“Rin, kayaknya itu Jaki,” ucap Aizha sambil menunjuk ke seseorang.
Tampaknya Aizha mulai menyadari ada yang membuntuti mereka.
“Apa? Jaki? di mana?” tanya Rina.
“Itu yang lagi naik motor,” jawab Aizha.
“Apa kamu yakin kalau itu Jaki? mungkin aja itu orang lain yang motornya sama kayak motor Jaki,” ujar Rina.
“Nggak, Rin. Aku yakin itu Jaki,” kata Aizha mulai cemas.
“Ada apa, Neng?” tanya sopir angkot.
“Itu orang yang waktu kemarin ganggu kita. Sekarang dia juga mungkin mau ganggu kita lagi,” jawab Aizha.
“Ya udah, tenang, Neng. Abang bakal cari cara agar bisa ngehindar dari dia,” kata sopir angkot.
Jaki juga tampaknya mengetahui kehadirannya mulai disadari Aizha. Hal ini dibuktikan dengan mobil angkot itu mempercepat lajunya. Jaki tak ingin dirinya tertinggal oleh mobil angkot itu. Dia pun mengemudikan motornya untuk bisa mendekati pintu depan.
“Woy, berhenti, loe!” kata Jaki pada sopir angkot sambil menendang-nendang pintu.
“Apa?” sopir angkot pura-pura tak tahu.
“Berhenti!” Jaki semakin kesal.
“Emangnya kenapa? loe mau celakain penumpang gue?!” tanya sopir angkot.
“Itu bukan urusan loe. Udah cepet berhenti! kalau gak, loe bakal nyesel!” jawab Jaki.
“Neng, pegangan sama besi panjang itu!” titah sopir angkot kepada Aizha dan Rina.
Aizha dan Rina pun mengikuti titah sopir angkot.
"Baik, loe belum tahu siapa gue, ya?" gumam sopir angkot yang dimaksudkan pada Jaki.
Supaya bisa menghindari Jaki, sopir angkot mengemudikan mobilnya dengan cepat layaknya sedang balapan. Dari belakang, Jaki pun tak mau kalah dan segera menambah kecepatan motornya. Sopir angkot memilki peluang untuk ngebut karena jalanan di depan agak kosong. Hanya ada beberapa mobil saja yang harus dilalui agar bisa menghindar dari Jaki. Dengan teknik mengemudi yang mumpuni sopir angkot berhasil melewati mobil-mobil yang ada di depannya.
Dari dalam, Aizha sangat syok dengan kecepatan mobil yang dikemudikan sopir angkot. Dia merasa risau kalau-kalau supir angkot menabrak sesuatu yang ada di depan. Untuk menenangkan hati dan pikirannya, Aizha terus mengucapkan istighfar secara berulang-ulang. Pada akhrinya, dia meminta sopir angkot untuk menuruni laju kendaraan yang sekarang dia kemudikan.
“Bang, bisa gak jangan ngebut-ngebut?” pinta Aizha.
“Iya, Bang. Kalau di depan ada orang mau nyebrang, gimana?” Rina juga nampaknya merasa risau dengan hal ini.
“Abang juga pengennya pelan-pelan, tapi gimana kalau nanti dia nyegat kita dari depan?” tanya sopir angkot.
Aizha hanya terdiam karena tak bisa menjawab.
“Ya udah, kalian bantu do'a aja biar kita selamat,” ucap sopir.
Aizha pun mengikuti perkataan sopir angkot, begitu juga Rina.
Di saat Jaki sedang berusaha untuk mengejar angkot itu, motornya tiba-tiba berhenti. Entah apa yang membuat motornya berhenti, tapi Jaki pun menepi agar tidak tertabrak kendaraan lain. Setelah menepi, Jaki turun dari motornya dengan perasaan penuh kesal. Lagi-lagi dia gagal untuk melancarkan rencananya. Sebaliknya, Aizha lagi-lagi berhasil selamat dari kejaran Jaki.
“Alhamdulillah, kita selamat,” ucap syukur Aizha.
“Ya udah, Bang. Jangan kebut-kebutan lagi. Sekarang kita kan udah selamat dari dia,” kata Rina.
“Neng, emangnya kalian berdua mau pulang ke mana?” tanya sopir angkot.
“Kita mau ke pondok pesantren, Bang,” jawab Rina.
“Pondok pesantren yang mana?” tanya sopir angkot.
Aizha pun menjelaskan di mana letak pondok pesantren tempat tinggal mereka.
“Oh, iya. Kalau yang itu saya tahu. Ya udah, saya anterin sampai depan gerbang,” kata sopir angkot.
“Boleh aja, tapi jangan ngebut lagi, ya,” pinta Aizha.
“Siap, tenang aja kali ini gak akan ngebut,” jawab sopir angkot.
Menjelang waktu maghrib mereka tiba di gerbang Pondok Pesantren Al-Karimah.
“Terima kasih, Bang. Abang udah nganterin kita sampai sini,” kata Aizha.
“Iya, sama-sama.” Sopir angkot lekas memarkirkan mobilnya dan pergi.
“Aizha, lima menit lagi adzan maghrib. Ayo, kita cepet kita ke asrama!” ajak Rina.
"Iya, kita cepat ke asrama buat beres-beres, Rin," kata Aizha.
Sementara itu, di asrama putra Zein telah berpakaian rapi dan bersih. Dia telah bersiap pergi ke mesjid. Namun, sambil menunggu waktu maghrib tiba, Zein pun rebahan di kasur busa milik Roy yang sengaja dibawa ke asrama. Kasur busa Roy memang terasa nyaman untuk ditiduri.
“Roy, kasur busa loe lumayan nyaman juga buat rebahan,” kata Zein.
“Iya, kalau cuma rebahan, silakan. Tapi, awas jangan sampe ketiduran,” ujar Roy.
“Iya, tenang aja,” kata Zein.
Beberapa menit kemudian terdengar suara adzan maghrib.
“Udah adzan maghrib. Ayo, kita ke mesjid!” ajak Philip.
Mereka bertiga pun lekas pergi ke mesjid.
Di asrama putri, Rina pun bergegas untuk pergi ke mesjid setelah berpakaian rapi dan bersih, sementara Aizha hanya berdiam di kamar. Pada saat ini, Aizha melihat bahwa busur compound miliknya sudah agak berdebu. Maka dari itu, dia mengambil lap untuk membersihkannya. Sambil membersihkan busur miliknya, dia kembali memperkirakan kemampuannya untuk berlaga di kategori recurve advance.
"Busur compound bisa aku kuasai, itupun jaraknya hanya 50 meter. Recurve bow level advance dengan jarak 80 meter mungkin bukan hal mudah untuk dikuasai. Gimana kalau nanti malah gagal? mengingat dulu ada hal belum bisa aku kuasai dengan baik malah aku lakukan dan hasilnya fatal dan merugikan orang lain. Astaghfirullah, harus gimana ini?" rasa ragu tiba-tiba datang lagi ke hati Aizha.
Di saat Aizha sedang sibuk untuk membersihkan busur panah miliknya, dari belakang Ai mengendap-endap untuk mengejutkannya. Dia tak mengetahui bahwa di belakangnya sedang ada seseorang. Setelah berada tepat di belakang badan Aizha, Ai menepuk pundak kakaknya itu serta bersuara dengan nyaring. Usahanya pun berhasil. Aizha yang terkejut hanya mengucap istighfar.
"Hahaha, aku berhasil, berhasil," ucap Ai kegirangan.
“Kamu bikin kakak kaget aja,” ucap Aizha setelah dikejutkan Ai.
“Iya, Kak. Maaf,” ucap Ai sambil memeluki Aizha.
“Iya, kakak maafin, tapi lain kali jangan diulangi, ya?” kata Aizha dengan nada rendah.
“Hehehe, iya-iya aku gak akan ulangi lagi,” jawab Ai.
“Tapi, kok kamu nggak ke mesjid?” tanya Aizha.
“Kan sama kayak kakak,” jawab Ai.
“Oh, iya-iya kakak paham.” Aizha memahami maksud Ai.
Untuk menghilangkan rasa sepi di kamar Ai pun mengajak Aizha untuk mengobrol.
“Kak, kenapa sih kakak suka banget sama olahraga panahan?” tanya Ai.
“Kan dulu Abi pernah bilang kalau memanah itu hukumnya sunnah. Terus, awalnya kakak juga terinspirasi sama seseorang. Dia pemanah yang hebat. Kakak juga masih ingat waktu itu kamu kan juga ikut buat lihat pertandingan panahan sama abi juga ummi,” jawab Aizha.
“Oh, yang waktu kita masih kecil?” tanya Ai.
“Iya, kalau kamu mau, kamu bisa latihan panahan bareng sama kakak,” usul Aizha.
“Tapi, aku sukanya sama olahraga bola basket, Kak,” jawab Ai.
“Oh, gak apa-apa, kakak juga nggak maksa. Kalau kamu lebih suka basket, itu hak kamu,” ujar Aizha.
"Iya, Kak," ucap Ai singkat.
"Ai, mumpung sekarang kita lagi santai ada yang mau kakak sampaikan," kata Aizha.
"Ada apa?" Ai penasaran.
"Di usia remaja akhir seperti kamu biasanya orang suka main-main karena mengira itu kesenangan masa muda. Kakak cuma mau mengingatkan supaya kamu bisa waspada dan tidak mudah terbawa hal negatif. Kalau kamu mau bergaul dengan teman-teman hanya untuk menambah relasi, ya silahkan, tapi jangan sampai kamu ikuti hal yang cenderung ke yang diharamkan," jelas Aizha.
"Iya, Kak. Makasih udah ngingetin," kata Ai.
"Iya, sama-sama," kata Aizha.
Bermenit-menit lamanya percakapan mereka terjadi.
“Tapi, Kak. Yang lagi pada shalat udah beres belum, ya?” tanya Ai.
“Gak tahu tuh, kan dari tadi kakak ada di sini,” jawab Aizha.
"Iya juga, ya?" ucap Ai singkat.
Di tempat lain, Jaki sedang asyik bermain Play Station 2 di kamar rumahnya. Dia merasa stress karena usaha kejahatan gagal lagi. Dari luar, terdengar suara mobil datang. Jaki segera menutup dan mengunci pintu kamarnya. Apalagi, Jaki sedang memainkan game favorit.
Pak Mandiri yang baru datang segera melangkahkan kakinya menuju kamar Jaki. Dia ingin segera menegurnya. Sesampai di kamar Jaki, Pak Mandiri mengetuk pintu kamar dan menyuruhnya untuk keluar. Berulang kali Pak Mandiri melakukan hal yang sama, tapi Jaki seolah tak mau mendengar kata-kata dari ayahnya. Dia lebih memilih bermain Play Station 2.
“Jaki, kalau kamu gak keluar juga, motor kamu bakalan Ayah jual,” ancam Pak Mandiri.
Mendengar ancaman itu, Jaki pun membuka pintu kamarnya dan keluar.
“Ada apa sih, Yah?” tanya Jaki.
“Tunggu Ayah di ruang tengah, ada yang mau Ayah bicarakan,” titah Pak Mandiri.
Jaki pun menuruti titah ayahnya, sedangkan Pak Mandiri ingin membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah selesai membersihkan diri, Pak Mandiri pun pergi ke ruang tengah menyusul Jaki.
“Bagaimana kuliah kamu akhir-akhir ini, Jaki?” tanya Pak Mandiri saat di ruang tamu.
“Oh, kalau yang itu semuanya baik-baik aja. Indah kayak biasa,” jawab Jaki.
Mendengar jawaban itu, Pak Mandiri semakin geram dan memukul meja yang ada di depannya.
“Kamu bikin masalah lagi dan kamu bilang itu indah,” kata Pak Mandiri penuh kesal.
“Masalah apa?” tanya Jaki mengelak.
“Jangan ngelak, Jaki. Ayah sudah tahu semuanya. Tadi siang Ayah datang ke kampus karena ada dosen yang meminta Ayah untuk datang ke sana. Kamu hari ini gak hadir, kemarin kamu gangguin perempuan sama berantem dengan tiga mahasiswa. Kamu pikir itu bukan masalah?” ungkap Pak Mandiri.
Suara Pak Mandiri yang memarahi Jaki terdengar hingga ke kamar Arinah. Arinah yang tadinya hanya berbaring sambil mendengarkan musik pun terbangun. Dia segera pergi ke tempat Pak Mandiri berada. Sesampai di ruang tengah, Arinah pun diperintahkan duduk untuk ikut mendengar apa yang disampaikan Pak Mandiri.
"Apa kamu masih betah dengan kelakuan kamu saat masih di Jogja?" tanya Pak Mandiri pada Jaki.
Jaki hanya terdiam.
"Ayah sudah berupaya agar kamu bisa jadi orang yang baik dan jujur. Semua catatan kasus yang kamu lakukan di Jogja tidak Ayah biarkan ketahuan orang lain di Kota Bogor ini. Semua aib kamu Ayah tutup dengan rapat supaya orang-orang tidak menilai kamu dari apa saja tindakan yang kamu lakukan di Kota Jogja. Dengan begitu, kamu bisa leluasa jadi orang yang lebih baik," jelas Pak Mandiri.
"Kenapa Ayah berpikir kalau Jaki masih melakukan hal-hal yang sama seperti dulu?" tanya Jaki.
"Karena ternyata kamu masih juga belum berubah, Jaki. Dulu, mungkin kamu sering bergaul dan senang-senang dengan para perempuan yang kelakuannya sama buruknya dengan kamu, tapi apa sekarang kamu sedang berusaha menjerumuskan seorang anak dari kiyai untuk jadi korban? jangan berharap kamu bisa berhasil," jelas Pak Mandiri.
Pak Mandiri menghela nafas.
"Pokonya Ayah ingin kalian berdua bisa mengisi masa muda kalian dengan hal yang positif. Jangan sampai kalian menyia-nyiakan masa muda kalian. Kalian tahu kan kalau sesal gak mungkin datang di awal. Maka dari itu, jangan sampai kalian melakukan hal yang membuat kalian menyesal di kemudian hari.” Pak Mandiri memberi motivasi.
Jaki dan Arinah hanya terdiam untuk mendengarkan apa yang disampaikan.
“Arinah, kamu punya hobi memanah itu sudah bagus. Katanya akan ada perlombaan bulan Agustus nanti. Kalau begitu, kamu harus latihan yang rajin biar dapat prestasi yang memuaskan,” kata Pak Mandiri.
“Iya, Yah. Aku emang pengen ikutan perlombaan,” balas Arinah.
“Nah, itu baru bagus. Jaki, ke depannya kamu harus cari hobi yang lebih bermanfaat dari hal negatif yang sering kamu lakukan dengan waktu di Jogja,” ucap Pak Mandiri.
Jaki hanya mengiyakan kata-kata dari Pak Mandiri meskipun sebenarnya dia merasa kesal pada Dosen Hamid. Suasana tampaknya kembali kondusif. Amarah Pak Mandiri sudah mereda. Dia pun menyuruh anak-anaknya untuk pergi ke ruang makan.
Di sana sudah ada beberapa makanan yang dibuat langsung oleh assistent rumah tangga pribadi keluarga mereka. Mereka mengambil beberapa makanan yang tersedia dengan porsi sesuai kebutuhan mereka untuk menjaga kesehatan yang mereka miliki. Inilah seputar keluarga yang Jaki miliki.
Pada pukul 19:56 WIB, para santri Al-Karimah bersiap untuk melaksanakan shalat ‘isya berjama’ah. Suara adzan ‘isya pun dikumandangkan saat telah masuk waktu. Suara sang muadzin terdengar seperti anak-anak, tapi sangat syahdu. Ternyata sang muadzin itu adalah Sandika. Dia sedang mencoba untuk bisa menjadi muadzin. Suara yang indah mampu membuat para penghuni Pondok Pesantren Al-Karimah terkesima, bahkan ada yang sampai bercucuran air mata.
“Subhanallah, siapa itu yang adzan? Suaranya bagus banget.” Ai yang mendengar dari jarak yang jauh juga terksima.
“Itu suara Sandika dari santri awwaliyah,” kata Aizha.
“Kok kakak bisa tahu?” tanya Ai.
“Dulu kakak sempat berkenalan sama anak-anak santri awwaliyah waktu awal mereka masuk,” jawab Aizha.
“Kan waktu pagi kakak kuliah,” kata Ai.
“Waktu sorenya. Lagipula, ketika para santri awwaliyah yang baru datang, di kampus kakak masih masuk masa orientasi. Yang kenalan juga bukan cuma kakak doang, tapi ada beberapa santri senior yang lain juga,” jelas Aizha.
“Oh, gitu ya.” Ai memahami Aizha.
“Sandika punya cita-cita yang bagus. Dia ingin jadi seorang hafidz.” Aizha memuji Sandika.
“Di usianya yang masih kecil?” Ai keheranan.
“iya,” jawab Aizha.
“Wah, bagus kalau begitu.” Ai juga memuji Sandika.
“Maka dari itu, kita harus bantu dengan do'a biar cita-citanya bisa tercapai,” kata Aizha.
“Aamiin.” Ai mendo'akan.
Suara adzan telah selesai dikumandangkan, mesjid pun telah dipenuhi oleh penghuni Pondok Pesantren Al-Karimah. Hanya tinggal menunggu orang-orang yang melaksanakan shalat sunnah qabliyah. Setelah mereka selesai, barulah iqamah dikumandangkan. Semuanya yang ada di mesjid pun berdiri dan berbaris dengan rapat dan rapi sesuai shaffnya. Kali ini, yang menjadi imam adalah Abi Salman.
Setelah selesai melaksanakan shalat ‘isya berjama’ah, para santri pun bersiap untuk melaksanakan agenda berikutnya yaitu, pengkajian kitab ilmu fiqih. Mereka mengkaji ilmu fiqih dengan menggunakan kitab Safinah. Kitab Safinah adalah kitab ilmu fiqih madzhab Syafi'i yang dikarang oleh Syeikh Salim bin Sumair Al-Hadromi. Beliau adalah ulama asal negeri Yaman yang berpegang pada madzhab Imam Syafi'i. Dengan kitab ini para santri dapat membahas ilmu fiqih secara praktis dan sistematis.
Ummi Shaqira mempercayai Aizha untuk memberikan pemahaman kepada para santri putri di kelas lain tentang kitab Safinah. Awalnya Aizha agak ragu untuk melaksanakan apa yang Ummi Shaqira katakan. Rasa khawatir yang membuatnya pesimis datang kembali. Dia juga merasa tak enak hati pada ustadzah yang akan mengajar bila tugasnya diambil alih. Ummi Shaqira tetap meyakinkan Aizha bahwa dirinya itu bisa, bahkan ustadzah yang akan mengajar pun mendukung pendapat Ummi Shaqira.
“Ya sudah, kalau memang ummi sama ustadzah percayakan tugas ini sama Aizha, insya Allah Aizha laksanakan.” Akhirnya Aizha bersedia untuk melaksanakan perintah Ummi Shaqira.
“Nah, gitu dong. Anak ummi harus optimis,” ucap Ummi Shaqira.
“Ya sudah, sekarang ibu sampaikan dulu sama teman-teman kamu kalau sekarang kamu yang akan memberikan pemahaman tentang kitab safinah pada mereka. Ibu hanya akan memantau,” ucap ustadzah pengajar seraya masuk ke dalam kelas.
Ustadzah pengajar kembali setelah menyampai pesan pada para santri yang ada di dalam.
"Rina gimana?" tanya Aizha.
"Suruh aja dia gabung sama kelas yang mau kamu ajar," jawab Ummi Shaqira.
"Biar saya saja yang ajak dia. Aizha, kamu masuk saja," kata ustadzah pengajar.
Saat Aizha masuk ke ruangan kelas, para santri putri yang berada di dalam menyoraki dan bertepuk tangan untuknya layaknya kedatangan seorang bintang. Dia hanya tersenyum pada para santri yang terus bertepuk tangan padanya. Tak lama kemudian, Aizha meminta mereka untuk berhenti bertepuk tangan. Dia duduk di depan teman-temannya dan segera memulai pengkajian kitab safinah.
Rina datang untuk bergabung sebelum Aizha memulai pengkajian. Dengan mengucapkan “bismillah”, Aizha pun memulai kegiatan pengkajian kitab Safinah malam ini. Sebelum membahas tentang isi kitab, dia menjelaskan profil kitab Safinah secara lengkap. Setelah itu, barulah dia mengajar para santri cara membaca kitab Safinah. Dia juga menjelaskan materi pertama kitab ini.
Jaki menelpon Doni untuk meminta bantuan padanya. Rasa kesal pada Dosen Hamid masih berkobar dalam sanubarinya. Dia ingin melakukan sesuatu yang membuatnya merasa senang. Dalam hal ini, Jaki bermaksud untuk mengobrak-abrik kediaman Dosen Hamid. Itu supaya dia merasakan kerugian yang sangat besar.
Doni dan Jaki sama jahatnya. Doni pun menyetujui usulan dari Jaki. Setelah Jaki menutup obrolannya di telpon, Doni menyampaikan pesan pada teman-temannya yang lain. Semua orang yang diinformasikan oleh Doni juga tampaknya sangat setuju dengan apa yang diinginkan Jaki. Mereka pun mempersiapkan alat-alat yang mereka butuhkan masing-masing.
Kegiatan pengkajian kitab Safinah selesai pada pukul 09:00 WIB. Aizha dan para santri yang lain diperbolehkan memasuki asramanya masing-masing agar bisa berisirahat. Di Asrama putri, Aizha didatangi Nurul ke kamarnya. Dia dimintai oleh Nurul untuk tidur bersamanya di tempatnya. Melihat Nurul sangat ingin berada di dekatnya, Aizha pun memenuhi keinginan Nurul.
Pukul 11:40 WIB...
Jaki dan kawan-kawannya sudah siap beraksi. Sesuai dengan rencana, mereka beraksi di malam hari ini. Jaki dan juga teman-temannya menggunakan topeng bermotif tengkorak untuk menutupi identitas asli mereka. Sesampai di kediaman Dosen Hamid, mereka berdiam beberapa menit di luar gerbang. Salah satu dari mereka melemparkan batu untuk memancing satpam penjaga agar keluar gerbang.
"Siapa itu?!" satpam penjaga berteriak.
Satpam penjaga pun pergi untuk mengecek apa yang terjadi di luar gerbang.
"Siapa kalian?!" ucap satpam penjaga.
"Hajar!" Jaki memerintah teman-temannya untuk menyerang satpam penjaga.
Dua orang berani berhadapan dengan satpam penjaga. Satpam penjaga pun tak tinggal diam. Dia pun berusaha bertahan dari serangan dua teman Jaki. Dua orang teman Jaki berhasil dikalahkan oleh satpam penjaga. Tampaknya satpam penjaga kediaman Dosen Hamid bukan orang yang remeh.
"Apa gue harus turun tangan, Jak?" tanya Doni.
"Maju," ucap Jaki dengan singkat.
Kali ini Doni yang berhadapan dengan satpam penjaga.
"Makan ini," kata Doni sambil menendang.
Dengan sigap satpam penjaga pun menangkap tendangan dari Doni. Setelah itu, dia membanting tubuh Doni hingga jatuh tersungkur. Hanya tinggal tiga orang dari pihak Jaki yang masih berdiri. Dengan inisiatif, dua orang dari mereka pun berlari untuk menyerang satpam penjaga. Namun, lagi-lagi satpam penjaga berhasil mempertahankan dirinya.
"Wah, luar biasa. Seorang satpam di sini gak kayak satpam di rumah gue yang kelihatan lembek," kata Jaki yang terkagum.
"Saya belum tahu siapa kalian dan apa maksud kalian sebenarnya, tapi saya tidak bisa tinggal diam," kata satpam penjaga.
"Sekarang!" teriak Jaki.
Doni yang awalnya terjatuh pun kembali berdiri dan menangkap tubuh satpam penjaga dari belakang. Yang lain juga tiba-tiba berdiri dan menyerang satpam penjaga. Satpam penjaga terus saja dipukuli dan ditendangi oleh mereka hingga Jaki menyuruh mereka berhenti. Mereka pun membiarkan satpam tergeletak tak sadarkan diri di luar gerbang.
"Anda memang terlihat kuat, tapi sedikit ceroboh. Tujuan kita bukan untuk menyerang anda, tapi yang ada di dalam," kata Jaki seraya menyuruh semuanya masuk ke dalam area rumah Dosen Hamid.
Bersambung...
Zein merasa telah dipermalukan oleh orang-orang itu. Mereka semua menertawakannya karena tendangan yang meleset itu. Sudah dua kali Zein ditertawakan akibat kemampuannya yang tidak bagus. Pertama kalinya adalah waktu shubuh pagi tadi. Pukul 04:35 WIB. Adzan shubuh kali ini dikumandangkan oleh Zein. Suaranya yang terdengar pas-pasan membuat orang yang mendengarkan ingin tertawa. Namun, melihat keberanian Zein orang-orang berusaha untuk menahan tawa mereka. Lagipula, suara adzan bukan suara yang tidak patut ditertawakan siapa pun muadzinnya. Setelah Zein selesai mengumandangkan adzan, dia hanya duduk dan tertunduk karena malu. Dia mendengar ada beberapa santri awwaliyah putra yang duduk di dekatnya menertawakan dirinya. Tiga menit menjelang iqamah semua santri melantukan syair shalawat bersama. Zein hanya terdiam karena dia tak mau hal ini sama ketika mengumandangkan adzan tadi. Pagi pukul 05:30 WIB, Jaki masih tertidur pulas di kam
Jaki dan juga yang lainnya singgah ke kantin. "Kemarin emang loe habis ngapain, Jak?" tanya Doni. "Jalan-jalan pake motor, tapi motor gue malah mogok. Target gue juga gagal gue dapetin," kata Jaki. "Jadi itu cara loe? gue bilang yang rapi jangan acak-acakan," ujar Doni. "Terus mau gimana lagi?" tanya Jaki. "Apanya yang acak-acakan?" tanya bu kantin. "Ini, mesin motornya Jaki," kata Doni. "Gimana kalau kita lakukan hal yang sama kayak tadi malam. Kita jalan-jalan pake motor bareng-bareng ke tempat yang ingin Jaki tuju." usul sesorang. "Lakukan hal yang sama? oh, iya. Gue paham," kata Jaki. "Tapi, ini game loe, Jak. Loe harus lakuin sendiri. Kalau loe minta bantuan ke yang lain, loe harus bagi dua hadiahnya," kata Doni dengan pelan. "Mungkin gue bisa sendiri. Loe lihat aja nanti. Kalian gak usah terlibat," kata Jaki. Sementara itu, ketika sedang dalam perjalanan pulang, Roy terus menatap k
Saat Zein dan Roy kembali asrama, mereka melihat Philip sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Rupanya, Philip tengah mengerjakan tugas dari dosennya di kampus. Baik Roy maupun Zein tak begitu mengerti lebih dalam mengenai ilmu arsitektur. Mereka hanya bisa melihat dan sesekali bila Philip membutuhkan bantuan kecil, mereka pun membantunya. “Kalau bantuan kecil kayak gini kita masih bisa bantu,” ucap Zein. “Iya, gak apa-apa. Wajar kalau kalian gak terlalu paham ilmu tentang arsitektur karena manusia punya bakat yang beda-beda,” kata Philip. Zein dan Roy terangguk membenarkan perkataan Philip. “Oh, iya. Masalah kalian berdua udah selesai belum?” tanya Philip. “Anggap aja udah selesai semua,” jawab Zein. “Ya, karena yang tadi cuma salah paham doang.” Roy membenarkan jawaban Zein. “Ya, syukur deh kalau gitu,” kata Philip. Sementara itu, Jaki dan kawan-kawannya sedang berada dibasecamptempat biasa mereka 
"Hei, siapa itu?" satpam penjaga menyadari ada seseorang yang mencurigakan. Satpam penjaga pun menghampiri orang itu. "Mau apa sebenarnya loe, Hah?" tanya satpam penjaga. "Penting buat gue jawab," jawab Jaki. "Kurang ajar!" ucap satpam penjaga. Akhirnya terjadi perkelahian antara mereka berdua. "Ternyata loe punya nyali juga," ujar Jaki. "Gak usah banyak omong," ujar satpam penjaga. Meskipun Jaki terus berusaha melawan, pada akhirnya Jaki berhasil dilumpuhkan. "Kena loe sekarang," kata satpam. karena takut akan tertangkap, Jaki menendang wajah satpam saat khendak membawanya. "Kurang ajar!" teriak satpam. Jaki pun pergi dengan berlari terbirit-birit. Siang hari saat tiba waktu dzuhur, para santri pun pergi ke mesjid sebagaimana biasanya. Di waktu istirahat sehabis shalat dzuhur Zein, Roy dan Philip didatangi olehUstadz Abidin. Dialah ustadz yang diberi tanggung jawab untuk me
Pukul 13:40 WIB, Jaki dan Doni datang ke tempat biasa. "Mana dia? kok gak ada?" kata Doni panik. "Sialan dia kabur, tapi kita harus tetap tenang. Lagipula, penyamaran kita pasti aman," Kata Jaki. "Iya juga. Udahlah, biarin dia kabur. Kita udah puas nyiksa dia," kata Doni. "Ya," ucap Jaki singkat. Di tempat lain, Dosen Hamid ditemukan oleh seseorang dalam keadaan tak sadarkan diri. "Ya ampun, ini harus segera dibawa ke rumah sakit," ujar orang yang menemukan Dosen Hamid. Esok pagi di hari Ahad, Zein, Roy dan Philip berencana untuk pergi berjoging bersama. Dengan cara yang sangat meyakinkan mereka berhasil mendapat izin untuk pergi berjoging keluar area Pondok Pesantren Al-Karimah. Tetapi, Ustadz Abidin memberikan batasan waktu pada mereka bertiga. Pada jam 7 tepat mereka sudah harus berada di area Pondok Pesantren Al-Karimah lagi. Dengan mengucap "Bismillah" Zein, Roy dan Philip pun memulai kegiatan joging pa
"Udah-udah, gak usah takut. Tenang aja. Bepikir positif," kata Yordansyah yang terilhat berani. "Ha..." suara misterius itu terdengar lagi. "Tuh, kedenger lagi. Udah tiga kali," kata Roy yang semakin tegang. "Wayah...!!!" terlihat wayah yang disinari cahaya senter. "Aaa...!!!" Roy beteriak. Sementara itu, Zein dan Yordansyah hanya memegangi dada karena sama terkejut. "Pak satpam, apa-apaan sih?" Zein menghelakan nafas. "Ya, kalian ngapain keluar di tengah gelap kayak gini?" tanya satpam penjaga gerbang. "Kita disuruh ngecek area di luar pondok. Ternyata benar, yang lain sama juga gelapnya," kata Yordansyah sambil melirik-lirik. "Nah, pak satpam juga apa-apaan tadi ngagetin kita?" tanya Roy. "Saya tadinya mau pergi ke mesjid buat bagiin lilin, tapi saat tahu kalian bertiga berjalan di tengah gelap kayak gini, saya mau agak usil sedikit," jelas satpam penjaga sambil tertawa. "Alah," uca
Waktu terus bergulir, tibalah bulan Agustus yang sudah dinanti-nanti oleh Aizha dan Rina. Bulan ini, Aizha dan juga Rina mempunyai hal yang sangat penting bagi mereka masing-masing. Tanggal 17 Rina akan tampil sebagai pengibar bendera, sedangkan pada tanggal 23 Aizha akan mengikuti perlombaan panahan Fun Archery. Baik Aizha maupun Rina sangat bersemangat untuk bisa mencapai tujuannya masing-masing. Pada hari Kamis tanggal 2 Agustus 2001 di pukul 16:00 WIB, Aizha kembali melatih kemampuan memanahnya bersama para santri lainnya. Ini merupakan persiapan untuk berpartisipasi di Fun Archerypada tanggal 23 nanti. Tampaknya, kini Aizha sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya, baik dari segi kemampuan maupun keoptimisan.Hanya perlu sedikit latihan lagi untuk lagi untuk bisa memantapkan kemampuannya untuk bisa tampil maksimal di kategori recurve bow level advancenanti. Pagi tanggal 17, Rina tengah mempersiapkan peralatan yang dia butuhkan pagi-pag
Setelah beberapa pertandingan selesai giliran bagi Anisa yang akan bertanding dengan Arinah pun tiba. Dengan langkah kaki yang arogan, Arinah memasuki lapangan pertandingan dan bertemu Anisa. Dia tampaknya ingin menggunakan situasi ini untuk menunjukkan kemampuannya di kategori recurve advance pada Aizha. Lagi-lagi dia bermaksud untuk menghancurkan mental Aizha. “Wah, padahal gue inginnya bisa tanding sama si Aizha, tapi gak apa-apa lah soalnya kalian berdua sama-sama kampungan,” kata Arinah. “Kampungan? soal itu gak penting. Sekarang yang harus kita pikirkan itu pertandingan. Kita gak akan tahu hasilnya kalau kita belum coba,” balas Anisa. Pertandingan antara Arinah dan Anisa pun dimulai. Mereka berdua bersaing sangat ketat di rambahan pertama. Setelah beberapa kesempatan bagi mereka untuk merilis anak panah, rambahan pertama berakhir dengan nilai Arinah yang lebih tinggi dari Anisa. Arinah terlihat begitu senang. Ini yang sangat diharapkan olehnya.