Andai matahari mau minum paracetamol, mungkin cuaca tidak akan sepanas ini. Danish mengibas-ngibaskan kaus olahraga yang dipakainya, setelah mengoleskan sunblock tipis-tipis ke seluruh tubuh secara merata, dia menyusul teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruang cuci laki-laki. Hari ini adalah pelajaran olahraga, dan bukannya Danish tidak suka, hanya saja kegiatan outdoor seperti berolahraga bisa membuatnya terbakar matahari, dan dia keberatan.
Kenapa mereka tidak olahraga di dalam gedung saja? Kenapa harus berlari memutari lapangan upacara? Kenapa harus—
“Nish!” Danish terperanjat saat suara Hamam dari arah belakang mengejutkannya. Anak itu terlambat datang, dia bahkan baru keluar dari ruang ganti tanpa memakai kaus olahraga.
“Kenapa lo telat?” tanya Danish kepadanya. Sebagian anak IPA 3 sudah berkerumun dekat lapangan, Sayna juga ada di sana, rambutnya dikuncir tinggi, dia memakai sepatu olahraga jenis yang sama dengan Danish. Duh, kalau saja mereka idol Korea, sudah pasti ada postingan yang melakukan teori cocoklogi pada tragedi sepatu kembar ini, Danish menyengir diam-diam.
“Bokap sama nyokap gue berantem,” jelas Hamam, menjawab pertanyaan yang tadi Danish tanyakan.
“Lah, apa kolerasinya?” Dia kebingungan. Maklum saja, Danish lupa bagaimana rasanya punya orangtua yang utuh. “Lo... nunggu mereka selesai? Atau... lo ngelerai mereka, ya?” tanyanya hati-hati.
Hamam menggeleng. “Gue nungguin sepatu gue. Soalnya satu dipegang bokap, satunya lagi dipegang sama nyokap.” Pemuda itu menyengir iseng, dan Danish menahan diri untuk tidak menggeplak kepalanya.
Mereka semua berkumpul, ketua kelas 2 IPA 3—Herdian, yang mengaku bahwa dirinya mirip RM BTS dan punya wibawa juga kecerdasan seperti idolanya itu, berdiri di depan kerumunan anak-anak sekelas. Sekadar informasi, satu kelas ini hanya berisikan 25 siswa dengan 13 orang anak perempuan dan 12 anak laki-laki, tidak banyak memang isinya. Jadi Herdian tidak perlu berteriak kencang untuk mengatur teman-teman buasnya.
“Hari ini Pak Bambang bilang kita bakal masuk materi senam lantai alias gymnastic. Tapi sebelumnya kita harus pemanasan dulu. Kalian mau pemanasan atau enggak?”
“Enggaaaakkk!” jawab teman-temannya serempak, terutama Danish yang suaranya paling lantang dan kencang.
“Jadi mau langsung ke gedung olahraga aja nih?” Herdian mengkonfirmasi.
“Iyaaaaa!”
“Oke,” jawabnya santuy. “Tapi lo pada janji ya, kalau ditanya udah pemanasan jawabnya yang kompak.”
Gerombolan kelas itu berjalan menuju gedung olahraga yang terletak di belakang bangunan kelas mereka, ketika semuanya telah sampai di gedung olahraga, mereka langsung mengambil posisi untuk merebahkan tubuh, sebagian bermain-main dengan alat olahraga yang tersedia, sebagian lagi membentuk perkumpulan untuk duduk berkelompok.
“Pak Bambang pasti telat,” kata Arvin sambil melirik jam tangan di pergelangannya. “Apa nggak sebaiknya kita main yang lain dulu?”
“Main apa?” tanya Danish.
“Eh, kok ada Danish?” Herdian terkekeh sambil menunjuk ke arahnya sampai Danish menyipit lalu anak itu segera bungkam. “Oke, sori. Biasanya kan lo nggak main sama anak-anak sini.”
“Eh, tolong ya kan ini lagi jam pelajaran nggak mungkin gue mental keluar.”
“Tapi, Nish,” kata Hamam menginterupsinya. “Kok lo jadi jarang main sama anak-anak geng lo itu, sih? Apa gara-gara nggak ada serangan lagi?”
“Dengan adanya lo di kelas kita, semua anak IPA 3 terlindungi, Nish. Pamor lo bagus banget.” Arvin menambahkan.
Iya, Danish tahu pamornya di kalangan anak laki-laki di seluruh sekolah bukan sekadar isapan jempol belaka. Semuanya hampir tahu bahwa Danish jago bertempur di lapangan, jadi tidak ada yang berani macam-macam pada penduduk di kelas mereka, baik itu kakak kelas sekalipun. Hanya saja, risiko lain yang harus Danish terima juga adalah pandangan buruk beberapa orang terhadapnya. Termasuk dari Sayna.
“Jangan bilang... ini gara-gara Sayna.” Suara Herdian terdengar setelah Danish membisu, tidak mampu mengeluarkan alibi apa pun sebagai alasan.
“Lo sama Sayna beneran?” Arvin lagi-lagi bersuara.
“Danish sama Sayna pacaran?” susul Rafid yang baru muncul setelah melempar jauh bola basket yang sempat dimainkannya.
“Itu sih—”
“Gue tanya sama Sayna kemarin katanya nggak pacaran kok.”
Belum juga Danish menyelesaikan kalimatnya, Reno tahu-tahu sudah muncul dari arah belakang. Reno selama ini dikenal sebagai salah satu pelaku Petrus Jakandor-nya* Sayna, pasti mendengar kabar simpang siur soal hubungan gadis itu dia tidak akan tinggal diam. (Pepet terus jangan kasih kendor).
“Ditolak lo?” sahut Hamam.
Kenapa manusia-manusia ini senang sekali menyalipnya bicara? Dan tadi tidak seramai ini, kenapa mereka muncul saat ada bahan gibah di tengah-tengah?
“Nish!” Herdian memanggilnya.
“Emang kenapa, sih?” tanya Danish keki. “Kalau gue pacaran sama dia atau enggak, apa urusannya sama kalian?” Danish mengeluarkan aura horornya, dia tahu, atmosfer di sekitar mereka mendadak berubah. “Sayna udah gue tembak, tapi nggak langsung diiyain,” ujarnya kemudian. Berusaha mencairkan suasana.
“Ditolak itu, Nish.” Hamam buka suara sambil menggelengkan kepala.
“Masa sih ditolak?” tanya Arvin. “Sayna kerasukan apa dah nolak si Danish?”
“Dia kan sukanya sama gue, jadi ya pasti dia ogah sama Danish.” Reno ikut-ikutan bicara yang langsung disambut tawa oleh mereka semua, kecuali Danish tentunya.
“Nih ya, menurut gue lo mesti ganti nama jadi rejeki biar nggak ditolak sama Sayna.” Herdian menyengir. “Rejeki mana mungkin ditolak. Iya, kan?”
Danish membiarkan para jomblo di hadapannya itu menertawakan jokes basi yang tidak dia pikirkan sama sekali. Danish yakin 100% kalau Sayna tidak menolaknya, gadis itu hanya butuh waktu, dan Danish memang harus berusaha lebih, dia harus berjuang, harus memperbaiki diri. Danish sadar dirinya tidak cukup baik mendapatkan Sayna yang dikenal sebagai siswi teladan, pintar, cantik, dan populer.
“Pada ngomongin apa?” tanyanya, seolah bertanya pada semua orang, tapi dia menatap Danish lekat-lekat.
“Anu... itu, Say.” Hamam terbata.
“Apa?” Sayna langsung menoleh ke arahnya.
Danish mengulum senyum, yang baru dia sadari hari ini adalah, hampir semua warga di kelas tidak pernah berani macam-macam pada Sayna, entah itu laki-laki maupun perempuan. Mungkin hanya Danish yang berani dan datang menggodainya sesekali.
“Kan... ada gosip nih.” Lianka tampak berusaha menjelaskan. “Lo... sama Danish pacaran tuh.”
“Terus?” tanya Sayna dengan alis bertaut. “Kan gue udah jawab kemaren. Kenapa lagi? Emang lo bilang apa ke mereka, Nish?” Sayna beralih kepadanya, dan ditatap begitu membuat Danish mati kutu.
“Say, jangan galak-galak amat deh.” Lianka menyahut di tengah-tengah. “Kalau lo nggak mau ya nggak apa-apa, tapi jangan galak sama Danish. Dia nggak salah, kok. Banyak cewek yang mau jadi pacar dia dan lo harusnya ngerasa beruntung.”
“Kenapa lo suka banget ikut campur?” Sayna menghadap Lianka lurus-lurus dan gadis itu segera menciut. Tidak ada yang tidak tahu bahwa Sayna dan kemampuan beladirinya sering unjuk gigi di tengah-tengah mereka. “Kalian kemarin tanya gue sama Danish pacaran apa enggak, kan? Gue jawab enggak. Karena gue emang nggak pacaran sama dia,” ucap Sayna dengan nada gusar. “Ya kan, Nish? Kita nggak pacaran, kan?” Sayna beralih lagi pada Danish yang duduk lesehan di bawahnya.
“Belum,” jawab Danish sekenannya. “Gue bilang ke mereka juga masih calon pacar, kayaknya pada salah nangkep aja.”
“Nah!” pekik Sayna sampai anak-anak perempuan itu berjengit di hadapannya. “Gue nggak bohong, Danish juga nggak bohong, kita nggak pacaran!” katanya ngegas. “Gue tegasin sekali lagi, ya. Kalau lo pada tanya soal hubungan gue sama Danish, pacaran atau enggak, gue sama Danish nggak pacaran. Tapi kalau lo tanya gue suka atau enggak sama dia, jawabannya itu ya jelas gue suka banget. Puas lo semua?!”
Sayna terengah, yang membuat semua orang di sana membulatkan bola mata. Lalu dia mencebik jengkel dan mendelik galak pada Danish. “Lo, ikut gue!” katanya cepat sambil meninggalkan semua orang yang masih tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.
ªªª
Ke mana Pak Bambang guru olahraga mereka? Sudah 20 menit berlalu sejak jam pelajaran olahraga harusnya dilangsungkan, tapi beliau belum memunculkan batang hidungnya. Hanya menitip pesan pada ketua kelas untuk melakukan pemanasan—yang tidak dilakukan, dan sampai sekarang beliau belum juga datang, sehingga anak-anak kelas 2 IPA 3 yang harusnya hari ini memasuki materi olahraga senam lantai justru bergentayangan tidak tentu arah di seluruh pelosok gedung olahraga yang lengang.
“Balikin kunci loker,” kata Sayna tiba-tiba setelah menghentikan langkah tepat di hadapan Danish. Tangannya menengadah, meminta Danish untuk mengembalikan kunci loker yang tadi dia pinjam.
“Nanti aja sih, selesai olahraga gue balikin,” rengek Danish. Karena dia akan menderita sebab harus mencari Sayna setelah jam olahraga usai untuk menyimpan kembali barang-barang ke lokernya.
“Awas kalau hilang,” ancam gadis itu galak, Danish mengangguk cepat dengan mengangkat sebelah tangan di udara, berjanji untuk tidak menghilangkannya.
Dan tiba-tiba, Sayna menyodorkan sebotol kecil air mineral berlogo AQUA ke hadapannya, tanpa bicara, Danish hanya harus menerima. “Lain kali jangan beliin gue apa-apa kalau gue nggak minta atau lo nggak beliin anak-anak yang lain juga. Gue ngerasa punya utang budi,” ucapnya.
Danish tersenyum senang. “Iya, nanti kalau mau beliin apa-apa gue izin lo dulu. Makasih...” Danish tersenyum semringah dengan botol air mineral mini di tangan kanannya. “Buat minumannya.”
“Sama-sama.”
“Lo tahu siapa saingannya aquaman?” tanya Danish tiba-tiba, merujuk pada minuman berlabel AQUA di tangannya saat ini.
“Nggak tahu.” Sayna mengendikkan bahu. “Fireman, mungkin.”
“Salah,” ujar Danish buru-buru.
“Apa dong?”
“Le mineralmen.”
Sayna tertawa sambil mendorongnya pelan. “Garing deh lo.”
“Garing kok ketawa?” Danish menggodainya. “Eh, Say... motor kemarin itu udah diantar. Kata nyokap gue baru sampai, tapi kan belum ada plat nomornya jadi belum bisa gue bawa jauh. Sabar, ya?”
Gadis itu merona dan mengangguk pelan. “Oke,” jawabnya.
“Gue hari ini bawa si Jalu, tadi agak telat sih jadi nggak bisa diantar nyokap makanya naik motor biar cepet. Maaf ya, nggak bisa pulang bareng lo.”
Alis Sayna berkerut untuk beberapa detik, tapi setelahnya dia mengangguk.
“Motor baru itu... mau kita kasih nama siapa?”
“Hah?” tanyanya terkejut.
“Itu, motor baru kita,” jawab Danish gugup. “Mau dikasih nama apa, Say?”
Sayna tertawa pelan. “Jangan suka aneh-aneh deh.”
“Gue serius,” ucap Danish sambil menatapnya lekat. “Namain dong, biar jadi sejarah baru buat kita.”
“Sejarah-sejarah your eyes!” Sayna terkikik, padahal tadi dia kan marah-marah saat mereka berada di antara kerumunan anak-anak sekelas dan mendeklarasikan perasaannya terang-terangan. “Gue mau namain dia... Michiko.”
“Hah?” Danish terperangah, tidak menyangka Sayna akan segera menjawabnya. “Michiko?”
“Iya,” jawabnya riang. “Boleh, nggak?”
Danish mengangguk cepat. Bahkan jika Sayna memberikan nama kambing guling pun pasti akan dipakainya untuk motor baru mereka. Demi Sayna, apa sih yang tidak?
ªªª
Sudah satu jam berlalu dan Pak Bambang tak kunjung datang, anak-anak kelas 2 IPA 3 sudah berguling tak tentu arah di lantai gedung olahraga, ketua kelas mereka juga sudah mencoba menghubungi Pak Bambang untuk kali ketiga. Namun tetap tidak ada tanggapan, kalau pun beliau tidak bisa mengajar hari ini, semoga semuanya baik-baik saja.
“Yuk, ah kita main tebak-tebakan aja,” ajak Hamam pada teman-temannya.
Beberapa dari mereka tak acuh, tapi sebagian lagi—termasuk Danish dan Sayna terinterupsi, mereka mendekat dan membentuk kelompok di tengah-tengah gedung. Memang biasanya akan kacau, tapi lumayan untuk mengusir jenuh.
“Udah, lo dulu,” kata Arvin sambil menunjuk Hamam sebagai peserta pertama.
“Oke, dengerin, ya.” Semua orang terfokus kepadanya. “Buah-buah apa yang luarnya berduri isinya durian?”
Sebagian dari mereka melongo mendengarnya, namun beberapa siswa yang punya kecepatan berpikir normal langsung meledakkan tawa.
“Ya, durian lah, goblo! Lo nyebutin soal sekalian sama jawabannya, si pea!” Hardian menoyor Hamam yang asyik tertawa geli karena ulahnya sendiri.
“Keceplosan gue,” jawabnya enteng.
“Oke, sekarang gue ya.” Arvin menyela di tengah-tengah. “Benda, benda apa yang huruf depannya K belakangnya L. Kalau ditarik keras, tapi kalau dilepas lemas?”
“Gue tahu, gue tahu!” Danish menyahut cepat. “Kon—”
“KETAPEL, NISH, KETAPEL!” Arvin memotongnya buru-buru sebelum Danish mengeluarkan jawaban paling laknat di dunia itu. “Tolong ya itu otak lo dijaga.”
Anak-anak itu tertawa, termasuk Sayna yang jarang-jarang mau menimbrung dan mendorong bahu Danish pelan karena jawaban yang hampir keluar barusan.
“Gue nih gue lagi.” Hamam kembali unjuk gigi. “Ini gue serius nanya ya, ada yang tahu warna angin, nggak?” tanyanya.
“Ini sesi tebak-tebakan, bego! Bukan lagi jam pelajaran IPA!”
“Ih, udah yang tahu jawab aja.” Hamam bersikeras.
“Di film Avatar sih, gue lihat warna biru,” sahut Sayna. “Bener, nggak?”
“Salah,” sangkal Hamam buru-buru. “Angin itu warnanya merah.”
“Lha, kok gitu? Tahu dari mana lo?” Danish sangsi karena jawaban gadis pujaannya tidak dibenarkan.
“Ih, ya merah, Nish. Coba deh lo lihat hasil kerokan di badan orang yang lagi masuk angin. Merah, kan?”
“Tai!” umpat Danish disambut tawa teman-temannya serempak. “Oke, sekarang gue.” Pemuda itu mengalihkan perhatian dan menghadap lurus pada Sayna yang berdiri di sampingnya. “Ini khusus buat lo,” ungkapnya dengan pipi memerah.
“Anjir, kita semua jadi apaan ini? Acara apaan ini? Katakan Cyintah?”
“Cie... Danish.”
“Say,” panggil Danish pada gadis yang berdiri di hadapannya. “Tahu nggak, apa bedanya lo sama lukisan?”
Sayna tertawa. “Mau gombal kan lo?” Danish mengangguk polos dengan cengiran lebar. “Nggak deh, nggak tahu gue.”
“Nih ya, kalau lukisan tuh makin lama makin antik. Kalau lo, makin lama makin cantik.”
Sayna langsung tertawa renyah tanpa menyebut kata najis yang biasanya selalu dia keluarkan saat Danish memberinya gombal murahan. Sementara Danish memerah, dan suara cie-cie khas ledekan anak-anak sekelas menggema di udara.
ªªª
Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.“Nish, gue pulang bareng lo!”Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sem
Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya. “Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali. “Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet. “Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja. “Mau dipakai buat senjata tawuran
Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.Danish gila tiap melewati koridor itu.“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bi
Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. &l
Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da
“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.“Pelajaran apa ini?”“Biologi, Danish!”Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan t
Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men
Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.“Paket, Mas?”Danish terperanjat—nyari
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka