“Ya Allah! Ihsaaan!” pekik ibu mertuaku yang langsung seperti kehilangan tenaga. “Haruskah aku kehilangan anakku lagi?”
Aku yang kebetulan ada di sampingnya, langsung menangkap tubuhnya, namun dengan teganya dia tepis tanganku, bahkan sampai mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai.
Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Mbak Rania. “Itu kertas apa, Mbak?”
“Ini jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi Mas Ihsan,” ujarnya sambil menyodorkan selembar kertas itu padaku.
Mataku melebar saat melihat deretan angka yang tercantum di atas kertas itu. “Dua ratus juta?! Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu semalam?”
Bu Minten terlihat menoleh ke arahku. “Kalau kamu gak mau selamanya aku benci sama kamu, cari uang untuk biaya operasi Ihsan itu sekarang juga!”
Dengan pikiranku yang sangat kalut, aku berjalan menelusuri jalan di malam yang gelap tanpa tujuan. Bahkan perutku yang terasa keroncongan pun aku abaikan.
Biasanya sebelum pulang dari rumah Bu Ambar, aku sempatkan dulu untuk makan malam.
“Aku harus kemana mencari pinjaman uang 200 juta tanpa jaminan apapun?” gumamku dalam keputusasaan mendalam.
Mungkin sudah 2 km jauhnya aku berjalan tanpa tujuan yang jelas. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah jembatan yang cukup lebar dan arusnya cukup deras. Aku bersandar di besi panjang yang menjadi pagar penghalang menuju sungai saking lelahnya.
Aku menangis sejadi-jadinya. Mungkin orang-orang yang tak tahu akan menganggap suara tangisanku sebagai suara tangisan hantu penunggu jembatan.
“Jangan gila, Run!”
Tiba-tiba tanganku ditarik dengan cepat oleh seseorang. Aku yang sedang merasa kehilangan arah, tak sadar kalau ada motor yang berhenti di depanku. Saat aku sudah sedikit tenang, aku begitu terkejut dengan kemunculan seorang laki-laki yang menurutku berpenampilan urakan.
“Mas Bisma? Ngapain Mas di sini?” tanyaku saat pikiranku mulai terkumpul.
“Harusnya aku yang nanya kayak gitu, Run! Kamu jangan putus asa apalagi sampai berniat buat bunuh diri!” pekiknya dengan suara penuh rasa khawatir.
“Bunuh diri? Memangnya siapa yang mau bunuh diri? Aku cuma kelelahan saja setelah berjalan jauh,” ucapku yang merasa heran dengan sikapnya. “Aku tanya, mas ngapain di sini?”
“Waktu kamu pulang dari rumahku itu aku ngikutin kamu. Tiba-tiba kamu naik angkot dan aku kehilangan jejakmu,” papar Bisma.
Ah, dasar laki-laki urakan. Sok perhatian banget. Perhatiannya sama sekali tak akan membuat hatiku tergugah. Bila mas Bisma dibandingkan dengan mas Ihsan, mereka itu seperti surga dan neraka.
“Wajah kamu kayak lagi kalut. Ikut aku ke rumah nanti kamu bisa cerita sama aku,” ucapanya yang langsung menarik tanganku dan memintaku segera menaiki motor sport miliknya.
Terpaksa aku naik ke atas motornya dan perlahan motor itu melaju meninggalkan area jembatan menuju rumahnya sendiri.
Aku turun dan tiba-tiba terlintas dalam pikiran untuk meminta bantuan kepada bu Ambar atau pak Wira. Ya, hanya itu satu-satunya jalan keluar yang masuk akal saat ini.
“Ibu sama bapakku belum pulang. Biasanya mereka pulangnya tengah malam,” ucap mas Bisma seolah mampu menebak isi pikiranku. “Kamu bisa cerita sama aku kalau mau.”
Wajahku seketika memucat saat mengetahui kalau kedua majikanku tidak ada di rumah. Rasa putus asa itu kembali menyelinap dalam dadaku, sebab tak tahu lagi harus meminta pertolongan kepada siapa.
Meski tak selera untuk berbicara dengan laki-laki urakan ini, namun akhirnya mulutku mengatakan hal yang tadinya ingin aku sampaikan pada bu Ambar dan pak Wira.
“Mas Ihsan kecelakaan parah dan sekarang kondisinya kritis, Mas.”
Kuberanikan diri melirik ke arah mas Bisma. Dia terlihat masih menatapku dengan serius, seolah sedang menunggu lanjutan ceritaku.
“Dokter bilang harus malam ini juga dia dioperasi, tapi yang membuatku bingung adalah biaya untuk operasi Mas Ihsan,” ucapku sambil terisak.
Hatiku rasanya kembali seperti diiris belati tatkala bayangan keadaan mas Ihsan yang masih tak sadarkan diri, kembali memenuhi ruang pikiranku. Andai aku boleh meminta, aku rela bertukar posisi dengannya.
“Berapa biaya operasinya?” tanyanya.
Aku menundukkan kepalaku. “Dua ratus juta, Mas. Andai Bu Ambar dan Pak Wira mau memberikan aku pinjaman sejumlah 200 juta, aku berjanji akan mengabdi seumur hidupku untuk bekerja di rumah ini. Aku rela meski setiap bulan hanya menerima setengah gajiku saja.”
Hanya keheningan yang kurasakan. Aku sama sekali tak mendengar mas Bisma berkata sepatah kata pun. Kulihat mas Bisma tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Andai aku bisa membantu, apa kamu mau memenuhi syaratnya?" tanyanya padaku.
Aku termangu mendengar ucapannya. Jantungku berdetak kencang tak jelas alasannya. Rasa bimbang seketika menguasai perasaanku.
Dengan ragu aku bertanya, "Memangnya apa syaratnya, Mas?" Suara bahkan nyaris seperti bisikan angin.
Jangan lupa subscribe cerita ini ya. Beri bintang 5. Follow juga akun fb dan tiktokku.Fb: Za AlanaTiktok: @miss_alana_author*“Ayolah, Run. Aku udah gak bisa nunggu lama lagi."Aku yang sedang berdiri di depan cermin yang berada di dalam kamar mandi, tampak memejamkan mata saat mendengar suara tersebut.Bahkan saat ini aku sudah mengenakan pakaian tidur pendek berwarna hitam yang kontras dengan warna kulitku yang putih. Banyak orang bilang kalau aku ini cantik meski tanpa pulasan make up. Bahkan ada yang menyebutku sebagai kembang desa.“Sebentar, Mas,” ucapku dengan lirih.Aku menangis tanpa suara. Malam ini terpaksa aku harus ambil keputusan yang mungkin akan kusesali seumur hidupku demi uang 200 juta, untuk biaya operasi suamiku. “Gak apa-apa. Anggap saja ini sebagai baktiku kepada suamiku,” gumamku di tengah kepedihan hatiku. “Aku yakin kalau Allah juga mengerti dengan keputusanku ini. Aku tak punya pilihan lain.”Aku usap wajahku yang basah karena air mata lalu aku kuatkan la
“Seruni, kamu …,” kudengar suara Mas Bisma menggantung di udara.Sungguh. Air mata ketidakikhlasanku saat ini mengalir deras tak terbendung. Dalam kepasrahan dan ketidakberdayaanku, aku mengangguk perlahan. “Ya, Mas, aku masih belum tersentuh.”Entah aku salah melihat atau memang hal itu yang sebenarnya terjadi. Aku melihat Mas Bisma tersenyum menyeringai. Wajahnya tampak seperti orang yang bahagia. “Kalau begitu aku beruntung. Tidak sia-sia kukeluarkan uang sebanyak itu untukmu," katanya.Tak menunggu lama, kurasakan mas Bisma melanjutkan kegiatannya. Aku benar-benar awam dengan hal ini, karena ini adalah yang pertama kali untukku.Aku yang bisa diam, gak peduli dengan rasa sakit yang menderaku. Sama sekali tak kurasakan hal indah seperti yang dikatakan banyak orang tentang indahnya sebuah penyatuan.Tiba-tiba mas Bisma semakin bekerja dengan cepat untuk segera tiba di tepian, padahal aku sudah protes. Aku memekik perlahan, mencoba menerima setiap rasa yang kualamai saat ini. Hingga
Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin untuk menumpahkan segala rasa yang bahkan sudah membuat tubuhku seakan kebas. Padahal baru tiga jam saja aku meninggalkan rumah sakit dalam keadaan bingung yang tiada berujung, dengan berbagai pikiran berkecamuk. Secara logika, untuk orang miskin dan tidak berpendidikan sepertiku, rasanya mustahil bisa mendapatkan uang 200 juta hanya dalam hitungan jam tanpa jaminan apapun.Area sensitifku bahkan masih terasa ngilu setiap kali aku memaksakan diri untuk melangkah. Sampai seperti ini pengorbananku untuk suamiku, tapi tak sedikitpun ada harganya di mata ibu mertuaku.“Run! Kenapa diam aja? Kamu berhasil gak dapat uang 200 juta itu?” tanya Mbak Rania.Seharusnya sesama menantu itu tidak boleh saling menyudutkan. Tapi dari yang aku rasakan, Mbak Rania itu seperti selalu mencari muka terutama di hadapan ibu mertuaku, padahal sudah setahun lalu Mas Raffi meninggal dunia. Aku pun semakin yakin kalau dia mengincar suamiku.Dengan air mata berderai
“Sudah lunas ya, Bu.”Aku terkesiap saat perawat di bagian administrasi itu menyodorkan selembar kertas yang sudah diberi cap warna merah bertuliskan LUNAS!Baru saja aku hanyut dalam ingatan satu jam yang lalu. Rasanya terlalu mustahil bagiku memaksakan diri untuk bersama dengan laki-laki yang tidak aku cintai, meskipun dia memiliki banyak uang.Dasar memang dia laki-laki urakan dan pemaksa.“Ah, iya. Terima kasih, Sus,” ucapku sedikit terbata-bata.Perawat itu tersenyum padaku. “Sekarang pasien akan segera dipindahkan ke ruang operasi.”Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu, saat ini bahkan kalian mungkin tengah menghujatku dan menganggapku bodoh. Tapi faktanya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Kuayunkan langkahku dengan gontai dan tatapan mata yang kosong. Aku harus kembali ruang ICU untuk memastikan suamiku benar-benar sudah ditangani dengan baik oleh rumah sakit ini. “Ya Allah, kepalaku pusing sekali.” Aku sedikit memijat-mijat pelipisku yang tiba-tiba terasa berde
Aku mengaduk-aduk nasi goreng di depanku. Setiap suapan terasa seperti batu kerikil yang sulit untuk ditelan. Pikiranku melayang-layang, teringat akan nasib suamiku yang masih dalam proses operasi dan pertemuan berikutnya dengan mas Bisma yang terus menghantuiku.“Gak bisa makan juga, Seruni?” gumamku pelan, bertanya pada diriku sendiri, sambil meletakkan sendok. Aku menunduk, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata.Dengan langkah gontai, aku meninggalkan kantin. Di lorong rumah sakit yang sepi, hanya ada suara langkah kakiku yang menggema. Aku tahu bahwa kembali ke depan ruang operasi mungkin hanya akan membuatku disambut dengan cemoohan, tetapi aku merasa tak punya pilihan lain.“Kenapa aku ditakdirkan memiliki ibu mertua yang kejam, Ya Allah? Padahal aku ini anak yatim piatu,” keluhku sambil melangkah. “Ada mas Ihsan yang menyayangiku, tapi saat ini kondisinya sedang berada di antara hidup dan mati.”Setibanya di depan ruang operasi, Bu Minten langsung melayangkan
Aku duduk di samping tempat tidur mas Ihsan, memegang tangannya yang dingin.Alat-alat kesehatan masih menempel di tubuhnya, bunyi mesin yang monoton menjadi satu-satunya suara di ruangan ini.Wajah mas Ihsan terlihat seperti orang yang tertidur lelap, tenang dan damai meski belum tahu kapan suamiku ini akan jauh sadar.Sudah beberapa jam sejak aku pingsan dan tersadar kembali, namun tak kulihat bayangan Mbak Rania atau Bu Minten di sini.“Mas, cepatlah sadar,” bisikku pelan. “Aku butuh kamu di sisiku. Cuma kamu yang bisa mengerti aku."Perasaan cemas dan lelah membuatku merasa butuh udara segar. Aku memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah."Mas, aku pulang sebentar ya. Aku mau mandi, dan ganti baju. Aku pasti akan kembali lagi kemari," ucapku seraya mengecup kening suamiku dengan penuh cinta.Aku melangkah, meninggalkan ruang rawat mas Ihsan menuju jalan. Aku pun menyetop angkot. Nanti setelah sampai di rumah, mungkin aku akan mengambil beberapa barang yang diperlukan selama di rum
Empat hari telah berlalu sejak operasi mas Ihsan dilakukan. Meskipun respons tubuhnya cukup baik, kenyataannya dia belum juga sadar sampai saat ini."Mas, aku pergi kerja dulu ya. Mungkin sebentar lagi ibu akan datang kemari untuk menunggumu di sini," ucapku seraya mengecup gening mas Ihsan.Ya, aku memutuskan untuk tetap bekerja untuk menyambung hidup kami di kemudian hari.Setiap hari aku bekerja di rumah Bu Ambar dan Pak Wira. Anehnya, selama empat hari itu, Bisma sama sekali tak terlihat di rumah. Aku bersyukur atas ketidakberadaan Bisma, memberikan sedikit kedamaian dalam hidupku yang penuh tekanan ini."Run, buatkan teh hangat untuk kami ya," pekik bu Ambar dari ruang tengah."Inggih, Bu."Segera aku buatkan teh hangat untuk kedua majikanku itu. Kebetulan sore ini cuaca mendung, dengan suhu udara yang cukup dingin."Gimana kabar Bisma di Singapura?" tanya Pak Wira."Gitulah. Sibuk dengan kegiatannya," jawab Bu Ambar.'Jadi, laki-laki urakan itu ada di Singapura. Pantesan 4 hari i
Aku menoleh ke arah suara yang familiar itu. Tubuhku langsung membeku saat melihat sosok itu.‘Ya Allah! Itu kan Suci? Aku harus gimana ini?’Bibirku mendadak kelu, tidak tahu harus berkata apa. Bayangan amarah mas Ihsan langsung muncul di depanku.Kulihat mas Bisma maju ke depan, hingga posisiku ada di belakangnya, seolah ingin menyelamatkanku dari situasi yang canggung ini."Siapa kamu?" tanya Mas Bisma pada Suci dengan nada dingin.Suci, yang juga mengenakan pakaian pesta meski tidak semewah punyaku, menjawab dengan sopan, "Saya Suci, Den Bisma. Temannya Seruni. Anaknya Pak Atma yang bekerja di perkebunan kentang punya Pak Wira, bapaknya Den Bisma.”“Oh begitu? Maaf, kalau saya ndak kenal kamu.” Mas Bisma tampak mengernyitkan keningnya, sepertinya dia baru ingat dengan pertanyaan Suci padaku. Kemudian dia menjawab dengan nada tegas, "Tadi kamu bertanya tentang wanita di belakang saya kan? Dia ini Arumi, calon istri saya. Bukan Seruni seperti pikiranmu."Suci tampak mematung, sedikit