“Nggak pulang bareng gue aja?” tanya Danish pada gadis itu.
Hari beranjak malam, matahari sudah terbirit dari kaki langit, lampu-lampu jalan mulai menyala, dan Danish menghabiskan waktu satu jam di tukang kunci—bersama gadis itu. Mereka duduk berjauhan dan sesekali melempar obrolan. Sampai... semuanya selesai dan Danish merasakan ketidakrelaan sebab artinya dia dan Sayna harus berpisah. Lebay sekali, ya Tuhan...
“Jaketnya cuma satu,” jawab Sayna berdalih. “Dan ini udah mau malam, dingin kalau yang pakai cuma salah satu dari kita aja. Gue udah pesen takol.”
Gadis itu membuka jaket dan menyampirkannya di bahu Danish. Anehnya, Danish merasa itu bukan hal yang asing, padahal biasanya dia selalu menghindari sentuhan dari anak-anak perempuan. Apalagi yang dibonceng di belakangnya, Danish selalu bergidik geli kalau salah satu dari mereka mencoba memegang pinggang, atau bahkan hanya bersandar pada tas sekolahnya. Dia selalu cari alasan untuk menggeliat, alih-alih mengatakan langsung kalau itu membuatnya tidak nyaman.
“Dah sana, sebentar lagi taksi gue datang.”
Danish menggeleng. “Gue tungguin sampai datang.”
“Oke,” jawabnya tanpa banyak membantah.
Barusan, Sayna menyampirkan jaket Danish di bahu dengan kedua tangan direntangkan. Jadi posisinya, kepala Danish ada di tengah-tengah tangan Sayna yang sedang meletakkan jaket itu. Danish berdebar untuk sesaat, tapi dia menyukai sensasinya. Bukan seperti yang dia rasakan pada gadis lain. Berdebar tapi tidak nyaman.
“Pake gih jaketnya, ini sebentar lagi sampai. Lo langsung pulang, ya?”
“Iya,” jawab Danish patuh sembari memasukkan dua tangannya ke dalam jaket, sementara Sayna membantunya memegangi tas. Rasanya pipi Danish pegal, dia lelah tersenyum, tapi lebih lelah lagi kalau harus menahannya.
“Kenapa lo? Cengengesan aja.”
“Nggak apa-apa,” elak Danish cepat.
Sayna baik-baik saja, kan? Dia ini judes, pemarah, kurang ramah, tapi sebenarnya sangat peduli. Dia peduli pada hal-hal kecil seperti memegangi tas barusan. Pasti dia dibesarkan dengan baik oleh orangtuanya.
“Sampai rumah, lo kabarin gue, ya. Hati-hati, Nish.”
Harusnya, Danish yang bilang begitu, kan?
Terakhir, Sayna masuk ke mobil sedan ber-plat B yang beroperasi sebagai taksi online. Gadis itu katanya sedang datang bulan, dia agak lemas, tapi sakit perutnya hilang karena Danish mengajaknya jalan-jalan sore ke tukang kunci duplikat yang agak jauh dari sekolah. Bahkan, Sayna menyimpan nomor ponsel tukang kunci sebagai antisipasi andai ada kunci yang hilang lagi, meskipun Danish sudah menitipkan satu kunci cadangan padanya.
Kenapa Sayna selalu perhatian seperti itu? Tapi kadang-kadang dia juga galak, dan Danish takut untuk mendekat. Sikapnya itu membingungkan, Danish hanya harus lebih peka saja.
Saat ini, diam-diam Danish mengikuti sedan hitam itu, mengikuti Sayna pulang, khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan meski Danish tahu kalau Sayna adalah pemegang taekwondo sabuk hitam, yang artinya gadis itu jago beladiri. Entah dia benar khawatir, entah hanya sedang cari alasan. Danish mengikutinya hingga berhenti di depan gapura perumahan khusus TNI. Wajar saja, ayahnya Sayna kan seorang letnan. Dan dia baru pulang setelah taksi online itu keluar dari sana, artinya Sayna sudah sampai di rumahnya.
Kemudian, Danish juga cepat-cepat memacu motornya untuk pulang. Dia harus mengabari Sayna kalau sudah sampai di rumah dengan selamat. Jangan bohong dan jangan sampai lupa.
Terang saja, yang dilakukannya saat menurunkan standar sepeda motor di garasi rumah adalah merogoh saku, lalu mengirim pesan pada gadis itu, dan duduk di teras rumahnya, menunggu balasan. Danish tidak pernah merasa begini repot karena seorang gadis. Dan Sayna, semakin dekat justru makin sulit digapai, dia selalu memberi batas sendiri. Tapi hari ini, hanya dengan satu kalimat tadi, Danish tahu dia sudah berhasil menembusnya sedikit.
Sampai rumah, lo kabarin gue, ya.
Bukankah biasanya, itu hanya dilakukan pada orang-orang yang dispesialkan? Atau Danish hanya kegeeran? Dan semangatnya untuk lebih dekat dengan Sayna semakin membara, dia memulai beberapa taktik untuk mengajak gadis itu makan berdua. Setiap hari kalau bisa.
Kenapa?
Apa karena Danish menyukainya? Karena... Sayna satu-satunya gadis yang dia perhatikan sejak lama? Yang sering membuat Danish berkorban uang jajan tiap latihan, membelikan semua anak minuman, demi bisa memberi Teh Kotak untuk Sayna tanpa ditolak atau pun disalahpahami? Yang sering jadi tempatnya mengadu, jika ada sesuatu yang hilang dan susah dicari?
Sayna seperti... tempatnya pulang. Ke manapun Danish berpetualang, Sayna selalu jadi pelabuhan terakhirnya. Jadi orang yang... dia pikirkan setiap hari sebelum menutup mata. Kenapa Danish baru sadar sekarang?
ªªª
Ini hari Sabtu, berarti jadwal Danish mengantarkan cucian dari salah satu laundry cabang Jakarta Utara. Dia sudah bersiap dengan jaket kulit, mengaplikasikan sunblock di sekujur badan, mengenakan sarung tangan kain, penutup leher, hingga masker untuk menutupi bagian hidung dan mulutnya.
Apa Danish juga harus memakai kacamata hitam? Dia pasti akan terlihat sama persis dengan perampok bank.
“Dek... Nish, makan dulu,” panggil ibunya dari dalam saat Danish sudah bersiap menunggang di Jalu di garasi rumah.
Apa ibunya lupa kalau dia sudah melahap dua roti isi daging giling sebelum berganti pakaian? Dan apakah dua roti berkalori tinggi sebagai karbohidrat plus daging sebagai sumber protein tidak cukup disebut makan?
“Kan tadi udah, Ma.” Danish menjawab sembari melepas masker di wajah. “Roti loh, dua.” Anak lelaki itu mengacungkan dua jari di udara.
“Kalau mama hitung, kayaknya udah hari ketiga kamu nggak makan nasi. Roti terus, apa nggak kembung itu perut?”
Danish menggeleng. Dia bahkan bisa bertahan hidup hanya dengan roti tawar, apalagi roti-rotian isi daging, selai dan toping. “Udah, ya. Aku berangkat.”
“Ya udah.”
“Tapi, Ma...” Danish menghentikan langkah ibunya yang terlihat akan kembali ke rumah. “Aku boleh pinjam mobil, nggak?” tanyanya, mencari peruntungan.
Sudah jelas kalau Danish mungkin satu-satunya anak di antara tempat dia bergaul yang belum diizinkan mengendarai sebuah mobil. Ibunya bilang, Danish harus punya SIM dulu, padahal kapan dia punya SIM kalau belajar mengemudi resmi saja tidak pernah? Jadi, Marcedes Benz di carport rumahnya sama sekali tidak pernah disentuh. Hanya sang ibu—Melia yang mengendarainya.
“Mau ke mana, Nish?”
“Aku mau pacaran,” jelas Danish dengan tampang sok imut. “Aku mau punya pacar, Ma.”
“Hah?” Melia terperangah. “Harus banget memang kalau mau punya pacar bawa mobil? Matre dong ceweknya kamu.”
“Ih, enggak!” Danish mengibaskan tangannya buru-buru. “Dia nggak matre, tapi kan aku pengertian. Nggak mau pacarnya kepanasan, kehujanan, karena naik si Jalu. Makanya aku pinjam mobil Mama gitu.”
“Kalau panas, kasih dia salah satu koleksi sunblock kamu, dan kalau hujan,” Melia menjeda sebentar, memastikan anaknya masih setia mendengarkan. “Kamu tahu nggak ada terobosan baru baju anti air yang nggak usah dicuci pake mesin dan bisa mengamankan pacar kamu dari air hujan?”
Danish memiringkan kepala sambil melongo. “Jas hujan?” tanyanya hati-hati.
“Nah, itu dia. Pinter juga anaknya mama.”
“Dih!” Danish mencebik.
“Baru juga mau punya pacar, udah songong pake mau bawa mobil segala. Mobil orangtua pula.”
“Nanti aku nabung mau beli mobil sendiri,” balas Danish cepat.
“Iya gitu? Mobil apa? Mobil sejuta umat, ya?”
“Nggak apa-apa asal pacar aku nggak kepanasan.”
Melia menertawakannya, hidup Danish yang sejak kecil dikelilingi oleh para wanita membuatnya terbiasa diperlakukan dan digodai seperti ini. Ibunya, kakaknya, asisten di rumah, para pekerja di laundry, tukang jahit langganan di depan komplek, hingga tukang jamu gendong keliling langganan Danish minum kunyit asam, kencur dan Buyung Upik, semuanya wanita. Danish tidak pernah terluka atau tersinggung jika mereka tengah menggodainya.
“Dek,” kata Melia setelah selesai tertawa. “Kamu tuh nggak tahu seninya naik motor pas pacaran, ya. Padahal cewek-cewek itu suka lho.”
Danish mengerjap, memang iya?
“Nih ya, kalau pacaran naik motor itu di lampu merah pas berhenti dengkulnya diusap-usap, sweet banget, kan?”
Danish meringis, membayangkan dia melakukan hal itu pada Sayna, bisa-bisa kaki Sayna otomatis menendangnya dan mereka terjungkang bersama. Gagal romantis.
“Terus, pas hujan bisa neduh di emperan toko, atau hujan-hujanan berdua. Manis banget!”
Manis dari mananya, sih? Kalau Sayna masuk angin, Danish bisa kena masalah. Kalau Sayna sakit gara-gara itu dan tidak masuk, Danish tidak punya alasan untuk berangkat sekolah.
“Terus ya, bisa pelukan juga tuh sambil jalan motornya. Ajegile, Danish-nya mama udah gede, pacarnya nanti kenalin dan bawa ke sini, ya?”
Pipi Danish memerah, dia bisa merasakan sensasi panas dan gatal di seluruh kulit wajah, juga senyum yang terkulum dan susah sekali ditahan. Membayangkan Sayna duduk di belakangnya dan memasukkan tangan ke saku jaket—seperti yang dilakukan gadis itu pada ayahnya, membuat Danish bergelora.
“Udah sana berangkat, kalau mau antar cucian ke butik Violeva kamu pinjam mobil laundry aja. Habis itu boleh pinjam mobilnya buat pacaran, lumayan, kan?”
Ibunya kembali masuk ke rumah, sementara Danish keki sendiri. Kalau yang beliau maksud adalah mobil van laundry dengan label MELIA LAUNDRY terpampang besar di seluruh badan, maka terima kasih. Danish tidak akan meminjam mobil itu untuk jadi moda transportasinya berkencan dengan Sayna. Yang ada gadis itu malu sepanjang jalan karena Danish dan mobil laundry-nya.
ªªª
Sayna baru saja keluar dari kafe sekaligus tempat belajar yang dia datangi bersama Tania dan dua teman lain dari luar sekolah mereka. Jadi dibanding ikut bimbel, Sayna lebih suka pergi ke sebuah kelompok belajar dan belajar bersama di tempat-tempat yang menyenangkan. Bisa kafe, bisa perpustakaan nasional, atau tempat yang sengaja disewa untuk pertemuan dengan biaya per-jam.
Dia keluar lebih lama dibanding teman-temannya, lalu berdiri dengan wajah ditekuk di depan pelataran kafe tersebut. Hatinya mendung, harusnya Sayna tahu bahwa berharap banyak pada Danish adalah kesalahan, karena... Danish baik ke semua orang. Danish jago membuat orang salah paham, Danish agak murahan, dia bisa tersenyum sangat lebar hanya karena dipuji tampan rupawan, lalu bersikap sangat baik pada pemujanya.
Sayna keberatan, entah kenapa. Rasanya ada yang sesak tapi bukan asma. Ada yang patah tapi bukan kayu. Tidak ada perempuan yang tidak suka pada laki-laki baik, tapi beda cerita kalau lelaki itu baik ke semua orang. Gampang disalahpahami.
“Say, gue boleh chat lo, nggak? Besok kan libur.”
“Mau chat apaan?”
“Ya, chat aja. Ngobrol gitu, kalau boleh sih ini.”
Danish bertanya seperti itu, dan sampai sekarang... lihat saja. Tidak ada satu pun pesan yang mampir. Dasar pembohong. Atau... pelupa? Kan Sayna tidak bilang, tidak boleh. Sayna hanya... tidak mengiakan, tapi juga tidak melarangnya. Lagipula hanya chat biasa, dan Danish mengirimnya pesan dengan memakai ponsel sendiri, kouta internet sendiri, apa Sayna punya hak melarang? Tidak, kan?
Pilihannya hanya membalas pesan itu atau tidak, bukan melarang Danish mengirimnya pesan. Ah, merepotkan sekali perasaan dan pemikiran ini. Danish itu bukan pacarnya, tapi kalau Sayna tidak mendengar kabarnya sehari saja, dia rindu. Kalau Danish pergi dengan gadis lain, dia tidak senang. Bukan cemburu, ya. Hanya sedikit mirip dengan itu. Tidak tahu diri sekali ya, Sayna.
Sulit memang, menyukai dan menaruh hati pada seseorang tetapi tidak untuk memiliki. Pura-pura tidak peduli padahal sebenarnya menaruh hati, harus menjadi orang yang tabah saat melihat Danish menemukan orang lain yang ingin dia singgahi.
“Say....”
Sayna terkejut, dia bahkan nyaris melompat dan mundur beberapa langkah ke belakang saat seseorang memanggil namanya di sore yang mendung itu. Atau harusnya, Sayna tidak usah terkejut. Dia bahkan sudah sering mengalami hal yang lebih parah daripada ini, bahwa Danish bisa muncul di mana saja, kapan saja, menemukannya di mana saja, bahkan di lubang semut sekalipun.
“Lagi apa?” tanyanya sambil melepas helm dan masker wajah.
Entah kenapa Sayna tertegun menatapnya, kulit wajah Danish memerah, pasti dia lama berkeliling dengan si Jalu hari ini. Bagaimanapun Danish berusaha menutupnya dengan helm full-face dan masker, kulit putihnya itu tetap terbakar matahari.
“Say, kok bengong?”
Sebenarnya pertanyaan, lo ngapain di sini? Atau, kok lo bisa ada di sini, sih? Selalu terlintas di kepala saat dirinya dan Danish selalu tidak sengaja berpapasan seperti sekarang. Tapi karena sudah terlalu sering, Sayna jadi tidak begitu memikirkannya lagi. Dia pasrah dengan keadaan yang mempertemukan mereka terus-terusan.
“Lo... katanya mau nge-chat gue.” Sayna buka suara, entah atas dasar apa mengatakan hal itu. Tapi dia tidak suka terlalu lama memendamnya.
Danish di hadapannya berdiri kaku, alisnya agak berkerut, dia tampak salah tingkah. Ke mana Danish yang biasanya suka iseng dan gombal itu? “Emang boleh?” jawabnya—atau tanyanya, malah balik bertanya.
“Emang gue bilang nggak boleh?”
Danish menggeleng cepat. “Tapi lo nggak bilang boleh.”
Sayna tertegun, satu hal yang baru ia tahu dari Danish, bahwa sebenarnya dia sangat berhati-hati. Dia sangat hati-hati untuk melakukan sesuatu, padahal Danish itu tipe anak iseng, terlihat gampang dekat dengan siapa saja, jadi sikap berhati-hatinya sangat tidak mudah dikenali.
“Gue kira lo lupa,” ujar Sayna kemudian, setelah diam yang lama.
“Nggak.” Danish mengibaskan tangan. “Gue nggak lupa, kan lo belum setuju.”
Gadis itu mengangguk-angguk, ada senyum tertahan di bibirnya.
“Kalau gitu sekarang udah boleh, ya?”
“Hah?”
“Sebentar.”
Danish di hadapannya merogoh saku, menggigit sarung tangan dengan gigi dan menyimpannya di tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk mengotak-atik ponsel. Dan Sayna berdiri di hadapannya beberapa centimeter, tinggi badan mereka selisih cukup jauh, Danish tinggi sekali untuk ukuran anak SMA kelas 2. Kalau tidak berlebihan, dia ganteng sekali mirip Jungkook, maknae-nya grup BTS dari Korea.
Danish: Say, makan bareng, yuk! Mumpung ada di depan kafe, sekalian aja.
Danish: Gue kan maunya ngajak lo makan bareng tiap hari.
Sayna mengulum senyum, tapi tetap mempertahankan tatapan tajamnya pada pemuda yang sedang cengar-cengir setelah Sayna membaca pesan darinya itu.
“Kurang kerjaan,” cibirnya sambil tertawa, gagal sudah Sayna menahan senyum yang sejak tadi susah payah ia tahan. “Makan aja sendiri sana, gue udah makan.”
“Gue belum,” ungkap Danish. “Gue udah 3 harian nggak makan nasi, lagi kepengen nih.”
“Di sini nasi butter-nya enak,” jelas Sayna pelan. “Mau gue temenin makan?”
Danish mengangguk buru-buru. “Temenin dong, masa orang ganteng makan sendirian. Kayak jomblo aja.”
“Lha, emang jomblo, kan?” Senyum Sayna memudar, dia merasa ada sesuatu yang retak tiba-tiba. Tapi bukan gelas yang disiram air panas. “Atau lo—”
“Gue bakal punya pacar sebentar lagi,” potong Danish dengan nada penuh percaya diri yang tidak terprediksi lagi.
Sayna berdiri mematung di hadapannya, tiba-tiba tangannya dingin, Tania bilang Danish itu paling ganteng di kelas mereka, di sekolah mereka, dan orang ganteng itu harus jadi milik bersama. Lalu sekarang Danish mendeklarasikan bahwa dia akan punya pacar. Jadi, bagaimana nasib para remah-remah rengginang sepertinya ini?
“Oh gitu.” Sayna mulai berpikir akan mengembalikan kunci loker, kunci motor dan juga akan membuang kemasan Teh Kotak serta Twisko yang selama ini sudah dia kumpulkan.
“Iya.” Danish mengangguk senang. “Orangnya ada di depan gue sekarang.”
“Hah?”
“Say, lo mau nggak jadi pacar gue?”
“Apa?”
“Lo mau nggak jadi pacar gue?”
“Hah?”
Ini... tidak salah dengar, kan?
“Kalau lo nggak mau ya udah,” ujarnya dengan tampang memelas yang dibuat-buat. “Gue aja yang jadi pacar lo.”
ªªª
“Nggak semudah itu, Ferguso,” jawabnya setelah menghabiskan dua porsi es krim dan waffle padahal tadi seingat Danish gadis itu bilang bahwa dia sudah makan. Apakah waffle bukan makanan? Pencuci mulut saja? “Terus? Gue harus gimana biar kita bisa pacaran?” Sayna tampak memikirkan sesuatu, dan Danish penasaran dengan pemikiran gadis itu. Mengejutkan sekali hari ini, tiba-tiba saja Danish mengutakan perasaannya secepat dia menyadari perasaan itu beberapa hari yang lalu. “Gue nggak mau lo ikut tawuran, ngumpul sama anak geng—” “Oke.” Danish memotongnya cepat. Semudah itu memang, asal demi Sayna, hanya Sayna, karena Sayna. Lagipula dia tahu bahwa hal-hal yang Sayna larang memang tidak baik. “Dan nggak ikut remedial terus,” sambungnya lagi, yang justru membuat Danish terperangah. “Gimana caranya gue nggak ikut remedial kalau nilai gue nggak cukup? Nggak lulus KKM?” Dia kebingungan.
Hari ini Danish tidak membawa si Jalu ke sekolah, dia diantar ibunya pagi-pagi dengan Mercy yang jarang dia naiki, lalu berencana pulang dengan Sayna naik angkutan umum. Tapi sejak kerusuhan di kelas tadi, tentu saja gejolak dan lonjakan besar tidak dapat dihindari, Sayna langsung berubah. Dia tampak marah, beberapa anak bertanya dan Sayna tentu saja menampiknya. Dia terlihat keberatan dengan kabar yang berembus di kelas, dan mungkin akan menyebar di seantero sekolah tak lama lagi.Memang se-aib itu Danish baginya, padahal Danish sudah janji untuk tidak ikut tawuran dan belajar yang giat agar tidak remedial terus setelah ulangan maupun ujian.“Pergi lo,” usir Sayna kepadanya saat Danish berjalan tepat di belakang gadis itu menuju halte Transjakarta terdekat dari sekolah.“Gue nggak bawa motor, jadi mau naik bis.” Danish membela diri, dan tetap berjalan di belakangnya. “Kita satu jurusan kan, ya?” tanyanya kemudian, padahal Dan
Andai matahari mau minum paracetamol, mungkin cuaca tidak akan sepanas ini. Danish mengibas-ngibaskan kaus olahraga yang dipakainya, setelah mengoleskan sunblock tipis-tipis ke seluruh tubuh secara merata, dia menyusul teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruang cuci laki-laki. Hari ini adalah pelajaran olahraga, dan bukannya Danish tidak suka, hanya saja kegiatan outdoor seperti berolahraga bisa membuatnya terbakar matahari, dan dia keberatan.Kenapa mereka tidak olahraga di dalam gedung saja? Kenapa harus berlari memutari lapangan upacara? Kenapa harus—“Nish!” Danish terperanjat saat suara Hamam dari arah belakang mengejutkannya. Anak itu terlambat datang, dia bahkan baru keluar dari ruang ganti tanpa memakai kaus olahraga.“Kenapa lo telat?” tanya Danish kepadanya. Sebagian anak IPA 3 sudah berkerumun dekat lapangan, Sayna juga ada di sana, rambutnya dikuncir tinggi, dia memakai sepatu olahraga jenis yang sa
Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.“Nish, gue pulang bareng lo!”Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sem
Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya. “Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali. “Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet. “Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja. “Mau dipakai buat senjata tawuran
Koridor kelas 3 adalah sarang penyamun. Bukan hanya para siswa laki-lakinya yang menyebalkan dan suka mengatai Danish sok ganteng dan macam-macam, para siswi perempuannya pun tak kalah mengerikan. Kalau anak kelas 1 dan kelas 2 paling hanya meneriaki Danish tiap dia lewat dengan berbagai pujian, maka kelas 3 berbeda. Mereka bahkan nekat menyeret Danish ke kelasnya lalu diarak keliling koridor untuk dipamerkan, diajak selfie bersama, bahkan ada yang terang-terangan minta cium, minta jadi pacar sehari juga ada.Danish gila tiap melewati koridor itu.“Bang buruan ada apa?!” Suara Danish menyentak Randy yang tengah duduk di hadapannya sambil memainkan ponsel dengan satu kaki terangkat ke atas meja. Tadi dia menyuruh Danish ke markas, tapi tahu-tahu sekarang menyuruhnya ke kelas. Dasar penyamun kurang ajar!“Bentar, bentar, elah!” Randy menekan tombol di bagian samping ponsel baru setelah itu menatap Danish. “Lo ke mana aja? Anak-anak bi
Sayna marah, jelas saja tadi Danish berjanji untuk menyusulnya ke kantin dan yang terjadi adalah Danish tidak muncul sama sekali bahkan sampai bel masuk kembali berbunyi. Dan membujuk Sayna tidak semudah Danish menghaturkan maaf lalu memberi penjelasan sampai akhirnya mereka berbaikan. Tidak seperti itu.Pertama kali Danish muncul ke kelas pun, saat Herdian masih di perjalanan menyusul guru mata pelajaran berikutnya, aura horor itu begitu menusuk. Kelas 2 IPA 3 sangat suram dengan diamnya anak-anak setelah kemunculan Danish yang dipelototi oleh Sayna hingga jam pelajaran berakhir. Horornya nyaris mengalahkan acara uji nyali Uka-uka dan Dunia Lain.“Say,” panggil Danish untuk kali ke sekian, sebab gadis itu berjalan lempeng di sebelahnya, menganggap Danish sebagai makhluk kasat mata, tidak melihat atau mendengar suaranya. “Sayna gue minta maaf.”“Minta maaf buat yang mana?” Gadis itu kontan berhenti sambil menolehkan kepala. &l
Danish menempuh perjalanan ke Crematology Cafe dalam 10 menit dari tempat terakhirnya melarikan diri. Dia sempat berganti pakaian, mencuci luka di tangannya dan membersihkan wajah nan lengket serta putih mengkilap akibat sunblock liquid yang dia gunakan untuk bertarung hari ini.Hasil pertarungan mereka adalah.... seri. Kalau Danish tidak salah ingat. Jumlah lawan terlalu banyak, dan meski Konoha tidak lumpuh begitu saja, banyak anggota geng mereka yang cedera serta kelelahan parah. Semuanya tengah berkumpul di markas, hanya Danish yang tidak. Dan daripada menghabiskan lebih banyak tenaga untuk pertarungan imbang, dengan jenius Randy Tanjung menghubungi ayahnya sendiri—yang ternyata seorang polisi aktif, dan melaporkan bentrokan itu. Lucu sekali memang, hidup ini.Setelah mati-matian bertarung hingga tenggorokannya kering dan lututnya lemas, Danish memarkir Michiko di tempat janjiannya dengan Sayna. Mengambil tas sekolah berisi buku pelajaran da
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka