak, diperiksa ke dokter eh taunya kanker.”
“Ya ampun, Danish...” Sayna menelungkupkan wajahnya di atas meja, setengah geli, setengahnya lagi ingin menyerah. “Nish, itu kan film. Lagian sembelitnya dari kecil sampe gede ya pantes kalau kanker, nah ini kan gue nggak bilang gitu. Aduh, Tuhan... gue mesti gimana ngomong sama ini anak.”
“Say, tenang... rileks.”
“Tenang, tenang pala lo peyang! Gimana gue bisa tenang kalo yang gue ajarin model begini!” Sayna cepat-cepat menyedot es cokelat pesanannya tadi. Dia butuh sesuatu untuk menenangkan diri, Danish benar soal itu. “Nih, ya! Emangnya lo seumur-umur nggak pernah sembelit, hah? Kebanyakan makan duku sama biji-bijinya lo telen gitu kan pasti lo susah boker, kan?”
“Kayaknya pengalaman banget ya, Say.”
Danish tertawa, dia meletakkan pulpen yang dipegangnya sejak tadi untuk beralih memegang sedotan es cokelat Sayna dan ikut menyedot minuman itu. Danish minum sambil tersenyum dengan mata yang tidak lepas menatapnya. Membuat Sayna merinding saja. Orang bilang, minum dari sedotan yang sama artinya ciuman secara tidak langsung. Dan kalau dihitung-hitung, sudah berapa kali mereka melakukannya?
“Oke, Nish catat pertanyaan tadi sama jawabannya sekalian. Kita lanjut.” Sayna meneruskan dan Danish menurutinya dengan patuh.
Aduh, dia manis sekali, batin Sayna dalam hati. Susah memang menolak pesonanya, Danish anak yang baik sebenarnya, menggemaskan, dan rendah hati juga sangat tulus, sangat jujur. Kalau mengingat tentang hal yang diungkapkannya tadi, Sayna baru mengerti tentang betapa dalam luka yang dipendam pemuda pujaannya itu.
“Say?” panggilnya memergoki Sayna yang tengah melamun. “Kenapa?”
Sayna buru-buru menggeleng.
“Gue bakal ke psikolog seperti kata lo tadi, gue janji,” ujarnya tenang. “Gue juga mau luka batin itu sembuh, Say. Gue tahu pelampiasan gue salah, dan gue harus belajar memaafkan semuanya, termasuk diri gue sendiri. Gue memang merasa bersalah karena waktu itu nggak berdaya di depan mbak gue, gue masih kecil, belum bisa melawan. Tapi gue juga tahu kalau itu bukan salah gue, seperti kata lo tadi. Makasih udah ngebuka pikiran gue.”
Sayna mengangguk. Air matanya hampir jatuh lagi tiap mengingat potongan kisah yang Danish ceritakan tadi. Dia tidak sanggup membayangkan bocah berusia 7 tahun mendapat perlakuan seperti itu, tidak sanggup membayangkan luka sedalam apa yang dimiliki Danish menyaksikan kakak kandungnya dilecehkan oleh orang yang mereka sebut ayah.
Sayna tidak bisa membendung air matanya lebih lama, walau pembicaraan itu sudah berlalu dan mereka mengalihkannya pada hal-hal lain, terutama belajar.
“Say, gue udah nggak apa-apa,” ucap Danish sambil menenangkannya. Pindah dan duduk di sebelahnya, memegangi bahu Sayna, membantu menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.
“Andai... gue ada di sana... waktu itu...” Sayna terisak. “Gue pasti gebukin bapak sialan lo itu, Nish. Pasti. Nggak akan gue kasih ampun.”
Danish terkekeh dengan sebelah tangan menopang tubuh dan sebelahnya lagi menepuk-nepuk lengan Sayna. “Waktu itu juga umur lo masih 7 tahun kali.”
“Gue belajar beladiri dari kecil banget, Danish.” Sayna mengangkat wajahnya dan menyeka air mata segera. “Waktu itu gue pasti lebih jago dari lo.”
“Oh, ya?” Danish memiringkan kepala dan memasang ekspresi tidak percaya. “Terus kenapa lo nggak mau jadi atlit? Gabung klub taekwondo sekolah aja ogah, padahal lo jago banget sekarang.”
“Gue belajar beladiri disuruh ayah.”
“Karena ayah lo tentara? Jadi anak tentara harus bisa beladiri, ya?” Danish bertanya sambil mengusap-usap dagunya. “Padahal seharusnya sih nggak usah.”
“Kenapa?”
“Kan ada gue yang lindungin lo.”
Sayna tersenyum mendengar jawaban receh dan gombal yang dilontarkan oleh calon pacarnya itu. Kedengaran enteng sekali memang, tapi justru hal-hal sederhana seperti itu membuatnya melayang. Danish tidak menganggapnya laki-laki saja sudah bagus, mengingat bagaimana Sayna sering menghajarnya di arena taekwondo.
“Ayah gue bilang, gue harus bisa melindungi diri gue sendiri, karena orang yang paling gue andalkan sekalipun nggak bisa setiap saat ada di samping gue, atau selamanya bareng sama gue.” Danish diam dan mengerjap mendengar Sayna bicara. Masih dengan posisi miring menghadapnya dan sebelah tangan bertumpu di atas meja.
“Bilang makasih ke ayah lo karena udah mempersiapkan anak ceweknya jadi setangguh ini pas ketemu gue.” Dia tersenyum. “Semoga gue layak buat lo kelak.”
Sayna bersemu, ada rasa panas menjalar dari pipi ke telinganya, bahkan mungkin dia bisa merebus telur di area itu. Danish memang suka menggombal, tapi tidak dengan kalimat seperti ini.
“Layak juga kalau nggak jodoh susah sih, Nish. Balik lagi ke takdir.” Sayna mengalihkan topik.
“Oh, gampang!” Danish menjentikkan jari. “Gue tinggal berdoa sama Tuhan, kayak gini nih, ehem...” Dia berdeham dan menengadahkan dua tangan di udara lalu memejamkan mata. “Ya Tuhan, kalau dia bukan jodohku, maka hapuskanlah kata bukan dari dunia ini. Aamiin!”
Sayna tergelak, Danish meliriknya dengan mata terpicing sebelah masih dengan posisi berdoa dan Sayna harus bekerja keras menurunkan tangan pemuda itu agar berhenti menarik perhatian pengunjung lain. Ingat saja kalau mereka masih di kafe hingga saat ini.
“Nih, gue punya pisang.” Danish menjulurkan tangan untuk mengambil tasnya dan mengeluarkan 2 buah pisang Cavendish dari dalam sana. “Kata nyokap gue, pas mood kita jelek, selain cokelat sama es krim, pisang juga bisa bantu lho. Biar lo nggak sedih lagi.”
“Lo bawa pisang ke sekolah?” Sayna terperangah sambil menerima dua buah pisang itu dengan tangannya. “Eh, maksudnya... lo suka pisang?”
“Gue lebih suka nanas, sih. Tapi kata Angga jangan makan nanas banyak-banyak, ntar gue keguguran.”
Sayna terkikik geli. “Dan lo percaya ke Angga?”
Danish mengangguk meski tampak ragu pada awalnya. “Angga kan pinter, pasti pengetahuan dia lebih luas.”
“Sumpah, ya.” Sayna tertawa lepas, rasanya baru kali ini dia bisa tertawa sampai kulit perutnya nyeri dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Sejak pertama kali bertemu Danish di tempat ini, tidak terhitung berapa kali jantungnya berganti irama, berdoa saja semoga tidak ada gangguan kesehatan jantung di masa depan.
Danish membuatnya kesal, sedih, lalu terkesan dan melayang kemudian membuat Sayna tertawa kencang. Apa sih rahasianya? Apa yang membuat Danish jadi orang se-menarik ini? Ngidam apa ibunya dulu saat Danish dalam kandungan?
“Nish, ini isi kepala lo kalau bukan slime pasti pepes tahu,” ucap Sayna sambil mengetuk-ngetuk kepala, mengelus-elus rambut pemuda itu dan merapikan helaiannya yang agak berantakan.
“Duh, itu rahang enteng amat.” Danish memegangi tangan Sayna dan membuatnya berhenti memainkan rambut. Tawa mereka meledak dengan Sayna yang mencubit hidung pemuda di hadapannya itu sampai merah. Hidungnya bagus sekali ya, Tuhan... demi apa pun itu. Mancung dan ramping, proporsional, bahkan lubang hidungnya saja indah. Sayna rela jadi upil demi bisa mendiami hidung Danish yang sempurna.
“Udah nih makan pisangnya, nanti kita belajar lagi.”
“Iya.” Sayna mengangguk patuh dan mulai memakan buah yang dibawa calon pacarnya itu. “Nish, kalau gue pesen makan lagi boleh?”
“Boleh.” Danish mengangguk. “Gue juga jadi lapar lagi, mungkin karena belajar terlalu keras jadi energi gue terkuras.”
“Bacot.” Sayna tertawa seraya melempar cangkang pisang ke arahnya dan Danish terbiasa sigap, menangkap itu dengan mudah. “Makasih pisangnya, tapi gue belum kenyang.” Gadis itu memanyunkan bibir sambil memegangi dagunya. “Kata nyokap gue pisang yang enak itu bukan yang mulus gini, Nish. Justru yang ada warna cokelat-cokelatnya.”
“Beneran?” tanyanya tak langsung percaya.
“Iya, beneran. Lebih manis.”
“Masa sih? Kok lo nggak ada cokelat-cokelatnya tapi tetep manis? Manis banget malah.”
ªªª
ªªª
Seporsi nasi goreng spesial Crematology, satu piring daging bertabur tomat yang mereka sebut Podomoro, serta tambahan es cokelat terhidang di sisi dua cangkir kopi menggantikan piring waffle dan spaghetti carbonara yang sudah kosong. Ini untuk kali kedua Danish dan Sayna memesan menu makanan di tempat tersebut. Dan setelah menghabiskan makanan yang sebelumnya, mereka kembali kelaparan akibat belajar dan mengajar terlalu keras.
“Jadi habis ini kita pulang. Nanti gue atur hari apa lagi kita belajar. Yang jelas H-1 ulangan sih wajib ya, Nish. Kita kuasai materi yang mau diuji dan ngulas soal-soal kayak tadi.”
Danish mengangguk-angguk saja berhubung mulutnya penuh daging, dia juga berhenti memotong daging di piring saat Sayna mencicipi menu itu dengan garpunya sendiri lalu menyuap potongan daging itu dengan santai.
“Hm... enak, gue mau lagi,” ujarnya dan Danish dengan senang hati berbagi. Mereka makan sepiring berdua, duduk bersebelahan, seperti sejoli dalam lagu dangdut tahun 90-an. “Gue ke toilet sebentar.”
“Iya.” Danish mengangguk. “Boleh pinjem hape lo, nggak?”
“Buat apa?” Sayna mengernyitkan hidung.
“Buat buka kalkulator.”
“Dih, gue bayar sendiri kali, Nish!”
Danish terkekeh iseng saat gadis itu meninggalkannya dengan ponsel bergambar kelinci pink dibalut case warna senada. Dan diam-diam Danish membuka ponselnya, mencari keberadaan kontaknya sendiri lalu merengut saat mendapati namanya ditulis sangat formal.
Danish Adiswara 2 IPA 3
Gila. Memang ada Danish mana lagi di dunia ini? Apa perlu menulis kontaknya dengan nama sepanjang itu? Selengkap itu? Bahkan di SMA Nyusu saja tidak ada dua Danish, buat apa repot-repot menuliskan identitas kelasnya, kan?
Dengan penuh tekad, Danish mengganti kontaknya sendiri di ponsel Sayna menjadi Calon Pacar aka Danish ganteng. Lalu tertawa cekikian sendirian.
“Eh, ini nama juga nggak kalah panjang,” gumamnya sendiri dan tertawa lagi.
Dengan rasa percaya diri yang tidak terprediksi, Danish berniat memotret dirinya sendiri di ponsel Sayna tepat di hari pertama mereka kencan alias hari ini, karena di ponselnya sendiri sudah ada beberapa foto Sayna yang dia ambil diam-diam sejak tadi.
“Gue mau bikin folder deh, Danish ganteng,” ucapnya lagi setelah berhasil mengabadikan wajah gantengnya dengan kamera ponsel Sayna.
Namun saat dia menulis nama folder itu, entah kenapa terjadi sesuatu yang aneh. Ponsel Sayna malah membawanya untuk membuka folder lain dengan nama yang mirip, lalu hanya seperempat detik setelahnya, Danish melihat banyak sekali foto-foto hasil screenshot berterbaran di sana. Dan semua yang ada di sana adalah Danish sendiri.
Sayna memiliki banyak sekali foto Danish di ponselnya.
“Wah...” Danish sampai gemetar sambil menurunkan layar ke bawah dan masih mendapati foto-fotonya sendiri hingga akhir. Dan dilihat dari tanggal pertama kali Sayna mendapatkannya, itu sudah sangat lama. Sayna... memiliki foto Danish sejak lama.
Sesuatu di dalam dadanya berdesir hangat. Tapi mengingat bagaimana Sayna bersikap selama ini, rasanya hampir mustahil dia melakukan itu semua. Sayna seperti orang yang tidak Danish kenal, Sayna selalu galak, tidak ramah, dan kadang terlihat membencinya.
“Lo buka gallery hape gue!” serobot gadis itu tiba-tiba. Ponsel di tangan Danish berpindah tangan, dan gadis di hadapannya berdiri menjulang dengan wajah merah serta napas terengah. “Nggak sopan, Danish!”
“Sori,” jawab Danish buru-buru sambil menahan tangan gadis itu. Memasang ekspresi memelas ala anak anjing andalannya. “Gue nggak sengaja, kebuka gitu aja.”
“Katanya mau minjem kalkulator doang, mana bisa nyasar ke gallery!” Sayna tampak murka dan... malu.
“Gue bercanda kali, Say. Sori, ya? Yuk, pulang sekarang. Gue anggap tadi nggak ngeliat apa-apa kok.”
“Hah?” Sayna menghempaskan tangannya. “Gimana bisa lo memutuskan buat pura-pura nggak liat apa-apa? Kan lo udah lihat semua!” Sayna terengah. “Lo nyepelein perasaan gue, iya? Karena lo tahu banyak cewek yang bertingkah kayak gitu dan ngebucinin lo diam-diam. Iya, kan?”
Danish melongo dan matanya mengerjap memandangi Sayna. Ya Tuhan... Danish tidak minta apa-apa sekarang, hanya berikan saja dia akal sehat agar bisa berpikir panjang sebelum menjawab pertanyaan Sayna.
“Gu...gue takut lo malu,” jawab Danish pelan dan bingung. Dia benar-benar bingung, jelas hatinya senang tapi kalau Sayna tidak nyaman, mana mungkin Danish merasa senang di atas ketidaknyamanan gadis itu, kan?
Dan jujur saja separuh dari dirinya masih tidak percaya Sayna melakukan itu. Menyukainya sejak dulu, sebanyak itu.
“Kata siapa gue malu?” Sayna mendelik dan duduk lagi di tempatnya tadi sambil berdeham, mengusir keanehan yang tengah menyelimuti. “Oke, gue malu,” akunya sambil menundukkan wajah. “Tapi nggak apa-apa, lagian lo udah tahu kalau gue suka sama lo. Jadi ya udah lah. Terus lo juga habis kasih tahu rahasia besar ke gue tadi, anggap ini sebagai gantinya. Gue juga ngasih tahu lo rahasia yang sama besar dengan rahasia yang lo punya.”
Danish memerah. Kenapa sih Sayna suka membuat jantungnya repot sekali? Saking speechless dan berbunga-bunga, Danish bahkan bisa melihat perubahan rona di ujung hidungnya sendiri. Dan saat ini dadanya berdebar keras sekali, seperti ada yang menabuh bedug saat malam takbir.
“Gu...gue sebenarnya...” Danish memotong di tengah dan berdeham lalu menundukkan wajah. “Suka sama lo dari lama,” ujarnya pelan. “Dari pertama ketemu, 3 tahun lalu. Gue... sering sengaja jajanin anak-anak biar bisa ngasih lo Teh Kotak. Gue...” Danish menggaruk kepala dan mengangkat wajahnya.
Sayna tengah merona merah. Mereka berdua merasakan hal yang sama sejak lama. Tapi butuh waktu 3 tahun untuk saling bicara, saling mengaku, saling tahu bahwa keduanya sama-sama suka.
“Pulang, yuk!” ajak Sayna pada akhirnya, sebab tidak ada yang berani angkat suara setelah saling tahu rahasia keduanya.
Danish mengangguk. Dia buru-buru menyambar tas dan berjalan di belakang Sayna setelah membayar makanan. Anehnya mereka berdua menjadi canggung, apalagi saat Danish menyerahkan helm dan jaket pada Sayna. Jari mereka sempat bersentuhan, tapi kali ini ada sensasi seperti listrik yang menyengat, padahal tadi tidak apa-apa.
“Gue ada dua kata buat lo.” Danish kembali menolehkan kepala saat sudah duduk di jok motornya.
“Apa?”
“Gue sayang lo.”
Sayna mendekatkan wajah hingga dagunya menyentuh bahu Danish dan jarak wajah mereka hanya beberapa centimeter saja. “Bukannya itu tiga?”
“Dua, kan lo sama guenya jadi satu.”
“Apa sih, Danish?”
Sayna menyentuhkan ujung hidungnya ke wajah Danish lalu tertawa sangat renyah seperti orang sedang makan keripik kentang. Dan di sisi yang lain, kaki Danish gemetar seperti agar-agar swalow empat ribuan. Dia segera memalingkan wajah dan mencoba fokus berkendara.
“Yuk, jalan!” ajak Sayna untuk kali ke sekian. “Michi anterin mama pulang, ya. Nanti dikasih ciuman hangat dari sepatu baru yang hari ini mama pakai.”
Danish mengulum senyum sementara gadisnya mengoceh sendirian, lalu dia mundur untuk keluar dari portal parkiran, tapi tiba-tiba tangan Sayna menyelip ke dalam saku jaketnya dan Danish mendadak diam.
“Nish, sori. Itu tadi refleks, gue kayak gitu kalau naik motor sama ayah.” Gadis itu buru-buru menarik tangan dari sakunya.
Danish tahu, sangat tahu akan kebiasaan itu. Danish menghafalnya di luar kepala, padahal dia anak yang pelupa. “Nggak apa-apa kali, Say. Biar anget juga, kan?”
Sayna mendekatkan kepala hingga helm di kepala mereka beradu. “Beneran nggak apa-apa?”
Danish menyengir malu. “Nggak apa-apa,” jawabnya tanpa ragu.
“Oh, ya udah kalau gitu.”
Dan di sore hari menjelang malam itu, Danish bersama Sayna berboncengan untuk kali kedua dengan perasaan yang sama sekali baru. Dengan hasrat ingin memiliki yang makin menggebu, dengan senyum Danish yang sangat lebar sampai pipinya pegal dan dia berencana akan minum jamu pegal linu, juga Sayna yang aman duduk di jok belakang dengan tangan masuk ke dalam saku.
Danish merasa, semua mimpi jangka pendeknya terwujud sore itu.
ªªª
Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men
Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.“Paket, Mas?”Danish terperanjat—nyari
Herdian dan Arvin berlarian dari arah kantin dengan segelas es teh manis cap mpok Jenab dan roti isi kacang merah yang biasa Danish beli. Sementara itu, di sisi kirinya Hamam tengah mengipas-ngipasi Danish dengan topi sekolah, di sisi kanan ada Rafid yang mengelap butiran keringat di dahi Danish memakai handuk cap merah putih.Suasana kelas 2 IPA 3 pagi itu benar-benar berbeda, karena pukul 8 pagi tadi Danish seperti kerasukan Jungkook BTS muncul di tengah-tengah lapangan upacara lalu ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya. Sebuah keajaiban luar biasa melihatnya merelakan diri berjemur tanpa riasan seperti donat gula dan berbaris dengan tenang dalam upacara bendera hari Senin pagi. Meskipun setelahnya, Danish menggelepar seperti ikan kekurangan air, seperti musafir di padang pasir.“Nish, minum nih minum.” Herdian menyodorkan es teh manis ke hadapan teman sekelasnya yang terkenal sebagai idola SMA Nyusu dengan wajah panik. Nyaris setahun satu kelas de
Jagakarsa ke Kemang Raya membutuhkan waktu tempuh sekitar 18 sampai 20 menit lewat Jalur-Jalur tertentu. Dan berhubung Michiko masih memakai plat nomor sementara, Danish harus pintar-pintar menyiasati jalan-jalan tikus dari sekolah ke rumah Sayna demi menghindari polisi. Karena sejatinya plat nomor sementara tidak boleh dipakai oleh kendaraan baru dengan jangkauan jarak tertentu. Dan Danish membawa Michiko terlalu jauh.“Say,” panggil Danish saat mereka berhenti di lampu merah dengan untaian kendaraan berjejer yang tidak manusiawi lagi di hadapan.“Apa?” Sayna mendekat ke bahu sebelah kirinya, dan helm mereka beradu karena hal itu.“Gue sayang sama lo.” Danish tersipu-sipu. Ditatapnya gadis itu lewat spion dan terlihat sama tersipunya.“Gue juga,” bisik Sayna pelan. Suara kendaraan di seberang mereka meredamnya, tapi Danish masih bisa mendengar suara gadis itu dengan jelas. “Banget malah,” imbuhn
“Oh, begini ya rupanya kelakuan di luar rumah. Pulang sekolah pacaran di pom bensin!” Sayna dan Danish kontan menoleh saat seorang bocah ingusan mengendarai Vario putih dan helm cokelat susu memepet jalan mereka dari sisi kanan. Dan yang Danish ingat tentang anak itu adalah, mata sipit serta rambut lurusnya yang bagus, mirip dengan Sayna. “Siapa yang pacaran di pom bensin?” Sayna nyolot sambil menoyor kepala adiknya yang berbalut helm. “Pulang lo!” Dia membentak. “Teteh yang harus pulang, buruan turun! Pulang sama aku. Aduin ke ibu nih.” “Heh!” “Hai.&rdqu
“Tuh, dia datang. Gue ke perpus dulu, Say. Kalau lo sempet nanti susul aja.”“Oke.” Sayna mengangguk sambil mengacungkan ibu jari di udara, sementara matanya sibuk memindai deretan kalimat dari cerita fiksi dalam buku yang terbuka di atas mejanya sekarang. Dia baru mendongak saat bunyi kursi plastik di hadapannya bergeser tanda ditarik oleh seseorang.“Udah laper? Tumben jam segini ngajak ke kantin.”“Haus,” ujar Sayna, mengisyaratkan tatapan matanya pada kemasan Teh Kotak yang bertengger di sebelah kiri meja. “Jadi lo mau tetap terlibat dalam organisasi geng Kobang itu?” tembaknya langsung, setelah tadi susah payah menahan diri dan meminta Danish tidak lagi terlibat dalam hal tercemar seperti itu.“Salah satu syarat kalau gue mau keluar, ya gue harus tetap bayar uang kas bulanan.”Apakah benar begitu? Sayna baru tahu bahwasannya geng sekolah abal-abal itu ternyata memiliki sus
“Gombal anjir!” Sayna mendorong pelan bahu Danish dan tertawa geli. Kesempatan sekali menjauhkan diri dari pemuda itu karena dia kelelahan sejak tadi menahan diri dan juga suara jerit-jerit di hati sebab Danish menyentuh—mengelus-elus wajahnya untuk pertama kali. Ya, meskipun itu dalam rangka meratakan sunblock, bukan karena hal lain.“Gue suka sama lo 100%, banyakan gue.” Gadis itu kembali buka suara karena Danish diam saja. Dia hanya senyum-senyum seperti orang gila.“Kita kan beda.” Danish melipat tangan di dada. “Lo tahu kan, bedanya gue sama lo?”“Beda gender?”“Salah.” Dia menggelengkan kepala. “Lo itu you, kalau gue yours.”“Apa sih, Danish? Geli ih!”Keduanya terkekeh dan menjauh dari ruang cuci, berjalan menuju lapangan sepak bola di bagian utara gedung sekolah, tempat di mana anak-anak klub taekw
Setelah ciuman dadakan itu, rupanya ada yang lebih merepotkan daripada debar di dada Sayna. Danish—partner ciumannya, mendadak demam dan seluruh wajahnya memerah dengan mata sayu yang susah payah dia sembunyikan. Apa bersentuhan bibir dengan Sayna membuatnya sampai seperti itu? Apa Sayna menularkan virus kepadanya? Tapi kan dia sedang tidak sakit, Sayna juga sudah gosok gigi. Jadi Danish kenapa, sih?“Nish...” panggil Sayna sambil menggoyangkan lengan teman sekelasnya itu. Danish memejamkan mata di bangku panjang dekat parkiran, rencananya mereka akan pulang tapi dia bilang tunggu sebentar, dan ini sudah lebih dari 10 menit. Danish di sebelahnya menyandarkan kepala ke sandaran kursi dengan kelopak mata tertutup rapat.Sayna diam-diam memperhatikannya dari sisi sebelah kiri, pasti Danish sudah kelelahan dipuji ganteng selama dia hidup, tapi jika pemandangan yang dilihat orang lain adalah figur seperti ini, mana mungkin pujian itu berhenti meng
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka