"Ohh! Aku ... membunuhnya?"
Stacylia Frey lantas terdiam saat seorang pria yang bersimbah darah berbaring di hadapannya. Matanya bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Kakinya melangkah mundur dengan perlahan, begitu kaku layaknya sebuah robot. "Stacy?" Seseorang memanggil namanya. Teriakan yang menjadi samar di telinga Stacy. Sebab, saat ini telinganya seperti tengah berdengung, hingga pendengarannya menjadi tak begitu normal. "A–aku membunuhnya ... Aku membunuh dia," ucap Stacy lirih. Tangannya terangkat, sebilah pisau yang berada di genggaman tangannya lantas dia jatuhkan. Tangannya bergetar hebat, rasa takutnya semakin menjadi saat dia baru saja teringat telah menghunuskan pisau itu pada perut pria di hadapannya. Pria yang terbaring dengan genangan darah, pria yang tak sadarkan diri, pria yang dibunuhnya. "No, Stacy. Ayo, kau harus ikut bersamaku." Pria yang juga terlihat terkejut melihat Stacy dengan pisau berdarah itu lantas menarik tangan Stacy. Membawa Stacy setengah berlari, dengan genggaman tangan erat pada wanita di sampingnya. Tak perduli jika darah di tangan Stacy juga akan mengotori tangannya. Yang dia tahu, sekarang dia hanya perlu membawa wanita ini sejauh mungkin. "Tenangkan dirimu, everything's gonna be okay, now." Stacy menatap pria di sampingnya. Pria yang pada akhirnya membawa dirinya ke dalam sebuah mobil civic yang sudah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. "Aldrich, bagaimana aku bisa tenang saat aku baru saja membunuh seseorang?" "Tidak. Kau tidak membunuhnya, Stacy. Bukan kau yang membunuhnya. Ingat itu!" Stacy tak begitu paham dengan maksud Aldrich di sana. Bagaimana mungkin pria itu berkata demikian, saat Stacy sendiri sadar kalau dia yang menghunuskan pisau itu pada tubuh pria tersebut. Apa Aldrich bermaksud membuat Stacy berpura-pura tak melakukannya? Beranggapan demikian? Menanamkan pemikiran tersebut sebagai sebuah fakta? "Kemana kita pergi sekarang? Seharusnya kau tidak membawaku. Kau bisa terkena masalah karena membawaku pergi, Aldrich." Menyingkirkan sejenak pemikiran tentang pembunuhan itu, Stacy menatap Aldrich bingung dengan sorot mata yang begitu sendu. Dia tak ingin pria itu terlibat masalah, apalagi jika ini karena dirinya sendiri. Aldrich nampak menggelengkan kepalanya sendiri. "Tidak. Tidak akan ada masalah. Kau akan ikut bersamaku. Aku akan membawamu pergi." Di sana, Stacy menyadari satu hal. Bahwa Aldrich tengah membawanya pergi ke tempat yang jauh. Melarikan diri dari masalah yang telah terjadi sebelumnya. Aldrich, benar-benar membawanya pergi. Jauh, bersama dengan semua memori Stacy yang dipaksa ditinggalkan. *** Merasa tegang dengan suasana yang saat ini dia rasakan di tempat itu, Stacy tak ada hentinya menatap pria yang saat ini tengah mondar mandir sembari menelpon seseorang melalui ponselnya. Stacy tak begitu mengerti jelas dengan apa yang tengah pria itu katakan, sebab beberapa kali pria itu terdengar berbicara dengan bahasa asing, seperti bahasa Rusia atau semacamnya. Selain itu, Stacy juga tak paham sebab dia tengah sibuk dengan isi pikirannya sendiri. Hingga tak fokus memperhatikannya. "Okay, I'll call you latter. Spasibo (Terima kasih)" Kalimat itu menjadi akhir pembicaraan pria itu, sebelum akhirnya kembali menatap Stacy yang masih terduduk dengan kedua tangan yang ditautkan begitu