Kaila Rashi membenci Kaisar Aji. Tidak peduli pada kenyataan bahwa mereka lahir bersama, di hari yang sama, dari rahim yang sama, Kaila membencinya. Baginya, Kaisar adalah sebuah kesialan dalam hidup yang tak pernah ia harapkan untuk hadir di dunia. Namun, ketika satu per satu orang yang Kaila percaya ternyata menyembunyikan banyak hal darinya, haruskah ia mulai memercayai Kaisar dan berdamai dengan adik kembarnya itu? Benarkah bahwa pada akhirnya, darah memang lebih kental daripada air?
View More“Dari mana lo?”Pertanyaan itu menyambut Kaila segera setelah ia melangkahkan kaki berniat melintasi ruang tamu. Kaila tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Namun, karena refleks, gadis itu menoleh juga, membuatnya bertemu pandang dengan Kaisar.Kaila tidak langsung menjawab. Gadis itu memberi jeda demi menatap Kaisar dengan sorot tidak suka. Raut serta nada suaranya tetap datar ketika kemudian ia menyahut, “Bukan urusan lo.”Kaisar lantas menghela. Kedua orang tua mereka tengah berada di ruang tengah, hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Memancing emosi Kaila hanya akan menciptakan huru-hara yang mungkin dapat berakibat panjang. Ia tidak menginginkan keributan apa pun. Apalagi jika sampai menyebabkan masalah sepele ini diketahui orang tua mereka. Tapi bagaimana pun, Kaisar penasaran. Karenanya, berusaha berpikir masa bodoh, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu bertanya dengan nada setenang mungkin.
“Menurut informan gue, namanya Fano. Anak JIP, satu angkatan di atas kita. Kenal sama Kaila nggak sengaja, kebetulan dia ngerti dikit-dikit soal skripsinya Kaila jadi suka diskusi bareng gitu katanya, sih,” Fahril menggantung laporannya dengan mulut penuh, sibuk mengunyah remahan Cheetos terakhir dari bungkusnya. “Nih, ada fotonya tapi nggak jelas.”Kaisar menerima angsuran ponsel Fahril, lalu menyipit memperhatikan layarnya. Sebuah foto– yang tampaknya diambil tanpa kesadaran para objek di dalamnya–ditampilkan di sana. Kaisar mengenali latarnya sebagai ruang diskusi perpustakaan pusat. Namun, tidak bisa melihat dengan jelas wajah sosok lelaki yang kelihatan duduk berhadapan dengan Kaila.“Nggak keliatan,” protes Kaisar, mengembalikan ponsel Fahril pada pemiliknya. “Tapi sekilas mirip, sih, sama yang kemaren gue liat.” Kepalanya lalu menoleh pada Zaki yang duduk bersila di sudut ruangan, tengah menulikan diri
“Nggak pegel, Kai?” Kaila melepaskan pandangan dari layar laptopnya demi mendongak dan beradu pandang dengan si penanya. Fano. Yang kini tengah tersenyum bodoh menatap ke arahnya. “Apanya?” Gadis itu bertanya dengan kening berkerut, sepenuhnya tidak mengerti arah pembicaraan Fano. Lelaki di hadapan Kaila itu lantas mengedikkan kepala, menunjuk laptop yang terbuka di meja, di antara mereka. “Fokus banget melototin laptop dari tadi. Nggak pegel?” Itu sebuah kelakar. Fano jelas melontarkannya dengan nada bercanda. Namun, Kaila tidak tertawa. Ia justru mendengkus malas. “Gue malah heran sama lo,” balas Kaila, menggeser laptopmya sedikit ke samping, kini menempatkan atensinya penuh-penuh pada si lelaki. “Hobi banget ngikutin gue tiap gue mau ngerjain skripsi. Nggak pegel?” Sindiran pedas Kaila hanya melebarkan cengiran di wajah Fano. “Kan, biar gue bisa ngebantu kalo lo tiba-tiba blank terus butuh temen brainstorming.”
“Jadi, sekarang lo udah sedeket itu sama si–siapa namanya?” Resya mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari catatan yang tadi sedang dibacanya. Kaila yang duduk dua kursi darinya lantas memutar bola mata.“Fano,” balas Kaila cuek. “Dan nggak, gue nggak deket. Apalagi sedeket itu.”Resya mengangguk dengan gestur menyebalkan. “Fine, Honey,” ia kemudian memindahkan tatapannya pada Ilma yang duduk di antara mereka. “Ma, tadi Pecking Order, tuh, tahun berapa?”Kening Kaila berkerut samar akibat perubahan topik yang tiba-tiba itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan lalu mengembalikan fokus pada lembaran kertas di tangannya–print out bahan referensi yang ia dapat dari Fano beberapa hari lalu. Sementara di sisi Kaila, Ilma menoleh ringan menghadap Resya.“Tahun 1984, Re. Myers, Majluf. Tuh, gue jawab sekalian biar lo nggak nanya lagi.”
“Corporate Governance tuh, sebenernya topik yang tricky.” Fano berujar sembari menyentuh touchpad laptop Kaila. “Secara teori sama olahan data angka, emang keliatan ada hubungannya antara penerapan tata kelola perusahaan yang baik sama peningkatan nilai perusahaan. Tapi di lapangan sebenernya agak rancu. Apalagi kalo udah bahas-bahas dewan komisaris sama direksi gini. Soalnya kadang status independensinya cuma pajangan doang, nggak guna-guna banget. Bukan orang yang beneran kompeten juga. Pembimbing lo nggak komentar apa-apa emang?”Lelaki itu mengembalikan laptop tadi pada pemiliknya. Yang lekas menerima sembari meringis kecil memandangi apa yang kini tertera di layar laptopnya.“Komentar, sih,” sahut Kaila tanpa melihat Fano. Fokusnya tengah berpusat pada beberapa fail yang tampak terhampar memenuhi layar laptopnya. Gadis itu menyalin beberapa di antaranya dan memindahkannya ke folder miliknya. &
“Baru pulang, Sar?”Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak
“Lo nggak lihat orangnya?”Pertanyaan itu terlontar santai, diselingi perebutan kemasan Cheetos antara Kaisar dan Fahril. Namun, bagaimana pun, Zaki tahu kawannya baru saja bertanya serius. Meski demikian, ia terpaksa menggeleng.“Nggak. Pas gue nengok, bis dateng. Heboh, dah, tuh, sehalte.”Terdengar suara Cheetos dikunyah. Disusul suara berisik yang aneh. Zaki lantas menoleh, menemukan dua kawannya yang masih berperang memperebutkan kemasan makanan ringan yang isinya hampir habis itu. Ia lalu mendengkus. “Ngapain, sih, kampung. Beli lagi sono di Indomaret depan. Timbang Cheetos lima ribu lebih dikit aja berantemnya sampe ngotorin kosan gue.”Baik Kaisar dan Fahril lekas melepaskan pegangan masing-masing dari kemasan makanan ringan tadi. Membiarkan bungkusan itu jatuh ke lantai dan isi remahannya berceceran, membuat Zaki mengerang frustrasi.“Iya, iya, nanti sebelum balik gue nyapu dulu,” celetuk Fah
Kaisar bergerak gelisah dalam duduknya. Jemarinya berulang kali mengetuk meja kantin, tatapannya bergerak pada Zaki sebentar, lalu menghindarinya lagi. Itu terjadi berulang kali hingga tanpa sadar, Zaki turut merasa gelisah dan mengusap belakang lehernya canggung.“Sar ....”Kaisar bangkit berdiri, abai pada panggilan Zaki atas dirinya. Lelaki itu kemudian berbalik menghadap sang kawan, sorot matanya sulit diartikan. “Siapa aja yang tahu?” tanyanya.Zaki menghela. “Lo, gue, Ila.”Kaisar lantas mengembus lega. Ia kembali duduk dalam satu gerakan cepat, tubuhnya condong, merapat pada Zaki. “Beneran cuma kita bertiga?”“Tadinya cuma gue sama Ila, malah,” Zaki menelengkan kepalanya. “Tapi daripada lo denger dari orang, atau gue nggak sengaja keceplosan di masa depan terus lo salah paham, ya mending gue kasih tahu sekarang, lah.”Hening. Kaisar memandangi kawannya lekat-lekat
“LO SEMALEM NGINEP DI KOSAN–” Resya menutup mulut lalu melirik sekeliling. Tubuhnya merunduk sedikit. “–Zaki?”Kaila memutar bola matanya malas sementara Ilma memukul lengan Resya, menyuruhnya diam. Ketiganya sedang berada di ruang baca lantai dua perpustakaan pusat. Tidak seperti ruang diskusi yang cukup ramai, ruang baca cenderung sepi di siang hari. Selain rak-rak buku besar yang menjulang hingga atap, tidak ada orang lain di sekitar mereka sejauh mata memandang. Kecuali mungkin, di balik salah satu rak buku itu.“Anjrit,” Resya bertepuk tangan girang, membuat Ilma memelototinya garang. “Sumpah, Kai? Zaki yang itu?”“Zaki yang itu,” jawab Kaila malas.“Zaki Satria?”“Zaki Satria.”“Bahan bagus, nih, buat gosip hangat FE,” gadis itu menyahut, cepat menyambar ponsel lalu menyalakan layarnya. Resya mendadak sibuk dengan ponselnya hingg
“Ayo bikin perjanjian.”Kalimat datar itu tanpa aba-aba. Tanpa pendahuluan atau pembukaan yang ramah. Dilontarkan padanya segera setelah pintu kamarnya terbuka tanpa permisi. Membuat Kaisar mengernyit tidak suka lalu melepas sebelah earphone di telinganya."Bisa, nggak, kalo masuk kamar orang itu ketok pintu dulu?" tanyanya, memandangi sosok yang kini berdiri di ambang pintu.Kaila Rashi. Kakak yang lahir tiga belas menit lebih awal darinya."Udah," jawab Kaila pendek, kepalanya menoleh ringan lalu mengedik pada pintu yang terbuka di belakangnya. "Gue udah ketok tiga kali. Kalo lo nggak denger, bukan salah gue."Kaisar mendengkus. Ini khas Kaila. Keras kepala, tidak mau dibantah, menjengkelkan. Sadar perdebatan ini tidak akan menemukan titik terang jika Kaisar menjadi sama keras kepalanya, ia mengalah. Meninggalkan posisi rebahnya di kasur, lelaki itu bangkit duduk. Sepasang earphone-nya sudah terlepas penuh dari kedua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments