Share

TMK (Bab 5)

“Seruni, kamu …,” kudengar suara Mas Bisma menggantung di udara.

Sungguh. Air mata ketidakikhlasanku saat ini mengalir deras tak terbendung. Dalam kepasrahan dan ketidakberdayaanku, aku mengangguk perlahan. “Ya, Mas, aku masih belum tersentuh.”

Entah aku salah melihat atau memang hal itu yang sebenarnya terjadi. Aku melihat Mas Bisma tersenyum menyeringai. Wajahnya tampak seperti orang yang bahagia. 

“Kalau begitu aku beruntung. Tidak sia-sia kukeluarkan uang sebanyak itu untukmu," katanya.

Tak menunggu lama, kurasakan mas Bisma melanjutkan kegiatannya. Aku benar-benar awam dengan hal ini, karena ini adalah yang pertama kali untukku.

Aku yang bisa diam, gak peduli dengan rasa sakit yang menderaku. Sama sekali tak kurasakan hal indah seperti yang dikatakan banyak orang tentang indahnya sebuah penyatuan.

Tiba-tiba mas Bisma semakin bekerja dengan cepat untuk segera tiba di tepian, padahal aku sudah protes. Aku memekik perlahan, mencoba menerima setiap rasa yang kualamai saat ini. Hingga akhirnya kurasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di dalam tubuhku.

Beberapa detik kemudian setelah napas kami tenang. Kurasakan pergerakan mas Bisma yang berguling ke samping. Saat ku lirik, wajahnya tampak lelah, namun ada kelegaan tak terkira di sana dan aku benci melihatnya.

Ddrrrttt … Ddrrrttt …

Gegas kuraih telepon genggam yang sebelumnya ku letakkan di atas nakas. Rupanya sambungan telepon itu berasal dari ibu mertuaku lagi.

“Heh, mantu sialan!” Aku memejamkan mata merasakan perih tak terkira dalam hatiku mendengar umpatan ibu mertuaku. “Mana uangnya?!”

Tak sanggup aku menjawab pertanyaan ibu mertuaku. Aku hanya bisa menangis dengan tubuhku yang gemetar menahan sakit hati sekaligus marah dalam dada. Padahal baru saja aku merelakan barang paling berharga milikku, hanya demi uang dua ratus juta untuk biaya operasi anaknya.

Tiba-tiba aku merasakan telepon genggam yang sebelumnya ada di genggaman tanganku terlepas. Rupanya Mas Bisma yang mengambilnya. Ia mematikan sambungan telepon tersebut lalu memelukku.

“Pedas amat ucapan Ibu mertuamu, Run," ucapnya dengan nada kesal.

Aku yang masih menangis sesenggukan meluapkan segala emosi dalam hatiku. Bahkan aku tak sanggup menanggapi ocehan mas Bisma yang kudengar masih berlanjut, mengutuki sikap ibu mertuaku.

Dalam tangisku, aku sekalian saja menumpahkan rasa sakitku selama dua minggu aku menjadi istri mas Ihsan.

“Aku harus ke rumah sakit sekarang, Mas. Mas Ihsan–”

“Iya!”

Wajah mas Bisma tampak kesal saat aku menyebut nama suamiku. Dia beranjak turun dari peraduan dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih dan jauh lebih sopan.

Dia juga membantuku untuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Setelah semuanya siap, aku berjalan pelan ke arah pintu keluar kamar mas Bisma. Melihatku berjalan seperti perlahan, mas Bisma hanya menertawakanku.

Seketika aku menekuk wajahku, saking kesalnya dengan sikap mas Bisma.

“Jahat banget sih jadi orang!” Mataku mendelik tajam ke arah mas Bisma yang sedang menertawaiku itu. 

“Kasihan banget. Sini, biar kugendong lagi,” ucapnya yang langsung menggendongku meski tanpa persetujuan dariku. “Aku antar kamu sampai ke rumah sakit.”

“Jangan, Mas. Nanti apa kata ibu mertuaku, kalau dia lihat aku datang sama mas Bisma,” ucapku yang masih ada dalam gendongannya. Saat ini dia tengah menuruni tangga. 

“Kamu itu kebanyakan mikir,” kekehnya.

Setibanya di halaman, rupanya Mas Bisma tidak mengeluarkan motor sport miliknya, melainkan dia mengeluarkan mobil sedan yang seingatku jarang sekali dipakai olehnya.

Aku yang sepertinya kelelahan, memutuskan untuk tidur saja dalam perjalanan dari rumah keluarga Dananjaya menuju rumah sakit, tempat suamiku dirawat.

Perlahan aku mengerjapkan kedua mataku saat kudengar sebuah bisikan di telingaku. “Bangun, Seruni sayang.”

Menyebalkan! Aku benar-benar tak suka dengan sikap dan ucapannya.

Aku menegakkan punggungku lalu berusaha beradaptasi dengan pandangan mataku. Aku mengedarkan tatapanku dan akhirnya aku sadar kalau mobil yang dikemudikan oleh Mas Bisma sudah terparkir rapi di halaman rumah sakit tempat mas Ihsan dirawat.

“Ayo kita turun.”

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. “Biar aku sendiri saja. Mas Bisma pulang saja.”

“Yakin?”

Aku hanya menganggukkan kepala karena tak ingin berlama-lama berinteraksi dengan laki-laki ini. Secepatnya aku berjalan menuju ruang ICU di mana masih Ihsan mendapat penanganan intensif. 

“Ya Allah! Ini mantu kur∆ng ajar. Jam segini baru datang?!”

Seketika aku menghentikan langkahku tatkala aku dengar pekikan Bu Minten yang terdengar begitu lantang. Suasana sepi di koridor ruang ICU membuat suaranya sepertinya terdengar hingga ke halaman rumah sakit.

‘Sungguh tega sekali ucapan ibu mertuaku padaku?’ batinku dengan sesak tak terkira.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status