Share

TMK (Bab 3)

“Ya Allah! Ihsaaan!” pekik ibu mertuaku yang langsung seperti kehilangan tenaga. “Haruskah aku kehilangan anakku lagi?”

Aku yang kebetulan ada di sampingnya, langsung menangkap tubuhnya, namun dengan teganya dia tepis tanganku, bahkan sampai mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai.

Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Mbak Rania. “Itu kertas apa, Mbak?”

“Ini jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi Mas Ihsan,” ujarnya sambil menyodorkan selembar kertas itu padaku. 

Mataku melebar saat melihat deretan angka yang tercantum di atas kertas itu. “Dua ratus juta?! Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu semalam?”

Bu Minten terlihat menoleh ke arahku. “Kalau kamu gak mau selamanya aku benci sama kamu, cari uang untuk biaya operasi Ihsan itu sekarang juga!”

Dengan pikiranku yang sangat kalut, aku berjalan menelusuri jalan di malam yang gelap tanpa tujuan. Bahkan perutku yang terasa keroncongan pun aku abaikan.

Biasanya sebelum pulang dari rumah Bu Ambar, aku sempatkan dulu untuk makan malam.

“Aku harus kemana mencari pinjaman uang 200 juta tanpa jaminan apapun?” gumamku dalam keputusasaan mendalam.

Mungkin sudah 2 km jauhnya aku berjalan tanpa tujuan yang jelas. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah jembatan yang cukup lebar dan arusnya cukup deras. Aku bersandar di besi panjang yang menjadi pagar penghalang menuju sungai saking lelahnya.

Aku menangis sejadi-jadinya. Mungkin orang-orang yang tak tahu akan menganggap suara tangisanku sebagai suara tangisan hantu penunggu jembatan.

“Jangan gila, Run!”

Tiba-tiba tanganku ditarik dengan cepat oleh seseorang. Aku yang sedang merasa kehilangan arah, tak sadar kalau ada motor yang berhenti di depanku. Saat aku sudah sedikit tenang, aku begitu terkejut dengan kemunculan seorang laki-laki yang menurutku berpenampilan urakan. 

“Mas Bisma? Ngapain Mas di sini?” tanyaku saat pikiranku mulai terkumpul.

“Harusnya aku yang nanya kayak gitu, Run! Kamu jangan putus asa apalagi sampai berniat buat bunuh diri!” pekiknya dengan suara penuh rasa khawatir.

“Bunuh diri? Memangnya siapa yang mau bunuh diri? Aku cuma kelelahan saja setelah berjalan jauh,” ucapku yang merasa heran dengan sikapnya. “Aku tanya, mas ngapain di sini?”

“Waktu kamu pulang dari rumahku itu aku ngikutin kamu. Tiba-tiba kamu naik angkot dan aku kehilangan jejakmu,” papar Bisma.

Ah, dasar laki-laki urakan. Sok perhatian banget. Perhatiannya sama sekali tak akan membuat hatiku tergugah. Bila mas Bisma dibandingkan dengan mas Ihsan, mereka itu seperti surga dan neraka.

“Wajah kamu kayak lagi kalut. Ikut aku ke rumah nanti kamu bisa cerita sama aku,” ucapanya yang langsung menarik tanganku dan memintaku segera menaiki motor sport miliknya.

Terpaksa aku naik ke atas motornya dan perlahan motor itu melaju meninggalkan area jembatan menuju rumahnya sendiri. 

Aku turun dan tiba-tiba terlintas dalam pikiran untuk meminta bantuan kepada bu Ambar atau pak Wira. Ya, hanya itu satu-satunya jalan keluar yang masuk akal saat ini. 

“Ibu sama bapakku belum pulang. Biasanya mereka pulangnya tengah malam,” ucap mas Bisma seolah mampu menebak isi pikiranku. “Kamu bisa cerita sama aku kalau mau.”

Wajahku seketika memucat saat mengetahui kalau kedua majikanku tidak ada di rumah. Rasa putus asa itu kembali menyelinap dalam dadaku, sebab tak tahu lagi harus meminta pertolongan kepada siapa.

Meski tak selera untuk berbicara dengan laki-laki urakan ini, namun akhirnya mulutku mengatakan hal yang tadinya ingin aku sampaikan pada bu Ambar dan pak Wira.

“Mas Ihsan kecelakaan parah dan sekarang kondisinya kritis, Mas.”

Kuberanikan diri melirik ke arah mas Bisma. Dia terlihat masih menatapku dengan serius, seolah sedang menunggu lanjutan ceritaku.

“Dokter bilang harus malam ini juga dia dioperasi, tapi yang membuatku bingung adalah biaya untuk operasi Mas Ihsan,” ucapku sambil terisak. 

Hatiku rasanya kembali seperti diiris belati tatkala bayangan keadaan mas Ihsan yang masih tak sadarkan diri, kembali memenuhi ruang pikiranku. Andai aku boleh meminta, aku rela bertukar posisi dengannya.

“Berapa biaya operasinya?” tanyanya.

Aku menundukkan kepalaku. “Dua ratus juta, Mas. Andai Bu Ambar dan Pak Wira mau memberikan aku pinjaman sejumlah 200 juta, aku berjanji akan mengabdi seumur hidupku untuk bekerja di rumah ini. Aku rela meski setiap bulan hanya menerima setengah gajiku saja.”

Hanya keheningan yang kurasakan. Aku sama sekali tak mendengar mas Bisma berkata sepatah kata pun. Kulihat mas Bisma tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. 

"Andai aku bisa membantu, apa kamu mau memenuhi syaratnya?" tanyanya padaku.

Aku termangu mendengar ucapannya. Jantungku berdetak kencang tak jelas alasannya. Rasa bimbang seketika menguasai perasaanku.

Dengan ragu aku bertanya, "Memangnya apa syaratnya, Mas?" Suara bahkan nyaris seperti bisikan angin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status