“Kak Danish!”
“Hai ...” Danish menyapa kerumunan anak kelas satu yang... kalau tidak terlalu pede sih, memang setiap pagi berjaga di sana demi menantikan kedatangannya, juga Aryan dan Angga. Mereka bilang, tiga anak Konoha adalah sumber asupan vitamin dan gizi di pagi hari agar semangat ke sekolah. Danish bangga karena pamornya mengalahkan Energen maupun Coco Crunch.
“Kak Danish, mukanya bening banget kayak ubin masjid yang udah disemprot disinfektan. Suci, bersih, steril ...”
Tawa anak-anak itu menggema, sementara Danish hanya menyunggingkan senyum dan terus berjalan menuju kelas. Dia datang agak terlalu siang karena sudah banyak orang di sekolah hari ini, tidak bisa bertemu dengan Sayna pagi-pagi.
Danish berdiri di depan cermin kelas yang seukuran dengan tubuhnya, merapikan rambut, mencoba mengabaikan jerit-jerit kecil tertahan dari anak perempuan di kelas. Yang Danish tidak paham, sampai kapan mereka tidak terbiasa dengan ketampanannya ini, kan? Sudah hampir satu tahun mereka belajar di kelas yang sama.
Lalu Danish maju lebih dekat, memperhatikan bekas luka tertutup concealer itu, sangat samar, hampir tidak terlihat kalau tidak diperhatikan lekat-lekat. Dan sebenarnya, sedikit informasi saja ya, tidak ada yang tahu bahwa Danish adalah tipe pemuda doyan perawatan. Selain Angga dan Aryan tentu saja.
Sebenarnya dia juga tidak peduli kalau orang-orang tahu, karena yang selalu Danish pakai adalah pembersih wajah dan pelindung matahari, sunscreen dan sunblock, untuk proteksi. Bukan makeup untuk berhias seperti banci. Tapi stigma orang-orang terhadap pemuda metroseksual cenderung miring. Padahal Danish hanya merawat diri, karena tubuh dan kulitnya ini adalah aset seumur hidup.
Menurut Danish, merugilah kalian kaum-kaum yang malas perawatan. Tuhan susah payah menciptakan kita sesempurna mungkin sebelum dilahirkan, bahkan sebelum itu terjadi orangtua kita lebih dulu susah-susah keringatan di atas ranjang untuk meracik adonan, terus setelah dilahirkan anaknya malah kufur. Tidak merawat pemberian Tuhan. Danish can’t relate.
Baginya penghargaan terhadap diri sendiri itu penting. Kalau ingin dihargai, maka kita harus memperlakukan diri dengan sama berharganya.
“Say,” panggilnya pada seorang gadis di bangku depan. Hari ini mereka ulangan mendadak, tempat duduk di-rolling. Dan Sayna sedang berjodoh dengannya. “Say,” panggil Danish sekali lagi. “Say!” Danish agak mengeraskan suara. “Eh, buset nggak nengok-nengok juga. Hei, Sayna! Say! Aduh, Say! Bantuin gue!” Danish mulai resah karena tidak digubris. Biasanya dia bisa dapat contekan dengan mudah.
“Sayna,” ulangnya dengan nada lebih rendah. “Lo mau dipanggil sayang baru nengok, ya?”
“Apaan sih?” Gadis itu berbalik dengan tampang kesal dan Danish tertawa geli.
“Lha, bener. Dipanggil sayang dia nengok.”
Seisi kelas menertawakan mereka berdua.
ªªª
“Nyusahin!”
Danish menyengir penuh kemenangan saat Aryan buru-buru bangkit dan berjalan menduluinya ke luar kelas. Dia susah sekali diajak main bersama sejak SMA, beda dengan dulu saat mereka masih TK.
“Yan, kita ke kopsis dulu. Gue mau beli minum sama beliin Angga jajanan.” Danish tidak meminta izin, dia hanya memberi tahu karena setelahnya—meskipun Aryan diam saja seperti manekin berjalan, temannya itu mengekor masuk ke koperasi sekolah. Berdiri menjulang di antara rak-rak makanan.
“Lo mau?” tawar Danish kepadanya. Dia sedang memilih beberapa jenis camilan favorit mereka, terutama Nabati SIP keju kesukaan Angga. “Sekalian nih,” ujar Danish.
Aryan menggeleng. “Nggak doyan micin,” ungkapnya.
Danish terkekeh. “Kenapa? Takut bego, ya? Takut saingan sama gue?”
Aryan menggeleng lagi. “Gue yakin lo nggak akan pernah tersaingi.”
Normalnya, orang-orang akan marah dikatai seperti itu. Tapi Danish tidak, dia tertawa. Dia tahu memang itu kelemahannya, kekurangannya, dan tidak harus malu mengakui hal tersebut. Karena manusia mana pun tidak ada yang sempurna. Danish mungkin tidak pintar, tapi itu bukan segalanya, kan? Memang dunia kiamat kalau Danish remedial?
“Gue nggak suka micin, bikin gatel.”
Tak disangka Aryan kembali bersuara yang justru membuat Danish keheranan. Lagipula, siapa yang tanya? Danish tidak menanggapinya dan hanya fokus pada camilan yang akan dibeli. Dan di ujung rak sebelah kiri, dia melihat dua bungkus Twisko rasa jagung bakar.
Danish menimbang-nimbang, melihat dua jajanan itu dari tempatnya sekarang. Dia kenal seseorang yang sangat menggemari camilan itu dan mengambilnya satu.
Selesai membayar dan membawa sekantung belanjaan, berjalan dengan Aryan yang melangkah tenang di sisinya, disambut riang gembira oleh anak-anak perempuan sepanjang koridor kelas, Danish merasa senang, entah kenapa. Karena dia membeli Twisko? Atau karena dia membeli Teh Kotak? Atau karena dua-duanya?
“Yan, gue pikir sih micin itu nggak bikin bego. Buktinya Angga suka Nabati tapi nggak remedial, terus ada temen gue di kelas suka Twisko juga anaknya pinter.” Aryan di sebelahnya diam. Sia-sia memang mengajaknya bicara, tapi Danish memang tidak suka diam-diaman. “Sebenernya gue juga nggak doyan micin sih, Yan.”
Manekin itu menoleh. “Jadi lo sukanya apa?”
Wah, ada angin apa ini? Puting beliung? Tornado? Atau apa? Kenapa Aryan balik bertanya? Biasanya dia akan menjawab, nggak nanya. Menyadari kelangkaan itu, Danish menyengir lebar lalu mengalungkan tangannya ke lengan Aryan. “Sukanya micintaimu.”
“Najis!” Aryan buru-buru mendorongnya jauh dan Danish tertawa. “Gue slepet juga lo lama-lama.”
Mereka berdua berjalan membelah kerumunan di koridor sekolah, atau memang sengaja diberi jalan oleh anak-anak itu hingga berhenti di depan lift yang akan membawa keduanya naik ke lantai lima. Tempat di mana markas Konoha berada. Lift sebelah kanan terbuka lebih dulu, beberapa anak perempuan keluar dari sana sambil melempar senyum, dan setelahnya kosong, Danish naik diikuti Aryan beberapa langkah di belakangnya.
Namun hal aneh justru terjadi setelah itu, gerombolan anak yang menunggu lift bersama mereka tadi tidak satu pun ada yang naik. Danish menyengir canggung, ada apa ini? Kenapa mereka malah membeku? Dan saat dia melirik ke samping, Danish menyadari ada saingan Elsa Frozen di sini. Menatap lurus dan dingin, seolah akan membunuh atau minimal membekukan anak-anak itu andai mereka berani masuk.
“Maaf ya, nanti lift-nya balik lagi kok. Gue suruh cepet, kalian tunggu sebentar di sini, oke?”
“Okeeeeeeeee!” Sorak sorai persetujuan berkumandang setelah Danish menyampaikan pengumuman barusan sembari menekan tombol agar lift itu segera menutup dan membawa mereka naik.
“Aaaaahhh... Kak Danish!”
“Nish, jagain Yayan, ya!”
“AHHH GILA GANTENG-GANTENG BANGET SIH GUE SAMPE PUSING!”
Danish meringis, dahsyat sekali suara teriakan itu sampai bisa menembus lift. Tapi tidak enak juga rasanya seolah-olah menjadi penguasa sekolah ini padahal dia bukan siapa-siapa. Bukan anak kandung, anak tiri, anak angkat atau pun keponakannya Kanjeng Ratu. Oh, iya Kanjeng Ratu Susu adalah sebutan untuk kepala sekolah SMA Nyusu. Nama aslinya siapa? Ya, mana Danish ingat. Dia lebih suka memanggilnya Kanjeng Ratu.
“Seneng, lo?”
Danish menoleh, menyadari Aryan baru bersuara lagi setelah beberapa detik yang panjang dengan pintu lift terbuka di depan anak-anak tadi. “Kenapa harus nggak seneng?” jawab Danish sambil menyengir lebar. “Mereka neriakin gue dengan puja-puji, kecuali kalau gue dianjing-anjingin ya, mana bisa gue cengengesan gini.”
“Serah.”
Danish menaikkan bahu lalu berjalan ke arah markas Konoha, ruangan untuk eskul boxing dan beladiri tambahan, Aryan menyusul di belakangnya sementara di markas mereka sudah tampak Angga dan Oliv yang tengah duduk dan berbincang. Dia membagikan jajanan yang dia bawa tanpa banyak bicara, hanya Nabati SIP keju dan minuman dingin untuk Angga, sisanya untuk Oliv, sementara Twisko dan Teh Kotak langsung diamankan olehnya.
“Itu buat siapa?” tanya Oliv, merujuk pada dua jajanan yang tidak boleh dimiliki oleh siapa pun di sana.
“Buat gue,” jawab Danish sambil mengedarkan pandang, berdoa keras-keras dalam hati agar tidak ada yang mencurigainya. “Udah sih lo makan yang itu aja, udah banyak juga.”
“Lama lo, telat?” tanya Angga, pada Danish lebih tepatnya.
“Noh, ngejemput anak emas.” Danish mengisyaratkan dagu pada Aryan yang duduk memojok sambil mengotak-atik ponsel barunya. “Terus ngantri di kopsis buat jajan.”
“Nish,” panggil Oliv tiba-tiba mengalihkan perhatian. “Tebak gue ketemu sama siapa.”
“Ketemu Tuhan?”
“Sembarangan anjing! Lo nyeremin banget!”
Danish tertawa mendengar reaksi sekaligus umpatan Oliv yang diberikan padanya barusan. Oliver punya perawakan paling besar di antara mereka berempat, maksudnya paling berisi, montok, bahenol, itu karena Oliv memang suka makan, terbukti dari beberapa bungkus kosong camilan berserak di dekatnya sekarang.
“Jadi lo ketemu siapa?” Angga meneruskan topik yang terpotong barusan.
“Itu, cewek yang suka live di Bigo, yang itunya gede.” Oliv menjawab itunya sambil berpura-pura meremas buah dada imajiner di depan tubuh. Dan kontan saja membuat Danish mengernyit heran.
“Yang mana sih anjir? Mana gue inget.”
“Jangan lo tanya Danish pokoknya, burung dia kalo nggak nempel pasti kelupaan juga.”
“Ga, bae-bae tuh mulut.”
Angga tertawa. Sedikit informasi, meski saat ini ada empat orang dalam satu ruangan berkumpul, tapi hanya tiga yang saling bersahutan bicara, jangan heran, ya. Tidak perlu dijelaskan apa yang dilakukan oleh satu orang yang lainnya.
“Jadi, kenapa tuh cewek?” Angga lagi-lagi membalik keadaan hingga membahas topik yang kembali tertunda.
“Nah, jadi kan tadi—”
“Yang mana woy! Jawab dulu!” pekik Danish, memotong cerita Oliv untuk ke sekian kalinya.
“Ih, anak monyet berisik banget!” Angga meradang dan berdiri dari tempat duduk sambil menyimpan cangkang Cheetos dan menjilat jari-jarinya yang kekuningan. “Itu cewek yang tetenya gede terus nawarin lo minum susu siang-siang, inget nggak lo?”
Danish melongo, sementara Oliv tertawa keras, dan di ujung sana Aryan mulai menampakkan kedutan-kedutan di ujung bibirnya. Tunggu dulu, ini yang mana sih? Cewek mana lagi? Yang itunya—tetenya, besar?
“Nish?” panggil Angga, matanya mulai membentuk garis.
Danish menggeleng, dia menyerah. Lelah membongkar ingatan dalam kepalanya yang tidak seberapa bagus itu.
“Yang malah lo bawa ke kopsis dan lo beliin susu UHT dari duit gocap gue, terus lo kasih dia dan lo bilang, ayo minum susu bareng!”
“Anak kambing cerdas banget, gue bangga!” Oliv terpingkal-pingkal, Angga menatapnya dengan sorot geli, dan Aryan membentuk sabit di matanya saat ini. Danish tercerahkan, dia mengingat kejadian itu. Angga bilang dia harus ikut dengan si cewek dan minum susu agar cepat tinggi, padahal dirinya sendiri yang punya perawakan seperti tuyul.
“Anak geng kok cupu, nggak paham dia mau diajak minum susu.” Oliv berkomentar singkat lalu melanjutkan tawanya yang terjeda. Danish menggaruk pelipis, dia malu kalau ingat kejadian itu. “Aduh, aduh, bentar... gigi gue nyut-nyutan.” Suara Oliv menginterupsi tawa karena dia segera menaruh jajanan dan meringis memegangi pipi kirinya yang kesakitan.
“Karma lo ngetawain gue,” komentar Danish.
“Mau minum obat?” tawar Angga. “Gue suruh anak-anak ke sini bawain obat dari UKS.”
Oliv mengangguk dengan kepala tertunduk. “Tapi gue cocoknya pake pornstar.”
“Hah?” Angga dan Danish serempak terperangah.
“Iya, pornstar. Obat langganan gue kalo sakit gigi.”
Angga terkikik pelan. “Si Anjeng sakit gigi malah nontonin orang ngewe.”
“Dih, pornstar, Bos. Itu obat, belinya di apotek.” Oliv masih bersikeras.
Danish tidak tahu kalau ada obat merek Pornstar, tapi bagus juga, merek itu sangat berpengaruh besar, sangat menjual. Seperti deterjen Vanish yang memiripkan namanya dengan Danish—anak pengusaha laundry paling kaya di Indonesia, mungkin Pornstar obat sakit gigi juga sedang berusaha untuk pansos agar produk mereka laku keras di pasaran.
“Ponstan,” kata sebuah suara di sudut ruangan. Orang yang sejak tadi tidak berpartisipasi apa-apa dalam obrolan absurd mereka.
“Nah, itu maksudnya. Ponstan. Hehe.” Oliv menyengir setelah membaca deretan huruf obat sakit gigi yang disodorkan Aryan melalui layar ponsel barunya.
“Gue sleding juga ni anak,” ujar Danish yang berpura-pura mengarahkan pukulan ke kepala Oliv. “Tolol sampe ke DNA,” imbuhnya.
“Dih, kayak yang pinter aja.”
Tidak ada lagi yang bicara di sana karena Oliv sedang merasakan penderitaan dari gigi berdeyutnya sementara Danish mengotak-atik aplikasi di ponsel dan memesan obat itu segera untuk Oliv. Biasanya para kurir pembeli obat cenderung lebih cepat. Dan dengan begitu pula, obrolan soal cewek dengan tete gede tadi terlupakan sudah.
“Nih, udah gue pesenin,” kata Danish dan menunjukkan layar ponselnya pada Oliv. “Nanti anak-anak kelas satu yang anter ke kelas lo kalau kita keburu masuk kelas.”
“Iya, Nish, makasih.”
“Bentar deng, belum gue bayar.” Danish cengengesan. Kembali berfokus pada layarnya dan sibuk melakukan transaksi pembayaran online. Sampai Oliv berjalan ke arahnya dan berdiri tepat di sebelah Danish.
“Gue tahu nomor PIN ATM lo,” katanya tiba-tiba. Dan Danish sangat kaget.
“Ih, anjir! Nggak boleh ngintip-ngintip woy!” Dia segera menyembunyikan layar ponsel dari Oliv. Itu adalah tempat penyimpanan yang berharga, semua uang-uang dari Dinara ada di dalamnya. Bisa bahaya kalau dibobol Oliv. “Coba lo sebutin kalo beneran tahu,” tantang Danish, mencari peruntungan. Kalau Oliv benar, dia akan langsung ganti PIN kartunya sekarang juga.
“Enam bintang, kan? Gue lihat tadi di layar HP lo.”
“Si goblo!”
Angga tertawa paling keras setelah mengumpat Oliv barusan, Danish mengelus dada lega, dan Aryan tersenyum tipis menanggapi situasi saat ini.
“Lo pasti tahu nomor PIN orang se-Indonesia, Liv.” Danish menepuk bahu anak itu. “Salut gue.”
ªªª
Kepala Danish rasanya berasap setelah mengerjakan dua jam penuh pelajaran Matematika bagian Matriks. Kalau saat pelajaran Fisika ada trampolin di dalam kepalanya, hingga membuat rumus-rumus itu memantul, kali ini sepertinya ada yang sedang menggoreng lele di sana. Apinya besar dan panas, persis penjual pece lele kebanyakan di sepanjang jalan Danish pulang. Selain harus menghitung dan menyebutkan jumlah Ordo, dia juga harus mempelajari tentang transpose. Ada yang paham di sini? Danish pusing, dia harus belajar dua kali lipat lebih banyak dan lebih keras dari orang-orang kebanyakan untuk membuatnya benar-benar mengerti. Sebab Danish memang sepayah itu. Katanya ya, kecerdasan itu diturunkan oleh ibu kandung. Berarti ibunya Danish pilih kasih karena hanya menurunkan kecerdasannya pada Dinara. Sementara Danish kebagian remahannya pun tidak. Semuanya dibawa oleh Dinara yang tamak akan kepintaran. Untung saja Danish ganteng paripurna. Jadi itu semua tidak masalah, s
“Sayna, gue boleh mampir ke rumah lo nggak, kebetulan kan ki—”“Nggak boleh,” jawab gadis berponi itu dingin. Tipe orang yang tidak suka berpura-pura atau tidak enakan pada ajakan orang lain kira-kira merasa dirinya kurang nyaman.“Kenapa?”“Keluarga gue takut sama anjing.”Lalu dia pergi, begitu saja, meninggalkan pemuda yang tadi mengajaknya bicara sambil membawa sebungkus Twisko rasa jagung bakar dan tangan kirinya menggenggam minuman dengan label Teh Kotak.Danish memerhatikannya saat itu sambil sibuk menahan tawa, sekitar tiga tahun yang lalu, saat pertama kali mereka bertemu di klub taekwondo. Gadis itu bernama Sayna Lalisa Ghissani, Danish baru mengetahuinya beberapa waktu kemudian. Dan Sayna adalah gadis paling aneh yang dia kenal. Sayna tidak ramah, tidak pada siapa pun, termasuk kepadanya.Padahal Danish kurang apa? Kurang ganteng? Tidak mungkin. Kurang baik? Rasanya tidak. Kura
“Nggak pulang bareng gue aja?” tanya Danish pada gadis itu. Hari beranjak malam, matahari sudah terbirit dari kaki langit, lampu-lampu jalan mulai menyala, dan Danish menghabiskan waktu satu jam di tukang kunci—bersama gadis itu. Mereka duduk berjauhan dan sesekali melempar obrolan. Sampai... semuanya selesai dan Danish merasakan ketidakrelaan sebab artinya dia dan Sayna harus berpisah. Lebay sekali, ya Tuhan... “Jaketnya cuma satu,” jawab Sayna berdalih. “Dan ini udah mau malam, dingin kalau yang pakai cuma salah satu dari kita aja. Gue udah pesen takol.” Gadis itu membuka jaket dan menyampirkannya di bahu Danish. Anehnya, Danish merasa itu bukan hal yang asing, padahal biasanya dia selalu menghindari sentuhan dari anak-anak perempuan. Apalagi yang dibonceng di belakangnya, Danish selalu bergidik geli kalau salah satu dari mereka mencoba memegang pinggang, atau bahkan hanya bersandar pada tas sekolahnya. Dia selalu cari
“Nggak semudah itu, Ferguso,” jawabnya setelah menghabiskan dua porsi es krim dan waffle padahal tadi seingat Danish gadis itu bilang bahwa dia sudah makan. Apakah waffle bukan makanan? Pencuci mulut saja? “Terus? Gue harus gimana biar kita bisa pacaran?” Sayna tampak memikirkan sesuatu, dan Danish penasaran dengan pemikiran gadis itu. Mengejutkan sekali hari ini, tiba-tiba saja Danish mengutakan perasaannya secepat dia menyadari perasaan itu beberapa hari yang lalu. “Gue nggak mau lo ikut tawuran, ngumpul sama anak geng—” “Oke.” Danish memotongnya cepat. Semudah itu memang, asal demi Sayna, hanya Sayna, karena Sayna. Lagipula dia tahu bahwa hal-hal yang Sayna larang memang tidak baik. “Dan nggak ikut remedial terus,” sambungnya lagi, yang justru membuat Danish terperangah. “Gimana caranya gue nggak ikut remedial kalau nilai gue nggak cukup? Nggak lulus KKM?” Dia kebingungan.
Hari ini Danish tidak membawa si Jalu ke sekolah, dia diantar ibunya pagi-pagi dengan Mercy yang jarang dia naiki, lalu berencana pulang dengan Sayna naik angkutan umum. Tapi sejak kerusuhan di kelas tadi, tentu saja gejolak dan lonjakan besar tidak dapat dihindari, Sayna langsung berubah. Dia tampak marah, beberapa anak bertanya dan Sayna tentu saja menampiknya. Dia terlihat keberatan dengan kabar yang berembus di kelas, dan mungkin akan menyebar di seantero sekolah tak lama lagi.Memang se-aib itu Danish baginya, padahal Danish sudah janji untuk tidak ikut tawuran dan belajar yang giat agar tidak remedial terus setelah ulangan maupun ujian.“Pergi lo,” usir Sayna kepadanya saat Danish berjalan tepat di belakang gadis itu menuju halte Transjakarta terdekat dari sekolah.“Gue nggak bawa motor, jadi mau naik bis.” Danish membela diri, dan tetap berjalan di belakangnya. “Kita satu jurusan kan, ya?” tanyanya kemudian, padahal Dan
Andai matahari mau minum paracetamol, mungkin cuaca tidak akan sepanas ini. Danish mengibas-ngibaskan kaus olahraga yang dipakainya, setelah mengoleskan sunblock tipis-tipis ke seluruh tubuh secara merata, dia menyusul teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruang cuci laki-laki. Hari ini adalah pelajaran olahraga, dan bukannya Danish tidak suka, hanya saja kegiatan outdoor seperti berolahraga bisa membuatnya terbakar matahari, dan dia keberatan.Kenapa mereka tidak olahraga di dalam gedung saja? Kenapa harus berlari memutari lapangan upacara? Kenapa harus—“Nish!” Danish terperanjat saat suara Hamam dari arah belakang mengejutkannya. Anak itu terlambat datang, dia bahkan baru keluar dari ruang ganti tanpa memakai kaus olahraga.“Kenapa lo telat?” tanya Danish kepadanya. Sebagian anak IPA 3 sudah berkerumun dekat lapangan, Sayna juga ada di sana, rambutnya dikuncir tinggi, dia memakai sepatu olahraga jenis yang sa
Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.“Nish, gue pulang bareng lo!”Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sem
Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya. “Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali. “Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet. “Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja. “Mau dipakai buat senjata tawuran
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka