"Nurul, setelah kita beli gantungan kunci kita bakal langsung pulang," kata Aizha.
"Yah, Kak. Padahal Nurul mau jajan dulu," kata Nurul dengan raut muka agak sedih.
"Mau jajan apa lagi? ya udah, boleh. Tapi, habis itu kita langsung ke tempat Kak Ai, abi sama ummi," kata Aizha yang mengalah.
"Yes." Nurul kelihatan girang.
Mereka berdua pun tiba di kios penjual gantungan kunci.
"Bentar, ya. Kakak pilih-pilih dulu," kata Aizha.
"Iya," kata Nurul.
Aizha pun melihat-lihat gantungan kunci yang tersedia di kios ini. Dia akhirnya memilih lima gantungan kunci yang salah satunya berbentuk seperti busur panah. Setelah dia membayar untuk lima gantungan kunci yang dia beli, dia memasukkan lima gantungan kunci tersebut ke dalam kantung plastik hitam. Tanpa disadari, Nurul tiba-tiba pergi tanpa sepengetahuannya. Aizha dibuat kaget serta khawatir menyadari Nurul ternyata tak ada di sampingnya.
"Nurul? Nurul? Nurul!" Aizha melirik kanan-kiri dan juga beteriak mencari Nurul.
Nurul terlihat girang sambil berlari untuk pergi ke tempat yang dia inginkan.
"Itu dia." Aizha melihat Nurul berlari ke suatu arah.
Nurul terus saja berlari.
"Nurul, hati-hati! jangan lari-larian!" kata Aizha memperingatkan.
Dari suatu arah, terlihat ada dua pria tengah berboncengan dengan sepeda motor. Pria yang mengemudikan sepeda motor itu menancapkan gas dengan kecepatan yang tinggi. Dari arah yang berbeda, Nurul terus saja berlari tanpa memperhatikan sekitar.
Di dekat kios makanan tejadi sebuah kejadian yang membuat semua orang yang ada terkejut. Nyaris saja Nurul tertabrak, tapi ada seorang laki-laki dengan sigap berhasil menyelamatkan Nurul sebelum itu terjadi. Beruntung tak ada yang celaka karena kejadian ini. Karena ketakutan kedua orang yang berboncengan itu bergegas pergi.
"It's all right, semuanya baik-baik saja. Kamu selamat, tapi lain kali hati-hati," bisik laki-laki itu pada Nurul untuk menenangkannya.
Laki-laki itu menyimpan kantung plastik hitam yang ia bawa di bawah tanah.
"Nurul!" sahut Aizha dari kejauhan seraya bergegas pergi ke tempat Nurul berada.
Aizha menyimpan kantung plastik miliknya di bawah tanah. Barang miliknya bersampingan dengan milik laki-laki itu. Dia juga terlihat sangat cemas. Dia memeluk Nurul dengan erat. Dia bersyukur adiknya itu tidak terluka.
Pemuda yang menolong Nurul tampak senang melihat Nurul dan saudaranya tengah berbahagia. Tiba-tiba, laki-laki itu melihat jam tangannya. Dia terlihat sedang terburu-buru setelah memeriksa jam tangannya. Dia mengambil kantung plastik hitam yang dia rasa adalah miliknya. Dia langsung pergi setelah itu.
Tak lama setelah itu...
"Kak, kakak yang tadi nolongin Nurul mana?" tanya Nurul baru menyadari laki-laki yang menolongnya sudah pergi.
"Oh, iya kemana dia? Kakak belum sempat ucapin terima kasih," kata Aizha.
"Hmm, padahal Nurul juga mau ucapin terima kasih," kata Nurul.
"Ya sudah, mau gimana lagi? ayo, kita pergi dari sini," kata Aizha seraya membawa kantung plastik yang dia rasa adalah miliknya.
Mereka berdua pun segera pergi ke tempat keluarga mereka berada. Nurul yang masih polos menceritakan bahwa dia tadi hampir tertabrak sepeda motor pada kedua orangtuanya. Ekspresi ibu Nurul terlihat agak terkejut, tapi bersyukur anaknya itu tetap selamat. Dengan nada bicara yang tidak kasar, dia memperingatkan Aizha untuk lebih berhati-hati dalam menjaga adiknya. Tak lama setelah itu, mereka semua memasuki mobil dan lekas pergi.
Di tempat penginapan...
Pemuda yang tadi menyelamatkan Nurul pun membuka kantung plastik yang dia bawa. Dia terkejut karena ternyata isinya berbeda dengan yang seharusnya dia punya. Dia berpikir mungkin barang ini adalah milik perempuan yang adiknya dia tolong tadi. Dia langsung berpamitan dengan kedua orangtuanya untuk kembali ke tempat wisata yang sebelumnya dia kunjungi. Dia berharap bisa bertemu dengan perempuan itu.
Telah lama dia mencari-cari perempuan yang dia maksud di tempat wisata ini, tapi tak juga dia jumpai. Dia sudah berkeliling ke tempat-tempat tertentu yang ada di tempat wisata ini, tapi tak juga bisa berjumpa dengannya. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia menggenggam erat kantung plastik hitam itu di tangan kirinya.
"Sorry, this is my fault. I wrong bring it. This is yours, not mine," gumam laki-laki itu dengan hati yang berat.
Beberapa bulan kemudian...
Pukul 03:30 WIB terdengar suara alarm di masing-masing asrama.
“Yo, selamat pagi dunia!” teriak seorang santri putra yang baru terbangun dari tidurnya di asrama putra.
“Zein, baru bangun tidur tuh ucapin dulu puji syukur sama Allah. Jangan malah teriak-teriak!” tegur seorang santri yang sudah lama bergabung.
“Oh, iya lupa. Alhamdulillah,” kata Zein.
“Tolong, bangunin teman-teman kamu!” pinta santri itu.
“Yah, mereka memang nyusahin banget,” kata Zein seraya mendekati dua temannya yang masih tertidur.
“Bangun, Roy, Philip! bangun woy!” kata Zein membangunkan dua temannya.
Tampaknya Philip berhasil dibangunkan, tapi Roy masih tertidur pulas.
“Lip, bantuin gue bangunin nih orang,” ajak Zein menunjuk Roy.
“Ya udah, ayo. Tapi, pake cara apa?” tanya Philip.
“Udah, ikutin gue aja,” jawab Zein.
Zein melompat-lompat di atas tempat tidur Roy.
“Roy, bangun, Roy! bangun, bangun!” teriak Zein.
"Ini cara loe bangunin si Roy?" tanya Philip.
"Mau gimana lagi? ayo, cepet bantuin!" ucap Zein.
Zein dan Philip pun melompat-lompat secara bersamaan di kasur busa milik Roy.
"Bangun, bangun, bangun dan semangat, bangun dan semangat," ucap Zein.
"Bangun, Kampret!" teriak Philip.
Roy masih juga belum terbangun dari tidurnya.
“Nggak mempan. Kayaknya kita harus pake cara lain,” kata Philip
“Cara lain? oh iya, gue punya ide,” kata Zein seraya mengambil sesuatu.
“Mau apa loe?” tanya Philip keheranan.
“Di HandPhone gue ada ringtone suara ketawa serem. Mungkin pake cara ini dia bakal bangun,” kata Zein.
“Jadi, loe belum kumpulin HandPhone loe?” tanya Philip.
“Ntar aja nanti siang,” jawab Zein.
Zein pun meningkatkan volume HandPhone miliknya hingga maksimal.
“Wihihihihi.” Ringtone suara ketawa seram itu dibunyikan tepat di telinga Roy.
Karena terkejut, Roy pun terbangun dari tidurnya.
“Kampret, loe berdua ngagetin mulu. Gue mimpi katemu cewek cantik, tapi tiba-tiba berubah jadi kuntilanak,” ungkap Roy.
“Hahahaha, makanya kalau dibangunin tuh jangan susah. Udah, ayo siapin diri sama barang-barang buat ke mesjid,” ucap Zein.
"Bangun pagi-pagi gini gue masih belum terbiasa," ungkap Roy.
"Maklumlah, kita bertiga belum lama jadi santri," ujar Philip.
Mereka pun bergegas pergi.
Ini adalah Pondok Pesantren Al-Karimah, sebuah tempat indah yang menyediakan berbagai ilmu pengetahuan bagi mereka yang gemar menuntut ilmu. Baik bagi kehidupan di dunia maupun kehidupan akhirat, semua dipelajari di sini. Tempat ini terletak di salah satu kawasan Kota Bogor, Jawa Barat.
Tempat ini mempunyai asrama putra dan putri yang letaknya agak berjauhan supaya para santri dapat menjaga jarak dan interaksinya dengan lawan jenis. Tak hanya asrama, tempat ini juga menyediakan beberapa ruang belajar yang layak bagi seluruh santri yang ada. Sejauh mata memandang terlihat warna biru langit dan putih sebagai warna dasar bagi setiap bangunan-bangunan yang ada.
Berbagai program pendidikan di sini pun diselenggarakan dengan baik dan teratur. Salah satu diantaranya adalah Pesantren Sekalian Kuliah. Dan, supaya para santri tidak merasa jenuh, berbagai agenda tambahan yang menarik pun diselenggarakan. Diantaranya, ada tafakur alam, perkemahan santri serta ekstrakurikuler yang beragam untuk mengasah kemampuan tambahan para santri. Maka dari itu, Pondok Pesantren Al-Karimah seolah aset yang berharga bagi para santri di sana.
Dimulai dari pukul 04:00 WIB, para santri harus melaksanakan agenda pagi yang sudah dirancang oleh para Dewan Kepengurusan. Oleh karena itu, baik santri putra maupun putri, mereka berbondong-bondong pergi menuju mesjid untuk melaksanakan agenda pagi tersebut.
Saat dalam perjalanan menuju mesjid, nampak dari kejauhan sesosok perempuan. Dia mengenakan baju kemeja panjang berwarna putih, kerudung hitam yang menutupi hingga ke dada dan rok panjang berwarna hitam. Wajahnya tampak sejuk, bersih dan berseri karena sering tersiram air wudhu. Dia berjalan sambil memegangi Al-Qur’an dengan kedua tangan.
Dia adalah Aizha, salah satu santri putri yang aktif, berbakat dan memiliki kepribadian yang baik. Hal itu membuatnya menjadi salah satu dari para santri tauladan di sini. Dia juga merupakan putri pertama dari kiyai yang menjadi kepala kepengurusan. Dia memilki dua saudara kandung perempuan. Adiknya yang pertama bernama Ai yang berusia 16 tahun, sedangkan yang kedua bernama Nurul baru berusia baru 8 tahun.
“Aizha,” sapa temannya dari kejauhan.
“Rina.” Aizha segera bergegas mendekati temannya itu.
“Maaf, aku berangkat duluan tadi,” kata Rina.
“Oh, gak apa-apa. Justru bagus kalau kamu berangkat lebih awal dari yang lain,” kata Aizha.
"Nurul sama Ai mana?" tanya Rina.
"Mereka masih di asrama. Ai lagi nungguin dulu Nurul. Tadi Nurul katanya mau ke kamar mandi dulu," kata Aizha.
Setibanya di mesjid, Aizha dan seluruh warga Pondok Pesantren Al-Karimah bersiap untuk melaksanakan shalat sunnah tahajud. Pertama, Aizha mengerjakan dua rakaat secara berjama'ah dengan yang lain dan dipimpin oleh salah satu ustadz yang ada. Namun, setelah itu dia dan yang lainnya kembali melaksanakan sebanyak dua rakaat secara munfarid. Setelah menyelesaikan dua rakaat itu, semuanya membaca do'a bersama sebelum membaca Al-Qur’an berjama’ah.
Pada saat kegiatan membaca Al-Qur'an berjama'ah berlangsung, Aizha tentunya dapat melaksanakannya dengan baik. Dia memiliki suara yang merdu dan juga paham betul tata cara membaca Al-Qur'an sesuai tajwid yang benar. Sehingga pada saat membaca Al-Qur'an, tentu bunyi yang dihasilkannya sangat menyejukan hati.
Kegiatan membaca Al-Qur’an berjama’ah kali ini berjalan dengan lancar dan khidmat karena tak ada hal yang menjadi hambatan. Para santri yang lain pun begitu semangat melaksanakannya. Diantara mereka juga masih banyak santri yang memiliki suara merdu dan sudah paham betul cara membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar.
Aizha dan juga yang lainnya harus rela bangun lebih pagi dari orang-orang pada umumnya. Mereka juga harus kuat menahan kantuk yang mereka rasakan. Meski begitu, Inilah hal yang menambahkan keindahan dan kesenangan hidup di Pondok Pesantren Al-Karimah bagi semua warga yang ada. Dan dengan begitu pula mereka dapat memahami konsep kehidupan yang dipenuhi susah dan senang.
Mereka hanya tinggal menunggu masuk waktu shalat shubuh tiba setelah membaca Al-Qur'an berjama’ah selesai. Salah satu santri pun berdiri untuk menjadi seorang muadzin ketika waktu untuk shalat shubuh telah tiba. Saat adzan shubuh dikumandangkan lagi-lagi suasana menjadi tentram karena suara lantunan adzan yang dikumandangkan muadzin sangat merdu dengan nada adzan ala adzan madinah.
Salah satu budaya yang ada di pondok pesantren ini adalah setelah adzan mereka biasa melantunkan sya'ir-sya'ir religi untuk mengisi waktu luang sebelum iqamah. Sya'ir yang kali mereka lantunkan adalah shalawat syifa. Hal ini dilakukan supaya para santri bisa menanamkan cinta shalawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad shalallahu‘alaihi wassalam. Dan, tentu Aizha yang duduk di shaff perempuan pun mengikuti hal ini.
Setelah selesai melantunkan shalawat bersama, seorang santri pun berdiri untuk mengumandangkan iqamah. Maka, semua berdiri berbaris dengan rapat dan rapi. Imam mulai memimpin shalat shubuh berjama’ah dengan mengangkat tangan seraya mengucap “Allahu akbar.” Meski belum bisa sepenuhnya khusyuk, tapi mereka tetap berusaha untuk melaksanakan shalat shubuh kali ini dengan baik sesuai ilmu fiqih yang mereka pelajari.
Setelah menyelesaikan shalat berjama’ah shubuh ada satu agenda pagi lagi yang harus mereka laksanakan yakni, Kuliah Shubuh. Kuliah Shubuh adalah kegiatan penyampaian materi keagamaan oleh para ustadz, ustadzah, kepala pengurus atau bahkan para santri yang memang bersedia untuk membagikan pengetahuan yang mereka punya. Namun, kali ini kegiatan kuliah shubuh diisi oleh kepala pengurus yaitu, Abi Salman. Beliau membawakan materi dengan judul “Akhlakul karimah” atau “Akhlak yang mulia.”
Ketika sang ayah sedang memberikan materi, Aizha begitu fokus untuk menyimak dan menyimpulkan dengan baik apa yang disampaikan olehnya. Baginya, ilmu adalah aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup di dunia dan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Saat dirinya sedang fokus untuk mendengarkan Abi Salman, dari belakang ada yang menepuk bahunya dengan lembut. Aizha pun menoleh ke belakang. Ternyata, orang yang menepuk pundaknya adalah Rina.
“Aiz, nanti ke kampus mau bareng?” tanya Rina.
“Oh iya, ayo. Ngobrolnya udah dulu, ya? mendingan kita dengerin nasihat dari abi,” Aizha.
“Oke, ” lanjut Rina.
Acara kuliah shubuh hanya berlangsung selama 30 menit. Setelah kuliah shubuh selesai, para santri kembali ke asrama untuk menunggu jatah sarapan mereka tiba. Pada masa ini mereka mendapat waktu luang untuk dapat bersantai sambil mengobrol dengan orang-orang se-asramanya. Namun, Zein yang belum lama bergabung nampaknya kurang suka dengan momen ini. Dia merasa lapar tak tertahankan karena harus menunggu lama hanya untuk makan pagi.
“Aduh lama banget sih! perut udah lapar nih!" ucap Zein dengan perasaan yang agak kesal sambil memukul meja.
“Sabar, Zein. Kamu cuma belum terbiasa. Nanti, lama-kelamaan juga kamu terbiasa,” jawab seorang santri yang sudah lama bergabung.
“Iya, Zein. sabar nanti juga datang,” kata Philip.
“Iya, tapi masa setiap hari harus kayak gini? Dari hari Sabtu pas awal datang sampe sekarang lama mulu cuma buat makan pagi, kita kan harus ke kampus,” ungkap Zein
“Lagian sekarang kan hari Selasa. Santai aja kali,” kata Roy.
“Mungkin, ini bisa dari evaluasi bagi petugas konsumsi,” kata seorang santri.
"Untuk kalian santri yang baru gabung. Zein, Roy dan Philip. Maaf atas ketidaknyamanannya," kata santri yang lain.
Tak lama setelah itu, terlihat dua orang yang membawa kotak besar.
“Alhamdulillah, akhirnya datang juga,” kata Zein dengan perasaan senang.
“Nah, kan. Apa gue bilang ntar juga datang,” kata Philip.
“Maaf kalau lama. Tadi ada hambatan sedikit,” kata santri senior.
“Baik, semua yang tertib. Insya Allah, semua pasti kebagian,” kata santri senior yang lain sambil membagikan makanan.
Makanan pun telah selesai dibagikan.
“Baik, semua sudah kebagian?” tanya santri senior.
“Sudah,” jawab semua santri yang ada di ruangan.
“Alhamdulillah kalau sudah. Kalau begitu saya minta satu orang untuk memimpin do’a,” kata santri senior.
“Soal mimpin do’a, mungkin Roy ahlinya,” kata Zein menunjuk Roy.
“Kok gue bro? loe aja kali,” kata Roy membalikan.
“Udah, Roy. Emang bener mendingan loe aja,” kata Philip mendukung pendapat Zein.
Dengan hati yang terpaksa Roy pun menerima bahwa dia harus memimpin do’a. Mereka semua mulai memakan sarapannya masing-masing setelah berdo’a yang dipimpin oleh Roy. Walaupun sarapan kali ini menunya tidaklah mewah, tapi kebersamaan yang mereka lakukan itulah yang menambah kenikmatan bagi mereka.
Di asrama putri, Aizha bersiap untuk pergi ke kampus tempatnya kuliah setelah menghabiskan makan pagi. Seperti yang sudah direncanakan, Aizha dan Rina pun bergegas untuk pergi ke kampus bersama. Mereka berdua berpakaian rapi, bersih dan pastinya menutup aurat dengan baik. Namun, saat mendekati gerbang Rina tiba-tiba membuka tas yang ia bawa dan melihat-lihat isinya.
“Ada apa, Rin?” tanya Aizha.
“Yah, ada buku yang ketinggalan, Aiz. Aku mau ambil dulu, ya. Kamu tunggu disini,” ujar Rina.
"Iya, Rin," ucap Aizha.
Rina kemudian berlari ke asrama, sedangkan Aizha menunggu di pos dekat gerbang.
Bersambung...
"Don, bilangin ke yang lain besok kita gak usah berangkat," kata Jaki. "Oke, siap," kata Doni. "Gue tadi gagal," ungkap Jaki. "Lagian loe frontal banget. Coba gunain strategi. Kejahatan sekalipun harus rapi dan terencana," kata Doni. "Ya, besok gue bakal gunain strategi," kata Jaki. Tunggu dulu, semua itu dimulai dari pagi tadi. “Hei, hati-hati ntar jatuh!” teriak Zein dari kejauhan saat melihat Rina berlari. “Zein, emang loe tahu siapa dia?” tanya Philip. “Ya tahu lah, dia itu kan...” ucapan Zein terpotong. Roy menutup mulut Zein. “Ada apa ini?” tanya Philip keheranan. “Nggak ada apa-apa, ayo lanjut,” kata Roy yang ingin menutupi sesuatu. Rina yang terus berlari kini tiba di asrama. Dia bergegas masuk ke kamar dan mencari buku yang ia tinggalkan. Saat sedang dia sibuk mencari buku yang dimaksud, Ai ikut membantunya yang terlihat begitu cemas. Buku yang dimaksud baru ditemukan beberapa me
"Kira-kira cara apa yang bakal loe lakuin, Jak?" tanya Doni. "Yang pasti gue bakal bikin dia kayak perempuan lain yang jadi korban gue dulu!" tegas Jaki. Tit... Tit... Tit... Alarm berbunyi pada pukul 03:30 WIB. Di luar asrama terlihat langit yang masih berwarna gelap, suhu udara pun terasa begitu sejuk serta terdengar pula suara ayam jantan terus berkokok. Karena tak kuat dengan hawa dingin, Ai meminta Aizha, Rina dan Nurul untuk menunggunya. Dia pun kembali ke kamarnya untuk mengambil baju hangat yang dia miliki. Dia kembali keluar asrama setelah memakai baju hangatnya miliknya. Mereka berempat pun kembali melangkahkan kaki mereka menuju mesjid. Setelah melaksanakan semua agenda pagi selaku santri, seperti biasa Aizha dan Rina pun bersiap untuk berangkat ke kampus bersama. Saat berjalan mendekati gerbang, mereka diklaksoni oleh mobil hitam milik Pondok Pesantren Al-Karimah. Dari dalam mobil terlihat Abi Salman menengok keluar. Abi Salman mem
“Rin, kayaknya itu Jaki,” ucap Aizha sambil menunjuk ke seseorang. Tampaknya Aizha mulai menyadari ada yang membuntuti mereka. “Apa? Jaki? di mana?” tanya Rina. “Itu yang lagi naik motor,” jawab Aizha. “Apa kamu yakin kalau itu Jaki? mungkin aja itu orang lain yang motornya sama kayak motor Jaki,” ujar Rina. “Nggak, Rin. Aku yakin itu Jaki,” kata Aizha mulai cemas. “Ada apa, Neng?” tanya sopir angkot. “Itu orang yang waktu kemarin ganggu kita. Sekarang dia juga mungkin mau ganggu kita lagi,” jawab Aizha. “Ya udah, tenang, Neng. Abang bakal cari cara agar bisa ngehindar dari dia,” kata sopir angkot. Jaki juga tampaknya mengetahui kehadirannya mulai disadari Aizha. Hal ini dibuktikan dengan mobil angkot itu mempercepat lajunya. Jaki tak ingin dirinya tertinggal oleh mobil angkot itu. Dia pun mengemudikan motornya untuk bisa mendekati pintu depan. “Woy, berhenti, loe!” kata Jaki pada sopir angkot sambil men
Zein merasa telah dipermalukan oleh orang-orang itu. Mereka semua menertawakannya karena tendangan yang meleset itu. Sudah dua kali Zein ditertawakan akibat kemampuannya yang tidak bagus. Pertama kalinya adalah waktu shubuh pagi tadi. Pukul 04:35 WIB. Adzan shubuh kali ini dikumandangkan oleh Zein. Suaranya yang terdengar pas-pasan membuat orang yang mendengarkan ingin tertawa. Namun, melihat keberanian Zein orang-orang berusaha untuk menahan tawa mereka. Lagipula, suara adzan bukan suara yang tidak patut ditertawakan siapa pun muadzinnya. Setelah Zein selesai mengumandangkan adzan, dia hanya duduk dan tertunduk karena malu. Dia mendengar ada beberapa santri awwaliyah putra yang duduk di dekatnya menertawakan dirinya. Tiga menit menjelang iqamah semua santri melantukan syair shalawat bersama. Zein hanya terdiam karena dia tak mau hal ini sama ketika mengumandangkan adzan tadi. Pagi pukul 05:30 WIB, Jaki masih tertidur pulas di kam
Jaki dan juga yang lainnya singgah ke kantin. "Kemarin emang loe habis ngapain, Jak?" tanya Doni. "Jalan-jalan pake motor, tapi motor gue malah mogok. Target gue juga gagal gue dapetin," kata Jaki. "Jadi itu cara loe? gue bilang yang rapi jangan acak-acakan," ujar Doni. "Terus mau gimana lagi?" tanya Jaki. "Apanya yang acak-acakan?" tanya bu kantin. "Ini, mesin motornya Jaki," kata Doni. "Gimana kalau kita lakukan hal yang sama kayak tadi malam. Kita jalan-jalan pake motor bareng-bareng ke tempat yang ingin Jaki tuju." usul sesorang. "Lakukan hal yang sama? oh, iya. Gue paham," kata Jaki. "Tapi, ini game loe, Jak. Loe harus lakuin sendiri. Kalau loe minta bantuan ke yang lain, loe harus bagi dua hadiahnya," kata Doni dengan pelan. "Mungkin gue bisa sendiri. Loe lihat aja nanti. Kalian gak usah terlibat," kata Jaki. Sementara itu, ketika sedang dalam perjalanan pulang, Roy terus menatap k
Saat Zein dan Roy kembali asrama, mereka melihat Philip sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Rupanya, Philip tengah mengerjakan tugas dari dosennya di kampus. Baik Roy maupun Zein tak begitu mengerti lebih dalam mengenai ilmu arsitektur. Mereka hanya bisa melihat dan sesekali bila Philip membutuhkan bantuan kecil, mereka pun membantunya. “Kalau bantuan kecil kayak gini kita masih bisa bantu,” ucap Zein. “Iya, gak apa-apa. Wajar kalau kalian gak terlalu paham ilmu tentang arsitektur karena manusia punya bakat yang beda-beda,” kata Philip. Zein dan Roy terangguk membenarkan perkataan Philip. “Oh, iya. Masalah kalian berdua udah selesai belum?” tanya Philip. “Anggap aja udah selesai semua,” jawab Zein. “Ya, karena yang tadi cuma salah paham doang.” Roy membenarkan jawaban Zein. “Ya, syukur deh kalau gitu,” kata Philip. Sementara itu, Jaki dan kawan-kawannya sedang berada dibasecamptempat biasa mereka 
"Hei, siapa itu?" satpam penjaga menyadari ada seseorang yang mencurigakan. Satpam penjaga pun menghampiri orang itu. "Mau apa sebenarnya loe, Hah?" tanya satpam penjaga. "Penting buat gue jawab," jawab Jaki. "Kurang ajar!" ucap satpam penjaga. Akhirnya terjadi perkelahian antara mereka berdua. "Ternyata loe punya nyali juga," ujar Jaki. "Gak usah banyak omong," ujar satpam penjaga. Meskipun Jaki terus berusaha melawan, pada akhirnya Jaki berhasil dilumpuhkan. "Kena loe sekarang," kata satpam. karena takut akan tertangkap, Jaki menendang wajah satpam saat khendak membawanya. "Kurang ajar!" teriak satpam. Jaki pun pergi dengan berlari terbirit-birit. Siang hari saat tiba waktu dzuhur, para santri pun pergi ke mesjid sebagaimana biasanya. Di waktu istirahat sehabis shalat dzuhur Zein, Roy dan Philip didatangi olehUstadz Abidin. Dialah ustadz yang diberi tanggung jawab untuk me
Pukul 13:40 WIB, Jaki dan Doni datang ke tempat biasa. "Mana dia? kok gak ada?" kata Doni panik. "Sialan dia kabur, tapi kita harus tetap tenang. Lagipula, penyamaran kita pasti aman," Kata Jaki. "Iya juga. Udahlah, biarin dia kabur. Kita udah puas nyiksa dia," kata Doni. "Ya," ucap Jaki singkat. Di tempat lain, Dosen Hamid ditemukan oleh seseorang dalam keadaan tak sadarkan diri. "Ya ampun, ini harus segera dibawa ke rumah sakit," ujar orang yang menemukan Dosen Hamid. Esok pagi di hari Ahad, Zein, Roy dan Philip berencana untuk pergi berjoging bersama. Dengan cara yang sangat meyakinkan mereka berhasil mendapat izin untuk pergi berjoging keluar area Pondok Pesantren Al-Karimah. Tetapi, Ustadz Abidin memberikan batasan waktu pada mereka bertiga. Pada jam 7 tepat mereka sudah harus berada di area Pondok Pesantren Al-Karimah lagi. Dengan mengucap "Bismillah" Zein, Roy dan Philip pun memulai kegiatan joging pa