Akhir-akhir ini murid-murid SMA Nyusu dihebohkan dengan kabar simpang siur dari seorang gadis cupu yang baru saja menyatakan cinta pada salah satu bintang idola di sekolah. Dan kabar buruknya, si tersangka menempati kelas 2 IPA 3, kelas yang sama dengan Sayna. Gadis itu bernama Hanin, salah satu murid terpintar di sini, namanya selalu berjejer di urutan atas, tapi Hanin kurang suka bergaul dengan teman sekelas. Teman-temannya justru terdampar di kelas IPS dan orang yang disukainya malah berada di kelas sebelah, 2 IPA 1, Aryandra Yasa.
Sayna tidak tahu kenapa Hanin jauh-jauh menyukai bintang di kelas lain sementara di kelas mereka sendiri sudah ada bintang seterang Danish Adiswara. Eh, barusan dia bilang apa? Danish bintang? Duh, semoga tidak ada yang mendengar suara-suara absurd dari kepalanya ini.
Danish, hari ini ada plester yang menempel di pipinya. Plester bergambar dinosaurus, itu pasti karena kemarin. Sayna tahu kenapa Danish tidak datang latihan ke klub taekwondo dan apa yang sebenarnya dilakukan pemuda itu. Karena dia pulang sekolah naik mobilnya Aryan, sudah jadi rahasia umum di sekolah.
“Nish, lo kalau udah gede cita-citanya jadi apa?” Nana, si bendahara kelas mendekati pemuda itu yang awalnya sibuk menulis sesuatu di bagian belakang bukunya.
“Gue kan udah gede,” jawab Danish sambil mendongak dan tersenyum.
“Ih, cita-cita lo pas udah tua kalo gitu.”
Pemuda itu mengusap-usap dagu, kelihatan berpikir, kelihatan sekali kalau dia sedang tidak serius. “Mau jadi polisi deh.”
“Kenapa?” Nana tampak kaget, mungkin dia tidak tahu jawaban Danish adalah delapan puluh persen omong kosong.
“Biar bisa menjarain cewek-cewek cantik di hatiku. Eaa ...”
Jawab sendiri, ea sendiri. Apa sih Danish? Dan oh, kenapa Sayna jadi ikut senyum-senyum mendengarkan percakapan itu? Sadar, Say! Ayo-ayo, normalkan ekspresi wajah.
“Lo ada-ada aja deh, Nish.” Gadis di hadapan Danish itu tertawa. “Buruan bayar uang kas,” tagih Nana sambil menyodorkan buku catatan, niat awalnya mendekat ke meja Danish memang untuk memungut uang kas kelas.
Sayna melihat pemuda itu merogoh saku baju seragamnya yang berwarna navy, lalu berdiri dan mengambil dompetnya dari saku celana karena tidak menemukan uang pas. Danish menyunggingkan senyum sesaat sebelum Nana menjauh dari mejanya lalu kembali meneruskan kegiatan mencatat yang tertunda barusan.
Danish sangat manis, semua orang mengakuinya. Dia menyenangkan dan gampang didekati, dia ramah pada banyak orang, termasuk anak-anak kelas satu konyol yang membuat klub penggemar untuk berdedikasi memuja-mujinya setiap hari. Sebenarnya Danish tidak punya akun sosial media, tapi berhubung banyak yang suka memotretnya diam-diam, foto Danish bertebaran di explore I*******m Sayna. Dan ya... kerjaan anak-anak kelas satu itu lumayan berguna juga, Sayna jadi bisa menyimpan beberapa foto Danish hasil jepretan mereka. Apa dia baru saja membuka rahasia?
Oke, Sayna harus menegaskan satu hal bahwa Danish dan dua temannya dari IPA 1 dan IPA 2 adalah idola di sekolah mereka. Dua orang itu bernama Aryan dan Angga. Tapi untuk dirinya yang sudah sekelas dengan Danish, buat apa repot-repot melirik bintang dari kelas sebelah sementara ada satu di sini? Mungkin Danish tidak pintar, tapi percayalah, dia orang yang menyenangkan, dia orang yang mudah disukai. Eh, bukan berarti Sayna suka padanya ya.
Anak-anak dari kelas lain saja rela membodoh-bodohi diri sampai ke tulang untuk ikut kelas remedial dengan Danish. Ya, karena masuk kelas remedial lebih gampang daripada masuk kelas anak-anak pintar, kan? Jadi, posisi Sayna dan seluruh anak perempuan di kelas ini sudah lebih beruntung dari orang-orang itu. Mereka bisa melihat Danish setiap hari, dari pagi sampai siang, memandanginya berjam-jam, menghirup baunya yang beraroma kue dan biskuit susu bertabur kayu manis, atau bahkan bisa mengobrol dengannya. Semua kemudahan itu, menjadikan para warga di IPA 3 seperti masuk kelas VVIP.
“Nish, kata Nana lo beneran mau jadi polisi habis tamat dari sini?” Itu Chaca, gadis yang Danish bonceng dua hari lalu dan ditinggalkan di pom bensin. Tapi Chacha, sama sekali tidak menganggap itu sebuah kesalahan.
Seolah apa pun yang Danish lakukan itu sah-sah saja, gampang dimaklumi. Bahkan jika Danish tertangkap sebagai pembunuh berantai pun, sepertinya akan terus dimaafkan semudah ini.
“Emang kenapa?” tanya Danish, mendongak dari buku catatannya lagi.
Itu dia, sikap Danish yang tidak pernah mengabaikan orang lain, se-tidak penting apa pun obrolan dan pertanyaan yang diajukan, membuat orang-orang semakin menyukainya. Dan itu tidak baik. Danish tidak tahu berapa tingkat kebaperan yang meningkat akhir-akhir ini.
Chaca tertawa manis. “Kalau lo jadi polisi, gue mau ditilang tiap hari. Hehe.”
Dua orang itu sama-sama tertawa, dan tawa Danish sangat enak dilihat. Sial. Kenapa sih akhir-akhir ini jiwa stalker Sayna tidak bisa diatasi? Apa pun yang berhubungan dengan Danish pasti akan mengundang radarnya secepat kilat.
“Boleh gue pulang bareng lo besok?” tanya Chaca lagi dan Danish mengangguk.
Semudah itu, ya Tuhan... Dan Sayna mulai tidak tahan.
“Awas lo ditinggal lagi kayak waktu itu di pom bensin.” Sayna menyahut. Kerasukan apa sih? Kenapa harus menyahut?
“Wah...” Danish terperangah. “Jadi, lo yang ketinggalan di pom bensin?”
Chaca mengangguk sambil tertawa. “Udah, Nish nggak apa-apa. Gue tahu kalau lo pelupa. Lupa itu manusiawi.”
“Aduh, maafin gue. Beneran gue lupa, gue kira nggak bonceng siapa-siapa waktu itu.”
Jadi, Sayna di sini justru sedang mengingatkan sekaligus menyelamatkan Danish? Makin bagus dong image pemuda itu!
“Makanya lo sebelum berangkat sekolah tuh periksa dulu apa yang ketinggalan, otak kok sampai nggak kebawa.”
Chaca tertawa renyah. “Lo savage banget deh, Say.”
“Tahu nih, Sayna. Gue lupa bonceng orang bukan lupa bawa otak.”
Sayna melipat tangannya di dada sambil mencebikkan bibir. “Ya, kali aja lo putus asa, dibawa apa nggak juga itu otak nggak ada gunanya.”
“Wah... wah... wah... sembarangan! Otak gue berguna kali, Say!”
“Iya, berguna. Buat lo jual ke Uda-uda di rumah makan Padang. Dijadiin gulai otak.”
Chaca dan Danish tertawa, karena mungkin baginya sindiran plus ledekan itu hal yang lucu. Sementara Sayna kesal sendiri karena Chaca tidak terpengaruh pada provokasinya sejak tadi. Dan Danish? Dia tidak pernah marah pada hal semacam itu. Menyebalkan sekali. Susah untuk membencinya. Kenapa selain kurang pintar, Danish hampir tidak ada cela, sih?
Aduh, Sayna tolong... kendalikan diri!
***
Jam istirahat adalah surga, setelah otaknya nyaris meleleh karena pelajaran Fisika dua jam berturut, Danish menyimpan kepalanya di atas meja. Semua rumus-rumus itu memantul dari kepala seolah ada trampolin di sana. Dan pada akhirnya mereka menyerah, melanting jauh, tidak ingin menetap dalam otak Danish lebih lama.
“Mam,” panggilnya pada teman di sebelah yang memiliki kapasitas berpikir tidak jauh beda dengan otaknya. “Lo tahu kan, Mbak gue kerja di Qatar?”
“Iya, tahu.” Hamam mengangguk polos.
“Mbak gue bilang, Hamam itu bahasa Arabnya kamar mandi. Pantes ya muka lo kayak lobang WC gini.”
“Anjrit!” Hamam memekik dengan mata melotot. “Serius, Nish?”
Yang Danish sukai dari Hamam, selain karena mereka berdua sama-sama tolol, Hamam adalah anak yang polos dan gampang dibodohi—seperti sekarang ini. Hiburan sekali untuknya yang baru saja selesai menggunakan otak terlalu keras hingga hampir meleleh keluar kuping. Apa dia ikuti saja saran Sayna tadi? Menjual otaknya ke uda-uda di rumah makan Padang? Jadi gulai otak Danish. Wah, pasti viral! Pasti laris manis.
“Sumpah ya, Emak gue mikir apa deh pas ngasih nama? Mana udah bubur merah bubur putih segala, ujung-ujungnya gue didoain jadi toilet. Pantes aja kemaren gue nembak Tania terus muka gue dinajisin.”
Danish tertawa geli, kenapa keisengannya justru berbuah pengakuan Hamam yang menyedihkan begini? “Tania najisin muka lo?”
Hamam mengangguk polos, sedangkan Danish menjulurkan sebelah tangan untuk menyentuh dagu temannya itu, memanyunkan bibir, memperhatikannya seksama, seolah dia adalah seorang ahli membaca filosofi wajah, lalu mengangguk-angguk.
“Kenapa?” tanya Hamam cepat.
“Emang sih, najis mugholadoh ngumpul semua di muka lo.”
“Setan!” umpat Hamam sambil mendorongnya untuk menjauh dan Danish tertawa girang. Punya teman seperti Hamam adalah hiburan, meskipun Hamam tidak suka diajak tawuran seperti dua yang lainnya, tapi Hamam setia. Setia menemaninya remedial dalam mata pelajaran apa saja.
“Kantin yuk, laper gue.”
Hamam mengangguk dan mereka berdua keluar kelas, saat Danish menoleh ke belakang, Sayna menyelip di antara teman-teman yang lainnya. Dia tersenyum diam-diam melihat gadis itu ada di jajaran yang sama dengannya.
“Gue pesen batagor, lo apa, Mam?” Danish menyenggol temannya. Dia melihat sekeliling khawatir bertemu Angga di saat seperti ini lalu diseret ke basecamp semena-mena, padahal jatah untuk kumpul di basecamp adalah jam istirahat kedua. Istirahat pertama? Ya, harusnya sih makan. sambil—
“Kak Danish!”
“Hai ...” Danish melambaikan tangan sambil tersenyum pada sekelompok anak perempuan yang memanggilnya.
“Gue mie ayam,” kata Hamam. Hamam bisa berpura-pura tidak mendengar apa pun di sekitarnya termasuk kebisingan luar biasa yang hampir selalu terjadi saat mereka berjalan melewati kerumunan, melewati koridor, berlarian di lapangan saat jam olahraga, dan... duduk di kantin seperti sekarang. Dia hanya teman biasa, tidak melihat Danish sebagai orang yang populer atau anak nakal tukang baku hantam di luar sekolah.
“Gue juga pesen mie ayam satu, ya. Tapi nggak pake mie.” Sayna menimpali Hamam yang justru celingukan diajak bicara. “Pesenin gue sekalian, Hamam.”
“Oh, gitu. Baik, Princess.” Hamam bangkit dengan gugup dari kursinya karena ada Tania—tepat di sebelah Sayna, di hadapan mereka. Tania menatapnya dengan tatapan segaris seolah menatap Hamam sama hinanya dengan kotoran hewan.
“Eh, tapi bentar deh, Say...” Hamam berbalik dan Sayna mendongak. “Lo pesen mie ayam tapi nggak pake mie?”
“Iya. Jadi ayamnya doang sama sayur.”
“Ayam sayur dong?”
“Ih, udah pesenin aja mie ayam tapi nggak pake mie.” Sayna bersikeras dan Hamam menggaruk kepalanya sedangkan Danish menertawakan mereka berdua.
“Ngapa lo tawa-tawa? Sok kegantengan,” ujar Sayna kepadanya.
“Lha, emang gue ganteng,” balas Danish yang tentu saja langsung disambut dengan delikan sinis dan gestur jijik gadis itu. “Lo ngapain duduk di depan gue sekarang kalau bukan buat makan sambil menatap pemandangan yang indah ini, kan?” Danish menopang dagunya dengan tangan sambil menaik turunkan alis, dan Sayna di depannya seolah ingin muntah.
Nah, kan? Dia selalu galak dan judes jika mereka tidak sedang berduaan seperti kemarin pagi.
“Lo pesen apa, Nish?” tanya Tania kepadanya.
“Batagor. Lo mau sekalian gue pesenin?”
“Nggak usah, biar gue aja. Bentar, ya.”
“Ih, Tan... lo mau-maunya de—”
Namun Tania sudah pergi, Sayna tidak meneruskan ucapannya lagi. Dan meskipun kantin ramai sekali saat jam istirahat pertama, tapi Danish merasa dia dengan Sayna hanya sedang duduk berdua—dalam imajinasi.
“Gue nggak bakal duduk di sini kalau ada meja lain yang kosong. Dan gue nggak minta izin lo dulu sebelumnya karena kita teman sekelas.” Sayna angkat bicara.
Danish mengangguk-angguk. “Mau minum apa?” tanyanya. “Biar gue yang ambil.”
“Teh Kotak,” jawab gadis itu—seperti biasa. Minuman kegemarannya. Entah sejak kapan Danish tahu dan hafal soal Teh Kotak.
“Oke, sebe—”
“Nish, gue pulang bareng lo, ya?” Chaca, teman sekelas mereka tiba-tiba saja muncul saat Danish hampir bangkit untuk membeli Teh Kotak.
“Ngajak pulang jam segini? Kan masih jam istirahat pertama.”
“Ih, ya ntar pulang sekolah. Kan kalo gue nggak booking dari sekarang, motor lo pasti udah ada yang ngisi terus tuh jok belakangnya.”
“Njir, emang gue apaan bisa di-booking?” Danish tertawa geli. “Jok belakang gue emang wajib ada yang ngisi tiap pulang sekolah.”
“Kenapa?” tanya Chaca.
“Karena sekarang yang jomblo suka ditilang sama Pak Polisi, kan gue atut.”
Danish dan Chaca tertawa, sementara Sayna bergidik geli melihat ke arah mereka berdua. Mungkin iri ya karena tidak diajak bercanda.
“Bisa aja nih ngelesnya.” Chaca menepuk bahu Danish pelan. “Jadi, boleh kan, ya?”
“Iya, boleh.” Danish menyetujuinya begitu saja, kalau dia tidak lupa. “Tunggu aja di parkiran, gue mau ke basecamp dulu sebentar.”
“Oke, makasih, Danish.”
“Sama-sama, Chaca.” Danish tersenyum lebar sambil melambai-lambai.
“Namanya Lianka,” ujar Sayna kemudian, setelah gadis bernama Chaca tadi hilang dari pandangan.
“Hah?” Danish terperangah bingung.
“Nama cewek tadi Lianka, bukan Chaca.”
Wah, kenapa Danish baru tahu? Padahal mereka teman sekelas selama ini.
“Chaca itu yang dua hari lalu lo ajak pulang bareng dan lo tinggalin di pom bensin, Danish.”
“Oh... yang itu.” Danish mengangguk-angguk. “Si Chaca sama Lianka mirip sih,” kilahnya. Padahal Danish justru lupa Chaca sesungguhnya yang mana, yang dua hari lalu dia ajak pulang dan ketinggalan di pom bensin waktu dia mengisi bahan bakar?
“Yang tadi, Nish! Yang di kelas ngajakin lo pulang bareng besok. Itu namanya Chaca!” Sayna di hadapannya menggelengkan kepala. “Ini yang beli mie ayam sama batagor pada ke mana deh? Ke Baghdad kali, ya.”
Danish tidak menyangka jika Sayna juga jago membaca pikiran. “Say,” panggil Danish sekali lagi dan gadis itu mendongak dari tatapannya yang terus mengarah ke tempat lain. “Sekarang gue cuma manggil lo Say, nanti gue pasti lo izinin buat manggil Sayang. Lihat aja.”
ªªª
“Kak Danish!”“Hai ...” Danish menyapa kerumunan anak kelas satu yang... kalau tidak terlalu pede sih, memang setiap pagi berjaga di sana demi menantikan kedatangannya, juga Aryan dan Angga. Mereka bilang, tiga anak Konoha adalah sumber asupan vitamin dan gizi di pagi hari agar semangat ke sekolah. Danish bangga karena pamornya mengalahkan Energen maupun Coco Crunch.“Kak Danish, mukanya bening banget kayak ubin masjid yang udah disemprot disinfektan. Suci, bersih, steril ...”Tawa anak-anak itu menggema, sementara Danish hanya menyunggingkan senyum dan terus berjalan menuju kelas. Dia datang agak terlalu siang karena sudah banyak orang di sekolah hari ini, tidak bisa bertemu dengan Sayna pagi-pagi.Danish berdiri di depan cermin kelas yang seukuran dengan tubuhnya, merapikan rambut, mencoba mengabaikan jerit-jerit kecil tertahan dari anak perempuan di kelas. Yang Danish tidak paham, sampai kapan mereka tidak t
Kepala Danish rasanya berasap setelah mengerjakan dua jam penuh pelajaran Matematika bagian Matriks. Kalau saat pelajaran Fisika ada trampolin di dalam kepalanya, hingga membuat rumus-rumus itu memantul, kali ini sepertinya ada yang sedang menggoreng lele di sana. Apinya besar dan panas, persis penjual pece lele kebanyakan di sepanjang jalan Danish pulang. Selain harus menghitung dan menyebutkan jumlah Ordo, dia juga harus mempelajari tentang transpose. Ada yang paham di sini? Danish pusing, dia harus belajar dua kali lipat lebih banyak dan lebih keras dari orang-orang kebanyakan untuk membuatnya benar-benar mengerti. Sebab Danish memang sepayah itu. Katanya ya, kecerdasan itu diturunkan oleh ibu kandung. Berarti ibunya Danish pilih kasih karena hanya menurunkan kecerdasannya pada Dinara. Sementara Danish kebagian remahannya pun tidak. Semuanya dibawa oleh Dinara yang tamak akan kepintaran. Untung saja Danish ganteng paripurna. Jadi itu semua tidak masalah, s
“Sayna, gue boleh mampir ke rumah lo nggak, kebetulan kan ki—”“Nggak boleh,” jawab gadis berponi itu dingin. Tipe orang yang tidak suka berpura-pura atau tidak enakan pada ajakan orang lain kira-kira merasa dirinya kurang nyaman.“Kenapa?”“Keluarga gue takut sama anjing.”Lalu dia pergi, begitu saja, meninggalkan pemuda yang tadi mengajaknya bicara sambil membawa sebungkus Twisko rasa jagung bakar dan tangan kirinya menggenggam minuman dengan label Teh Kotak.Danish memerhatikannya saat itu sambil sibuk menahan tawa, sekitar tiga tahun yang lalu, saat pertama kali mereka bertemu di klub taekwondo. Gadis itu bernama Sayna Lalisa Ghissani, Danish baru mengetahuinya beberapa waktu kemudian. Dan Sayna adalah gadis paling aneh yang dia kenal. Sayna tidak ramah, tidak pada siapa pun, termasuk kepadanya.Padahal Danish kurang apa? Kurang ganteng? Tidak mungkin. Kurang baik? Rasanya tidak. Kura
“Nggak pulang bareng gue aja?” tanya Danish pada gadis itu. Hari beranjak malam, matahari sudah terbirit dari kaki langit, lampu-lampu jalan mulai menyala, dan Danish menghabiskan waktu satu jam di tukang kunci—bersama gadis itu. Mereka duduk berjauhan dan sesekali melempar obrolan. Sampai... semuanya selesai dan Danish merasakan ketidakrelaan sebab artinya dia dan Sayna harus berpisah. Lebay sekali, ya Tuhan... “Jaketnya cuma satu,” jawab Sayna berdalih. “Dan ini udah mau malam, dingin kalau yang pakai cuma salah satu dari kita aja. Gue udah pesen takol.” Gadis itu membuka jaket dan menyampirkannya di bahu Danish. Anehnya, Danish merasa itu bukan hal yang asing, padahal biasanya dia selalu menghindari sentuhan dari anak-anak perempuan. Apalagi yang dibonceng di belakangnya, Danish selalu bergidik geli kalau salah satu dari mereka mencoba memegang pinggang, atau bahkan hanya bersandar pada tas sekolahnya. Dia selalu cari
“Nggak semudah itu, Ferguso,” jawabnya setelah menghabiskan dua porsi es krim dan waffle padahal tadi seingat Danish gadis itu bilang bahwa dia sudah makan. Apakah waffle bukan makanan? Pencuci mulut saja? “Terus? Gue harus gimana biar kita bisa pacaran?” Sayna tampak memikirkan sesuatu, dan Danish penasaran dengan pemikiran gadis itu. Mengejutkan sekali hari ini, tiba-tiba saja Danish mengutakan perasaannya secepat dia menyadari perasaan itu beberapa hari yang lalu. “Gue nggak mau lo ikut tawuran, ngumpul sama anak geng—” “Oke.” Danish memotongnya cepat. Semudah itu memang, asal demi Sayna, hanya Sayna, karena Sayna. Lagipula dia tahu bahwa hal-hal yang Sayna larang memang tidak baik. “Dan nggak ikut remedial terus,” sambungnya lagi, yang justru membuat Danish terperangah. “Gimana caranya gue nggak ikut remedial kalau nilai gue nggak cukup? Nggak lulus KKM?” Dia kebingungan.
Hari ini Danish tidak membawa si Jalu ke sekolah, dia diantar ibunya pagi-pagi dengan Mercy yang jarang dia naiki, lalu berencana pulang dengan Sayna naik angkutan umum. Tapi sejak kerusuhan di kelas tadi, tentu saja gejolak dan lonjakan besar tidak dapat dihindari, Sayna langsung berubah. Dia tampak marah, beberapa anak bertanya dan Sayna tentu saja menampiknya. Dia terlihat keberatan dengan kabar yang berembus di kelas, dan mungkin akan menyebar di seantero sekolah tak lama lagi.Memang se-aib itu Danish baginya, padahal Danish sudah janji untuk tidak ikut tawuran dan belajar yang giat agar tidak remedial terus setelah ulangan maupun ujian.“Pergi lo,” usir Sayna kepadanya saat Danish berjalan tepat di belakang gadis itu menuju halte Transjakarta terdekat dari sekolah.“Gue nggak bawa motor, jadi mau naik bis.” Danish membela diri, dan tetap berjalan di belakangnya. “Kita satu jurusan kan, ya?” tanyanya kemudian, padahal Dan
Andai matahari mau minum paracetamol, mungkin cuaca tidak akan sepanas ini. Danish mengibas-ngibaskan kaus olahraga yang dipakainya, setelah mengoleskan sunblock tipis-tipis ke seluruh tubuh secara merata, dia menyusul teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruang cuci laki-laki. Hari ini adalah pelajaran olahraga, dan bukannya Danish tidak suka, hanya saja kegiatan outdoor seperti berolahraga bisa membuatnya terbakar matahari, dan dia keberatan.Kenapa mereka tidak olahraga di dalam gedung saja? Kenapa harus berlari memutari lapangan upacara? Kenapa harus—“Nish!” Danish terperanjat saat suara Hamam dari arah belakang mengejutkannya. Anak itu terlambat datang, dia bahkan baru keluar dari ruang ganti tanpa memakai kaus olahraga.“Kenapa lo telat?” tanya Danish kepadanya. Sebagian anak IPA 3 sudah berkerumun dekat lapangan, Sayna juga ada di sana, rambutnya dikuncir tinggi, dia memakai sepatu olahraga jenis yang sa
Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.“Nish, gue pulang bareng lo!”Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sem
Gue Hellen Vianda. Panggil aja Helen, nggak usah disingkat-singkat jadi Hell, atau Len gitu, oke? Hell itu artinya neraka, kan? Nggak habis pikir gue kenapa nyokap ngasih nama gue kayak gitu, nggak paham bahasa asing apa gimana dah? Anaknya pas gede dipanggil neraka ke mana-mana.Oh iya, kenapa jadi kepanjangan gini mukaddimahnya?Gue di sini cuma mau cerita keadaan sekolah sejak tadi pagi. Jadi, di SMA NYUSU kalo lo ngeliat Kak Aryan bawa mobil Lexus-nya ke sekolah, itu udah sirine alami banget deh. Pasti bakal ada perang besar ini mah! Tapi hari ini belum diketahui apa pemicunya, gila aja pagi-pagi liat Kak Aryan bawa mobil sementara kemarin kayaknya nggak ada masalah apa-apa yang tersebar. Mungkin pas jam istirahat pertama, atau kedua, gue bisa berburu berita ke temen-temen lain.Bahkan bukan cuma kita anak-anak NYUSU, guru-guru sampai Wakasek Kesiswaan pun waspada liat Kak Aryan bawa mobil. Bu Sri namanya, guru Kewarganegaraan yang ngerapel ngurusin
Sayna memandangi telapak tangannya sendiri sejak bermenit-menit belakangan ini. Dalam masa OSPEK untuk mahasiswa baru Fakultas Kedokteran, berinteraksi dengan mayat atau cadaver tentu bukan cuma rumor belaka. Dia baru saja melakukannya, dan meski mayat itu tidak bangun lagi, Sayna tetap merasa ngeri. Kengerian itu masih menyisa di hatinya. “Salam dulu, Dek! Ajak kenalan. Coba cari ada tulisan apa di bawah kakinya? Jangan takut, mereka pernah hidup seperti kita, mereka yang akan bantu kalian menimba ilmu selama di sini. Anggap sebagai guru, hormati dan hargai keberadaannya.” Bukan mayat baru yang masih segar memang, kulit hingga tubuhnya sudah keras dan kaku seperti kayu, Sayna bisa menganggapnya boneka peraga kalau mau, tapi tetap saja, itu mengerikan. Dia sudah mencuci tangan berulang-ulang dan belum bisa menghilangkan kesan serta ingatan terhadap sentuhan cadaver di kulitnya barusan. “Hai, Sayna, ya? Dari Nusantara Satu?” Sayna men
Lubang Hidung Danish First of all, ini bener-bener catatan nggak penting. Gue cuma lagi gabut dan nggak tahu mesti ngapain. Tapi tiba-tiba gue keingetan hal krusial ini. Jadi kayaknya dua tahun yang lalu, pertama kali gue sadar kalau Danish bukan cuma ganteng dan baik, yang dua hal ini mostly jadi daya tarik terbesar dia dan jadi alasan kenapa dia diincar banyak cewek. Khususon gue, ada satu hal lagi, lubang hidungnya. Gila, ya? Cewek gila mana yang naksir cowok gara-gara lubang hidung? Ada kok, gue orangnya. Honestly, gue udah naksir Danish sejak lama sih. Kan dia ganteng, banyak yang suka, jadi ya gue ikut seru-seruan aja buat mengagumi dia diam-diam tanpa kasih tahu ke orangnya atau ke siapa-siapa. Gue nggak nunjukin itu, gue takut Danish ilfeel sama gue dan mikir kalau gue sama kayak hama lain yang suka nempelin dia. No! Pokoknya jangan sampai derajat gue rendah di mata Danish. Gue harus jadi bucin yang berkelas.
Gadis itu menyengir, terlihat senang mengerjai pemuda yang masih bau amis dengan hormon dan imajinasi membumbung tinggi. Lalu dia sibuk dengan anak bulunya lagi, sementara Danish membuang muka dan menyapu tiap sudut kamar itu. Dia tidak akan ke sini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan setelah penghuninya pergi.Kamar Sayna yang mengombinasikan warna pink, pastel, dan putih mengusung konsep kamar gadis-gadis ala Instagram. Danish berkeliling dan terpaku pada buku bersampul kuning di atas meja rias. Dia mendekat setelah berpura-pura memeriksa sesuatu di wajahnya karena tepat di atas meja itu adalah cermin berukuran besar, Danish melirik Sayna yang sibuk mengobrol dengan suara mencicit dengan Bolu mereka.Lubang Hidung Danish...Matanya otomatis melebar kala menemukan tulisan itu dan deretan huruf yang terangkai di bawahnya. Memo Sayna yang pernah Hamam kisahkan padanya waktu itu. Danish tidak menyangka jika ini benar-benar ada, benar-benar ditulis oleh gadisnya
Danish: Say, dessert yang kapan hari dibeliin si ibu namanya apa sih, lupa gue.Sayna: Yang mana?Danish: Yang ada kopinya.Danish: Duh, apaan itu namanya, ya?Danish: Tira... apa sih?Sayna: Misu?Danish: Miss you too :*Sayna: Dih!Danish: Hahaha, lo mau nggak? Gue serius nih, ntar gue bawain.Sayna: Apaan? Tiramissu?Danish: Iya.Sayna: Nggak ah, gue lagi kepengen donat kentang sih kalau ada. Yang pake gula dingin itu. Duh, jadi kebayang kan...Danish: Oh, ntar gue beli, gampang.Sayna: Oke, makasih.Danish: Mamanya Bolu lagi ngidam kayaknya nih, Michi sama Bolu otw punya dedek, anak ketiga kita :*Sayna: Ngga
Ekstra – EpilogHamam invited you to join Bujang NyusuHamam: Hai, temen-temen sepeliharaan gue! Kangen nggak nih?Danish: Njir, apaan ini?Arvin: Bujang Nyusu? Yang bener aja lo ngasih nama!Herdian: Ada baiknya kita berunding dulu masalah nama baru untuk grup ini.Hamam: Heh, lo udah official pensiun jadi ketua kelas, ya. Gosah ngatur-ngatur!Arvin: Ini kita berempat doang nih?Hamam: Gue masukin Rafid, Reno sih kaga, empet gue sama dia.Danish: Panggil si Rafid.Arvin: Fid!Herdian: Rafid!Rafid typing...Hamam: Oh, ada noh masih mengetik. Gue kangen sama lo pada btw. Aneh banget bolos sekolah selama ini, gue kan nggak pernah bolos.Danish: Lo nyindir
Danish: You deleted this messageSayna: Nish, ada apa? Kok dihapus? Sayna: Kirim ulang dong, gue kepo nih.Danish: Lo mau nggak jadi pacar gue? Sayna: Wkwk kirain apa. Sayna: Udah, hapus lagi aja. Danish mendengkus tidak senang, Sayna selalu begitu dari dulu dan ini sudah berbulan-bulan. Memang sih mereka sudah melakukan banyak hal bersama-sama dan tidak ada satu pun yang mengira keduanya tidak pacaran, hanya orang-orang terdekat yang tahu status mereka sebenarnya. Dan selama ini Danish juga tidak masalah, hanya karena mendengar Angga dan Aryan tidak jomblo lagi, dia iri parah. Danish juga ingin mengakui blak-blakan kalau Sayna adalah pacarnya.“Nish!” Gadis itu menepuk bahu Danish dari belakang. Mereka baru saja selesai merayakan kelulusan, Sayna bersama teman-tema
Hari kelulusan. Setelah melakukan ujian akhir beberapa waktu yang lalu, melewatkan malam prom yang menyenangkan dengan teman-teman seangkatannya, belajar yang rajin, dan lebih rajin lagi membantu ibunya di laundry, Danish melangkah ke luar kelas dengan senyum mengembang. Rasanya seperti sudah bebas.Dia dan seluruh kelas 12 yang tersisa di SMA Nyusu akan pergi, melepas seragam putih abu-abu yang mereka kenakan dan memulai petualangan baru di bangku universitas. Lembar kelulusan yang menyatakan dirinya boleh meninggalkan dunia remaja penuh warna itu Danish pegang erat. Mereka membagikannya di aula, tapi kemudian membuka lembar itu di kelas masing-masing. Dan tak lupa, papan media sekolah turut membagikan peringkat dari seluruh angkatan per-jurusan yang mereka ambil.Danish menepuk dadanya bangga, dia berpapasan dengan Angga dan Aryan yang sedang berangkulan dan berjalan ke arahnya. Mereka saling melempar senyum, tampak sama-sama lega dan bahagia.“
Selain menikah secara dadakan dengan orang yang baru ditemuinya beberapa waktu lalu, kakak kandung Danish melakukan hal lain yang lebih gila lagi. Dia menyelinap pergi ke kamar pengantin dengan sang suami lalu mengunci pintunya dan tidak muncul lagi hingga acara selesai.Tebak saja siapa yang menggantikan mereka berdua di pelaminan, Danish dan Sayna. Keduanya berpakaian ala pengantin gadungan dan cekikikan menyalami para tamu undangan. Mereka menjelaskan sedikit tentang keadaan pengantin sungguhan yang sedang berganti pakaian meski itu bohong belaka.Anehnya, Sayna terlihat senang. Danish kira gadis itu akan mengumpat kakaknya seperti yang sudah dia lakukan. Ternyata tidak, Sayna baik-baik saja, mereka bahkan berfoto berdua ala-ala pengantin aslinya. Kalau sudah begitu ya, lama-lama Danish juga senang.“Nish!” Sayna menepuk punggungnya dari arah belakang. Acara sudah selesai, tamu-tamu sudah pergi, mereka pun bersiap untuk kembali ke ka