erat. Menunjukan betapa gugup dan gelisahnya dia saat ini. "Hey, jangan khawatir. Aku sudah membereskan semuanya. Kau tidak harus menakutkan apa pun lagi, Stacy." Mendengar kalimat itu, Stacy lantas menatap pria yang kini sudah mengambil tempat untuk duduk di sampingnya. Dengan tangan yang bergerak, berusaha untuk menggenggam tangan Stacy di sana. Stacy memperhatikan wajah pria itu, berusaha mencari kesungguhan. Mencari kebenaran dari apa yang baru saja dikatakannya. Sebab, dia juga tak begitu mengenalnya dengan baik. Satu hal yang dia tahu hanyalah, pria di sampingnya ini adalah Christian Aldrich Devoire, seorang pengusaha yang baru dikenalnya selama beberapa minggu ini. "B–bagaimana kalau aku dipenjara? Aku tidak—" "Kau tidak melakukannya. Sudah aku katakan sebelumnya kalau kau tidak melakukannya," potong Aldrich di sana. Senyuman ditunjukan Aldrich pada wanita itu. Entah apa dia hanya mencoba menenangkan Stacy atau bagaimana, hingga berkata demikian. Sebab, Stacy masih mengingat dengan jelas saat dia sendiri menghunuskan pisau pada tubuh pria itu. Bahkan sisa-sisa bercak darah masih menempel di gaun biru muda yang saat ini tengah dia kenakan. "Aldrich, bagaimana bisa? Aku benar-benar melakukannya. Aku ... Aku ...." Stacy tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. Sebuah fakta jika dia baru saja membunuh seseorang membuatnya kembali merasa takut. Lantas, melihat kegelisahan Stacy di sana, Aldrich segera menyentuh wajah Stacy. Dia membuat wanita itu segera menghadap untuk melihat padanya, dengan ibu jari yang bergerak mengusap pipi wanita itu di sana. "Aku akan membantumu, Stacy. Maka, mulai sekarang percaya padaku, ingat dalam kepalamu kalau kau tidak melakukanya. Mengerti? Kau bersamaku semalaman ini, kau menghabiskan waktu di sini, kau hanya datang ke pesta itu selama beberapa menit saja. Mengerti, Stacy?" Stacy terdiam menatap Aldrich di sana. Seperti dia baru saja di distraksi oleh pria itu. Sehingga pada akhirnya, Stacy mengangguk dengan perlahan. Dia berniat mengikuti semua yang dikatakan Aldrich. Semuanya. "Sekarang, ganti pakaianmu itu dan biarkan sekretaris ku yang mengurus sisanya," ucap Aldrich yang lantas menunjuk pada seorang pria yang tengah berdiri tak jauh dari mereka. Stacy sadar, Aldrich jelas bukan hanya sekadar pengusaha biasa. Bahkan, pria ini memiliki banyak saham di beberapa perusahaan, dia juga seringkali menjadi investor untuk perusahaan besar. Selain itu, melihat pria itu yang selalu di jaga oleh dua bodyguard berbadan besar dan kekar saja sudah menunjukan betapa banyak harta yang dia miliki, hingga keamanannya di jaga seperti itu. Atau, karena Aldrich justru memiliki banyak orang yang mencoba menjatuhkannya. Seperti Rival? Entahlah, yang jelas untuk Stacy sekarang dia hanyalah Aldrich, pria yang bersedia yang membantunya dari jerat hukum. Stacy hendak bangkit dari duduknya. Namun, akhirnya Aldrich malah kembali menarik dirinya. Membuat Stacy kembali terduduk, kali ini bukan lagi pada kursi yang sebelumnya dia duduki. Stacy justru terduduk di atas pangkuan Aldrich. "Kau memang bisa bebas dari segala tuduhan itu, Stacy. Tapi, jangan lupakan dengan apa yang harus kau bayar. Tidak ada yang gratis di dunia ini," bisik Aldrich tepat di telinga Stacy. Dengan satu kecupan yang pria itu berikan tepat di telinganya. "A–apa maksudmu?" Seperti orang bodoh, Stacy tak memahami apa yang dikatakan Aldrich di sana. Aldrich terkekeh atas respon Stacy. Dia mengusapkan jemarinya pada pipi wanita itu. Dengan satu tangan lainnya yang sudah melingkar erat di pinggang Stacy. "Jadilah istriku dan aku akan membantumu untuk terbebas dari hukuman." Aldrich kembali berbisik dengan sensual di telinga Stacy."Itu adalah harga yang pas untuk kau bayar, Stacy. Aku harap, kau akan menjadi istri yang sempurna. Istri yang bisa membuatku merasa puas di atas bisnisku dan juga di atas ranjang ku," tambahnya.Stacy terdiam. Sekarang, dia mengerti. Aldrich bukan hanya sekadar membantu dengan cuma-cuma, pria itu memiliki maksud lain. Dan Aldrich, tak hanya bisa menjadi malaikat penolong Stacy, pria itu juga bisa menjadi iblis yang akan menarik Stacy pada kegelapannya.Dengan sorot mata yang menatap Stacy dengan begitu lekat, Aldrich lantas semakin mendekatkan wajahnya pada wanita itu. Terlebih saat fokusnya berubah pada bibir tipis milik Stacy. Bibir tipis berwarna merah muda yang terlihat sedikit basah."Apa yang akan aku dapatkan selain dengan terbebas dari hukumanku?"Pertanyaan yang dilontarkan Stacy tepat di hadapan wajahnya membuat Aldrich lantas terkekeh. Awalnya, dia tertarik untuk menyesap atau sekadar nengecup bibir wanita itu, tapi mendengar apa yang dikatakan olehnya, membuat Aldrich ras
"Selamat atas pernikahanmu, Christian Aldrich Devoire."Stacy tak menyangka jika dia memang akan menikah secepat itu dengan Aldrich. Hanya berselang tiga minggu setelah kesepakatan mereka sebelumnya. Dan sekarang, mereka tengah mengadakan pesta pernikahan. Meski jam sudah menunjukan pukul delapan malam, acaranya sama sekali tak terlihat akan berakhir.Stacy sendiri juga sudah mengganti gaun pernikahannya dengan dress putih satin dengan tali spaghetti. Panjangnya menjuntai, tapi terdapat belahan di salah satu sisinya hingga setengah paha."Aldrich, boleh aku pergi sebentar?" bisik Stacy pada Aldrich yang sedang mengobrol dengan salah satu kenalannya."Sebentar, ya?" ucap Aldrich kemudian pada pria yang sebelumnya tengah mengobrol dengannya.Kini, Aldrich justru meraih tangan Stacy dan membawa wanita itu berjalan sedikit menjauh dari keramaian."Mau kemana?" tanya Aldrich kemudian begitu dia sudah menghentikan langkahnya.Stacy menghela nafasnya. "Beristirahat sebentar, aku lelah," jawa
Matanya terpejam dengan leher yang sudah dia jenjangkan. Memberikan akses lebih untuk Aldrich dapat menjangkaunya dan memberikan tanda kepemilikannya di sana.Tak hanya itu, sebenarnya Stacy terpejam karena sentuhan jemari Aldrich yang bergerak mengusap di balik underwear yang dia kenakan. Usapan lembut yang sesekali dapat membuat Stacy tak dapat lagi menahan desahannya."Keluarkan saja. Aku lebih suka bercinta dengan berisik," bisik Aldrich seduktif.Kalimat yang berhasil membuat Stacy melenguh hingga punggungnya melengkung. Bersamaan dengan satu jari Aldrich yang sudah menelusup ke dalam celana dalam Stacy dan memasukan jari tengahnya itu pada pusat Stacy."Ahh— s–sakit, Al," lenguh Stacy.Tangannya berusaha menahan lengan Aldrich. Tapi, tentu saja Aldrich sama sekali tak menghentikan apa yang tengah dia lakukan pada pusat tubuh Stacy."Tenang, sayang. Satu jariku hanya sebagai permulaan. Kau akan mendapatkan yang lebih luar biasa daripada satu jari tengahku!"Terdengar mengerikan.
"Berikan anak untukku."Stacy hampir membulatkan matanya sempurna, tak percaya dengan apa yang baru saja Aldrich katakan.Dia tak begitu masalah saat dirinya harus dijadikan sebuah alat untuk perjanjian yang mereka lakukan untuk menguntungkan satu sama lain. Tapi, anak? Sungguh, Stacy memang selalu mengharapkan anak selama ini dan membayangkan jika dia telah menikah dia ingin ada seorang anak yang lucu dan lahir dari rahimnya sendiri.Tapi, kalau begini. Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin seorang anak dijadikan sebuah perjanjian? Ini sama saja dengan Stacy juga menjual anaknya pada Aldrich yang pasti akan memberikan penawaran dengan harta yang dia miliki di sana."Tidak. Kita menikah hanya karena sebuah kontrak. Kita tak bisa melibatkan anak yang tidak berdosa pada hubungan seperti ini," ujar Stacy kemudian.Bukannya merasa bersalah karena Stacy berucap demikian, Aldrich kini malah tertawa. Sebelum akhirnya menatap Stacy dengan senyuman miring yang dia tunjukan pada wanita itu."Mema
Aldrich terdiam. Dia terkejut saat Stacy berkata demikian."Jangan mengira aku sama seperti wanita lainnya, Aldrich!"Stacy kira, dia berhasil membalikan keadaan karena Aldrich sudah terdiam begitu saja. Dia kira mungkin dirinya sudah mampu melawan Aldrich dengan segala keberanian yang dia kumpulan dengan susah payah.Namun semuanya berubah saat Aldrich mencondongkan tubuhnya pada Stacy dengan raut wajah sedih yang dibuat-buat. "Apa aku ketahuan sekarang?"Dan beberapa detik berikutnya Aldrich lantas malah tertawa hingga terbahak. Membuat Stacy semakin yakin, jika Aldrich memang merencanakan semuanya sejak awal.Stacy merubah raut wajahnya begitu tawa Aldrich terdengar. Sungguh, melihatnya membuat Stacy menjadi ketakutan sendiri. Meski dia masih berusaha untuk tetap terlihat tenang."You got me, honey?" tanya Aldrich saat dia pada akhirnya menghentikan tawa yang dia lakukan.Tangan Aldrich terulur untuk mengusap pipi Stacy dengan lembut. "Sepertinya, kau memang pintar sekali membaca s
Aldrich terdiam. Dia terkejut saat Stacy berkata demikian."Jangan mengira aku sama seperti wanita lainnya, Aldrich!"Stacy kira, dia berhasil membalikan keadaan karena Aldrich sudah terdiam begitu saja. Dia kira mungkin dirinya sudah mampu melawan Aldrich dengan segala keberanian yang dia kumpulan dengan susah payah.Namun semuanya berubah saat Aldrich mencondongkan tubuhnya pada Stacy dengan raut wajah sedih yang dibuat-buat. "Apa aku ketahuan sekarang?"Dan beberapa detik berikutnya Aldrich lantas malah tertawa hingga terbahak. Membuat Stacy semakin yakin, jika Aldrich memang merencanakan semuanya sejak awal.Stacy merubah raut wajahnya begitu tawa Aldrich terdengar. Sungguh, melihatnya membuat Stacy menjadi ketakutan sendiri. Meski dia masih berusaha untuk tetap terlihat tenang."You got me, honey?" tanya Aldrich saat dia pada akhirnya menghentikan tawa yang dia lakukan.Tangan Aldrich terulur untuk mengusap pipi Stacy dengan lembut. "Sepertinya, kau memang pintar sekali membaca s
"Berikan anak untukku."Stacy hampir membulatkan matanya sempurna, tak percaya dengan apa yang baru saja Aldrich katakan.Dia tak begitu masalah saat dirinya harus dijadikan sebuah alat untuk perjanjian yang mereka lakukan untuk menguntungkan satu sama lain. Tapi, anak? Sungguh, Stacy memang selalu mengharapkan anak selama ini dan membayangkan jika dia telah menikah dia ingin ada seorang anak yang lucu dan lahir dari rahimnya sendiri.Tapi, kalau begini. Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin seorang anak dijadikan sebuah perjanjian? Ini sama saja dengan Stacy juga menjual anaknya pada Aldrich yang pasti akan memberikan penawaran dengan harta yang dia miliki di sana."Tidak. Kita menikah hanya karena sebuah kontrak. Kita tak bisa melibatkan anak yang tidak berdosa pada hubungan seperti ini," ujar Stacy kemudian.Bukannya merasa bersalah karena Stacy berucap demikian, Aldrich kini malah tertawa. Sebelum akhirnya menatap Stacy dengan senyuman miring yang dia tunjukan pada wanita itu."Mema
Matanya terpejam dengan leher yang sudah dia jenjangkan. Memberikan akses lebih untuk Aldrich dapat menjangkaunya dan memberikan tanda kepemilikannya di sana.Tak hanya itu, sebenarnya Stacy terpejam karena sentuhan jemari Aldrich yang bergerak mengusap di balik underwear yang dia kenakan. Usapan lembut yang sesekali dapat membuat Stacy tak dapat lagi menahan desahannya."Keluarkan saja. Aku lebih suka bercinta dengan berisik," bisik Aldrich seduktif.Kalimat yang berhasil membuat Stacy melenguh hingga punggungnya melengkung. Bersamaan dengan satu jari Aldrich yang sudah menelusup ke dalam celana dalam Stacy dan memasukan jari tengahnya itu pada pusat Stacy."Ahh— s–sakit, Al," lenguh Stacy.Tangannya berusaha menahan lengan Aldrich. Tapi, tentu saja Aldrich sama sekali tak menghentikan apa yang tengah dia lakukan pada pusat tubuh Stacy."Tenang, sayang. Satu jariku hanya sebagai permulaan. Kau akan mendapatkan yang lebih luar biasa daripada satu jari tengahku!"Terdengar mengerikan.
"Selamat atas pernikahanmu, Christian Aldrich Devoire."Stacy tak menyangka jika dia memang akan menikah secepat itu dengan Aldrich. Hanya berselang tiga minggu setelah kesepakatan mereka sebelumnya. Dan sekarang, mereka tengah mengadakan pesta pernikahan. Meski jam sudah menunjukan pukul delapan malam, acaranya sama sekali tak terlihat akan berakhir.Stacy sendiri juga sudah mengganti gaun pernikahannya dengan dress putih satin dengan tali spaghetti. Panjangnya menjuntai, tapi terdapat belahan di salah satu sisinya hingga setengah paha."Aldrich, boleh aku pergi sebentar?" bisik Stacy pada Aldrich yang sedang mengobrol dengan salah satu kenalannya."Sebentar, ya?" ucap Aldrich kemudian pada pria yang sebelumnya tengah mengobrol dengannya.Kini, Aldrich justru meraih tangan Stacy dan membawa wanita itu berjalan sedikit menjauh dari keramaian."Mau kemana?" tanya Aldrich kemudian begitu dia sudah menghentikan langkahnya.Stacy menghela nafasnya. "Beristirahat sebentar, aku lelah," jawa
"Itu adalah harga yang pas untuk kau bayar, Stacy. Aku harap, kau akan menjadi istri yang sempurna. Istri yang bisa membuatku merasa puas di atas bisnisku dan juga di atas ranjang ku," tambahnya.Stacy terdiam. Sekarang, dia mengerti. Aldrich bukan hanya sekadar membantu dengan cuma-cuma, pria itu memiliki maksud lain. Dan Aldrich, tak hanya bisa menjadi malaikat penolong Stacy, pria itu juga bisa menjadi iblis yang akan menarik Stacy pada kegelapannya.Dengan sorot mata yang menatap Stacy dengan begitu lekat, Aldrich lantas semakin mendekatkan wajahnya pada wanita itu. Terlebih saat fokusnya berubah pada bibir tipis milik Stacy. Bibir tipis berwarna merah muda yang terlihat sedikit basah."Apa yang akan aku dapatkan selain dengan terbebas dari hukumanku?"Pertanyaan yang dilontarkan Stacy tepat di hadapan wajahnya membuat Aldrich lantas terkekeh. Awalnya, dia tertarik untuk menyesap atau sekadar nengecup bibir wanita itu, tapi mendengar apa yang dikatakan olehnya, membuat Aldrich ras
"Ohh! Aku ... membunuhnya?"Stacylia Frey lantas terdiam saat seorang pria yang bersimbah darah berbaring di hadapannya. Matanya bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Kakinya melangkah mundur dengan perlahan, begitu kaku layaknya sebuah robot."Stacy?"Seseorang memanggil namanya. Teriakan yang menjadi samar di telinga Stacy. Sebab, saat ini telinganya seperti tengah berdengung, hingga pendengarannya menjadi tak begitu normal."A–aku membunuhnya ... Aku membunuh dia," ucap Stacy lirih.Tangannya terangkat, sebilah pisau yang berada di genggaman tangannya lantas dia jatuhkan. Tangannya bergetar hebat, rasa takutnya semakin menjadi saat dia baru saja teringat telah menghunuskan pisau itu pada perut pria di hadapannya.Pria yang terbaring dengan genangan darah, pria yang tak sadarkan diri, pria yang dibunuhnya."No, Stacy. Ayo, kau harus ikut bersamaku." Pria yang juga terlihat terkejut melihat Stacy dengan pisau berdarah itu lantas menarik tangan Stacy.Membawa Stacy setengah berlari,