Beranda / Fiksi Remaja / The Fallen Servants of Allah / Chapter 5 : Tawa jahat mereka

Share

Chapter 5 : Tawa jahat mereka

Zein merasa telah dipermalukan oleh orang-orang itu. Mereka semua menertawakannya karena tendangan yang meleset itu. Sudah dua kali Zein ditertawakan akibat kemampuannya yang tidak bagus. Pertama kalinya adalah waktu shubuh pagi tadi.

Pukul 04:35 WIB.

Adzan shubuh kali ini dikumandangkan oleh Zein. Suaranya yang terdengar pas-pasan membuat orang yang mendengarkan ingin tertawa. Namun, melihat keberanian Zein orang-orang berusaha untuk menahan tawa mereka. Lagipula, suara adzan bukan suara yang tidak patut ditertawakan siapa pun muadzinnya.

Setelah Zein selesai mengumandangkan adzan, dia hanya duduk dan tertunduk karena malu. Dia mendengar ada beberapa santri awwaliyah putra yang duduk di dekatnya menertawakan dirinya. Tiga menit menjelang iqamah semua santri melantukan syair shalawat bersama. Zein hanya terdiam karena dia tak mau hal ini sama ketika mengumandangkan adzan tadi. 

Pagi pukul 05:30 WIB, Jaki masih tertidur pulas di kamarnya. Pak Mandiri segera pergi ke kamar Jaki untuk membangunkannya. Lagi-lagi pintu kamarnya terkunci. Pak Mandiri pun mengetuk-ketuk pintu kamar dan menyuruhnya untuk segera keluar. 

Karena geram anaknya tak mau keluar Pak Mandiri pun memukul pintu dengan keras. Dari dalam Jaki terkejut karena hal ini. Dia terbangun dari tidurnya dan segera pergi keluar kamar.

“Cepat mandi, Jaki. Habis itu nanti kita sarapan bareng di ruang makan,” titah Pak Mandiri untuk Jaki saat dia keluar.

Jaki pun pergi ke kamar mandi.

Berbeda dengan Jaki, Arinah adalah anak menurut pada ayahnya. Dia lebih dulu bangun pagi daripada Jaki. Dan kini dia sudah berada di ruang makan bersama Pak Mandiri tiba. Arinah meminta kepada Pak Mandiri agar dibelikan Chest Guard yang baru. Chest Guard milik Arinah yang lama telah rusak dan tak layak pakai.

“Ya udah, nanti Ayah belikan,” kata Pak Mandiri memenuhi keinginan Arinah.

“Kalau bisa hari ini udah ada, Yah. Soalnya dipakenya kan besok,” pesan Arinah.

Beberapa menit kemudian Jaki datang dan bergabung dengan Pak Mandiri dan Arinah.

“Jaki, Ayah mau kamu hari ini ikut Ayah,” pinta Pak Mandiri.

“Mau ke mana?” tanya Jaki.

“Ayah masih kepikiran sama dua mahasiswi itu. Jadi, Ayah ingin kita ketemu sama orangtuanya untuk meminta maaf,” jelas Pak Mandiri.

“Yah, udahlah. Gak usah kita perpanjang masalah ini. Lupain aja semuanya,” kata Jaki.

“Justru karena Ayah gak mau memperpanjang masalah ini kita harus minta maaf sama orangtua dua mahasiswi itu,” kata Mandiri.

“Emangnya Ayah tahu di mana mereka tinggal?” tanya Jaki.

“Ayah tahu. Dia tinggal di Pondok Pesantren Al-Karimah. Itu yang dikatakan dosen yang menghubungi Ayah kemarin,” jawab Pak Mandiri.

“Iya, dua cewek itu emang tinggal di pondok pesantren,” ucap Arinah ikut bicara.

“Kamu tahu siapa dia, Arinah?” tanya Pak Mandiri.

“Tahu, Yah. Nama mereka Aizha dan Rina. Untuk Aizha, dia yang selama ini jadi penghambat aku buat menang dipertandingan panah,” jawab Arinah.

“Maksud kamu dia itu saingan kamu?” tanya Pak Mandiri kembali.

“Iya,” jawab Arinah dengan singkat.

“Arinah, dalam bertanding bersaing itu sudah wajar asalkan harus sportif.” Pak Mandiri memberi motivasi untuk Arinah.

Setelah selesai sarapan, Pak Mandiri, Jaki dan Arinah bersiap untuk pergi menuju tujuannya masing-masing. Sebenarnya Pak Mandiri mengajak Jaki untuk pergi bersama menggunakan mobil, tapi Jaki menolak dan ingin pergi menggunakan motor saja. Arinah pun ikut bersama Jaki saja dengan. Pak Mandiri pun mengizinkan mereka berdua untuk pergi menggunakan motor.

Pada pukul 06:30 WIB dalam perjalanan menuju kampus.

“Zein, dari tadi loe diem mulu, kenapa sih?” tanya Philip.

“Apa karena masalah yang tadi waktu shubuh, Zein?” Roy ikut bertanya.

“Kalau tentang shubuh tadi, menurut gue segitu juga loe udah berani,” ucap Philip.

“Iya, Zein. Jadi, loe gak usah minder kali,” kata Roy menyemangati Zein.

"Udah diem! gue cuma lagi nggak pengen banyak bicara aja hari ini,” jawab Zein dengan nada agak kesal.

“Iya, tapi kenapa loe nggak mood buat bicara?” tanya Roy.

“Udahlah, gue gak mau bahas!” Zein berbicara dengan nada tinggi.

Zein segera mempercepat langkah kakinya.

“Woy, Zein. Jalannya gak usah cepat-cepat kali,” ucap Philip seraya menyusul Zein.

Setibanya di jalan raya, Zein, Roy dan Philip pun menunggu angkot yang searah dengan tujuan mereka. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil angkot yang berjalan ke arah mereka. Angkot tersebut ternyata masih kosong. Lantas, mereka pun memasuki angkot tersebut untuk memulai perjalanan menuju kampus.

Sebelum menancapkan gas, sopir angkot menyuruh mereka untuk berpegangan pada besi panjang yang ada di dekat tubuh mereka. Roy dan Philip mengikuti apa yang dikatakan sopir angkot, sementara Zein masih penasaran dengan permintaan dari sopir angkot itu.

“Emang kenapa, Bang?” tanya Zein keheranan.

“Udah, cepet pegang aja,” jawab sopir.

Zein pun mengikuti apa diperintahkan supir angkot.

“Siap?” tanya sopir angkot.

“Siap buat...” ucap Zein terpotong.

Sopir angkot tiba-tiba menancapkan gas dengan cepat.

Angkot yang dinaiki oleh Zein, Roy dan Philip adalah angkot yang kemarin menyelamatkan Aizha dan Rina. Sopir angkot ini sepertinya memang suka sekali untuk ngebut. Hobinya yang suka ngebut memang tak layak untuk dicontoh banyak orang. Philip yang berada di dalam pun merasa tak suka dengan gaya mengemudinya.

“Wey, Bang. Bisa gak jangan ngebut, Bang.” Philip mulai merasa khawatir.

“Udah, tenang aja gak bakalan nabrak kok,” ucap supir angkot.

“Ya, tetep aja ini bahaya, Bang. Tahu gini mah mendingan gue ikut sama Abi Salman tadi,” ujar Zein.

"Lagian siapa suruh loe nolak, Zein?" tanya Roy.

Supir angkot itu tetap ngebut dan tak menghiraukan Zein dan Philip.

Sementara itu, Abi Salman mengemudikan mobil dengan santai karena lebih mementingkan keselamatan. Apalagi, di dalam ada Aizha dan Rina yang ikut bersamanya. Mobil yang dikemudikan Abi Salman tersalip oleh mobil angkot itu di tengah perjalanan. Aizha menyadari bahwa mobil angkot itu adalah mobil angkot yang kemarin mengantar dirinya dan Rina pulang.

“Rin, bukannya itu mobil angkot yang waktu kemarin?” tanya Aizha.

“Oh, iya. Bener, itu angkot yang kemarin,” jawab Rina.

“Kita belum sempat tahu siapa nama supir angkot itu, tapi kita harus berterima kasih sama dia karena udah mau anterin kita sampai gerbang pondok,” ungkap Aizha.

“Oh, jadi angkot itu yang kemarin anterin kalian. Kalau kalian ketemu lagi sama sopir angkot itu, tolong sampaikan ucapan terima kasih dari Abi untuk dia,” kata Abi Salman.

“Insya Allah, kita akan sampaikan,” kata Aizha.

“Oh, iya. Aiz, katanya waktu malam tadi kamu yang menyampaikan materi sama para santri putri. Apa itu benar?” tanya Abi Salman.

“Iya, Abi. Tapi, awalnya Aizha agak ragu-ragu,” jawab Aizha.

“Kenapa kamu ragu-ragu? padahal bagus kalau kamu mau berbagi ilmu sama orang lain. Itu bisa dianggap shadaqah. Bermanfaat bagi kamu juga bermanfaat bagi orang lain,” Abi Salman memberi motivasi untuk Aizha.

“Iya, Aiz. Waktu tadi malam juga pemahaman yang kamu berikan mudah untuk dicerna oleh yang lain,” kata Rina menyanjung Aizha.

“Alhamdulillah, tapi Aiz selalu khawatir akan melakukan kesalahan fatal yang berdampak pada semua orang. Itu sebabnya Aiz selalu agak ragu melakukan hal yang belum Aiz kuasai dengan baik,” ucap Aizha.

“Aiz, semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Yang perlu kita lakukan adalah belajar dari kesalahan yang kita lakukan untuk menjadi lebih baik. Abi berharap pada Allah agar Mengkhendaki kamu supaya bisa menjadi penyebar ilmu yang bermanfaat bagi orang lain,” do'a Abi Salman.

“Aamiin,” jawab Aizha.

"Dan kamu juga harus berusaha untuk menggapai hal tersebut. Ilmu adalah penerang laksana cahaya, Aizha. Itu sebabnya Abi kasih kamu nama Aizha Nur Ilmi," kata Abi Salman.

“Tapi, Abi. Aizha juga ingin jadi atlet olahraga panah. Kalau bisa, mungkin sampai jenjang internasional. Boleh, kan?” tanya Aizha.

“Kalau itu positif, insya Allah, Abi juga dukung kamu,” jawab Abi Salman.

“Alhamdulillah.” lagi-lagi Aizha mengucap puji syukur.

"Yang terpenting adalah kamu bisa lakukan yang terbaik, Aizha," kata Abi Salman.

"Iya, insya Allah," kata Aizha.

Zein, Roy dan Philip pun telah sampai di kampus. Zein bergegas keluar dari angkot dan membayar tarifnya pada supir. Setelah itu, Zein melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kelas. Di suatu tempat, terlihat para mahsiswa jurusan Pendidikan Jasmani tengah berkumpul. Salah satu dari mereka mengenali Zein. Dia menyuruh Zein untuk menendang bola yang dia lemparkan Zein.

"Kenapa loe nyuruh gue nendang?" tanya Zein.

"Soalnya gue mau jadi kiper. Gue juga butuh latihan. Coba loe tendang," pinta mahasiswa itu.

"Iya, ayo cepet tendang," pinta mahasiswa yang lain.

"Tendang, tendang, tendang." semua mahasiswa Pendidikan Jasmani yang ada di sana berseru demikian.

Dari arah yang berbeda, Roy dan Philip mendengar seperti ada keramaian.

"Ada apa, ya?" tanya Philip penasaran.

"Iya, ada apa, ya? coba kita lihat!" ajak Roy yang juga penasaran.

"Ayo, cepet tendang!"

"Iya, lama banget."

Para mahasiswa di sana terus saja meminta Zein untuk menendang bola.

"Baik, gue bakal tendang," kata Zein.

Zein pun mengambil ancang-ancang.

"Tangkap!" teriak Zein seraya mengayunkan kaki.

Sayangnya, tendangan Zein meleset. Orang-orang yang ada di sana tak ada yang tak tertawa. Bahkan, Roy pun juga ikut menertawakan Zein dari kejauhan. Sebenarnya, ini adalah akal-akalan mahasiswa Pendidikan Jasmani itu. Dia ingin membuat Zein ditertawakan oleh teman-temannya. Dia juga sebenarnya mengetahui bahwa Zein tak mahir menendang bola.

Zein sangat merasa telah dipermalukan. Tapi, Zein juga tampaknya tak mungkin bisa melawan mereka yang tubuhnya sangat atletis. Maka dari itu, dia segera pergi.

"Loe emang gak punya bakat, Zein. Loe hanya beban hidup, bahkan buat keluarga loe sendiri," teriak salah satu mahasiswa Pendidkan Jasmani.

Zein sangat kesal dengan kata-kata yang diucapkannya itu.

"Loe mau ikut-ikutan kayak mereka, Roy?" tanya Zein pada Roy saat berpapasan.

"Eeu..." Roy susah untuk berkata.

Zein tampak berjalan dengan ekspresi kesal.

Di kelas PA-1... 

Aizha dan Rina mendapat informasi dari orang-orang tentang musibah yang menimpa Dosen Hamid. Pengkarangan rumah Dosen Hamid rusak berat. Banyak benda yang hancur dan terluluhlantahkan. Mobil yang dimiliki Dosen Hamid dipenuhi coretan cat grafiti. Yang lebih parah, keberadaan Dosen Hamid belum diketahui ada di mana.

"Katanya ini ulah kelompok tak dikenal," kata seorang mahasiswa.

"Kelompok tak dikenal?" Aizha terheran.

"Iya, kelompok tak dikenal." seseorang yang lain menegaskan.

"Ini musibah berat bagi keluarga Dosen Hamid. Kita do'akan saja supaya kasus ini bisa diusut tuntas oleh pihak kepolisian," ucap Aizha.

"Aamiin," ucap Rina.

Berbeda dengan kelas PA-1, setibanya di kelas, Zein mendengar kabar terbaru dari teman-temannya tentang fenomena alam yang juga sedang banyak diperbincangkan di Indonesia. Sebuah komet melintas di langit malam Indonesia. Diperkirakan komet itu adalah komet Halley. 

“Woy, Zein. Kenapa diem aja?” seseorang bertanya kepadanya.

“Iya, Zein. Kita gak lagi ngomongin orang kok,” ucap yang lain.

“Iya, gue tahu tentang kabar itu. Apalagi, gue lihat pake mata kepala gue sendiri,” kata Zein kepada teman-temannya.

“Beneran?” teman Zein terkejut.

“Beneranlah, kejadiannya juga cuma sekilas pas jam 2 lebih waktu dini hari. Gue lihat pas waktu gue lagi ada di kamar mandi,” jawab Zein pada temannya.

“Kita tahu berita ini cuma lewat televisi, tapi loe lihat langsung.”

“Anak santri kan beda. Dari jam 3 pagi juga udah bangun, gak kayak kita shubuh juga kadang kesiangan.”

“Biasa aja sih, gue cuma lagi kebetulan bangun lebih awal,” kata Zein.

“Tapi, Zein. Apa yang loe tahu soal komet?” tanya salah satu teman Zein.

“Soal komet? Yang gue tahu tentang itu adalah kalau komet itu sebuah benda langit yang biasa bergerak menjauhi atau mendekati matahari. Kalau kita lihat dari bumi, komet akan terlihat bercahaya kayak bintang dengan ekor di belakangnya, itu sebabnya komet juga biasa disebut 'bintang berekor'.” Zein menjelaskan pada teman-temannya.

“Zein, kayaknya loe lebih cocok kuliah di universitas yang ada jurusan astronominya biar loe jadi pakar sains angkasa,” ujar salah satu yang ada di dalam kelas.

"Ya, udah rezeki gue harus kuliah di sini mau gimana lagi? gue harus bersyukur masih bisa kuliah," kata Zein di akhir percakapan itu.

Seorang dosen yang khendak mengajar di kelas Zein dan yang lainnya pun datang. Dosen itu memerintahkan semua yang ada di kelas untuk segera memasuki ruangan lab komputer. Mereka akan mengadakan perkuliahan. Sesampai di sana, Zein segera mencari tempat yang terdapat komputer yang bisa digunakan. Beberapa menit setelah dosen memulai kegiatan belajar mengajar, tiba-tiba listrik menjadi padam. Semua yang ada di dalam lab komputer pun sangat menyayangkan hal ini. 

“Yah, listriknya padam, padahal kita lagi seru,” kata salah satu mahasiswa yang ada di dalam lab.

“Oke, semuanya tunggu dulu, ya?saya mau cari tahu dulu apa penyebab listriknya padam,” kata dosen seraya pergi keluar.

Beberapa menit setelah dosen keluar, dia pun kembali memasuki lab.

“Gimana, Pak?” tanya Zein.

“Ternyata penyebabnya bukan konsleting, tapi memang sedang ada pemadaman listrik, bukan hanya di kampus kita saja ternyata di daerah lain juga. Dan gak tahu sampai kapan pemadaman listrik ini berlangsung.” Dosen menjelaskan pada para mahasiswa dan mahasiswi.

“Jadi, sekarang kita mau apa?” tanya Zein.

“Ya, terpaksa praktek ini kita lanjutin nanti saja, sekarang sebagai gantinya keluar buku catatan kalian dan mohon untuk dua orang bagikan buku paket yang ada di depan karena ada yang harus kalian catat sebagai pegangan,” jawab dosen.

“Apa, menulis?” Zein terkejut.

“Lho, kenapa kamu kaget, Zein?” tanya dosen.

“Nulisnya banyak gak, Pak?” Zein malah berbalik tanya.

“Ya, lumayan,” jawab  dosen.

"Hahaha, pasti si Zein panik. Dia kan kalau nulis suka lambat kayak siput," ucap seseorang sebagai hinaan.

Zein hanya terdiam berusaha bersabar.

Di kelas PA-1, Aizha justru menjalani perkuliahan pada hari ini tanpa kendala. Hal ini membuatnya lebih leluasa untuk memahami materi yang ada. Mata kuliah sedang dibahas adalah tentang ilmu akhlak. Apa saja yang disampaikan oleh dosen pengajar, dia simak dan cerna dengan baik. Apalagi, ilmu tentang agama Islam adalah aspek penting dalam kehidupannya selaku santri dan mahasiswi.

Waktu istirahat pun tiba, para mahasiswa yang berada di lab pun diperbolehkan keluar. Zein hanya duduk di bangku sambil terus menulis. Diantara mereka yang memusuhinya mengeluarkan olokan karena dia terlalu lambat. Hal ini membuat Zein lagi-lagi merasa geram, tapi ia berusaha untuk menahan rasa geramnya itu.

Di lorong kampus...

"Ada apa?" tanya Jaki.

"Jaki, kita harus apain dia sekarang?" kata Doni berbalik tanya.

"Kita biarin dia dulu di sana. Buat dia menderita. Ini akibatnya berani cari masalah sama Jaki Raharja," jawab Jaki.

"Tapi, gimana kalau kita ketahuan sama pihak kepolisian?" tanya Doni.

"Gak usah khawatir, gue udah tahu caranya supaya gak ketahuan pihak kepolisian," kata Jaki.

Matahari kian naik, langit terlihat semakin cerah dan suhu udara pun bertambah panas rasanya. Tak lama lagi akan terdengar suara adzan dzuhur. Orang-orang yang telah selesai melaksanakan kegiatannya pun meluangkan waktu datang ke mushola untuk melaksanakan shalat fardhu dzuhur berjama’ah.

Setelah melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah, Roy dan Philip melihat Zein dari kejauhan. Zein nampaknya datang ke mushola lebih lambat dari kedua temannya. Ketika Zein semakin dekat, Roy dan Philip pun menyapanya sebagaimana biasanya. Namun, dia hanya mengangkat tangan kanannya dengan ekspresi wajah yang datar untuk menjawab sapaan dari mereka.

“Zein, tadi istirahat loe ke mana?” tanya Roy.

“Iya, kita gak lihat loe waktu istirahat,” kata Philip sependapat dengan Roy.

“Waktu istirahat gue habisin buat nulis materi yang banyak banget,” jawab Zein.

“Berarti, loe nggak makan apa-apa waktu istirahat tadi?” tanya Roy kembali.

“Ya nggaklah, kan gue di lab aja,” jawab Zein.

“Kalau gitu, loe harus cepetan makan biar penyakit maag loe nggak kambuh lagi,” saran Roy.

“Kalau itu sih gue juga tahu. Udahlah, kalau loe terus ngajakin gue ngobrol, kapan gue shalatnya?” Zein membalikan badan dan segera pergi ke tempat air wudhu.

Sementara itu, Aizha sedang menunggu Rina untuk pulang bersama di kelas. Beberapa menit kemudian, Rina pun tiba dan menghampirinya. Pada saat Rina memasuki ruang kelas, ruang kelas sudah terlihat rapi kembali karena sebelumnya kelas tampak berantakan.

“Aiz, kamu yang rapiin semua bangku itu?” tanya Rina.

“Dibatuin juga sama Tazkia, tapi sekarang dia udah pulang,” jawab Aizha.

“Ya, alhamdulillah. Kelas kita udah rapi lagi,” kata Rina.

Rina tiba-tiba mendengar sesuatu.

“Aiz, tunggu. Aku denger sesuatu,” ucap Rina.

“Ya, aku juga, Rin.” Aizha juga mengalami hal yang sama.

“Suaranya kayak segerombolan laki-laki lagi berjalan ke sini. Jangan-jangan itu...”

“Jaki. Dia nekad datang ke sini.” Aizha memotong perkataan Rina.

Benar saja, Jaki dan kawan-kawannya datang ke kelas ini.

"Hei, Aizha. Apa kabar?" tanya Jaki setelah berada di dekat pintu kelas yang terbuka.

"Alhamdulillah, kabar saya baik hari ini," jawab Aizha.

"Aizha, padahal gak usah dijawab. Dia hanya penggangu," kata Rina.

"Tenang, hari ini aku gak akan ganggu kamu," kata Jaki.

"Oh, syukur kalau kamu udah kapok," kata Rina.

"Diam loe! dan kata siapa gue nyerah? Aizha, aku nggak akan nyerah. Jaki Raharja gak akan pernah menyerah. Lihat saja nanti, Aizha," kata Jaki seraya pergi bersama kawan-kawannya

Aizha hanya tak habis pikir dengan kelakuan Jaki.

"Jaki dan juga teman-temannya perlu di waspadai, Aizha. Sudah jelas mereka bisa berbahaya buat kamu," kata Rina.

Aizha terdiam sesaat.

“Rina, hari ini kamu latihan nggak?” tanya Aizha.

“Hari ini nggak, tapi besok latihan,” jawab Rina.

“Oh, ya udah. Ayo, kita pulang aja!” ajak Aizha.

“Gak mau ke perpustakaan dulu?” tanya Rina.

“Hari ini nggak dulu. Mungkin besok aja,” jawab Aizha.

"Ya udah, ayo kita pulang," kata Rina.

'Jaki, sebenarnya apa yang kamu rencanakan?' ucap Aizha.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status