Share

TMK (Bab 6)

Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin untuk menumpahkan segala rasa yang bahkan sudah membuat tubuhku seakan kebas. 

Padahal baru tiga jam saja aku meninggalkan rumah sakit dalam keadaan bingung yang tiada berujung, dengan berbagai pikiran berkecamuk. Secara logika, untuk orang miskin dan tidak berpendidikan sepertiku, rasanya mustahil bisa mendapatkan uang 200 juta hanya dalam hitungan jam tanpa jaminan apapun.

Area sensitifku bahkan masih terasa ngilu setiap kali aku memaksakan diri untuk melangkah. Sampai seperti ini pengorbananku untuk suamiku, tapi tak sedikitpun ada harganya di mata ibu mertuaku.

“Run! Kenapa diam aja? Kamu berhasil gak dapat uang 200 juta itu?” tanya Mbak Rania.

Seharusnya sesama menantu itu tidak boleh saling menyudutkan. Tapi dari yang aku rasakan, Mbak Rania itu seperti selalu mencari muka terutama di hadapan ibu mertuaku, padahal sudah setahun lalu Mas Raffi meninggal dunia. Aku pun semakin yakin kalau dia mengincar suamiku.

Dengan air mata berderai aku menganggukkan kepala. “Sudah, Mbak.”

Bisa kulihat dengan jelas kedua mata ibu mertua dan kakak iparku itu melebar. Mereka pasti tak percaya dengan ucapanku. 

“Seriusan kamu, hah?” tanya Bu Minten sambil mendorong pundakku dengan kencang, hingga tubuh yang lemah ini terpelanting ke belakang. 

Namun tiba-tiba sepasang tangan menyangga tubuhku dari arah belakang. 

“Kenapa Seruni diperlakukan seperti ini?! Bahkan kedua orang tuaku pun tidak pernah memperlakukan Seruni seperti ini!”

Bisa kulihat dengan jelas bagaimana raut wajah ibu mertuaku saat ini yang tampak begitu pucat pasi melihat seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakangku. 

Tinggal setengah meter lagi tubuhku membentur lantai rumah sakit, namun seseorang itu dengan cepat menangkap tubuhku. 

“Eh, ada Den Bisma,” ucap ibu mertuaku sedikit berbasa basi setelah mematung hingga beberapa detik lamanya. 

Siapa yang tidak kenal dengan Bisma, anak satu-satunya Juragan Wira dan Bu Ambar, pemilik perkebunan sawit dan kentang yang luasnya bahkan sampai berhektar-hektar.

Dulu, katanya mendiang ayah mertuaku bekerja sebagai petani sawit di perkebunan juragan Wira.

“Sekali lagi aku tanya, kenapa Seruni diperlakukan seperti ini?!”

Ibu mertuaku tampak menundukkan kepalanya dengan raut wajahnya yang ketakutan. “Maaf, Den. Itu tadi ndak sengaja. Dasar emang Seruninya aja yang lemah. Didorong pelan gitu aja kok pakai ada acara mau jatuh. Kesannya saya ini kayak ibu mertua yang kasar sama menantunya.”

Aku membolakan kedua mataku. Lalu berkata-kata dalam hati, ‘Apa? Pelan katanya? Ya Allah … bisa-bisanya ibu mertuaku bicara kayak gitu,’

Mbak Rania terlihat maju ke arahku. “Kamu datang sama Den Bisma, Run? Kok bisa?”

Wajahku yang sudah pucat karena sejak tadi tak henti menangis, kini semakin memucat mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut kakak iparku itu.

‘Haruskah aku jujur?’

“Aku–”

“Ayah sama ibuku meminta saya untuk mengantarkan Seruni ke rumah sakit,” ucap Mas Bisma yang memotong ucapanku. “Ayah sama ibu kasihan sama Seruni, takut dia kenapa-napa di jalan karena suaminya kecelakaan.”

Seketika aku bisa bernapas lega. Saat aku menoleh ke arah Mas Bisma yang kini sudah berdiri di sampingku. Kulihat dia menatap tajam ke arah Mbak Rania yang kini perlahan mulai menundukkan kepalanya. Seolah tak suka melihat cara bicara Mbak Rania kepadaku.

Seorang dokter dan dua orang perawat tampak mendatangi kami yang tengah sama-sama mematung dengan pikiran kami masing-masing. 

“Bagaimana keputusannya? Kami tidak bisa mengulur waktu lagi,” ucap sang dokter dengan wajahnya yang tampak cemas. 

Aku mendekat ke arah dokter tersebut. “Dok, lakukan yang terbaik untuk suami saya. Uang 200 juta sudah tersedia.”

Kulihat seorang perawat mengambil alih keadaan. “Baik. Kalau begitu silahkan selesaikan dulu administrasi rumah sakitnya. Setelah itu kami akan segera mempersiapkan ruang operasi untuk suami Anda.”

Dengan langkah terseok karena menahan ngilu di area sensitifku, aku memaksakan diri untuk menemui perawat yang ada di bagian administrasi. Aku lihat Mas Bisma tidak mengikuti langkahku. Syukurlah, lebih baik seperti itu.

Kukeluarkan uang cash sebanyak 200 juta dari tas selempang milikku. Tadi sebelum pergi, kulihat mas Bisma membuka brankas kecil yang terletak di bagian bawah lemarinya lalu dia keluarkan uang cash sebanyak 300 juta.

“Sisa seratus juta lagi bisa kamu gunakan untuk hal yang lain,” ucapnya sambil menyodorkan amplop coklat yang sudah diisi uang tersebut.

Gemetar tanganku saat menerima uang sebanyak itu. Seumur hidupku, baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Yang membuatku miris, uang sebanyak 300 juta itu hasil dari menjual kehormatanku.

“Iya, Mas,” ucapku kala itu.

“Andai saja kamu mau menerimaku dan menikah denganku, semua milikku akan menjadi milikmu tanpa harus kamu merendahkan diri dihadapan ku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status