Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin untuk menumpahkan segala rasa yang bahkan sudah membuat tubuhku seakan kebas.
Padahal baru tiga jam saja aku meninggalkan rumah sakit dalam keadaan bingung yang tiada berujung, dengan berbagai pikiran berkecamuk. Secara logika, untuk orang miskin dan tidak berpendidikan sepertiku, rasanya mustahil bisa mendapatkan uang 200 juta hanya dalam hitungan jam tanpa jaminan apapun.
Area sensitifku bahkan masih terasa ngilu setiap kali aku memaksakan diri untuk melangkah. Sampai seperti ini pengorbananku untuk suamiku, tapi tak sedikitpun ada harganya di mata ibu mertuaku.
“Run! Kenapa diam aja? Kamu berhasil gak dapat uang 200 juta itu?” tanya Mbak Rania.
Seharusnya sesama menantu itu tidak boleh saling menyudutkan. Tapi dari yang aku rasakan, Mbak Rania itu seperti selalu mencari muka terutama di hadapan ibu mertuaku, padahal sudah setahun lalu Mas Raffi meninggal dunia. Aku pun semakin yakin kalau dia mengincar suamiku.
Dengan air mata berderai aku menganggukkan kepala. “Sudah, Mbak.”
Bisa kulihat dengan jelas kedua mata ibu mertua dan kakak iparku itu melebar. Mereka pasti tak percaya dengan ucapanku.
“Seriusan kamu, hah?” tanya Bu Minten sambil mendorong pundakku dengan kencang, hingga tubuh yang lemah ini terpelanting ke belakang.
Namun tiba-tiba sepasang tangan menyangga tubuhku dari arah belakang.
“Kenapa Seruni diperlakukan seperti ini?! Bahkan kedua orang tuaku pun tidak pernah memperlakukan Seruni seperti ini!”
Bisa kulihat dengan jelas bagaimana raut wajah ibu mertuaku saat ini yang tampak begitu pucat pasi melihat seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakangku.
Tinggal setengah meter lagi tubuhku membentur lantai rumah sakit, namun seseorang itu dengan cepat menangkap tubuhku.
“Eh, ada Den Bisma,” ucap ibu mertuaku sedikit berbasa basi setelah mematung hingga beberapa detik lamanya.
Siapa yang tidak kenal dengan Bisma, anak satu-satunya Juragan Wira dan Bu Ambar, pemilik perkebunan sawit dan kentang yang luasnya bahkan sampai berhektar-hektar.
Dulu, katanya mendiang ayah mertuaku bekerja sebagai petani sawit di perkebunan juragan Wira.
“Sekali lagi aku tanya, kenapa Seruni diperlakukan seperti ini?!”
Ibu mertuaku tampak menundukkan kepalanya dengan raut wajahnya yang ketakutan. “Maaf, Den. Itu tadi ndak sengaja. Dasar emang Seruninya aja yang lemah. Didorong pelan gitu aja kok pakai ada acara mau jatuh. Kesannya saya ini kayak ibu mertua yang kasar sama menantunya.”
Aku membolakan kedua mataku. Lalu berkata-kata dalam hati, ‘Apa? Pelan katanya? Ya Allah … bisa-bisanya ibu mertuaku bicara kayak gitu,’
Mbak Rania terlihat maju ke arahku. “Kamu datang sama Den Bisma, Run? Kok bisa?”
Wajahku yang sudah pucat karena sejak tadi tak henti menangis, kini semakin memucat mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut kakak iparku itu.
‘Haruskah aku jujur?’
“Aku–”
“Ayah sama ibuku meminta saya untuk mengantarkan Seruni ke rumah sakit,” ucap Mas Bisma yang memotong ucapanku. “Ayah sama ibu kasihan sama Seruni, takut dia kenapa-napa di jalan karena suaminya kecelakaan.”
Seketika aku bisa bernapas lega. Saat aku menoleh ke arah Mas Bisma yang kini sudah berdiri di sampingku. Kulihat dia menatap tajam ke arah Mbak Rania yang kini perlahan mulai menundukkan kepalanya. Seolah tak suka melihat cara bicara Mbak Rania kepadaku.
Seorang dokter dan dua orang perawat tampak mendatangi kami yang tengah sama-sama mematung dengan pikiran kami masing-masing.
“Bagaimana keputusannya? Kami tidak bisa mengulur waktu lagi,” ucap sang dokter dengan wajahnya yang tampak cemas.
Aku mendekat ke arah dokter tersebut. “Dok, lakukan yang terbaik untuk suami saya. Uang 200 juta sudah tersedia.”
Kulihat seorang perawat mengambil alih keadaan. “Baik. Kalau begitu silahkan selesaikan dulu administrasi rumah sakitnya. Setelah itu kami akan segera mempersiapkan ruang operasi untuk suami Anda.”
Dengan langkah terseok karena menahan ngilu di area sensitifku, aku memaksakan diri untuk menemui perawat yang ada di bagian administrasi. Aku lihat Mas Bisma tidak mengikuti langkahku. Syukurlah, lebih baik seperti itu.
Kukeluarkan uang cash sebanyak 200 juta dari tas selempang milikku. Tadi sebelum pergi, kulihat mas Bisma membuka brankas kecil yang terletak di bagian bawah lemarinya lalu dia keluarkan uang cash sebanyak 300 juta.
“Sisa seratus juta lagi bisa kamu gunakan untuk hal yang lain,” ucapnya sambil menyodorkan amplop coklat yang sudah diisi uang tersebut.
Gemetar tanganku saat menerima uang sebanyak itu. Seumur hidupku, baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Yang membuatku miris, uang sebanyak 300 juta itu hasil dari menjual kehormatanku.
“Iya, Mas,” ucapku kala itu.
“Andai saja kamu mau menerimaku dan menikah denganku, semua milikku akan menjadi milikmu tanpa harus kamu merendahkan diri dihadapan ku.”
“Sudah lunas ya, Bu.”Aku terkesiap saat perawat di bagian administrasi itu menyodorkan selembar kertas yang sudah diberi cap warna merah bertuliskan LUNAS!Baru saja aku hanyut dalam ingatan satu jam yang lalu. Rasanya terlalu mustahil bagiku memaksakan diri untuk bersama dengan laki-laki yang tidak aku cintai, meskipun dia memiliki banyak uang.Dasar memang dia laki-laki urakan dan pemaksa.“Ah, iya. Terima kasih, Sus,” ucapku sedikit terbata-bata.Perawat itu tersenyum padaku. “Sekarang pasien akan segera dipindahkan ke ruang operasi.”Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu, saat ini bahkan kalian mungkin tengah menghujatku dan menganggapku bodoh. Tapi faktanya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Kuayunkan langkahku dengan gontai dan tatapan mata yang kosong. Aku harus kembali ruang ICU untuk memastikan suamiku benar-benar sudah ditangani dengan baik oleh rumah sakit ini. “Ya Allah, kepalaku pusing sekali.” Aku sedikit memijat-mijat pelipisku yang tiba-tiba terasa berde
Aku mengaduk-aduk nasi goreng di depanku. Setiap suapan terasa seperti batu kerikil yang sulit untuk ditelan. Pikiranku melayang-layang, teringat akan nasib suamiku yang masih dalam proses operasi dan pertemuan berikutnya dengan mas Bisma yang terus menghantuiku.“Gak bisa makan juga, Seruni?” gumamku pelan, bertanya pada diriku sendiri, sambil meletakkan sendok. Aku menunduk, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata.Dengan langkah gontai, aku meninggalkan kantin. Di lorong rumah sakit yang sepi, hanya ada suara langkah kakiku yang menggema. Aku tahu bahwa kembali ke depan ruang operasi mungkin hanya akan membuatku disambut dengan cemoohan, tetapi aku merasa tak punya pilihan lain.“Kenapa aku ditakdirkan memiliki ibu mertua yang kejam, Ya Allah? Padahal aku ini anak yatim piatu,” keluhku sambil melangkah. “Ada mas Ihsan yang menyayangiku, tapi saat ini kondisinya sedang berada di antara hidup dan mati.”Setibanya di depan ruang operasi, Bu Minten langsung melayangkan
Aku duduk di samping tempat tidur mas Ihsan, memegang tangannya yang dingin.Alat-alat kesehatan masih menempel di tubuhnya, bunyi mesin yang monoton menjadi satu-satunya suara di ruangan ini.Wajah mas Ihsan terlihat seperti orang yang tertidur lelap, tenang dan damai meski belum tahu kapan suamiku ini akan jauh sadar.Sudah beberapa jam sejak aku pingsan dan tersadar kembali, namun tak kulihat bayangan Mbak Rania atau Bu Minten di sini.“Mas, cepatlah sadar,” bisikku pelan. “Aku butuh kamu di sisiku. Cuma kamu yang bisa mengerti aku."Perasaan cemas dan lelah membuatku merasa butuh udara segar. Aku memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah."Mas, aku pulang sebentar ya. Aku mau mandi, dan ganti baju. Aku pasti akan kembali lagi kemari," ucapku seraya mengecup kening suamiku dengan penuh cinta.Aku melangkah, meninggalkan ruang rawat mas Ihsan menuju jalan. Aku pun menyetop angkot. Nanti setelah sampai di rumah, mungkin aku akan mengambil beberapa barang yang diperlukan selama di rum
Empat hari telah berlalu sejak operasi mas Ihsan dilakukan. Meskipun respons tubuhnya cukup baik, kenyataannya dia belum juga sadar sampai saat ini."Mas, aku pergi kerja dulu ya. Mungkin sebentar lagi ibu akan datang kemari untuk menunggumu di sini," ucapku seraya mengecup gening mas Ihsan.Ya, aku memutuskan untuk tetap bekerja untuk menyambung hidup kami di kemudian hari.Setiap hari aku bekerja di rumah Bu Ambar dan Pak Wira. Anehnya, selama empat hari itu, Bisma sama sekali tak terlihat di rumah. Aku bersyukur atas ketidakberadaan Bisma, memberikan sedikit kedamaian dalam hidupku yang penuh tekanan ini."Run, buatkan teh hangat untuk kami ya," pekik bu Ambar dari ruang tengah."Inggih, Bu."Segera aku buatkan teh hangat untuk kedua majikanku itu. Kebetulan sore ini cuaca mendung, dengan suhu udara yang cukup dingin."Gimana kabar Bisma di Singapura?" tanya Pak Wira."Gitulah. Sibuk dengan kegiatannya," jawab Bu Ambar.'Jadi, laki-laki urakan itu ada di Singapura. Pantesan 4 hari i
Aku menoleh ke arah suara yang familiar itu. Tubuhku langsung membeku saat melihat sosok itu.‘Ya Allah! Itu kan Suci? Aku harus gimana ini?’Bibirku mendadak kelu, tidak tahu harus berkata apa. Bayangan amarah mas Ihsan langsung muncul di depanku.Kulihat mas Bisma maju ke depan, hingga posisiku ada di belakangnya, seolah ingin menyelamatkanku dari situasi yang canggung ini."Siapa kamu?" tanya Mas Bisma pada Suci dengan nada dingin.Suci, yang juga mengenakan pakaian pesta meski tidak semewah punyaku, menjawab dengan sopan, "Saya Suci, Den Bisma. Temannya Seruni. Anaknya Pak Atma yang bekerja di perkebunan kentang punya Pak Wira, bapaknya Den Bisma.”“Oh begitu? Maaf, kalau saya ndak kenal kamu.” Mas Bisma tampak mengernyitkan keningnya, sepertinya dia baru ingat dengan pertanyaan Suci padaku. Kemudian dia menjawab dengan nada tegas, "Tadi kamu bertanya tentang wanita di belakang saya kan? Dia ini Arumi, calon istri saya. Bukan Seruni seperti pikiranmu."Suci tampak mematung, sedikit
Setelah berada di dalam ruang rawat mas Ihsan, hal pertama yang ingin kulakukan adalah mandi, tak peduli meski sekarang sudah jam 1 malam.“Aku hanya seorang wanita kotor saat ini,” gumamku diantara kepedihan hatiku dengan nasib hidupku yang buruk menurutku.Rasanya semua yang terjadi malam ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Tubuhku terasa berat, dan kepalaku penuh dengan pikiran yang membuatku hampir gila. Andai semua ini tak segera berakhir, mungkin perhentian terakhir perjalanan hidupku adalah rumah sakit jiwa.“Ya Allah, tolong aku agar bisam segera keluar dari lingkaran se-tan ini,” gumamku.Aku masuk ke kamar mandi rumah sakit dengan langkah gontai. Begitu pintu tertutup, aku langsung menyalakan shower dan membiarkan air hangat mengalir di tubuhku. Tanpa suara, air mataku mulai mengalir deras.“Seluruh tubuhku kini terasa kotor. Bukan hanya karena keringat dan debu, tapi juga karena perasaan bersalah yang menghantui,” bisikku di tengah kucuran air yang tercurah d
“Ngapain mas Bisma sama perempuan itu?” gumamku tanpa sadar. “Bagus. Bisa-bisanya dia sama perempuan lain sekarang. Sementara semalam dengan mudahnya dia bilang cinta sama aku. Omong kosong! Dasar laki-laki urakan! Untung aja gak aku gubris.”Namun seketika aku melirik ke arah dua penumpang lain yang menatapku dengan tatapan horor. Mereka pasti mengira aku ini gila.“Astaghfirullaahal Adziim.” Aku mengusap dadaku lalu meminta maaf pada kedua penumpang itu.Demi menutupi rasa maluku, aku tutupi wajahku dengan masker lalu menatap ke jalan dari kaca belakang.Akhirnya angkot pun tiba tepat di depan sebuah rumah besar milik Juragan Wira. Setelah menyerahkan ongkos angkot, aku pun masuk ke dalam rumah dengan sejuta sesak dalam yang masih juga tak kusadari.“Kalau aja gak butuh, rasanya aku males banget masuk kerja hari ini,” gumamku setelah mengganti bajuku dengan baju yang biasa aku pakai saat bebenah rumah besar ini.Seperti biasa, aku langsung mengerjakan tugas pertama sebagai pembantu,
Aku segera berlari ke ruang makan dan menemukan Bisma tergeletak di lantai dengan wajahnya yang memucat.“Mas Bisma, kamu kenapa?” tanyaku sambil mencoba menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi dia masih bergeming di posisinya. “Mas, jangan buat aku takut dong.”Sepertinya laki-laki itu memang benar-benar pingsan. Dengan sekuat tenaga kutarik tubuh tinggi besar itu ke arah ruang tengah. Aku menyamankan tubuh Mas Bisma di atas karpet, sebab tak kuat menariknya ke atas sofa. “Malah pingsan segala sih? Duh, aku harus gimana?”Kulihat wajahnya yang memerah, bahkan ada bintik-bintik merah di sekitar lehernya. Sepertinya dia benar-benar pingsan.“Aku coba ulaskan minyak angin di hidungnya deh.”Gegas aku berlari ke arah kamar untuk mengambil minyak angin yang biasa ada dalam tas slempangku. Setelah mendapatkannya, aku kemabli ke ruang tengah. Kubiarkan kepalanya rebahan di pahaku.“Bangun dong, Mas. Kalau mau ngeprank jangan kayak gini,” ucapku sambil mendketakna botol minyak angin yang sudah