Aldrich terdiam. Dia terkejut saat Stacy berkata demikian.
"Jangan mengira aku sama seperti wanita lainnya, Aldrich!" Stacy kira, dia berhasil membalikan keadaan karena Aldrich sudah terdiam begitu saja. Dia kira mungkin dirinya sudah mampu melawan Aldrich dengan segala keberanian yang dia kumpulan dengan susah payah. Namun semuanya berubah saat Aldrich mencondongkan tubuhnya pada Stacy dengan raut wajah sedih yang dibuat-buat. "Apa aku ketahuan sekarang?" Dan beberapa detik berikutnya Aldrich lantas malah tertawa hingga terbahak. Membuat Stacy semakin yakin, jika Aldrich memang merencanakan semuanya sejak awal. Stacy merubah raut wajahnya begitu tawa Aldrich terdengar. Sungguh, melihatnya membuat Stacy menjadi ketakutan sendiri. Meski dia masih berusaha untuk tetap terlihat tenang. "You got me, honey?" tanya Aldrich saat dia pada akhirnya menghentikan tawa yang dia lakukan. Tangan Aldrich terulur untuk mengusap pipi Stacy dengan lembut. "Sepertinya, kau memang pintar sekali membaca situasi. Such a good girl!" Stacy terdiam. Tubuhnya menegang. Semakin dia memperhatikan Aldrich, semakin dia menyadari jika Aldrich tak hanya licik. Tapi, dia juga begitu kejam. "Jadi, benar kau yang memerintahkan pria itu hingga akhirnya dia mati di tanganku?" tanya Stacy dengan gugup. Bukan tak mungkin jika Stacy merasa berdebar di dalam dadanya. Jika memang Aldrich yang merencanakannya, berarti memang benar dirinya telah terjebak di dalam permainan Aldrich yang tak hanya licik, tapi juga kejam. Aldrich tak segera menjawab pertanyaan Stacy. Dia lebih memilih untuk bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan mendekat pada Stacy. Dan duduk tepat di atas meja di hadapan Stacy setelah menggeserkan beberapa barang yang ada di meja tersebut. "Menurutmu bagaimana?" tanya Aldrich begitu dia sudah menunduk dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu. Stacy terdiam, dia semakin gugup saat jarak wajahnya dengan Aldrich hanya tinggal beberapa senti saja. Bahkan, membuat Stacy menelan ludahnya dengan kasar. "Kau takut? Oh, ayolah. Masa kau takut padaku? Setelah kau bahkan membunuh Aaron dengan tanganmu sendiri?" ujar Aldrich penuh penekanan. Stacy tahu jika Aldrich tengah sengaja mengatakan hal seperti itu karena dia ingin membuat Stacy semakin terpojok. Bahkan kembali mengingat spa yang terjadi pada malam itu. Malam dimana Stacy harus menghunuskan sebilah pisau pada tubuh Aaron. Pria yang baru saja dia ketahui jika dia adalah salah satu bawahan Aldrich. Dia mengetahuinya dari salah satu penjaga rumah Aldrich. "Kau yang merencanakan semuanya brengsek! Kau memanfaatkan aku untuk semua ini, hah?!" Stacy berucap dengan berani. "Wow! Tenang, Stacy. Pikirkan baik-baik. Memangnya siapa yang membunuh Aaron? Bukankah itu kau sendiri? Membuat Aaron mati tidak ada di dalam rencanaku." Terdengar gila. Tapi, pada akhirnya Aldrich memang secara tak langsung mengakui jika dirinya merencanakan semua ini sejak awal. Dia menyuruh Aaron untuk melakukan sesuatu yang gila pada Stacy. Hingga pada akhirnya, Stacy bisa berada d dalam jangkauan Aldrich. "Brengsek!" Maki Stacy dengan kedua tangan yang sudah mengepal dengan kuat hingga kukunya memucat. Stacy masih mengingat betapa ketakutannya dia malam itu. Dimana dia yang saat itu sedang berada di tengah keramaian pesta dipanggil oleh seorang pria. Itu Aaron, yang saat itu mengaku sebagai rekan kerja sang ayah. Mengajaknya pergi dengan alasan akan mengajak Stacy bekerja sama untuk sebuah bisnis. Siapa sangka Aaron malah membawanya ke tempat yang sepi. Dimana pria itu menarik Stacy dengan kasar dan berniat melecehkannya, bahkan mengeluarkan pisau untuk mengancam dirinya. Membuat Stacy dengan sekuat tenaga melawan dan lantas merebut pisau tersebut dan menusukkannya pada tubuh pria itu. Dan begitulah pada akhirnya Aldrich muncul seolah menjadi malaikat penolong untuk Stacy. Dimana kenyataannya, Aldrich hanyalah iblis yang licik. "Aku hanya menyuruh Aaron untuk sedikit saja menyentuhmu. Aku tidak tahu kalau ternyata dia malah kelewatan. Tapi, aku cukup kagum denganmu yang bahkan bisa menusukkan pisau pada tubuhnya," ujar Aldrich dengan tepukan tangannya bangga. Stacy memicing menatap Aldrich. Bisa-bisanya pria itu merasa bangga saat satu nyawa melayang karenanya. "Ceraikan aku sekarang juga," ujar Stacy. Tidak ada alasan lagi untuk Stacy tetap berada di sana dan melanjutkan kontraknya. Aldrich yang merencanakan semuanya, jadi dengan Aaron yang terbunuh, itu bukan salah Stacy sepenuhnya. Tak perduli saat rasa bersalah itu tetap menghantui Stacy hingga saat ini. Untuk pertama kalinya Stacy membunuh seseorang membuatnya tak dapat berpikir lagi dengan baik hingga dengan gegabah menerima tawaran Aldrich begitu saja. Aldrich menggelengkan kepalanya. "Bercerai? How about the contract?" "Masa bodoh dengan kontrak! Salah besar aku menyetujui kontrak bodoh ini!" Stacy hendak bangkit dari duduknya. Akan tetapi, Aldrich sudah terlebih dahulu menahan lengannya. Membuat Stacy kembali terduduk di kursi tersebut. Aldrich juga mencengkram rahang Stacy hingga membuat wanita itu mendongak menatap ke arahnya. "Kau tidak bisa melarikan diri, Stacy. Kita sudah terikat kontrak, dan tak bisa diakhiri begitu saja. Atau kau, akan kehilangan perusahaan ayahmu yang berharga itu," ujar Aldrich sembari tersenyum miring. Stacy sadar, Aldrich tengah meremehkannya. Pria itu dengan sengaja menyebutkan kelemahan Stacy. Tentang Stacy yang begitu mengharapkan perusahaan ayahnya. "Perusahaan itu bahkan akan jatuh ke tangan kakakku!" seru Stacy tak ingin kalah. Dia mencoba terlihat tak perduli atas perusahaan itu. "Ya benar. Tapi, menurutmu apa yang akan terjadi kalau pada kenyataannya sebagian besar saham di perusahaan kecil seperti itu, adalah milikku?" Stacy membulatkan matanya tak percaya. Dia menatap Aldrich yang terus saja menunjukan sikap arogannya. "A–apa maksudmu?" tanya Stacy penasaran. "Kau hanya tinggal memilih, Stacy. Mau memiliki perusahaannya, atau membiarkannya hancur?" tanya Aldrich dengan penawaran yang dia berikan. Stacy seperti tengah berada di sebuah persimpangan jalan yang sulit. Dia tidak tahu jalan mana yang harus dia tempuh sekarang. "Stacy, jangan lupakan juga kalau aku tetap masih bisa memenjarakanmu karena membunuh Aaron. Memangnya kau ingin, dipenjara dan akhirnya melihat perusahaan ayahmu itu hancur, keluargamu kacau balau. Boom! Hancur berkeping-keping.""Ohh! Aku ... membunuhnya?"Stacylia Frey lantas terdiam saat seorang pria yang bersimbah darah berbaring di hadapannya. Matanya bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Kakinya melangkah mundur dengan perlahan, begitu kaku layaknya sebuah robot."Stacy?"Seseorang memanggil namanya. Teriakan yang menjadi samar di telinga Stacy. Sebab, saat ini telinganya seperti tengah berdengung, hingga pendengarannya menjadi tak begitu normal."A–aku membunuhnya ... Aku membunuh dia," ucap Stacy lirih.Tangannya terangkat, sebilah pisau yang berada di genggaman tangannya lantas dia jatuhkan. Tangannya bergetar hebat, rasa takutnya semakin menjadi saat dia baru saja teringat telah menghunuskan pisau itu pada perut pria di hadapannya.Pria yang terbaring dengan genangan darah, pria yang tak sadarkan diri, pria yang dibunuhnya."No, Stacy. Ayo, kau harus ikut bersamaku." Pria yang juga terlihat terkejut melihat Stacy dengan pisau berdarah itu lantas menarik tangan Stacy.Membawa Stacy setengah berlari,
"Itu adalah harga yang pas untuk kau bayar, Stacy. Aku harap, kau akan menjadi istri yang sempurna. Istri yang bisa membuatku merasa puas di atas bisnisku dan juga di atas ranjang ku," tambahnya.Stacy terdiam. Sekarang, dia mengerti. Aldrich bukan hanya sekadar membantu dengan cuma-cuma, pria itu memiliki maksud lain. Dan Aldrich, tak hanya bisa menjadi malaikat penolong Stacy, pria itu juga bisa menjadi iblis yang akan menarik Stacy pada kegelapannya.Dengan sorot mata yang menatap Stacy dengan begitu lekat, Aldrich lantas semakin mendekatkan wajahnya pada wanita itu. Terlebih saat fokusnya berubah pada bibir tipis milik Stacy. Bibir tipis berwarna merah muda yang terlihat sedikit basah."Apa yang akan aku dapatkan selain dengan terbebas dari hukumanku?"Pertanyaan yang dilontarkan Stacy tepat di hadapan wajahnya membuat Aldrich lantas terkekeh. Awalnya, dia tertarik untuk menyesap atau sekadar nengecup bibir wanita itu, tapi mendengar apa yang dikatakan olehnya, membuat Aldrich ras
"Selamat atas pernikahanmu, Christian Aldrich Devoire."Stacy tak menyangka jika dia memang akan menikah secepat itu dengan Aldrich. Hanya berselang tiga minggu setelah kesepakatan mereka sebelumnya. Dan sekarang, mereka tengah mengadakan pesta pernikahan. Meski jam sudah menunjukan pukul delapan malam, acaranya sama sekali tak terlihat akan berakhir.Stacy sendiri juga sudah mengganti gaun pernikahannya dengan dress putih satin dengan tali spaghetti. Panjangnya menjuntai, tapi terdapat belahan di salah satu sisinya hingga setengah paha."Aldrich, boleh aku pergi sebentar?" bisik Stacy pada Aldrich yang sedang mengobrol dengan salah satu kenalannya."Sebentar, ya?" ucap Aldrich kemudian pada pria yang sebelumnya tengah mengobrol dengannya.Kini, Aldrich justru meraih tangan Stacy dan membawa wanita itu berjalan sedikit menjauh dari keramaian."Mau kemana?" tanya Aldrich kemudian begitu dia sudah menghentikan langkahnya.Stacy menghela nafasnya. "Beristirahat sebentar, aku lelah," jawa
Matanya terpejam dengan leher yang sudah dia jenjangkan. Memberikan akses lebih untuk Aldrich dapat menjangkaunya dan memberikan tanda kepemilikannya di sana.Tak hanya itu, sebenarnya Stacy terpejam karena sentuhan jemari Aldrich yang bergerak mengusap di balik underwear yang dia kenakan. Usapan lembut yang sesekali dapat membuat Stacy tak dapat lagi menahan desahannya."Keluarkan saja. Aku lebih suka bercinta dengan berisik," bisik Aldrich seduktif.Kalimat yang berhasil membuat Stacy melenguh hingga punggungnya melengkung. Bersamaan dengan satu jari Aldrich yang sudah menelusup ke dalam celana dalam Stacy dan memasukan jari tengahnya itu pada pusat Stacy."Ahh— s–sakit, Al," lenguh Stacy.Tangannya berusaha menahan lengan Aldrich. Tapi, tentu saja Aldrich sama sekali tak menghentikan apa yang tengah dia lakukan pada pusat tubuh Stacy."Tenang, sayang. Satu jariku hanya sebagai permulaan. Kau akan mendapatkan yang lebih luar biasa daripada satu jari tengahku!"Terdengar mengerikan.
"Berikan anak untukku."Stacy hampir membulatkan matanya sempurna, tak percaya dengan apa yang baru saja Aldrich katakan.Dia tak begitu masalah saat dirinya harus dijadikan sebuah alat untuk perjanjian yang mereka lakukan untuk menguntungkan satu sama lain. Tapi, anak? Sungguh, Stacy memang selalu mengharapkan anak selama ini dan membayangkan jika dia telah menikah dia ingin ada seorang anak yang lucu dan lahir dari rahimnya sendiri.Tapi, kalau begini. Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin seorang anak dijadikan sebuah perjanjian? Ini sama saja dengan Stacy juga menjual anaknya pada Aldrich yang pasti akan memberikan penawaran dengan harta yang dia miliki di sana."Tidak. Kita menikah hanya karena sebuah kontrak. Kita tak bisa melibatkan anak yang tidak berdosa pada hubungan seperti ini," ujar Stacy kemudian.Bukannya merasa bersalah karena Stacy berucap demikian, Aldrich kini malah tertawa. Sebelum akhirnya menatap Stacy dengan senyuman miring yang dia tunjukan pada wanita itu."Mema
Aldrich terdiam. Dia terkejut saat Stacy berkata demikian."Jangan mengira aku sama seperti wanita lainnya, Aldrich!"Stacy kira, dia berhasil membalikan keadaan karena Aldrich sudah terdiam begitu saja. Dia kira mungkin dirinya sudah mampu melawan Aldrich dengan segala keberanian yang dia kumpulan dengan susah payah.Namun semuanya berubah saat Aldrich mencondongkan tubuhnya pada Stacy dengan raut wajah sedih yang dibuat-buat. "Apa aku ketahuan sekarang?"Dan beberapa detik berikutnya Aldrich lantas malah tertawa hingga terbahak. Membuat Stacy semakin yakin, jika Aldrich memang merencanakan semuanya sejak awal.Stacy merubah raut wajahnya begitu tawa Aldrich terdengar. Sungguh, melihatnya membuat Stacy menjadi ketakutan sendiri. Meski dia masih berusaha untuk tetap terlihat tenang."You got me, honey?" tanya Aldrich saat dia pada akhirnya menghentikan tawa yang dia lakukan.Tangan Aldrich terulur untuk mengusap pipi Stacy dengan lembut. "Sepertinya, kau memang pintar sekali membaca s
"Berikan anak untukku."Stacy hampir membulatkan matanya sempurna, tak percaya dengan apa yang baru saja Aldrich katakan.Dia tak begitu masalah saat dirinya harus dijadikan sebuah alat untuk perjanjian yang mereka lakukan untuk menguntungkan satu sama lain. Tapi, anak? Sungguh, Stacy memang selalu mengharapkan anak selama ini dan membayangkan jika dia telah menikah dia ingin ada seorang anak yang lucu dan lahir dari rahimnya sendiri.Tapi, kalau begini. Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin seorang anak dijadikan sebuah perjanjian? Ini sama saja dengan Stacy juga menjual anaknya pada Aldrich yang pasti akan memberikan penawaran dengan harta yang dia miliki di sana."Tidak. Kita menikah hanya karena sebuah kontrak. Kita tak bisa melibatkan anak yang tidak berdosa pada hubungan seperti ini," ujar Stacy kemudian.Bukannya merasa bersalah karena Stacy berucap demikian, Aldrich kini malah tertawa. Sebelum akhirnya menatap Stacy dengan senyuman miring yang dia tunjukan pada wanita itu."Mema
Matanya terpejam dengan leher yang sudah dia jenjangkan. Memberikan akses lebih untuk Aldrich dapat menjangkaunya dan memberikan tanda kepemilikannya di sana.Tak hanya itu, sebenarnya Stacy terpejam karena sentuhan jemari Aldrich yang bergerak mengusap di balik underwear yang dia kenakan. Usapan lembut yang sesekali dapat membuat Stacy tak dapat lagi menahan desahannya."Keluarkan saja. Aku lebih suka bercinta dengan berisik," bisik Aldrich seduktif.Kalimat yang berhasil membuat Stacy melenguh hingga punggungnya melengkung. Bersamaan dengan satu jari Aldrich yang sudah menelusup ke dalam celana dalam Stacy dan memasukan jari tengahnya itu pada pusat Stacy."Ahh— s–sakit, Al," lenguh Stacy.Tangannya berusaha menahan lengan Aldrich. Tapi, tentu saja Aldrich sama sekali tak menghentikan apa yang tengah dia lakukan pada pusat tubuh Stacy."Tenang, sayang. Satu jariku hanya sebagai permulaan. Kau akan mendapatkan yang lebih luar biasa daripada satu jari tengahku!"Terdengar mengerikan.
"Selamat atas pernikahanmu, Christian Aldrich Devoire."Stacy tak menyangka jika dia memang akan menikah secepat itu dengan Aldrich. Hanya berselang tiga minggu setelah kesepakatan mereka sebelumnya. Dan sekarang, mereka tengah mengadakan pesta pernikahan. Meski jam sudah menunjukan pukul delapan malam, acaranya sama sekali tak terlihat akan berakhir.Stacy sendiri juga sudah mengganti gaun pernikahannya dengan dress putih satin dengan tali spaghetti. Panjangnya menjuntai, tapi terdapat belahan di salah satu sisinya hingga setengah paha."Aldrich, boleh aku pergi sebentar?" bisik Stacy pada Aldrich yang sedang mengobrol dengan salah satu kenalannya."Sebentar, ya?" ucap Aldrich kemudian pada pria yang sebelumnya tengah mengobrol dengannya.Kini, Aldrich justru meraih tangan Stacy dan membawa wanita itu berjalan sedikit menjauh dari keramaian."Mau kemana?" tanya Aldrich kemudian begitu dia sudah menghentikan langkahnya.Stacy menghela nafasnya. "Beristirahat sebentar, aku lelah," jawa
"Itu adalah harga yang pas untuk kau bayar, Stacy. Aku harap, kau akan menjadi istri yang sempurna. Istri yang bisa membuatku merasa puas di atas bisnisku dan juga di atas ranjang ku," tambahnya.Stacy terdiam. Sekarang, dia mengerti. Aldrich bukan hanya sekadar membantu dengan cuma-cuma, pria itu memiliki maksud lain. Dan Aldrich, tak hanya bisa menjadi malaikat penolong Stacy, pria itu juga bisa menjadi iblis yang akan menarik Stacy pada kegelapannya.Dengan sorot mata yang menatap Stacy dengan begitu lekat, Aldrich lantas semakin mendekatkan wajahnya pada wanita itu. Terlebih saat fokusnya berubah pada bibir tipis milik Stacy. Bibir tipis berwarna merah muda yang terlihat sedikit basah."Apa yang akan aku dapatkan selain dengan terbebas dari hukumanku?"Pertanyaan yang dilontarkan Stacy tepat di hadapan wajahnya membuat Aldrich lantas terkekeh. Awalnya, dia tertarik untuk menyesap atau sekadar nengecup bibir wanita itu, tapi mendengar apa yang dikatakan olehnya, membuat Aldrich ras
"Ohh! Aku ... membunuhnya?"Stacylia Frey lantas terdiam saat seorang pria yang bersimbah darah berbaring di hadapannya. Matanya bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Kakinya melangkah mundur dengan perlahan, begitu kaku layaknya sebuah robot."Stacy?"Seseorang memanggil namanya. Teriakan yang menjadi samar di telinga Stacy. Sebab, saat ini telinganya seperti tengah berdengung, hingga pendengarannya menjadi tak begitu normal."A–aku membunuhnya ... Aku membunuh dia," ucap Stacy lirih.Tangannya terangkat, sebilah pisau yang berada di genggaman tangannya lantas dia jatuhkan. Tangannya bergetar hebat, rasa takutnya semakin menjadi saat dia baru saja teringat telah menghunuskan pisau itu pada perut pria di hadapannya.Pria yang terbaring dengan genangan darah, pria yang tak sadarkan diri, pria yang dibunuhnya."No, Stacy. Ayo, kau harus ikut bersamaku." Pria yang juga terlihat terkejut melihat Stacy dengan pisau berdarah itu lantas menarik tangan Stacy.Membawa Stacy setengah berlari,