“Lo nggak lihat orangnya?”
Pertanyaan itu terlontar santai, diselingi perebutan kemasan Cheetos antara Kaisar dan Fahril. Namun, bagaimana pun, Zaki tahu kawannya baru saja bertanya serius. Meski demikian, ia terpaksa menggeleng.
“Nggak. Pas gue nengok, bis dateng. Heboh, dah, tuh, sehalte.”
Terdengar suara Cheetos dikunyah. Disusul suara berisik yang aneh. Zaki lantas menoleh, menemukan dua kawannya yang masih berperang memperebutkan kemasan makanan ringan yang isinya hampir habis itu. Ia lalu mendengkus. “Ngapain, sih, kampung. Beli lagi sono di Indomaret depan. Timbang Cheetos lima ribu lebih dikit aja berantemnya sampe ngotorin kosan gue.”
Baik Kaisar dan Fahril lekas melepaskan pegangan masing-masing dari kemasan makanan ringan tadi. Membiarkan bungkusan itu jatuh ke lantai dan isi remahannya berceceran, membuat Zaki mengerang frustrasi.
“Iya, iya, nanti sebelum balik gue nyapu dulu,” celetuk Fahril cepat sembari mengusapkan tangan ke celana jinnya. “Jadi, gimana, tuh, cowok yang gangguin adek lo?” tanyanya kemudian, mengedik pada Kaisar.
“Kakak,” koreksi Kaisar malas.
“Ya kembaran lo, lah, pokoknya. Ribet amat.”
Kaisar angkat bahu. Lelaki itu telah kembali pada mode acuh tak acuhnya saat membicarakan Kaila. “Ya mana gue tahu. Zaki ngasih info nggak lengkap.”
“Ya, kan, Ila juga ceritanya gitu doang, anjir,” elak Zaki, tidak terima disalahkan.
Ketiganya lalu terdiam. Fahril menjadi yang pertama bosan berdiam lantas mendaratkan tatapannya pada Zaki. Ia mengamati kawannya sejenak sebelum sebuah cengiran mendadak muncul di wajahnya.
“Lo beneran nggak pernah naksir Kaila, Zak?”
Pertanyaan sederhana itu membuat dua pasang mata sontak menatap sengit ke arah Fahril.
“Ngomong apa barusan?” tuntut Kaisar.
“Bahasan lo nggak pernah berbobot, Ril,” keluh Zaki, menimpali.
Melihat reaksi dua temannya, Fahril tergelak. Ia lalu melempari Kaisar dengan bungkus Cheetos yang kini sudah diremas hingga membola. Tangannya terangkat ke arah Zaki, mengajukan permintaan maaf.
“Bercanda, elah,” kilahnya. “Tapi lo berdua pernah mikir nggak, sih? Lo, Sar,” Fahril menunjuk Kaisar. “Daripada kembaran lo sama orang nggak jelas, kan mendingan sama Zaki? Udah jelas lo tahu orangnya kayak apa. Kalo macem-macem juga tinggal lo aduin ke bapaknya. Kalo adek gue seumuran kita, sih, mau juga gue comblangin sama Zaki. Mantan santri, rajin mengaji, berbudi pekerti–HAHAHA.” Monolog Fahril terpaksa terhenti akibat tangan Zaki yang tiba-tiba mendorong sisi kepalanya.
“Kapan dia nyantri, anjir,” dengkus Kaisar. Pandangannya lantas bertemu canggung dengan sorot Zaki. Saling mengenal untuk waktu yang begitu lama, rupanya membuat keduanya mampu bertukar pesan melalui sorot mata. Karenanya, Kaisar hanya menggeleng. Tatapannya teralih pada Fahril. “Lagian Zaki mana demen sama Ila, ya kan, Zak?”
Yang ditanya mengangguk ringan. Membuat Fahril mendengkus.
“Itu nggak demen karena udah sering lo ultimatum aja kali.”
“Ini bocah ngelawan aja kalo dibilangin!” Kaisar melempar balik bekas bungkus Cheetos yang tadi Fahril lemparkan padanya.
Fahril tergelak sesaat. “Ya udah, ya udah. Sekarang kalo misal, malah si Kaila yang naksir Zaki, gimana?”
Setelahnya hening. Gagasan itu rupanya cukup mengganggu baik bagi Kaisar maupun Zaki. Keduanya berpura-pura tidak acuh dan mengalihkan perhatian dari pertanyaan Fahril. Yang justru menyebabkan Fahril terbahak geli di tempatnya.
“Hayoloh, hayoloh,” goda Fahril. Hanya selang dua detik sebelum bantal Zaki telak menubruk wajahnya.
“Diem, gila,” sergah Zaki, setengah kesal. Ia menoleh pada Kaisar, hendak meminta bantuan, namun Kaisar justru tengah memandangnya dengan tatapan tak terbaca.
“Tapi kalo Ila beneran naksir lo, lo bakal gimana, Zak?” tanya Kaisar, suaranya mengambang.
Zaki lantas melotot ke arahnya. “Nggak mungkin, lah, gila!”
“Kenapa nggak?”
“Ila nggak suka yang kayak gue.”
“Sok tahu si anjir.”
“Beneran, anjir!”
Kaisar mendengkus tertawa menyaksikan perdebatan dua kawannya. Lelaki itu lalu bersandar pada dinding di samping tempat tidur Zaki. Rautnya cukup tenang kala kemudian ia menyela, “Udah, kampung. Ribut amat berdua ngomongin kembaran gue.”
Fahril terkikik sementara Zaki berdecih. Kaisar memandang Zaki sejenak, sorotnya santai. Namun, Zaki justru merasa tidak senang.
“Sar, dari awal gue baik sama Ila, kan, karena lo yang nyuruh,” ungkitnya. “Kenapa sekarang jadi gue yang dipojokin?”
“Apaan, fitnah. Lo baik-baikin dia sendiri,” kekeh Kaisar. “Lagian nggak ada yang mojokin lo, Zak. Fahril lo dengerin.”
Di sudut, Fahril merasa menang. Tawanya menguar di udara. Sementara Zaki terdiam. Ia sadar mungkin ia telah bereaksi berlebihan. Untuk sejenak tadi, ia hanya terlalu takut terjadi kesalahpahaman. Zaki tidak memiliki niat lain apa pun terhadap Kaila. Selama ini, sikap baiknya murni atas dasar pertemanan. Pun jika bukan, ia memperlakukan Kaila dengan baik karena Kaisar adalah karibnya. Lagipula, Kaila memercayainya sebesar itu. Mengapa ia harus berlaku buruk atau mengambil kesempatan?
“Ya, sori.” Zaki mengalihkan pandang, setengah malu. Ia berusaha abai pada raut jahil Fahril yang seolah sengaja masih ingin menggodanya.
“Udahlah,” Kaisar berujar ringan. “Tapi kalo Ila ada cerita apa-apa lagi soal cowok creepy itu, kabarin gue, Zak.”
Zaki mengangguk singkat. Benaknya kini agak kusut. Berada di tengah Kaila dan Kaisar ternyata cukup menguras tenaga. Ia menyadari itu sejak lama, namun belakangan ini, Zaki merasa situasinya semakin berantakan. Ia sadar seberapa besar Kaila menaruh kepercayaan terhadapnya dan seperti apa Kaisar menilainya sebagai teman. Di satu sisi, Zaki memiliki keinginan untuk mendamaikan sepasang kembar itu. Karena ia tahu, Kaila dan Kaisar masih sering kali saling peduli. Tapi di sisi lain, Zaki juga tahu. Bahwa ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Bukan karena Kaila dan Kaisar adalah dua orang paling keras kepala yang pernah ditemuinya, melainkan karena seseorang yang belum bisa berdamai dengan diri sendiri sepertinya, tidak akan bisa mendamaikan orang lain.
***
“Kai, di manaaa?”
Dengan enggan, Kaila menjauhkan ponselnya dari telinga sambil mendengkus. Suara tawa Resya menyambutnya di seberang sana. Tanpa benar-benar memerhatikan apa yang Resya katakan di telepon, Kaila meneruskan langkahnya menuju parkiran gedung Auditorium Pusat kampus. Ia baru tersentak kala Resya mendadak mengeraskan suara.
“Apaan, sih, Bawel? Gue masih di Audipus,” jawabnya, menjepit ponsel antara pipi dengan bahu sementara tangannya sibuk merogoh isi tas. “Ini baru mau balik.”
“Jadi bawa motor?”
“Jadi,” sungutnya. “Dosen lo gila. Acara jam sepuluh baru ngabarin jam delapan lewat. Untung gue masih inget cara ngebut yang santun.”
Tawa berisik Resya sekali lagi menguar memenuhi indra pendengaran Kaila. Sayup terdengar suara Ilma yang menyuruhnya diam. Kening Kaila berkerut sedikit. “Lo di mana, Re? Udah di Ilma?”
“Iya. Lo buruan sini, katanya mau nugas.”
“Iya, iya, ini jalan,” sahut Kaila, nyaris memekik senang akibat berhasil menemukan kunci motor di tasnya.
“Jangan lupa ngebut yang santun.”
“Berisik, Resya.”
Sambungan telepon diputus sepihak tepat setelah Resya kembali memperdengarkan tawa. Kaila berdecak. Merasa kesal pun percuma. Sama sekali tidak ada yang bisa menjadi pelampiasan kekesalannya saat ini.
Pagi tadi, secara mendadak, dosen pembimbingnya tiba-tiba meminta setiap mahasiswa bimbingan beliau untuk ikut menjadi peserta di sebuah acara seminar Akuntansi dan Pajak yang diadakan di gedung Auditorium Pusat kampus. Kaila yang baru membaca pesan itu lewat setengah jam dari waktu terkirimnya, terpaksa kalang kabut dan terburu-buru bersiap. Menggunakan transportasi umum seperti kereta gagal menjadi pilihan Kaila mengingat pagi ini Ilma mengiriminya berita kereta anjlok di rute yang masih berhubungan dengan rute yang akan ia tempuh, menyebabkan penumpukan keberangkatan akibat jadwal yang tersendat. Jadilah, dengan bersungut-sungut dan mengumpat, gadis itu memutuskan untuk mengendarai motor ke kampus. Keputusan yang cukup berbahaya mengingat terakhir kali Kaila mengendarai motor sendiri dalam jarak jauh adalah semasa ia masih SMA.
Tergesa, gadis itu menancapkan kunci lalu memundurkan motornya. Setelah menyalakan mesin motor–dan membiarkannya memanas sejenak–Kaila mengenakan helm serta serangkaian persiapan berkendara yang biasa dilakukan. Ia lantas melajukan motor keluar dari area parkir gedung, menyusuri jalan antar fakultas yang cenderung lengang. Belum sempat berbelok menuju jalan besar, mesin motor Kaila mendadak terbatuk, sebelum akhirnya berhenti hanya berjarak beberapa meter dari pintu masuk parkir. Setengah kesal dan panik, gadis itu turun dari motornya.
“Kenapa, dah?” omelnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Kaila tidak mengerti mesin dan sudah cukup lama tidak berinteraksi dengan motornya. Kebingungan, gadis itu memasang standar samping dan melepas helm, mengamati motornya tanpa tujuan. Berusaha menghidupkan mesinnya kembali adalah perkerjaan yang sia-sia. Putus asa, Kaila mendudukkan diri di trotoar.
Terlintas di benaknya untuk menelepon seseorang dan meminta bantuan. Nama pertama yang muncul tentu saja Zaki. Namun, mengingat ia sudah banyak merepotkan lelaki itu belakangan ini, Kaila lantas mengurungkan niat. Ia kemudian mempertimbangkan pilihan menghubungi Resya, untuk kemudian memohon pada Resya agar meminta bantuan pada pacarnya–siapa pun itu. Tapi niat itu turut urung akibat rasa sungkan yang terlampau besar. Maka menyesali nasib dan mengumpat seorang diri sambil menunduk masih menjadi pilihan Kaila saat ini.
Sampai suara langkah kaki mendadak mendekat ke arahnya.
“Mbak, ada yang bisa–lah, lo?”
Acara saling tatap itu berlangsung sebentar, Kaila lekas mengalihkan pandangan dan bangkit berdiri setelah matanya membola menyadari siapa yang ada di sana. Fano. Oh, astaga, dari sepuluh ribu lebih mahasiswa di kampus ini, mengapa harus Fano yang berdiri di depannya sekarang?
“Lo yang ngapain?” tuntut Kaila, tubuhnya mundur beberapa senti, bentuk sebuah mekanisme pertahanan diri. “Lo nguntit gue, ya? Bisa-bisanya selalu ada di mana-mana?”
Suara tawa menyambut tuduhan Kaila. Tawa yang ringan, tanpa beban.
“Lo yang ngapain,” balas Fano. “Tuh, fakultas gue di seberang,” tunjuknya pada gedung Fakultas Ilmu Budaya yang tepat bersebelahan dengan lahan parkir utama gedung Auditorium Pusat. Dengan senyum kemenangan, lelaki itu melanjutkan, “Wajarlah gue keliaran di daerah sini. Lah, lo ngapain?”
Sembari merengut, Kaila mengalihkan pandang. “Abis ada seminar di Audipus,” jawabnya dalam gumaman.
“Oh,” Fano menyahut. “Terus ngapain duduk di jalanan?”
Untuk sepersekon, Kaila berniat mempertahankan ego. Ia begitu ingin menjawab ketus seperti biasa sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran Fano. Namun, rasa lelah yang Kaila hadapi sejak terlalu dini hari ini nampaknya berpengaruh cukup besar baginya. Bukannya bersikap kasar, Kaila justru mengusap wajahnya frustrasi.
“Motor gue mendadak mati.”
Dari ekor matanya, Kaila bisa melihat Fano mengangkat alis. “Kenapa?”
“Nggak ngerti.”
Sesaat, lelaki itu manggut-manggut. Kepalanya kemudian menoleh penuh-penuh ke arah Kaila. “Gue boleh nyoba bantuin, nggak?”
Kaila menghela. Di saat seperti ini, memangnya ia punya pilihan?
“Silakan.”
Fano menghampiri motor matic merah miliknya, tampak memutar kunci lalu menekan electric starter hanya untuk mendengar suara mesin yang berusaha menyala namun gagal. Lelaki itu beralih memandangnya.
“Udah coba di-engkol?”
Dengan kernyit samar di wajah–karena kurang menyukai istilah itu–Kaila menggeleng. “Gue nggak bisa nyelah.”
Untuk kesekian kali sejak pertama bertemu, Kaila mendengar Fano tertawa. Meski asing, suara itu mulai terasa akrab. Seolah bukan berasal dari orang yang jahat. Tunggu. Tapi, Fano memang bukan orang jahat. Pikiran Kaila-lah yang selalu memusuhinya akibat kesan pertama yang kurang menyenangkan.
“Nggak bisa juga,” lapor Fano, sembari mengembalikan kick starter motor Kaila ke posisi semula. Membuat Kaila tersadar ia melamun sejak tadi. “Ini biasa sebelum dipake dipanasin dulu, nggak?”
Kaila mengangguk ragu. “Tapi udah lama nggak dipake.”
Pandangan Fano kembali pada si gadis yang masih berdiri canggung di tempatnya itu. Sorotnya menyelidik. “Terakhir di-tune up kapan?”
“Lupa,” gumam Kaila, setelah sesaat terdiam. “Kayaknya udah lama ... banget.”
Fano tertawa kecil. Kepalanya tergeleng sembari sesekali melirik Kaila, seolah tengah mengonfirmasi sebuah teori yang hanya dirangkai dalam kepalanya.
“Gue, sih, bisa dan mau aja bantuin,” ujar Fano, melangkah mendekati Kaila. “Tapi masalahnya gue nggak bawa apa-apa,” lelaki itu menunjukkan tangan kosongnya. “Lo mau ke mana emang?”
Sesaat, gadis itu menatap ragu.
“Beltek,” jawabnya kemudian, menyebutkan nama daerah pemukiman di belakang Fakultas Teknik–di luar area kampus–yang lebih dikenal dengan Beltek–singkatan dari Belakang Teknik.
“Gue anter aja, gimana? Motor lo tinggal sini aja, titip ke temen gue sekalian diliat apa yang kumat,” tawar Fano.
Kaila lantas melotot. Ia mungkin memutuskan untuk berbaik hati pada Fano hari ini. Tapi, memberikan kepercayaan sebanyak itu di saat mereka tidak saling mengetahui apa pun perihal satu sama lain, terdengar seperti hal yang janggal bagi Kaila. Maka gadis itu menggeleng cepat, rahangnya mengeras.
“Apa jaminannya motor gue nggak bakal lo bawa kabur?”
Fano mendengkus tertawa, rautnya seakan menyesali keputusannya menawarkan pilihan barusan. Namun, selain itu, Kaila tidak melihat lelaki itu tersinggung.
“Oke, sori,” katanya cepat. “Kalo gitu, gue bantuin dorong motor sampe Beltek? Gue tahu bengkel yang bagus di sana.”
Bibir Kaila ternganga. Gadis itu seolah ingin mengatakan sesuatu namun berakhir mengatupkannya kembali. Ia memandang Fano, kemudian mengembuskan napasnya pasrah. Membayangkan jarak dari tempatnya sekarang sampai ke Beltek sama sekali bukan hal menyenangkan.
“Nggak ada pilihan yang mendingan apa?” keluh Kaila.
“Itu udah mendingan. Daripada lo dorong motor sendirian sampe Beltek? Jauh, loh, mayan.”
Ada sesuatu di senyum Fano yang justru membuat Kaila jengkel. Senyum itu seolah tengah mengejeknya, merasa menang atas entah apa. Tapi lelaki itu benar. Berjalan kaki tanpa membawa motor saja rasanya sudah pelik. Kaila sungguh malas membayangkan bagaimana ia akan mendorong motor mogoknya sampai Beltek seorang diri.
Tapi, apakah lelaki di sebelahnya ini benar-benar bisa dipercaya?
“Sebelum itu,” putus Kaila akhirnya, tangannya terlipat di dada. “Nama?”
Sebelah alis Fano terangkat. “Bukannya gue udah sering ngasih tahu? Fano.”
Kaila memutar bola matanya. “Maksud gue, nama lengkap.”
“Oh,” Fano terkekeh. “Grifano Adrian. Ini harus sambil jabat tangan, nggak?”
Kerutan segera terbentuk di kening Kaila. Ia sadar sejak awal ia memang tidak terlalu menyukai sikap sok akrab Fano. Terkesan sok asik, begitu menurut Kaila. Namun, untuk hari ini saja, gadis itu terpaksa menahan diri dan menerima tingkah laku aneh lelaki di hadapannya.
“Nggak perlu,” tolak Kaila, sembari menggeleng. “Perlunya sambil ngeluarin KTP. Mana?”
“Anjrit!” Fano tertawa keras hingga sepasang matanya menyipit hilang. “Buat apaan?”
“Mau liat, lo jujur apa bohong,” sahut Kaila cepat, menelengkan kepala. “Mana, buruan!”
Fano berdecak, masih setengah tertawa. Tangannya lantas merogoh saku belakang jinnya, meraih dompetnya dari sana. “Nih.”
Lelaki itu mengangsurkan kartu identitasnya, yang segera diterima Kaila dan diperhatikan dengan seksama. Kaila memindai setiap informasi yang tertera di kartu berukuran 8 x 3 sentimeter itu. Nama yang tertulis sama dengan yang didengarnya beberapa saat lalu. Grifano Adrian, usianya empat tahun lebih tua dari Kaila–satu fakta yang membuat Kaila mengerutkan kening cukup dalam, bertempat tinggal di daerah Jakarta Selatan. Diam-diam, Kaila menyimpan informasi alamat itu baik-baik dalam kepala, kemudian mengembalikan kartu tersebut pada sang pemilik.
“Udah interogasinya?” tanya Fano kala menerima kartu identitasnya kembali.
Kaila lantas menggeleng. “Jurusan?”
“Koridor 4B.”
“Bukan jurusan TransJakarta!” Kaila mendelik kala tawa Fano menguar di udara. “Jurusan kuliah.”
“JIP,” sahut Fano santai.
“Ilmu Perpus?” selidik Kaila, memastikan.
Yang ditanya mengangguk ringan. “Ini kenapa pertanyaannya jadi pribadi? Bentar lagi lo bakal nanya nomor sepatu, ukuran baju, nomor tel–”
“Nggak bakal,” potong Kaila disertai dengkusan. “Ini cuma jaga-jaga biar kalo lo macem-macem, gue tahu harus ngelaporin siapa.”
Fano mengerling. “Okay. Jadi, udah selesai?”
“Sementara udah,” gadis itu menghela. “Now, if you don’t mind,” ia menoleh pada motornya, membuat Fano melakukan gerakan yang sama. “Tolong ....” cicit Kaila dalam suara pelan.
Tawa renyah itu terdengar lagi, dalam volume lebih pelan. Tanpa bicara lebih lanjut, Fano melangkah mendekati motor Kaila lalu menaikkan standarnya. Pandangan keduanya bertemu, menyebabkan Fano mengedik samar, seolah meminta Kaila berjalan lebih dulu.
Perjalanan panjang itu terasa jauh lebih panjang dari yang seharusnya, setidaknya menurut Kaila. Meski Fano berulang kali berusaha mencairkan suasana, Kaila masih merasa canggung. Bagaimana bisa ia semudah itu meminta pertolongan pada seseorang yang bahkan belum benar-benar dikenalnya?
“Lain kali sering-sering di-tune up, Neng, motornya,” ledek Fano setelah ia memarkirkan motor gadis itu di tempat yang ditunjukkan montir bengkel beberapa saat lalu. Ia kemudian duduk di sebelah Kaila, satu tangannya mengusap peluh di dahi, lalu beralih mengipasi dirinya sendiri.
“Mau tisu?” tawar Kaila, disambut gelengan Fano.
“Nggak usah,” tolaknya. “Nama aja.”
“Hah?”
Lelaki itu lantas terkikik pelan. “Gue mau nama lo aja. Atau, masih belom boleh? Ya, kalo belom juga nggak pa-pa, sih. Lucu aja–”
“Kaila.”
“Apa?”
“Nama gue,” Kaila menghela napasnya. “Kaila.”
Tidak ada tanggapan. Yang Kaila dapati kala ia menoleh mencari reaksi Fano hanyalah figur lelaki itu, tengah mengangguk khidmat sembari mengulum senyum.
***
“Baru pulang, Sar?”Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak
“Corporate Governance tuh, sebenernya topik yang tricky.” Fano berujar sembari menyentuh touchpad laptop Kaila. “Secara teori sama olahan data angka, emang keliatan ada hubungannya antara penerapan tata kelola perusahaan yang baik sama peningkatan nilai perusahaan. Tapi di lapangan sebenernya agak rancu. Apalagi kalo udah bahas-bahas dewan komisaris sama direksi gini. Soalnya kadang status independensinya cuma pajangan doang, nggak guna-guna banget. Bukan orang yang beneran kompeten juga. Pembimbing lo nggak komentar apa-apa emang?”Lelaki itu mengembalikan laptop tadi pada pemiliknya. Yang lekas menerima sembari meringis kecil memandangi apa yang kini tertera di layar laptopnya.“Komentar, sih,” sahut Kaila tanpa melihat Fano. Fokusnya tengah berpusat pada beberapa fail yang tampak terhampar memenuhi layar laptopnya. Gadis itu menyalin beberapa di antaranya dan memindahkannya ke folder miliknya. &
“Jadi, sekarang lo udah sedeket itu sama si–siapa namanya?” Resya mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari catatan yang tadi sedang dibacanya. Kaila yang duduk dua kursi darinya lantas memutar bola mata.“Fano,” balas Kaila cuek. “Dan nggak, gue nggak deket. Apalagi sedeket itu.”Resya mengangguk dengan gestur menyebalkan. “Fine, Honey,” ia kemudian memindahkan tatapannya pada Ilma yang duduk di antara mereka. “Ma, tadi Pecking Order, tuh, tahun berapa?”Kening Kaila berkerut samar akibat perubahan topik yang tiba-tiba itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan lalu mengembalikan fokus pada lembaran kertas di tangannya–print out bahan referensi yang ia dapat dari Fano beberapa hari lalu. Sementara di sisi Kaila, Ilma menoleh ringan menghadap Resya.“Tahun 1984, Re. Myers, Majluf. Tuh, gue jawab sekalian biar lo nggak nanya lagi.”
“Nggak pegel, Kai?” Kaila melepaskan pandangan dari layar laptopnya demi mendongak dan beradu pandang dengan si penanya. Fano. Yang kini tengah tersenyum bodoh menatap ke arahnya. “Apanya?” Gadis itu bertanya dengan kening berkerut, sepenuhnya tidak mengerti arah pembicaraan Fano. Lelaki di hadapan Kaila itu lantas mengedikkan kepala, menunjuk laptop yang terbuka di meja, di antara mereka. “Fokus banget melototin laptop dari tadi. Nggak pegel?” Itu sebuah kelakar. Fano jelas melontarkannya dengan nada bercanda. Namun, Kaila tidak tertawa. Ia justru mendengkus malas. “Gue malah heran sama lo,” balas Kaila, menggeser laptopmya sedikit ke samping, kini menempatkan atensinya penuh-penuh pada si lelaki. “Hobi banget ngikutin gue tiap gue mau ngerjain skripsi. Nggak pegel?” Sindiran pedas Kaila hanya melebarkan cengiran di wajah Fano. “Kan, biar gue bisa ngebantu kalo lo tiba-tiba blank terus butuh temen brainstorming.”
“Menurut informan gue, namanya Fano. Anak JIP, satu angkatan di atas kita. Kenal sama Kaila nggak sengaja, kebetulan dia ngerti dikit-dikit soal skripsinya Kaila jadi suka diskusi bareng gitu katanya, sih,” Fahril menggantung laporannya dengan mulut penuh, sibuk mengunyah remahan Cheetos terakhir dari bungkusnya. “Nih, ada fotonya tapi nggak jelas.”Kaisar menerima angsuran ponsel Fahril, lalu menyipit memperhatikan layarnya. Sebuah foto– yang tampaknya diambil tanpa kesadaran para objek di dalamnya–ditampilkan di sana. Kaisar mengenali latarnya sebagai ruang diskusi perpustakaan pusat. Namun, tidak bisa melihat dengan jelas wajah sosok lelaki yang kelihatan duduk berhadapan dengan Kaila.“Nggak keliatan,” protes Kaisar, mengembalikan ponsel Fahril pada pemiliknya. “Tapi sekilas mirip, sih, sama yang kemaren gue liat.” Kepalanya lalu menoleh pada Zaki yang duduk bersila di sudut ruangan, tengah menulikan diri
“Dari mana lo?”Pertanyaan itu menyambut Kaila segera setelah ia melangkahkan kaki berniat melintasi ruang tamu. Kaila tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Namun, karena refleks, gadis itu menoleh juga, membuatnya bertemu pandang dengan Kaisar.Kaila tidak langsung menjawab. Gadis itu memberi jeda demi menatap Kaisar dengan sorot tidak suka. Raut serta nada suaranya tetap datar ketika kemudian ia menyahut, “Bukan urusan lo.”Kaisar lantas menghela. Kedua orang tua mereka tengah berada di ruang tengah, hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Memancing emosi Kaila hanya akan menciptakan huru-hara yang mungkin dapat berakibat panjang. Ia tidak menginginkan keributan apa pun. Apalagi jika sampai menyebabkan masalah sepele ini diketahui orang tua mereka. Tapi bagaimana pun, Kaisar penasaran. Karenanya, berusaha berpikir masa bodoh, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu bertanya dengan nada setenang mungkin.
“Ayo bikin perjanjian.”Kalimat datar itu tanpa aba-aba. Tanpa pendahuluan atau pembukaan yang ramah. Dilontarkan padanya segera setelah pintu kamarnya terbuka tanpa permisi. Membuat Kaisar mengernyit tidak suka lalu melepas sebelah earphone di telinganya."Bisa, nggak, kalo masuk kamar orang itu ketok pintu dulu?" tanyanya, memandangi sosok yang kini berdiri di ambang pintu.Kaila Rashi. Kakak yang lahir tiga belas menit lebih awal darinya."Udah," jawab Kaila pendek, kepalanya menoleh ringan lalu mengedik pada pintu yang terbuka di belakangnya. "Gue udah ketok tiga kali. Kalo lo nggak denger, bukan salah gue."Kaisar mendengkus. Ini khas Kaila. Keras kepala, tidak mau dibantah, menjengkelkan. Sadar perdebatan ini tidak akan menemukan titik terang jika Kaisar menjadi sama keras kepalanya, ia mengalah. Meninggalkan posisi rebahnya di kasur, lelaki itu bangkit duduk. Sepasang earphone-nya sudah terlepas penuh dari kedua
Bertahun-tahun sudah berlalu sejak permintaan Kaila pada Kaisar waktu itu. Keduanya telah tumbuh jauh meninggalkan masa lalu. Juga, meninggalkan satu sama lain.Pada akhirnya, rencana Kaila semasa SMA tidak berjalan mulus. Rahasianya dan Kaisar hanya bertahan selama satu semester penuh. Semua terkuak begitu saja di hari pembagian rapor kala mamanya sampai di kelas Kaisar setelah selesai mengambil rapor milik Kaila."Loh, Tante mamanya Kaila?" tanya si penjaga meja absensi kelas Kaisar ketika tanpa sengaja membaca nama Kaila Rashi Nismarasati di rapor yang dibawa ibu-ibu yang sedang membubuhkan tanda tangan di kertas absensi di hadapannya. Mata si penjaga—yang merupakan teman ekstrakulikuler Kaila—itu lantas mengikuti arah tangan sang ibu-ibu, tanpa sadar mencari tahu di sisi nama siapa tanda tangan beliau dibubuhkan.Kaisar Aji Ragimandala."Iya. Papanya nggak bisa ikut, jadi Tante deh, yang ngambil rapor dua-duanya."Jawaban itu ramah,
“Dari mana lo?”Pertanyaan itu menyambut Kaila segera setelah ia melangkahkan kaki berniat melintasi ruang tamu. Kaila tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Namun, karena refleks, gadis itu menoleh juga, membuatnya bertemu pandang dengan Kaisar.Kaila tidak langsung menjawab. Gadis itu memberi jeda demi menatap Kaisar dengan sorot tidak suka. Raut serta nada suaranya tetap datar ketika kemudian ia menyahut, “Bukan urusan lo.”Kaisar lantas menghela. Kedua orang tua mereka tengah berada di ruang tengah, hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Memancing emosi Kaila hanya akan menciptakan huru-hara yang mungkin dapat berakibat panjang. Ia tidak menginginkan keributan apa pun. Apalagi jika sampai menyebabkan masalah sepele ini diketahui orang tua mereka. Tapi bagaimana pun, Kaisar penasaran. Karenanya, berusaha berpikir masa bodoh, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu bertanya dengan nada setenang mungkin.
“Menurut informan gue, namanya Fano. Anak JIP, satu angkatan di atas kita. Kenal sama Kaila nggak sengaja, kebetulan dia ngerti dikit-dikit soal skripsinya Kaila jadi suka diskusi bareng gitu katanya, sih,” Fahril menggantung laporannya dengan mulut penuh, sibuk mengunyah remahan Cheetos terakhir dari bungkusnya. “Nih, ada fotonya tapi nggak jelas.”Kaisar menerima angsuran ponsel Fahril, lalu menyipit memperhatikan layarnya. Sebuah foto– yang tampaknya diambil tanpa kesadaran para objek di dalamnya–ditampilkan di sana. Kaisar mengenali latarnya sebagai ruang diskusi perpustakaan pusat. Namun, tidak bisa melihat dengan jelas wajah sosok lelaki yang kelihatan duduk berhadapan dengan Kaila.“Nggak keliatan,” protes Kaisar, mengembalikan ponsel Fahril pada pemiliknya. “Tapi sekilas mirip, sih, sama yang kemaren gue liat.” Kepalanya lalu menoleh pada Zaki yang duduk bersila di sudut ruangan, tengah menulikan diri
“Nggak pegel, Kai?” Kaila melepaskan pandangan dari layar laptopnya demi mendongak dan beradu pandang dengan si penanya. Fano. Yang kini tengah tersenyum bodoh menatap ke arahnya. “Apanya?” Gadis itu bertanya dengan kening berkerut, sepenuhnya tidak mengerti arah pembicaraan Fano. Lelaki di hadapan Kaila itu lantas mengedikkan kepala, menunjuk laptop yang terbuka di meja, di antara mereka. “Fokus banget melototin laptop dari tadi. Nggak pegel?” Itu sebuah kelakar. Fano jelas melontarkannya dengan nada bercanda. Namun, Kaila tidak tertawa. Ia justru mendengkus malas. “Gue malah heran sama lo,” balas Kaila, menggeser laptopmya sedikit ke samping, kini menempatkan atensinya penuh-penuh pada si lelaki. “Hobi banget ngikutin gue tiap gue mau ngerjain skripsi. Nggak pegel?” Sindiran pedas Kaila hanya melebarkan cengiran di wajah Fano. “Kan, biar gue bisa ngebantu kalo lo tiba-tiba blank terus butuh temen brainstorming.”
“Jadi, sekarang lo udah sedeket itu sama si–siapa namanya?” Resya mengangkat wajah, mengalihkan pandangan dari catatan yang tadi sedang dibacanya. Kaila yang duduk dua kursi darinya lantas memutar bola mata.“Fano,” balas Kaila cuek. “Dan nggak, gue nggak deket. Apalagi sedeket itu.”Resya mengangguk dengan gestur menyebalkan. “Fine, Honey,” ia kemudian memindahkan tatapannya pada Ilma yang duduk di antara mereka. “Ma, tadi Pecking Order, tuh, tahun berapa?”Kening Kaila berkerut samar akibat perubahan topik yang tiba-tiba itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan lalu mengembalikan fokus pada lembaran kertas di tangannya–print out bahan referensi yang ia dapat dari Fano beberapa hari lalu. Sementara di sisi Kaila, Ilma menoleh ringan menghadap Resya.“Tahun 1984, Re. Myers, Majluf. Tuh, gue jawab sekalian biar lo nggak nanya lagi.”
“Corporate Governance tuh, sebenernya topik yang tricky.” Fano berujar sembari menyentuh touchpad laptop Kaila. “Secara teori sama olahan data angka, emang keliatan ada hubungannya antara penerapan tata kelola perusahaan yang baik sama peningkatan nilai perusahaan. Tapi di lapangan sebenernya agak rancu. Apalagi kalo udah bahas-bahas dewan komisaris sama direksi gini. Soalnya kadang status independensinya cuma pajangan doang, nggak guna-guna banget. Bukan orang yang beneran kompeten juga. Pembimbing lo nggak komentar apa-apa emang?”Lelaki itu mengembalikan laptop tadi pada pemiliknya. Yang lekas menerima sembari meringis kecil memandangi apa yang kini tertera di layar laptopnya.“Komentar, sih,” sahut Kaila tanpa melihat Fano. Fokusnya tengah berpusat pada beberapa fail yang tampak terhampar memenuhi layar laptopnya. Gadis itu menyalin beberapa di antaranya dan memindahkannya ke folder miliknya. &
“Baru pulang, Sar?”Setelah menyimpan sepasang sepatunya di rak depan, Kaisar lantas menghampiri sang ibu lalu mencium tangannya. Pertanyaan ibunya tadi hanya ia balas anggukan. Lelaki itu lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, di sebelah ibunya.“Sepi, Ma?” tanyanya, dengan kepala terjulur menoleh ke sekitar.“Baru kamu yang pulang.” Ibunya menjawab sekilas, lalu mengembalikan atensi pada tayangan sinetron India yang tengah diputar di televisi. “Kamu tumben pulang cepet?”Kaisar mengerling malas. “Pulang sore salah, pulang malem salah juga.”“Udah gede masih aja ambekan,” tegur sang ibu, setengah bercanda. Satu tangan menepuk lengan putranya. “Ila mana, Sar?”Ditanya demikian, Kaisar lantas mendengkus. Setelah semua pembahasan di indekos Zaki sesiang tadi, gagasan-gagasan yang tidak ia sukai, perasaan aneh yang membuatnya merasa tidak ingin membicarak
“Lo nggak lihat orangnya?”Pertanyaan itu terlontar santai, diselingi perebutan kemasan Cheetos antara Kaisar dan Fahril. Namun, bagaimana pun, Zaki tahu kawannya baru saja bertanya serius. Meski demikian, ia terpaksa menggeleng.“Nggak. Pas gue nengok, bis dateng. Heboh, dah, tuh, sehalte.”Terdengar suara Cheetos dikunyah. Disusul suara berisik yang aneh. Zaki lantas menoleh, menemukan dua kawannya yang masih berperang memperebutkan kemasan makanan ringan yang isinya hampir habis itu. Ia lalu mendengkus. “Ngapain, sih, kampung. Beli lagi sono di Indomaret depan. Timbang Cheetos lima ribu lebih dikit aja berantemnya sampe ngotorin kosan gue.”Baik Kaisar dan Fahril lekas melepaskan pegangan masing-masing dari kemasan makanan ringan tadi. Membiarkan bungkusan itu jatuh ke lantai dan isi remahannya berceceran, membuat Zaki mengerang frustrasi.“Iya, iya, nanti sebelum balik gue nyapu dulu,” celetuk Fah
Kaisar bergerak gelisah dalam duduknya. Jemarinya berulang kali mengetuk meja kantin, tatapannya bergerak pada Zaki sebentar, lalu menghindarinya lagi. Itu terjadi berulang kali hingga tanpa sadar, Zaki turut merasa gelisah dan mengusap belakang lehernya canggung.“Sar ....”Kaisar bangkit berdiri, abai pada panggilan Zaki atas dirinya. Lelaki itu kemudian berbalik menghadap sang kawan, sorot matanya sulit diartikan. “Siapa aja yang tahu?” tanyanya.Zaki menghela. “Lo, gue, Ila.”Kaisar lantas mengembus lega. Ia kembali duduk dalam satu gerakan cepat, tubuhnya condong, merapat pada Zaki. “Beneran cuma kita bertiga?”“Tadinya cuma gue sama Ila, malah,” Zaki menelengkan kepalanya. “Tapi daripada lo denger dari orang, atau gue nggak sengaja keceplosan di masa depan terus lo salah paham, ya mending gue kasih tahu sekarang, lah.”Hening. Kaisar memandangi kawannya lekat-lekat
“LO SEMALEM NGINEP DI KOSAN–” Resya menutup mulut lalu melirik sekeliling. Tubuhnya merunduk sedikit. “–Zaki?”Kaila memutar bola matanya malas sementara Ilma memukul lengan Resya, menyuruhnya diam. Ketiganya sedang berada di ruang baca lantai dua perpustakaan pusat. Tidak seperti ruang diskusi yang cukup ramai, ruang baca cenderung sepi di siang hari. Selain rak-rak buku besar yang menjulang hingga atap, tidak ada orang lain di sekitar mereka sejauh mata memandang. Kecuali mungkin, di balik salah satu rak buku itu.“Anjrit,” Resya bertepuk tangan girang, membuat Ilma memelototinya garang. “Sumpah, Kai? Zaki yang itu?”“Zaki yang itu,” jawab Kaila malas.“Zaki Satria?”“Zaki Satria.”“Bahan bagus, nih, buat gosip hangat FE,” gadis itu menyahut, cepat menyambar ponsel lalu menyalakan layarnya. Resya mendadak sibuk dengan ponselnya hingg