Hari ini Danish tidak membawa si Jalu ke sekolah, dia diantar ibunya pagi-pagi dengan Mercy yang jarang dia naiki, lalu berencana pulang dengan Sayna naik angkutan umum. Tapi sejak kerusuhan di kelas tadi, tentu saja gejolak dan lonjakan besar tidak dapat dihindari, Sayna langsung berubah. Dia tampak marah, beberapa anak bertanya dan Sayna tentu saja menampiknya. Dia terlihat keberatan dengan kabar yang berembus di kelas, dan mungkin akan menyebar di seantero sekolah tak lama lagi.
Memang se-aib itu Danish baginya, padahal Danish sudah janji untuk tidak ikut tawuran dan belajar yang giat agar tidak remedial terus setelah ulangan maupun ujian.
“Pergi lo,” usir Sayna kepadanya saat Danish berjalan tepat di belakang gadis itu menuju halte Transjakarta terdekat dari sekolah.
“Gue nggak bawa motor, jadi mau naik bis.” Danish membela diri, dan tetap berjalan di belakangnya. “Kita satu jurusan kan, ya?” tanyanya kemudian, padahal Danish tidak tahu. Dia kan tidak pernah naik angkutan umum.
“Kenapa sih, Nish?” Sayna berhenti mendadak hingga Danish menabrak punggungnya, untung saja gadis itu kuat, dia tidak oleng sama sekali, malah tulang bahunya yang menyenggol dada Danish saat berbalik cukup membuat ngilu beberapa detik.
“Kenapa apanya?” tanya Danish polos, tangannya mengusap-usap dada. Bahu Sayna luar biasa.
“Kenapa lo malah nggak bawa motor dan ikut-ikutan pulang bareng gue naik bis? Gue kan belum bilang setuju jadi cewek lo!”
“Ya, emang harus jadi cowok lo dulu baru boleh naik bis, ya?”
“Danish!” bentak Sayna, dan Danish terkekeh pelan.
“Kan lo yang nggak mau gue ajak naik motor, jadi ya gue ikut lo naik bis. Gue bayar sendiri kok, atau lo mau gue bayarin sekal—”
“Nggak usah! Gue punya duit!” Sayna nyolot.
Danish mengangguk, tidak terlalu banyak menanggapinya lagi dan hanya berjalan di sisi Sayna sampai mereka sampai di halte. Sayna langsung duduk, mengambil Teh Kotak yang terselip di sisi tas sekolahnya dan minum dengan tenang. Full day school membuat mereka harus pulang sangat sore, dan halte pukul segini relatif sepi. Beberapa orang memilih angkutan online, dan ini bukan jamnya para karyawan pulang bekerja. Keadaan hampir sunyi senyap. Danish diam, berdiri di sebelah Sayna tanpa melakukan apa-apa.
“Nish,” panggil Sayna. Dia menarik ujung tas Danish dan membuat Danish duduk di tempatnya tadi. Lalu gadis itu—Sayna-nya, tersenyum, dia berjongkok di bawah, tangan Sayna memegang lututnya. Dan Danish ingin mati detik ini juga. “Nish,” panggilnya sekali lagi. “Apa yang lo suka dari gue?” tanyanya. Sorot geli dan jenaka di mata gadis itu tadi sirna.
Danish berdeham. Kalau ditanya seperti itu, dia sendiri tidak tahu jawabannya, tidak tahu apa spesifiknya. “Nggak tahu,” jawabnya kemudian. Suaranya pelan.
“Cuma penasaran aja, kan? Karena gue nggak sama kayak cewek lainnya?”
Mungkin... iya. Atau mungkin itu hanya salah satu alasannya, bukan penyebab utama. Danish memperhatikan Sayna sejak lama, bertahun-tahun sudah, dan rasanya tidak sedangkal itu. Dia menyukai Sayna, menyukai semua tentangnya.
“Dulu... gue suka semua tentang lo, Say. Semuanya, kurang dan lebihnya.” Danish menjeda sampai ada binar berbeda di mata gadis itu. “Dan sekarang masih,” sambungnya kemudian. Sayna terkekeh pelan.
“Apaan sih, Danish...”
“Tapi ada satu yang nggak gue suka.”
“Apa?” tanyanya sigap, tawa dan binar tadi sudah hilang sempurna.
“Cara lo nggak suka sama gue.”
Alis Sayna nyaris bertaut. “Gue... nggak suka sama lo?” tanyanya heran. Danish mengangguk pelan, dan suara tawa meledak dari bibir gadis pujaannya itu.
“Kata siapa, Nish? Siapa yang bilang gue nggak suka sama lo?”
***
Sayna kebingungan saat langkahnya mengikuti Danish sejak mereka turun di halte barusan. Danish yang berjalan lincah beberapa langkah di depannya sibuk dengan ponsel sementara kepala pemuda itu celingukan, seolah mencari tempat tertentu yang akan mereka kunjungi hari ini. Dan Sayna, kerasukan apa dia sampai mau-maunya mengikuti Danish dengan pasrah seperti sekarang?
“Katanya jalan satu blok lagi dari sini, lo nggak apa-apa? Mau beli minum dulu?”
Sayna menggeleng. Danish tampak lebih normal dengan seragam sekolah mereka, kemeja putih dan celana abu-abu, seperti seragam SMA kebanyakan. Tapi hari ini dia tidak membungkus tubuh dan wajahnya seperti lemper, seperti saat dia bawa motor ke sekolah. Danish yang berada di bawah sorotan sinar matahari sore begitu memesona.
Mungkin saking terpesonanya Sayna sampai tersihir dan pasrah saat pemuda itu membawanya ke tempat ini. Entah di mana mereka, yang jelas keduanya berjalan menyusuri pertokoan dan ruko-ruko besar pinggir jalan.
“Nah, ini dia tempatnya.” Danish berhenti di depan show room sepeda motor buatan Jepang yang tersohor, lalu berbalik sedikit dan mengisyaratkan Sayna untuk ikut masuk ke sana.
Seperti show room pada umumnya, sepeda motor model terbaru dipajang, kertas-kertas daftar harga dan tenor cicilan bertebaran, beberapa sales berusaha mendekat melihat kedatangan mereka berdua, yang tentu masih membuat Sayna bertanya-tanya.
“Nish, kita mau ngapain ke sini?” tanya gadis itu pada akhirnya. “Masa lo mau ajakin gue nyicil motor, sih?”
Danish terkekeh. “Ya, nggaklah. Gue mau beli motor, biar lo mau dibonceng pulang bareng gue. Kan lo nggak mau gue bonceng pake si Jalu.”
Sayna termenung saat suara cie-cie yang berasal dari para pegawai show room itu bergaung di sekitar mereka, dan Danish—seperti biasa, bisa mengatasi hal seperti itu dengan mudah. Dia hanya tersenyum, dan semua orang tidak mengganggunya lagi.
“Nish, jangan ah. Yuk, pulang. Gue mau kok dibonceng sama si Jalu. Yuk ah, udah...” Tangan Sayna gemetar saat mengatakannya, entah kenapa dia takut. Dia takut pada sikap Danish yang seperti ini. Dia takut tidak bisa membalasnya, atau... memberikan kepastian untuknya. Sayna mendadak panik.
“Kok gitu? Nggak apa-apa, motornya buat gue kok. Gue nggak beliin lo motor,” jawab pemuda itu lempeng. Benar-benar tidak bisa membaca situasinya. “Jangan ngerasa nggak enak gitu deh.”
“Nish....”
“Neng, udah nggak apa-apa. Pacarnya mau memberikan kenyamanan lho.”
“Bukan pacar saya!” sahut Sayna tegas, lupa pada kenyataan bahwa dia justru mempermalukan Danish saat ini.
“Hehe, masih calon nih, Mas. Calon pacar.” Danish segera mengambil alih.
“Cie... calon pacar dibujukin pake motor baru, ya?”
Pemuda paling ganteng di kelas IPA 3 itu buru-buru mengibaskan tangan. “Bukan kok, saya yang inisiatif. Dia nggak gitu,” belanya pada Sayna.
“Ih, nggak apa-apa loh. Tuh, Neng, ini calon pacarnya sampai berkorban kayak gini lho.” Mas sales itu beralih pada Sayna sebelum kembali pada Danish. “Jadi, mau yang mana motornya, Dek? Kita ada tenor cicilan dengan bunga ringan kalau ada bla-bla-bla—”
Sayna tidak lagi mendengarkan. Dia termenung di tempat, rasanya ingin menangis karena serba salah. Sayna bisa saja pergi dari sini dan meninggalkan Danish, tapi dia tahu kalua itu akan melukai harga diri, dan mempermalukan Danish di depan banyak orang. Dia tidak mau jadi orang yang seperti itu bagi Danish. Salahnya, Danish tidak berdiskusi dulu soal ini, minimal selama di bis tadi mereka membahasnya, kan?
“Jangan, Mas, jangan yang itu. Kasihan nanti calon pacar saya duduknya ngangkang banget, turun-turun jalannya kayak simpanse.” Banyolan Danish berhasil membuat gemuruh tawa di sudut toko itu. Ketika mereka menawarkannya sebuah unit sepeda motor besar yang memang agak terlalu besar tapi sangan kekinian.
“Say, bantu pilih dong!” panggilnya sambil melambaikan tangan.
Sayna sudah terlanjur speechless, ada harga diri seseorang yang perlu dia jaga saat ini, jadi Sayna menurutinya. Dia mendekat dan memperhatikan beberapa unit yang terpajang di sana.
“Lo mau coba, nggak? Naikin satu-satu joknya, mana yang paling nyaman. Kan ini gue persembahkan khusus buat lo.” Danish cengengesan, disambut lagi dengan cie-cie lainnya.
“Gue nggak tahu.” Sayna menggeleng. Seperti ada batu mengganjal di tenggorokannya. “Yang paling lo suka aja.”
“Gue paling sukanya sama lo, gimana dong? Masa lo yang gue naikin?”
“Astagfirullah, Dek! Jangan naik-naikin anak orang sebelum sah di meja hijau!”
“Meja hijau pala lo kotak! Di KUA kali!”
Danish dan mas-mas sales di sana tertawa, hanya Sayna yang kikuk dan bingung saat ini. Dia tidak bisa marah, juga tidak bisa membantah, tidak bisa ikut tertawa dengan mereka.
“Nggak, Say, gue bercanda.” Danish langsung peka melihat Sayna diam saja. “Jadi, menurut lo, yang paling cocok buat gue mana?” tanyanya dengan nada lebih lembut.
Danish... memangnya punya uang ya untuk membeli sepeda motor? Atau dia mau kredit? Tapi memangnya bisa? Apa dia diberi kartu kredit?
“Yang ini,” tunjuk Sayna spontan tanpa pikir panjang pada unit yang terpajang tepat di sebelah kanan Danish. Dia risih ditatap terus oleh pemuda itu dan berusaha keras untuk mengalihkannya.
“Oh, ini? Freego?” Sayna mengangguk. “Lucu sih.” Danish tersenyum.
“Pilihan yang tepat!” Seorang mas-mas dengan kemeja berwarna oranye dan bertuliskan YAMAHA FreeGo di bagian kirinya membelah kerumunan. “Unit ini sangat cocok untuk anak sekolah seperti adik-adik sekalian. Tapi... umurnya berapa nih? Udah punya SIM belum?”
“Udah.” Danish buru-buru mengangguk sambil mengeluarkan dompetnya. “Saya juga udah bikin KTP loh, Mas. Bulan September kemarin, pas saya ulang tahun.”
“Bagus! Nah, adik-adik, mari saya jelaskan.” Mas dengan kemeja oranye tadi menginterupsi. “Unit ini memiliki bagasi yang luas, volumenya mencapai 25 liter lho. Bisa dipakai untuk menaruh barang bawaan kalian seperti tas, sepatu olahraga, tugas-tugas, mejikom atau penanak nasi, bahkan bisa untuk menyimpan kenangan dan masa lalu yang katanya sulit untuk dilupakan. Sangat multifungsi.”
Danish tertawa sementara Sayna menyengir di sebelahnya, tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut.
“Oke, lanjut, ya,” ucap si mas kemudian. “Unit ini juga memakai Smart Key System atau SKS, yang artinya merupakan sistem tanpa anak kunci seperti model konvensional. Jadi kayak remote mobil lho, adik-adik. Kalau kita ada di parkiran Mangga Dua nih, kan susah nyarinya, tekan tombol aja tuh, terus motornya bakal nyaut, i’m here, Bambang! Tinggal samperin deh motornya.”
Sayna tertawa geli, sementara Danish terlihat takjub mendengarnya. “Serius, Mas? Motornya bisa nyaut pake suara gitu? Kalau ganti jadi, i’m here, ganteng! Gitu, bisa nggak?”
Mas-mas kemeja oranye dan teman-temannya tertawa. “Saya bercanda kali ah. Oke, lanjut-lanjut.”
Mereka kembali fokus dan Danish berdiri sejajar dengan Sayna, membuat gadis itu diam-diam memperhatikannya. Danish dengan tulang hidung yang sangat tinggi, mancung, ideal, juga giginya yang seperti kelinci saat tersenyum, garis di sekitar mata saat tertawa, sungguh membuatnya terlena. Sayna bisa gila detik itu juga kalau terus memandanginya.
“Salah satu kelebihan lainnya, unit ini memiliki Antiblock Brake System atau ABS. Jadi daya pergerakan dan pengereman lebih maksimal, anti selip lah pokoknya. Motor ini nggak bisa dipake modus buat pemuda-pemuda yang suka mainin rem biar ada yang mantul-mantul tuh di punggungnya.”
“Hah?” Danish terperangah, dan Sayna tertawa. Pemuda itu dan kapasitas berpikirnya yang minim memang kadang membawa keuntungan tersendiri.
“Wah, masih polos ternyata.” Mas berbaju oranye tertawa. “Nggak usah dibahas yang tadi, kita lanjut aja. Nah, ini kelebihan lainnya, meskipun bukan masuk jajaran motor gede, tapi unit ini dilengkapi dengan Smart Front Refuel alias tangki depan. Jadi nih, adik-adik, kalau ngisi bahan bakar nggak perlu turun dari motor, ya. Nggak bakal ada risiko penumpang ketinggalan di pom bensin pokoknya. Fatal kan itu. Apalagi buat sepasang muda-mudi seperti kalian, bisa ada perang dunia ketiga nyusul Donald Trump.”
Sayna tertawa kencang, ingat pada pengalaman Danish yang sebelum-sebelumnya dan melihat reaksi Danish dengan wajah yang memerah, Sayna tahu bahwa pemuda itu jelas-jelas merasa tersindir.
“Oke.” Danish mengangguk-angguk. “Meskipun saya yakin nggak akan pernah ninggalin cewek sa—”
“Calon,” ralat si mas berkemeja oranye tadi. “Ingat, ya, masih calon.”
Sayna tertawa sambil menutup wajah.
“Iya, iya calon.” Danish melirik sekilas ke arahnya. “Nah, meski saya nggak akan ninggalin dia di pom bensin—nggak akan pernah, tapi untuk antisipasi boleh lah. Saya ambil yang ini. Terus, ada lagi nggak kelebihan lainnya?”
“Oh, ya jelas ada.” Si mas langsung menyahutinya. “Motor ini bisa jalan asal ada yang mengendarainya, bisa dipakai nanjak, menurun, lurus, belok, freestyle juga bisa kalau nggak sayang nyawa.”
Danish tertawa.
“Bisa dipakai buat antar jemput calon pacar kamu, nebengin calon mertua ke pasar, nganterin ibu kamu kondangan, dipake ngojek juga bisa. Multifungsi pokoknya.”
“Ya, itu sih fungsi motor pada umumnya, Mas.” Danish menjawabnya dan si mas tertawa.
“Yang jelas motor ini belum bisa terbang sih, kasihan yang punya perusahaan maskapai kalau motor bisa terbang. Bangkrut nanti mereka.”
Mereka tertawa lagi dan Danish menyetujui pembelian unit itu dengan pemilihan varian berwarna Matte Grey yang sekaligus menjadi Hero Bike. Sayna mendengar bahwa harganya mencapai 23 juta rupiah dan Danish dengan ringan tangan langsung mengeluarkan sebuah kartu berlogo bank terkenal di negara mereka untuk membayarnya. “Debit aja ya, Mas.”
Para pekerja di sana kontan saja melonjak riang, sore-sore begini ada dua bocah ingusan yang tahu-tahu membeli sepeda motor kontan. Aneh, kan?
“Nggak apa-apa, ya. Motornya belum bisa dibawa sekarang, katanya nanti diantar ke rumah, lo mau pulang pake apa sekarang?”
“Nish...” Sayna tidak menggubrisnya. “Ginjal lo masih utuh, kan?”
“Eh, apa nih? Geli ih, geli!” Danish terpingkal saat Sayna menyentuh pinggangnya begitu mereka keluar dari area show room dengan hujanan doa-doa semoga langgeng bahagia, semoga sakinah mawaddah warrahmah dan lain sebagainya. “Ngapain, Say?” Danish tertawa setelah berhasil menghindar.
“Ngecek ginjal lo, siapa tahu udah kejual.”
Pemuda itu tertawa menggemaskan. “Ada nih, masih utuh,” ujarnya santai.
“Jadi... lo punya uang dari mana buat beli motor barusan?”
“Tabungan lah, Say.” Tabungan? Memangnya sebanyak apa uang jajan Danish? “Lo tahu kan, gue punya jadwal antar cucian di laundry nyokap beberapa hari sekali?” tanya pemuda itu sembari menyodorkan Teh Kotak kemasan baru dari mesin penjual minuman di depan show room tadi.
“Iya, tahu.” Sayna mengangguk. Sudah jadi rahasia umum bahwa Danish adalah pangeran laundry kaya raya di sekolah mereka. Bahkan keluarganya dicurigai sebagai pelopor lahirnya detergen inovasi terbaru bernama Vanish.
“Nyokap gue bilang, gue harus kerja keras karena duit nggak punya kaki buat jalan sendiri.” Dia terkekeh sejenak. “Gue dibayar kok sama nyokap, jadi gue punya kerja sampingan, makanya gue bisa nabung. Sama... ada sumber lain lah pokoknya, gue nggak ngepet, nggak punya tuyul atau jual ginjal kok.”
Danish tersenyum manis sekali, atau entah itu hanya perasaan Sayna saja. Tapi dia kelihatan berbeda sore itu, Sayna tidak tahu kenapa, padahal Danish tinggal bilang uang jajannya banyak jadi dia bisa menabung dan Sayna pasti akan langsung percaya, tidak perlu membuatnya tersentuh seperti ini.
“Mau makan? Atau langsung pulang?”
“Gue dijemput ayah.” Sayna menunjukkan ponselnya, dia ingat kalau ayahnya biasa pulang dari Kodim pukul segini. “Tiba-tiba beli motor gitu, nyokap lo nggak marah?” Sayna mengalihkan topik, yang sebenarnya cukup mengganjal di kepala.
“Nggak tuh. Kan tabungan gue.” Danish menaikkan bahu.
Mata Sayna otomatis melebar. Dia bisa memperkirakan jumlah uang tabungan Danish, pasti cukup banyak untuk ukuran anak SMA. Tiba-tiba saja, Sayna yang merasa sudah hidup cukup baik di keluarganya, mapan, berkecukupan, merasa gembel bersanding dengan Danish sekarang. “Kok... tiba-tiba, sih? Beli motornya gitu,” sambung Sayna lagi.
“Iya, memang baru kepikiran di bis. Jadi mendadak.”
“Impulsif banget lo.”
Sayna duduk di kursi besi yang berjejer sepanjang trotoar jalan, beberapa skuter sewaan juga terparkir di dekatnya, Danish ikut duduk, dia larut dalam diam sambil menyeruput Teh Kotak yang tergenggam di tangan. Lalu Sayna memfokuskan perhatian pada ponsel di tangannya, dia harus segera menghubungi ayah.
Sayna: Yah, bisa jemput? Kalau nggak mau aku pulang sama teman.
Ayah: Jemput di mana?
Ayah: Teh, tapi nanti tawarin tanah ya ke temen Teteh, Ayah mau jual tanah.
Sayna: Tanah yang mana? Emang Ayah punya tanah?
Ayah: Ada tanah Ayah seember, lumayan kan buat nutup tai kucing.
Danish tampak senang membaca obrolan aneh antara Sayna dan ayahnya. Sampai dia tidak sadar, bahwa posisi duduk mereka terlalu dekat, bahwa bahu Danish bersentuhan dengan bahunya, dan Sayna cukup berdebar sekarang.
Wajah Sayna memerah, ide buruk karena membiarkan Danish membaca percakapannya dengan ayah sore ini. Sayna tidak menduga bahwa jawaban dari sang ayah akan sangat absurd, sampai Danish di sebelahnya terpingkal-pingkal. Hancur sudah imej baik bapak Letnan melihat caranya berbincang dengan sang anak di kolom percakapan.
“Sumpah, ya, ini tuh gokil banget!” Danish masih betah tertawa. “Gue nggak tahu rasanya punya ayah, jadi lihat interaksi kalian rasanya wah banget. Aneh, tapi seru gitu.”
Sayna pernah dengar, kalau Melia—ibu kandung Danish adalah orangtua tunggal, tapi karena beliau cukup sukses dan kaya, Danish hampir tidak pernah terlihat kekurangan apa-apa. Kecuali dia memang sengaja untuk tidak menunjukkannya.
“Say,” panggilnya tiba-tiba. “Nanti... ayah lo bisa jadi ayah gue juga, kan?”
“Hah?”
“Bilangin sama ayah lo, ya. Tunggu... empat tahun lagi deh, nanti gue ke rumah, gue mau minta langsung buat jadi anaknya. Nggak apa-apa kan, kalau gue ikut panggil ayah meski nanti status gue cuma menantunya?”
Sayna tidak tahu kenapa, sepertinya tidak ada yang salah dari cara Danish menyampaikan maksdunya barusan, tapi dia merasa wajahnya panas, dadanya berdesir hebat dan bulu kuduknya meremang. Kenapa, ya?
Andai matahari mau minum paracetamol, mungkin cuaca tidak akan sepanas ini. Danish mengibas-ngibaskan kaus olahraga yang dipakainya, setelah mengoleskan sunblock tipis-tipis ke seluruh tubuh secara merata, dia menyusul teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruang cuci laki-laki. Hari ini adalah pelajaran olahraga, dan bukannya Danish tidak suka, hanya saja kegiatan outdoor seperti berolahraga bisa membuatnya terbakar matahari, dan dia keberatan.Kenapa mereka tidak olahraga di dalam gedung saja? Kenapa harus berlari memutari lapangan upacara? Kenapa harus—“Nish!” Danish terperanjat saat suara Hamam dari arah belakang mengejutkannya. Anak itu terlambat datang, dia bahkan baru keluar dari ruang ganti tanpa memakai kaus olahraga.“Kenapa lo telat?” tanya Danish kepadanya. Sebagian anak IPA 3 sudah berkerumun dekat lapangan, Sayna juga ada di sana, rambutnya dikuncir tinggi, dia memakai sepatu olahraga jenis yang sa
Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.“Nish, gue pulang bareng lo!”Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sem
Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya. “Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali. “Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet. “Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja. “Mau dipakai buat senjata tawuran
Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.Danish gila tiap melewati koridor itu.“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bi
Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. &l
Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da
“Oke, pertanyaan berikutnya,” ucap Sayna sambil melirik pemuda itu diam-diam sementara yang diajaknya bicara tengah sibuk mencatat sesuatu di buku tulis. Terlihat sangat konsentrasi, meski hasil yang dicapainya kadang tak sesuai ekspektasi.Danish mengangkat wajah, dan Sayna segera beralih pada buku pelajarannya lagi.“Disebut apa masalah pencernaan yang bikin kita susah boker?” Sayna mengajukan pertanyaan dengan memakai bahasa yang disederhanakan.“Pelajaran apa ini?”“Biologi, Danish!”Pemuda di hadapannya mengerjap beberapa kali, yang mana harusnya pertanyaan ini dijawab spontan karena beberapa menit lalu mereka berdua menghabiskan waktu untuk membaca materi sebelum menjawab soal-soal.“Bentar, bentar...” Dia kelihatan berpikir keras, meletakkan jari telunjuknya di pelipis kiri dan kanan dengan mata terpejam dan menekannya kuat-kuat. Seolah jawaban dari pertanyaan Sayna barusan t
Garam Epsom baik untuk terapi kaki demi melancarkan peredaran darah, itulah selentingan kabar yang Danish dengar berulang-ulang. Maka setiap selesai tawuran, atau iseng berolahraga hingga kelelahan, atau mengorbankan diri serta harga dirinya sekalian demi membiarkan Sayna menang di arena pertarungan klub, Danish selalu merendam tubuhnya dengan campuran garam itu.Memandangi cermin dengan posisi hadap belakang, Danish bisa melihat memar di bagian punggung. Jika ditekan rasanya agak ngilu, pun saat berbaring, dia tidak leluasa bergerak ke sana kemari. Untung saja air hangat di bathub dan campuran garam kiriman kakaknya itu cukup membantu. Rasanya saat ini daging dan urat-urat di tubuhnya perlahan menempel kembali ke tulang. Tidak se-ambyar kemarin.“Dek, minum dulu saffron-nya. Habis itu sarapan dan cepet ke laundry. Nggak ada kurir masuk hari ini.”“Iya, iya!” Danish berteriak dari kamar mandi, hanya men
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka