Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.
Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.
“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”
“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men
Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.“Paket, Mas?”Danish terperanjat—nyari
Herdian dan Arvin berlarian dari arah kantin dengan segelas es teh manis cap mpok Jenab dan roti isi kacang merah yang biasa Danish beli. Sementara itu, di sisi kirinya Hamam tengah mengipas-ngipasi Danish dengan topi sekolah, di sisi kanan ada Rafid yang mengelap butiran keringat di dahi Danish memakai handuk cap merah putih.Suasana kelas 2 IPA 3 pagi itu benar-benar berbeda, karena pukul 8 pagi tadi Danish seperti kerasukan Jungkook BTS muncul di tengah-tengah lapangan upacara lalu ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya. Sebuah keajaiban luar biasa melihatnya merelakan diri berjemur tanpa riasan seperti donat gula dan berbaris dengan tenang dalam upacara bendera hari Senin pagi. Meskipun setelahnya, Danish menggelepar seperti ikan kekurangan air, seperti musafir di padang pasir.“Nish, minum nih minum.” Herdian menyodorkan es teh manis ke hadapan teman sekelasnya yang terkenal sebagai idola SMA Nyusu dengan wajah panik. Nyaris setahun satu kelas de
Jagakarsa ke Kemang Raya membutuhkan waktu tempuh sekitar 18 sampai 20 menit lewat Jalur-Jalur tertentu. Dan berhubung Michiko masih memakai plat nomor sementara, Danish harus pintar-pintar menyiasati jalan-jalan tikus dari sekolah ke rumah Sayna demi menghindari polisi. Karena sejatinya plat nomor sementara tidak boleh dipakai oleh kendaraan baru dengan jangkauan jarak tertentu. Dan Danish membawa Michiko terlalu jauh.“Say,” panggil Danish saat mereka berhenti di lampu merah dengan untaian kendaraan berjejer yang tidak manusiawi lagi di hadapan.“Apa?” Sayna mendekat ke bahu sebelah kirinya, dan helm mereka beradu karena hal itu.“Gue sayang sama lo.” Danish tersipu-sipu. Ditatapnya gadis itu lewat spion dan terlihat sama tersipunya.“Gue juga,” bisik Sayna pelan. Suara kendaraan di seberang mereka meredamnya, tapi Danish masih bisa mendengar suara gadis itu dengan jelas. “Banget malah,” imbuhn
“Oh, begini ya rupanya kelakuan di luar rumah. Pulang sekolah pacaran di pom bensin!” Sayna dan Danish kontan menoleh saat seorang bocah ingusan mengendarai Vario putih dan helm cokelat susu memepet jalan mereka dari sisi kanan. Dan yang Danish ingat tentang anak itu adalah, mata sipit serta rambut lurusnya yang bagus, mirip dengan Sayna. “Siapa yang pacaran di pom bensin?” Sayna nyolot sambil menoyor kepala adiknya yang berbalut helm. “Pulang lo!” Dia membentak. “Teteh yang harus pulang, buruan turun! Pulang sama aku. Aduin ke ibu nih.” “Heh!” “Hai.&rdqu
“Tuh, dia datang. Gue ke perpus dulu, Say. Kalau lo sempet nanti susul aja.”“Oke.” Sayna mengangguk sambil mengacungkan ibu jari di udara, sementara matanya sibuk memindai deretan kalimat dari cerita fiksi dalam buku yang terbuka di atas mejanya sekarang. Dia baru mendongak saat bunyi kursi plastik di hadapannya bergeser tanda ditarik oleh seseorang.“Udah laper? Tumben jam segini ngajak ke kantin.”“Haus,” ujar Sayna, mengisyaratkan tatapan matanya pada kemasan Teh Kotak yang bertengger di sebelah kiri meja. “Jadi lo mau tetap terlibat dalam organisasi geng Kobang itu?” tembaknya langsung, setelah tadi susah payah menahan diri dan meminta Danish tidak lagi terlibat dalam hal tercemar seperti itu.“Salah satu syarat kalau gue mau keluar, ya gue harus tetap bayar uang kas bulanan.”Apakah benar begitu? Sayna baru tahu bahwasannya geng sekolah abal-abal itu ternyata memiliki sus
“Gombal anjir!” Sayna mendorong pelan bahu Danish dan tertawa geli. Kesempatan sekali menjauhkan diri dari pemuda itu karena dia kelelahan sejak tadi menahan diri dan juga suara jerit-jerit di hati sebab Danish menyentuh—mengelus-elus wajahnya untuk pertama kali. Ya, meskipun itu dalam rangka meratakan sunblock, bukan karena hal lain.“Gue suka sama lo 100%, banyakan gue.” Gadis itu kembali buka suara karena Danish diam saja. Dia hanya senyum-senyum seperti orang gila.“Kita kan beda.” Danish melipat tangan di dada. “Lo tahu kan, bedanya gue sama lo?”“Beda gender?”“Salah.” Dia menggelengkan kepala. “Lo itu you, kalau gue yours.”“Apa sih, Danish? Geli ih!”Keduanya terkekeh dan menjauh dari ruang cuci, berjalan menuju lapangan sepak bola di bagian utara gedung sekolah, tempat di mana anak-anak klub taekw
Setelah ciuman dadakan itu, rupanya ada yang lebih merepotkan daripada debar di dada Sayna. Danish—partner ciumannya, mendadak demam dan seluruh wajahnya memerah dengan mata sayu yang susah payah dia sembunyikan. Apa bersentuhan bibir dengan Sayna membuatnya sampai seperti itu? Apa Sayna menularkan virus kepadanya? Tapi kan dia sedang tidak sakit, Sayna juga sudah gosok gigi. Jadi Danish kenapa, sih?“Nish...” panggil Sayna sambil menggoyangkan lengan teman sekelasnya itu. Danish memejamkan mata di bangku panjang dekat parkiran, rencananya mereka akan pulang tapi dia bilang tunggu sebentar, dan ini sudah lebih dari 10 menit. Danish di sebelahnya menyandarkan kepala ke sandaran kursi dengan kelopak mata tertutup rapat.Sayna diam-diam memperhatikannya dari sisi sebelah kiri, pasti Danish sudah kelelahan dipuji ganteng selama dia hidup, tapi jika pemandangan yang dilihat orang lain adalah figur seperti ini, mana mungkin pujian itu berhenti meng
“Dek, kenapa?”Sayna memperhatikan interaksi anak dan ibu yang baru pertama kali dia lihat saat ini di depan matanya. Begitu turun dari sepeda motor dan menuntun Danish berjalan masuk rumah, seorang wanita dengan setelan kemeja dan celana kulot berwarna salem muncul tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Sayna bisa menebak bahwa wanita itu adalah ibu kandung Danish, Melia Adiswara, pengusaha laundry terkaya di Indonesia yang sering masuk berita dan majalah enterpreneur nasional.Jika ibunda di rumah selalu mengenakan daster batik dan ke kantor memakai seragam, maka ibunya Danish tipe yang terlihat siap kapan saja meski di rumah sekalipun. Dia bisa tinggal menenteng tas dan keluar rumah begitu saja dengan pakaian apa pun yang menempel di tubuhnya saat ini tanpa perlu berdandan sama sekali. Sebab, ibu kandung Danish sangat cantik.Rambut pendek, hidung mancung, kulit yang sehat terawat serta wangi semriwing di udara tercium dari
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka