"Kira-kira cara apa yang bakal loe lakuin, Jak?" tanya Doni.
"Yang pasti gue bakal bikin dia kayak perempuan lain yang jadi korban gue dulu!" tegas Jaki.
Tit... Tit... Tit...
Alarm berbunyi pada pukul 03:30 WIB.
Di luar asrama terlihat langit yang masih berwarna gelap, suhu udara pun terasa begitu sejuk serta terdengar pula suara ayam jantan terus berkokok. Karena tak kuat dengan hawa dingin, Ai meminta Aizha, Rina dan Nurul untuk menunggunya. Dia pun kembali ke kamarnya untuk mengambil baju hangat yang dia miliki. Dia kembali keluar asrama setelah memakai baju hangatnya miliknya. Mereka berempat pun kembali melangkahkan kaki mereka menuju mesjid.
Setelah melaksanakan semua agenda pagi selaku santri, seperti biasa Aizha dan Rina pun bersiap untuk berangkat ke kampus bersama. Saat berjalan mendekati gerbang, mereka diklaksoni oleh mobil hitam milik Pondok Pesantren Al-Karimah. Dari dalam mobil terlihat Abi Salman menengok keluar. Abi Salman memang sedang menunggu mereka.
"Aizha, Rina. Ayo, cepat masuk ke mobil," ucap Abi Salman
Aizha dan Rina segera mendekat.
"Abi mau antar kita?" tanya Aizha.
"Iya, ayo cepat masuk," jawab Abi Salman.
"Ai gimana?" tanya Aizha.
"Dia bilang mau jalan kaki aja," jawab Abi Salman.
Mereka berdua pun memasuki mobil itu.
Dari arah asrama putra, Zein, Roy dan Philip pun tampak berjalan bersama. Abi Salman juga meminta mereka bertiga untuk masuk ke mobil. Karena hal ini, Aizha dan Rina yang awalnya duduk di belakang pun berpindah tempat ke depan.
"Ayo, sekalian kita berangkat," kata Abi Salman.
"Terima kasih, Abi Salman," ucap Zein mewakili dua temannya.
Perjalanan menuju kampus dimulai.
Dalam perjalanan menuju ke kampus terjadi percakapan antara mereka.
“Buat kalian para santri putra, apa benar kalian kemarin berkelahi sama dua orang mahasiswa?” tanya Abi Salman.
“Iya, tapi Abi kok bisa tahu?” Zein pun penasaran.
“Ada dosen yang kasih tahu, tapi dosen itu bilang kalau dia sendiri gak tahu pasti awal kejadiannya. Memang awalnya kenapa bisa gitu?” tanya Abi Salman.
“Kita lihat kalau Aizha sama Rina diganggu sama dua mahasiswa pas kita mau pulang,” jawab Philip.
“Iya, itu benar.” Roy mendukung perkataan Philip.
“Oh, jadi maksud kalian, kalian itu cuma mau membantu Aizha dan Rina. Tapi, lain kali kalau bisa, kalian harus hindari perkelahian, apalagi kalian sekarang itu santri. Gak pas rasanya kalau santri hobi berantem,” kata Abi Salman.
“Hari ini, kita juga mau datang ke ruangan konseling buat selesaikan masalah ini, Bi,” kata Aizha
“Siapa nama mahasiswa yang berkelahi sama kalian bertiga?” tanya Abi Salman pada Zein, Roy dan Philip.
“Jaki dan yang satunya lagi saya gak tahu,” jawab Zein.
Sementara itu, bagi para santri yang tidak merangkap menjadi mahasiswa ataupun pelajar, mereka melaksanakan apel pagi selaku kegiatan rutin setelah sarapan pagi. Kegiatan ini dimulai pada pukul 07:00 WIB dan biasanya hanya berlangsung selama kurang lebih selama 15 menit. Dan yang biasa menjadi pembina adalah para ustadz serta ustadzah yang ada.
Pada upacara apel pagi kali ini, seorang ustadz yang menjadi pembina menyampaikan amanat bahwa bulan Oktober nanti Pondok Pesantren Al-Karimah akan mengadakan kegiatan tafakur alam. Para santri yang mendengarkan hal ini merasa senang. Mereka dapat menyegarkan pikiran mereka dengan menikmati indahnya pemandangan alam melalui kegiatan itu. Selain itu, dengan bertafakur mereka juga akan mendapat hikmah untuk menjalankan hidup dengan baik.
Setelah kegiatan apel selesai, para santri pun memasuki ruang kelas. Mereka melaksanakan pembelajaran sesuai program pendidikan yang mereka ikuti masing-masing. Suasana di ruang kelas para santri awwaliyah begitu ramai. Mereka berlarian, mengobrol, dan melempar-lemparkan pesawat kertas. Namun, di tengah keramaian itu ada seorang santri yang sedang sibuk menghafal Al-Qur’an dengan sangat serius.
Sandika, itulah namanya. Dia seorang santri awwaliyah putra yang memang bercita-cita menjadi seorang hafidz. Suasana kembali kondusif setelah datang seorang ustadzah yang khendak mengajar. Ustadzah meminta seseorang untuk memimpin do’a agar bisa memulai kegiatan belajar mengajar. Dengan senang hati Sandika berinisiatif untuk memimpin do’a. Lalu, dimulailah kegiatan belajar mengajar itu.
Sementara itu, di konseling kampus.
“Assalamu’alaikum,” ucap salam Zein saat memasuki ruangan.
“Wa'alaikum salam,” jawab semua yang ada di dalam.
“Kok sendirian, Zein? mereka mana?” tanya Pak Dosen Hamid.
“Gak ada, Pak. Kayaknya Jaki dan juga temannya yang waktu kemarin pada nggak masuk hari ini,” jawab Zein.
"Ya sudah, silakan kamu duduk. Saya hanya ingin tahu seperti apa akar masalah yang kemarin bisa terjadi sampai-sampai kalian bertiga berkelahi sama mereka berdua," kata Dosen Hamid pada Zein, Roy dan Philip
"Kami bertiga juga tidak tahu awalnya bagaimana, tapi yang kami lihat Aizha dan Rina sedang diganggu sama mereka berdua," kata Zein.
Setelah Zein berbicara, Rina pun menjelaskan awal mula kejadian masalah yang kemarin terjadi. Dosen Hamid pun mulai paham tentang masalah ini. Setelah beberapa menit mereka berdiskusi di ruang konseling, mereka pun diperbolehkan untuk kembali ke kelasnya masin-masing. Aizha, Rina, Zein, Roy dan Philip pun pergi ke kelasnya masing-masing.
Saat dalam perjalanan menuju kelas, Rina memberitahu Aizha bahwa sore nanti dia akan mulai berlatih. Rina terlihat begitu bersemangat untuk menjadi petugas pengibar bendera merah putih. Baginya menjadi pengibar bendera merah putih adalah salah satu bentuk rasa cintanya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rina juga berharap suatu saat dia dapat menjadi petugas pengibar bendera merah putih di Istana Kemerdekaan.
“Nanti, kira-kira kamu pulang jam berapa?” tanya Aizha.
“Mungkin sebelum maghrib juga udah selesai,” jawab Rina.
“Terus nanti pulangnya gak apa-apa sendiri aja?” tanya Aizha.
“Ya, mau gimana lagi? mungkin nanti kamu pulang duluan,” Jawab Rina.
“Gimana kalau aku minta abi buat jemput kamu?” anjur Aizha.
“Eh, gak usah. Nanti malah ngerepotin lagi,” jawab Rina.
“Insya Allah, abi nggak akan merasa direpotin, Rin,” kata Aizha meyakinkan Rina.
“Tapi, tetep aja aku ngerasa nggak enak hati sama Abi Salman kalau terus diantar jemput,” ucap Rina.
“Tapi, aku nggak mau kalau kamu pulang sendirian aja, Rin,” kata Aizha.
“Gini aja, gimana kalau kamu jangan pulang dulu? Mendingan lihatin aku latihan,” anjur Rina.
“kalau itu, gimana nanti aja,” jawab Aizha.
Beberapa jam kemudian...
Pada pukul 09:45 WIB, terdengar bunyi bell istirshat bagi para mahasiswa dan mahasiswi. Aizha mengajak Rina dan Tazkia untuk pergi ke kantin bersama. Dia sangat ingin bertemu dengan anak kecil yang menjual roti isi waktu kemarin. Selain karena roti yang dia jual rasanya begitu enak, dia juga ingin mengetahui mengenai neneknya. Namun, Aizha tak menjumpai anak itu ketika dia tiba di kantin. Dia terus melirik kanan kiri untuk mencari anak itu, tapi dia tak juga menjumpainya.
“Kamu cari siapa, Aizha?” tanya Tazkia.
“Anak yang jualan roti waktu kemarin mana, ya? kok sekarang dia nggak ada,” Aizha malah berbalik tanya.
“Iya, padahal rotinya enak banget,” kata Rina memuji roti yang anak itu jual.
“Mungkin neneknya sudah sembuh jadi, dia sudah mulai sekolah lagi,” kata Aizha berpikir positif.
“Ya udah, mendingan kita pesan mie ayam aja, yuk?” ajak Tazkia.
Aizha dan Rina menyetujui usualan Tazkia, mereka mencari tempat kosong untuk duduk.
Sementara itu, Jaki yang tak masuk ke kampus ternyata malah berkumpul dengan teman-temannya di basecamp mereka. Disana mereka sedang asyik bermain kartu bridge bersama. Dari kemarin Jaki dan teman-temannya memang sudah sepakat untuk tidak masuk ke kampus. Jaki dan salah satu temannya membicarakan soal kesepakatan mengenai rencana jahat mereka.
“Jak, mendingan loe nyerah aja deh. Gue gak mau loe dapet masalah lagi,” kata Doni.
“Jadi, maksud loe gue harus nyerahin motor gue cuma-cuma ke loe?” tanya Jaki.
“Ya, mau gimana lagi kesepakatan kita tetep berlanjut dan gak bisa dibatalin,” kata Doni.
“Gue gak akan nyerah gitu aja, pasti suatu saat gue bisa berhasil.” Jaki penuh percaya diri.
“Ya, terserah loe deh, Jak. Gue cuma ngingetin doang. Kalau loe gagal dalam waktu yang gue kasih sama loe, motor loe harus jadi milik gue.” Doni berusaha mengecoh Jaki.
“Loe lihat aja, nanti gue gak bakal gagal,” ucap Jaki dengan penuh keyakinan.
Pihak kampus menelpon orangtua Jaki.
"Selamat pagi, Pak. Maaf bila mengganggu. Apa ini dengan Pak Mandiri ayahnya Jaki?”
“Pagi, iya saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
“kami dari pihak kampus, Pak. Apa Bapak bisa datang ke kampus untuk memenuhi panggilan dari kami?”
“Tunggu sebentar, memangnya ada apa?”
“Jaki, anak bapak telah berbuat masalah di kampus.”
“Berbuat masalah? Masalah apa?”
“Nanti saya jelaskan jika Bapak sudah ada di kampus.”
“Baik, saya akan segera ke sana.”
Pak Mandiri menutup teleponnya dengan pihak kampus dan segera menghubungi sekretarisnya di kantor. Nampaknya, banyak sekali pekerjaan yang dia tinggalkan. Kemudian Pak Mandiri berjalan keluar dari kantor dan mencari mobilnya di tempat parkir. Setelah itu, dia mengemudikan mobilnya menuju kampus tempat Jaki kuliah. Butuh 15 menit untuk tiba di kampus.
Waktu istirahat bagi para mahasiswa dan mahasiswi sudah hampir habis. Pada saat ini, Zein, Roy dan Philip pergi keluar kampus untuk membeli batagor langganan mereka. Tapi, saat tiba di tempat mangkalnya, ternyata dia tidak ada. Entah dia tidak berjualan atau sudah berkeliling, tapi yang pasti melihat batagor tak ada mereka pun memutuskan untuk kembali ke area kampus.
Sebelum tiba di area kampus Zein, Roy dan Philip melihat mobil berwarna hitam bergerak maju menuju gerbang kampus. Dari dalam mobil terlihat seseorang yang menggunakan jas hitam. Dia meminta tolong pada Zein, Roy dan Philip untuk membukakan pintu gerbang yang tampak masih tertutup agar mobilnya dapat masuk ke dalam area kampus. Atas dasar rasa gotong-royong, mereka bertiga pun membantunya.
“Terima kasih, ya,” ucap orang itu.
“Sama-sama, Pak,” balas Zein.
“Oh iya satu lagi, letak ruangan dosen dimana, ya?” tanya orang itu.
“Masuk saja dulu, Pak. Belok kiri ada parkiran, terus nanti ambil kanan dan lurus aja. Di sana nanti ada ruangan di atasnya ada tulisan “Ruang Dosen”,” jawab Zein.
“Oh, iya. Terima kasih lagi, ya,” kata orang itu.
Mobilnya pun masuk ke dalam area kampus.
Dari dalam area kampus terdengar suara bell pertanda waktu istirahat bagi para mahasiswa dan mahasiswi telah habis. Para mahasiswa dan mahasiswi pun pergi memasuki ruangan kelasnya masing-masing. Aizha, Rina dan Tazkia berjalan menuju ruang kelas bersama, tapi sebelum mereka tiba di kelas, mereka bertemu dengan Arinah yang dari kemarin terus saja mengganggu mereka. Arinah kembali melontarkan kata-kata hinaan.
“Wah, ketemu lagi sama kumpulan orang udik,” kata Arinah.
Aizha hanya terdiam untuk bersabar.
“Arinah sayang, itu mulut gak difilter, ya?” Tazkia membalas hinaan dari Arinah.
“Apa maksud loe?” tanya Arinah dengan nada tinggi.
“Maksudnya, aneh aja gitu. Kok bisa ada orang yang panggil orang lain udik, tapi dirinya sendiri gayanya kayak orang kota, tapi kelakuannya kayak orang gak punya etika,” jawab Tazkia.
“Sembarangan, loe nantangin gue, Tazkia?” Arinah meningkat emosi.
“Lagian siapa yang takut sama anda,” ucap Tazkia yang sama-sama meningkat emosi.
Aizha menahan Tazkia agar tidak terjadi pertengkaran.
“Taz, udahlah kamu gak usah ikut-ikutan marah,” ucap Aizha menahan amarah Tazkia.
“Lagian dari kemarin dia ngegangguin kita mulu,” kata Tazkia.
“Akhirnya loe bicara juga Aizha. Gimana, loe beneran mau ikutan kategori recurve advance? Gue Cuma mastiin,” tanya Arinah.
“Insya Allah, aku juga udah ajak teman-teman yang lain untuk ikut di kategori recurve advance,” kata Aizha.
“Kalau gitu, loe harus siap-siap aja buat kalah. Dan juga loe harus ingat, Aizha. Pas masa orientasi kita loe pernah coba hal yang sama sekali loe gak paham yang pada akhirnya loe malah ngerugiin satu kelompok. Jangan heran kalau hal sama terjadi dua kali pas loe nyoba ikut kategori recurve advance di Fun Archery nanti,” kata Arinah merendahkan Aizha.
Kata-kata Arinah sedikit berpengaruh untuk mengurangi rasa optimis Aizha.
“Hei, hei. Aizha gak mungkin kalah sama orang kayak dirimu, Arinah,” ucap Tazkia.
Di tengah-tengah percakapan itu, datang seorang dosen yang akan mengajar di kelas pendidikan Agama-1, kelas tempat Aizha, Rina dan juga Tazkia belajar. Dosen itu membubarkan percakapan mereka agar tidak terjadi pertengkaran. Karena Aizha, Rina dan Tazkia memiliki tujuan yang sama dosen, mereka pun pergi ke kelas bersama.
Pembelajaran di kelas Pendidikan Agama-1 dimulai kembali dengan mata kuliah tentang sejarah islam. Dengan ilmu ini, Aizha dan kawan sekelasnya dapat mengenali tokoh-tokoh yang berperan penting dalam kemajuan Islam. Aizha memperhatikan apa saja yang di sampaikan oleh dosen pengajar mata kuliah ini.
Saat dalam perjalanan menuju mushola, Aizha tiba-tiba merasa pusing dan perutnya terasa kram. Tubuhnya terlihat oleng dan hampir terjatuh, tapi dari belakang Rina menahanya. Rina merasa khawatir dengan kondisi Aizha yang terlihat seperti itu. Dia membawa Aizha menuju suatu tempat untuk terlebih dahulu sebelum dia pergi ke mushola. Nampaknya, Rina memang sahabat yang pengertian.
Sementara itu, mushola yang berada di area kampus perlahan mulai dipenuhi oleh para mahasiswa, mahasiswi dan juga para dosen yang hendak melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah. Zein adalah salah satu yang ada di antara mereka. Setelah para jama'ah berkumpul, suara iqamah pun dikumandangkan maka, dimulailah shalat dzuhur berjama’ah. Rina baru tiba di mushola setelah semua yang ada di dalam sudah melaksanakan hingga dua raka'at. Oleh karena itu, Rina segera mengambil air wudhu dan menyusul mereka melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah.
Selepas shalat dan berdzikir, Zein melihat Aizha sedang duduk di teras mesjid sambil membaca buku saat khendak pergi keluar. Aizha terlihat begitu fokus untuk membaca buku tersebut. Halaman demi halaman dia baca dengan teliti.
Dari jarak yang agak jauh Zein menyapa Aizha dan bertanya mengapa dia hanya duduk dan tidak segera melaksanakan shalat dzuhur. Aizha hanya menjawab dengan kode pada Zein bahwa dia tengah berhalangan untuk melaksanakan shalat. Setelah mendapat jawaban dari Aizha, Zein pun hanya bergumam,”Yah, biasa perempuan.“
Dari dalam, Rina tengah membereskan kembali mukena yang dia pakai saat melaksanakan shalat. Rina mendengar percakapan Zein dengan Aizha. Dia pun segera pergi keluar untuk menjumpai Aizha. Saat keluar, Dia melihat Aizha sedang duduk di teras. Rina menghampiri Aizha dan bertanya mengenai keadaannya. Aizha mengatakan bahwa keadaannya mulai membaik itu sebabnya dia menyusul Rina ke mushola.
“Alhamdulillah, kalau kamu udah baikan. Aiz, mendingan kamu jangan dulu pulang,” kata Rina bersyukur.
“Kenapa?” tanya Aizha.
“Kalau kamu pulang sendirian, aku khawatir kalau kamu kenapa-kenapa di jalan,” jawab Rina
“Insya Allah, aku nggak akan baik-baik aja, Rin,” kata Aizha.
“Iya, tapi udahlah, mendingan di sini aja dulu. Lihat aku latihan sama yang lain. Dengerin, aku juga butuh dukungan dari kamu,” pinta Rina.
“Oh, ya udah kalau gitu,” kata Aizha.
“Jadi, kamu mau di sini dulu buat lihatin aku latihan?” tanya Rina.
“Iya,” jawab Aizha dengan senyuman.
“Nah, itu baru bagus,” kata Rina.
“Tapi, sambil nunggu yang lain mendingan kita ke perpustakaan dulu, gimana?” usul Aizha.
“Oh, ayo. Aku juga mau baca buku yang kayak kamu pegang itu. Di perpustakaan pasti masih banyak,” ujar Rina.
Mereka pun lekas pergi ke perpustakaan.
Sementara itu, Zein, Roy dan Philip yang sudah tidak ada kegiatan di kampus pun pulang ke Pondok Pesantren Al-Karimah. Ada seseorang yang memberitahu pada mereka bahwa jatah makan siang mereka sudah ada di kamar asrama mereka. Mendengar hal ini, Zein pun mempercepat langkah kakinya untuk segera sampai ke asrama.
Zein melihat ada tiga bungkusan di meja dekat kasur saat tiba di kamar. Saat dibuka, ternyata isinya adalah nasi masakan khas Padang. Setelah merasa penat dengan kegiatannya di kampus, Zein merasa senang dengan menu makanan yang diberikan kali ini. Apalagi, Zein memang sangat menyukai daging rendang sapi. Dia pun memulai makan mendahului Roy dan Philip.
“Wah, pelanggaran,” ucap Roy saat memasuki kamar.
“Iya, Zein. Tunggu ngapa biar kita makan barengan,” ucap Philip.
Zein hanya fokus untuk memakan makanannya.
“Maaf, habisnya udah lapar, Sob. Cepet ambil punya loe berdua,” jawab Zein setelah menelan makanannya.
Setelah menghabiskan makanannya masing-masing, mereka masih memiliki waktu luang.
“Masih ada waktu luang beberapa menit,” kata Philip yang kemudian mengambil barang-barang miliknya.
“Mau ngapain?” tanya Zein.
“Art is my life. Gue mau bikin lukisan pemandangan langit di kanvas ini,” jawab Philip.
“Kalau begitu, mendingan loe di luar biar dapat inspirasi dari pemandangan langit beneran,” anjur Zein.
“Oh iya, bener juga sih. Kalau begitu, bantu bawain barang-barang ini,” pinta Philip.
“All right, my friend,” ucap Zein.
“Roy, loe mau ikut keluar gak?” tanya Philip.
“Nggaklah, gue mau rebahan di sini,” jawab Roy.
“Oh, ya udah kalau gitu. Ayo, Zein,” kata Philip.
Philip dan Zein pun pergi keluar asrama.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Zein. Pemandangan langit terlihat cerah dan indah untuk dijadikan inspirasi lukisan. Dengan teknik melukis yang cukup handal Philip pun mulai melukis indahya langit biru di kanvas miliknya.
Dia menggunakan warna biru cyan untuk melukiskan langit. Setelah itu, Philip melukis guratan-guratan untuk membentuk awan dengan cat lukis warna putih. Beberapa waktu kemudian, lukisan hasil karyanya pun selesai. Terlihat sangat realistis seolah itu bukan lukisan melainkan hasil cetak fotografi.
Pada pukul 14:30 para mahasiswa dan mahasiswi yang hendak berlatih untuk menjadi petugas pengibar bendera pun mulai berdatangan. Tazkia mengirim pesan melalui HandPhone pada Rina untuk segera berkumpul di dekat lapangan. Rina pun mengajak Aizha segera pergi ke tempat yang dimaksud oleh Tazkia. Saat Rina tiba, ternyata sudah agak banyak orang-orang yang berkumpul. Inilah persiapan mereka untuk melaksanakan latihan.
Datang seorang lelaki tua dan membunyikan peluit. Dia meminta untuk meminta semua mahasiswa dan mahasiswi yang akan latihan untuk berkumpul di tengah lapangan. Nampaknya dia adalah seorang pelatih para mahasiswa dan mahasiswi yang terpilih menjadi petugas pengibar bendera.
Sebelum memulai latihan, mereka mendapatkan arahan dari pelatih agar bisa melaksanakan tugas mereka dengan baik. Setelah itu, mereka pun berdiri dan berbaris untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu. Dimulai dari peregangan kepala, tangan hingga kaki terus mereka lakukan dengan baik dan teratur. Kemudian, pelatih menyuruh mereka untuk berlari mengelilingi lapangan dengan porsi 6 putaran untuk putra dan 3 putaran untuk putri.
Aizha yang melihat dari kejauhan Rina begitu bersemangat hanya tersenyum. Sekali-kali dia menyoraki Rina dengan sorakan dukungan. Dirinya merasa termotivasi oleh sikap Rina walaupun Rina memiliki bakat yang berbeda dengannya. Dia ingin segera melatih kemampuan memanah yang dia miliki. Apalagi, dia ingin mencoba kategori recurve advance dengan jarak 80 meter di perlombaan Fun Archery nanti. Menghilangkan rasa ragu adalah tantangan hidup bagi Aizha.
Pukul 16:56 latihan yang Rina ikuti selesai.
“Maaf kalau agak lama, ya,” ucap Rina saat mehampiri Aizha.
“Ya, nggak apa-apa kok,” jawab Aizha.
“Oh, iya. Kamu udah bilang belum sama Abi Salman kalau kita pulang sore?” tanya Rina.
“Kan tadi udah waktu di perpustakaan. Aku juga udah bilang kalau mau pulang naik angkot bareng kamu aja,” jawab Aizha.
“Oh, iya aku lupa. Ya udah, ayo kita pulang,” ajak Rina.
Keduanya bergegas pulang.
"Aizha, itu angkot!" ucap Rina.
"Oh, iya. Angkot!!!" teriak Aizha.
Angkot itu pun berhenti, Aizha dan Rina menghampiri angkot itu.
Tanpa mereka sadari ada pria misterius tengah memperhatikan mereka dari belakang.
Siapa dia ???
Bersambung...
“Rin, kayaknya itu Jaki,” ucap Aizha sambil menunjuk ke seseorang. Tampaknya Aizha mulai menyadari ada yang membuntuti mereka. “Apa? Jaki? di mana?” tanya Rina. “Itu yang lagi naik motor,” jawab Aizha. “Apa kamu yakin kalau itu Jaki? mungkin aja itu orang lain yang motornya sama kayak motor Jaki,” ujar Rina. “Nggak, Rin. Aku yakin itu Jaki,” kata Aizha mulai cemas. “Ada apa, Neng?” tanya sopir angkot. “Itu orang yang waktu kemarin ganggu kita. Sekarang dia juga mungkin mau ganggu kita lagi,” jawab Aizha. “Ya udah, tenang, Neng. Abang bakal cari cara agar bisa ngehindar dari dia,” kata sopir angkot. Jaki juga tampaknya mengetahui kehadirannya mulai disadari Aizha. Hal ini dibuktikan dengan mobil angkot itu mempercepat lajunya. Jaki tak ingin dirinya tertinggal oleh mobil angkot itu. Dia pun mengemudikan motornya untuk bisa mendekati pintu depan. “Woy, berhenti, loe!” kata Jaki pada sopir angkot sambil men
Zein merasa telah dipermalukan oleh orang-orang itu. Mereka semua menertawakannya karena tendangan yang meleset itu. Sudah dua kali Zein ditertawakan akibat kemampuannya yang tidak bagus. Pertama kalinya adalah waktu shubuh pagi tadi. Pukul 04:35 WIB. Adzan shubuh kali ini dikumandangkan oleh Zein. Suaranya yang terdengar pas-pasan membuat orang yang mendengarkan ingin tertawa. Namun, melihat keberanian Zein orang-orang berusaha untuk menahan tawa mereka. Lagipula, suara adzan bukan suara yang tidak patut ditertawakan siapa pun muadzinnya. Setelah Zein selesai mengumandangkan adzan, dia hanya duduk dan tertunduk karena malu. Dia mendengar ada beberapa santri awwaliyah putra yang duduk di dekatnya menertawakan dirinya. Tiga menit menjelang iqamah semua santri melantukan syair shalawat bersama. Zein hanya terdiam karena dia tak mau hal ini sama ketika mengumandangkan adzan tadi. Pagi pukul 05:30 WIB, Jaki masih tertidur pulas di kam
Jaki dan juga yang lainnya singgah ke kantin. "Kemarin emang loe habis ngapain, Jak?" tanya Doni. "Jalan-jalan pake motor, tapi motor gue malah mogok. Target gue juga gagal gue dapetin," kata Jaki. "Jadi itu cara loe? gue bilang yang rapi jangan acak-acakan," ujar Doni. "Terus mau gimana lagi?" tanya Jaki. "Apanya yang acak-acakan?" tanya bu kantin. "Ini, mesin motornya Jaki," kata Doni. "Gimana kalau kita lakukan hal yang sama kayak tadi malam. Kita jalan-jalan pake motor bareng-bareng ke tempat yang ingin Jaki tuju." usul sesorang. "Lakukan hal yang sama? oh, iya. Gue paham," kata Jaki. "Tapi, ini game loe, Jak. Loe harus lakuin sendiri. Kalau loe minta bantuan ke yang lain, loe harus bagi dua hadiahnya," kata Doni dengan pelan. "Mungkin gue bisa sendiri. Loe lihat aja nanti. Kalian gak usah terlibat," kata Jaki. Sementara itu, ketika sedang dalam perjalanan pulang, Roy terus menatap k
Saat Zein dan Roy kembali asrama, mereka melihat Philip sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Rupanya, Philip tengah mengerjakan tugas dari dosennya di kampus. Baik Roy maupun Zein tak begitu mengerti lebih dalam mengenai ilmu arsitektur. Mereka hanya bisa melihat dan sesekali bila Philip membutuhkan bantuan kecil, mereka pun membantunya. “Kalau bantuan kecil kayak gini kita masih bisa bantu,” ucap Zein. “Iya, gak apa-apa. Wajar kalau kalian gak terlalu paham ilmu tentang arsitektur karena manusia punya bakat yang beda-beda,” kata Philip. Zein dan Roy terangguk membenarkan perkataan Philip. “Oh, iya. Masalah kalian berdua udah selesai belum?” tanya Philip. “Anggap aja udah selesai semua,” jawab Zein. “Ya, karena yang tadi cuma salah paham doang.” Roy membenarkan jawaban Zein. “Ya, syukur deh kalau gitu,” kata Philip. Sementara itu, Jaki dan kawan-kawannya sedang berada dibasecamptempat biasa mereka 
"Hei, siapa itu?" satpam penjaga menyadari ada seseorang yang mencurigakan. Satpam penjaga pun menghampiri orang itu. "Mau apa sebenarnya loe, Hah?" tanya satpam penjaga. "Penting buat gue jawab," jawab Jaki. "Kurang ajar!" ucap satpam penjaga. Akhirnya terjadi perkelahian antara mereka berdua. "Ternyata loe punya nyali juga," ujar Jaki. "Gak usah banyak omong," ujar satpam penjaga. Meskipun Jaki terus berusaha melawan, pada akhirnya Jaki berhasil dilumpuhkan. "Kena loe sekarang," kata satpam. karena takut akan tertangkap, Jaki menendang wajah satpam saat khendak membawanya. "Kurang ajar!" teriak satpam. Jaki pun pergi dengan berlari terbirit-birit. Siang hari saat tiba waktu dzuhur, para santri pun pergi ke mesjid sebagaimana biasanya. Di waktu istirahat sehabis shalat dzuhur Zein, Roy dan Philip didatangi olehUstadz Abidin. Dialah ustadz yang diberi tanggung jawab untuk me
Pukul 13:40 WIB, Jaki dan Doni datang ke tempat biasa. "Mana dia? kok gak ada?" kata Doni panik. "Sialan dia kabur, tapi kita harus tetap tenang. Lagipula, penyamaran kita pasti aman," Kata Jaki. "Iya juga. Udahlah, biarin dia kabur. Kita udah puas nyiksa dia," kata Doni. "Ya," ucap Jaki singkat. Di tempat lain, Dosen Hamid ditemukan oleh seseorang dalam keadaan tak sadarkan diri. "Ya ampun, ini harus segera dibawa ke rumah sakit," ujar orang yang menemukan Dosen Hamid. Esok pagi di hari Ahad, Zein, Roy dan Philip berencana untuk pergi berjoging bersama. Dengan cara yang sangat meyakinkan mereka berhasil mendapat izin untuk pergi berjoging keluar area Pondok Pesantren Al-Karimah. Tetapi, Ustadz Abidin memberikan batasan waktu pada mereka bertiga. Pada jam 7 tepat mereka sudah harus berada di area Pondok Pesantren Al-Karimah lagi. Dengan mengucap "Bismillah" Zein, Roy dan Philip pun memulai kegiatan joging pa
"Udah-udah, gak usah takut. Tenang aja. Bepikir positif," kata Yordansyah yang terilhat berani. "Ha..." suara misterius itu terdengar lagi. "Tuh, kedenger lagi. Udah tiga kali," kata Roy yang semakin tegang. "Wayah...!!!" terlihat wayah yang disinari cahaya senter. "Aaa...!!!" Roy beteriak. Sementara itu, Zein dan Yordansyah hanya memegangi dada karena sama terkejut. "Pak satpam, apa-apaan sih?" Zein menghelakan nafas. "Ya, kalian ngapain keluar di tengah gelap kayak gini?" tanya satpam penjaga gerbang. "Kita disuruh ngecek area di luar pondok. Ternyata benar, yang lain sama juga gelapnya," kata Yordansyah sambil melirik-lirik. "Nah, pak satpam juga apa-apaan tadi ngagetin kita?" tanya Roy. "Saya tadinya mau pergi ke mesjid buat bagiin lilin, tapi saat tahu kalian bertiga berjalan di tengah gelap kayak gini, saya mau agak usil sedikit," jelas satpam penjaga sambil tertawa. "Alah," uca
Waktu terus bergulir, tibalah bulan Agustus yang sudah dinanti-nanti oleh Aizha dan Rina. Bulan ini, Aizha dan juga Rina mempunyai hal yang sangat penting bagi mereka masing-masing. Tanggal 17 Rina akan tampil sebagai pengibar bendera, sedangkan pada tanggal 23 Aizha akan mengikuti perlombaan panahan Fun Archery. Baik Aizha maupun Rina sangat bersemangat untuk bisa mencapai tujuannya masing-masing. Pada hari Kamis tanggal 2 Agustus 2001 di pukul 16:00 WIB, Aizha kembali melatih kemampuan memanahnya bersama para santri lainnya. Ini merupakan persiapan untuk berpartisipasi di Fun Archerypada tanggal 23 nanti. Tampaknya, kini Aizha sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya, baik dari segi kemampuan maupun keoptimisan.Hanya perlu sedikit latihan lagi untuk lagi untuk bisa memantapkan kemampuannya untuk bisa tampil maksimal di kategori recurve bow level advancenanti. Pagi tanggal 17, Rina tengah mempersiapkan peralatan yang dia butuhkan pagi-pag
Empat hari setelah pertandingan...Tampaknya Stuart masih kesal dengan kekalahannya tempo hari. Stuart berhasil dikalahkan oleh Wilson dalam pertandingan. Terlebih lagi, Stuart selalu mendapat hujatan dari beberapa pihak akibat kekalahan yang dia terima. Beberapa penggemar berat Stuart pun kini justru menjadi pembencinya.***Di kediaman keluarga Strongheart... "Assalamu'alaikum," ucap Wilson saat memasuki ruangan rumah."Wa'alaikumussalam," jawab Mrs. Hana dan Mr. Joe"Nah, akhirnya kau datang. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu di garasi, Wilson," kata Mr. Joe"Ada apa?" Wilson penasaran"Sudah, ayo ikuti saja ayahmu ke garasi rumah," kata Mrs. Hana sambil tersenyum."Baiklah," kata WilsonWilson dan Mr. Joe pun pergi ke garasi."Coba kau buka tikar itu," kata Mr. Joe"Baiklah." Wilson membuka tikar yang dimaksudTernyata yang ditutupi tikar itu adalah MTB berjeni
Stuart terus melaju untuk menyalip Wilson lagi. 'Pembalap rendahan sepertimu takkan bisa lebih unggul dariku, Strongheart,' ucap Stuart. "Ya, sebentar lagi para peserta harus melewati lintasan yang bernama Rock & Death path," kata komentator. Ada beberapa orang yang tampaknya tak sanggup untuk melewati lintasan ini. Mereka terjatuh dari sepeda yang mereka kendarai yang menyebabkan kecelakaan beruntun.Karena kecelakaan ini, delapan orang peserta keluar dari arena balap. Tapi, sebagian para peserta lainnya yang masih bertahan. "Ya, tersisa 12 orang mampu bertahan masih berusaha untuk bisa melewati lintasan Rock & Death. Apakah 12 riders ini mampu bertahan hingga akhir? mari, kita lihat," kata komentator. Wilson terlihat masih bersusah payah untuk bisa melewati lintasan Rock & Death. 'Ini memang tak mudah, tapi aku harus bisa bertahan hingga bisa mencapai garis finish,' kata Wilson. Di depan Wilson
Pertandingan pun dimulai, para partisipan mendayuh sepeda gunungnya masing-masing. Dengan penuh tenaga Stuart pun melaju cepat di depan para peserta yang lain. Melihat hal ini, San Jacky pun segera menambahkan kecepatan dayuhan kakinya. Tanpa disangka oleh San Jacky, Wilson ternyata sudah berada di sampingnya. Wilson memberi isyarat kepada San Jacky bahwa dia juga takkan mengalah begitu saja. "Ya aksi saling salip telah dimulai. Untuk sementara ini, Stuart tampak sedang memimpin," ucap komentator. "Ayo, Stuart pertahankan posisimu," sorak Felicia. "Ya, ini dia Snake Twist, sebuah lintasan yang penuh tikungan yang berbelit-belit. Mari kita lihat sekuat apa kemampuan para peserta untuk melewati rintangan ini." Komentator kembali berbicara. "Ini dia," kata Stuart dengan penuh percaya diri. Stuart tampaknya bisa mentolelir lintasan tersebut karena sudah terbiasa. "Apa ini? Aaaa..." San Jacky kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh.
"Apa?" Wilson agak terkejut. "Aku tak ingin bertemu dengan orang seperti kalian. Sebaiknya, kalian segera pergi dari sini!" tegas Dave seraya pergi. "Tunggu dulu, kenapa kau membenci kami?" tanya Junie. "Sudahlah, Junie. Biarkan dia pergi. Dia hanya seorang anak-anak," jelas Wilson. "Maaf atas perlakuannya. Aku tahu niat kalian datang ke sini itu baik. Tapi, sepertinya dia benar-benar tidak ingin bertemu kalian," ucap suster. "Tak apa, kami paham kenapa dia bisa begitu," kata Wilson. "Tapi, dengan kelembutan dan kasih sayang, mungkin kita bisa membuatnya berpikir bahwa kita tidak sejahat apa dikatakan orang-orang," kata Tamara. "Iya, kurasa itu benar," kata McRossa. Tamara memiliki gagasan untuk melakukan sesuatu, tapi hal tersebut dia simpan dalam benaknya. Sementara itu di Mesjid Ath-Thaharah. "Sangat disayangkan semua barang-barang itu harus diambil kembali," kata Yusuf. "Iya, padahal kita seb
Saat Wilson tiba di rumah, ibunya menyampaikan suatu pesan. "Wilson, tadi ada San Jacky datang ke sini," kata Mrs. Hana. "Oh, iya? tapi, dia tidak memberi tahuku lewat SMS terlebih," ujar Wilson. "Ibu tak tahu, tapi dia tadi datang kemari bersama adik perempuannya," jelas Mrs. Hana. "San Carina? apa mereka berdua membawa sepeda gunung?" tanya Wilson. "Iya, San Jacky membonceng adiknya," jawab Mrs. Hana. "Oh," kata Wilson. "Ya sudah, ayo cepat masuk!" ajak Mrs. Hana. Wilson baru ingat bahwa dia ingin menyampaikan sesuatu pada YMC. Dia sangat menyayangkan akan kelupaan yang dia lakukan. Hal yang dia ingin sampaikan berkaitan dengan kondisi New York sekarang ini. Luka duka atas kejadian tragedi kemarin mungkin masih terasa. Malam hari pada pukul 08:30 PM, Mrs. Hana sedang membereskan sesuatu. Dia melihat sebuah kotak yang tak asing baginya. Dia pun mengambil kotak itu dan kemudian membukanya. Isi dari kotak itu ada
Menjelang sore, Wilson pun bermaksud untuk melaksanakan agenda kumpulan bersama YMC. Seperti biasa, Wilson selalu menggunakan sepeda gunung miliknya sebagai alat transportasi untuk pergi ke manapun. Beberapa menit kemudian, dia pun sampai di mesjid tempat biasa berkumpul dengan para YMC lainnya. Ada beberapa orang anggota YMC yang sudah tiba di mesjid ini. Diantaranya, ada Astra dan juga saudari kembarnya Astrid, Junie, Bobby dan Ali. "Assalamu'alaikum. Hei, kalian cepat sekali datang ke sini. Apa Syeikh Alim sudah datang?" tanya Wilson. "Wa'alaikum salam," jawab semua bersamaan. "Ya, aku datang ke sini lebih cepat karena di rumah tidak sedang ada kerjaan," kata Astra. "Iya, benar." Astrid mendukung ucapan Astra. "Kalian saudara kembar memang sangat kompak," kata Bobby. "Belum, Syeikh Alim belum datang," kata Ali. "Hei, lihat! itu McRossa dan juga Tamara," kata Astrid menunjuk ke arah mereka yang berboncengan dengan
Anna kehilangan keseimbangan dan terjatuh. "Kakak!" teriak Bill. Pria yang menembak Anna langsung kabur. "Bill..." ucap Anna dengan nada bicara yang sudah tidak jelas. Anna tertembak di bagian perut sebelah kiri. Kini, Anna yang tergeletak hanya berusaha menahan rasa sakit akibat peluru yang menembusnya. Dia sangat sulit sekali untuk berbicara dengan kondisi yang seperti ini, tapi dia terlihat ingin mengatakan sesuatu. Dalam hatinya, dia ingin sekali mengucapkan kalimat syahadat. Akhirnya, ada satu kata yang bisa dia ucapkan oleh mulutnya. "Allah," itulah yang bisa dia ucapkannya. Tak lama setelah itu, Anna yang semula tangannya memegang pipi Bill pun kini tergeletak di bawah tanah. Tubuhnya mendingin, detak jantungnya sudah berhenti. Bill yang melihat hal ini hanya bisa menangis dan berteriak untuk meminta pertolongan. Siang hari pukul 12:30 PM, Wilson dibuat terkejut dengan kabar duka dari keluarga White. Kabar duka
Tak terasa waktu istirahat telah usai, semua mahasiswa di kampus pun kembali memasuki kelasnya masing-masing. Wilson segera kembali ke kelasnya untuk melaksanakan kegiatan perkuliahan di mata kuliah keduanya pada hari ini. Tak lama setelah Wilson tiba di kelas, datanglah dosen yang khendak mengajar di kelasnya. Sementara itu, Syeikh Alim yang sudah selesai mengurusi usulannya terkait perizinanYMC ke Departemen Keagamaan segera kembali ke kediamannya. Tadi, usulan dari Syeikh Alim direspon dengan baik oleh pihak Departemen Keagamaan. Pihak Departemen Keagamaan akan mempertimbangkan usulan dari Syeikh Alim. Segera setelah itu, mungkin YMC akan menjadi organisasi yang berada di bawah naungan Departemen Keagamaan. Di sore hari, kawan-kawan yang satu kelompok dengan Wilson mulai berdatangan ke kediaman keluarga Strongheart. Yang pertama kali tiba di kediaman keluarga Strongheart adalah Felicia. Felicia adalah seorang perempuan yang berasal dari Manhattan. Manhattan
Syeikh Alim segera berangkat menuju mesjid saat waktu maghrib hampir tiba.Dia pun ditemani ajudan yang setia kepadanya. Dalam perjalanan menuju mesjid, mereka berdua berpapasan dengan Ali. Lantas, Ali pun bersalaman dengan mereka berdua. Setelah itu, mereka pun bersama-sama melangkahkan kaki menuju mesjid. Kali ini, Junie mulai terbiasa dengan tugasnya sebagai muadzin. Dia secara inisiatif mengumandangkan adzan saat waktu maghrib tiba. Dari kejauhan, Syeikh Alim mendengar dengan jelas suaranya yang tengah melantunan adzan. Syeikh Alim merasa senang dengan apa yang dilakukannya sekarang. Esok pagi masih hari libur bagi Wilson. Di hari ini, Wilson mengajak Junie, Yusuf dan Ali untuk menyebarkan pamflet ke sekitaran wilayah The Bronx yang tidak terlalu jauh dari tinggal mereka. Mereka datang ke tempat yang memang ditempati oleh orang-orang muslim. Mereka menyebar pamflet tersebut dengan harapan ada banyak orang yang akan bergabung dengan komunitas bentukan mereka.