POV Bisma.
Aku mendengar teriakan Ihsan yang penuh dengan amarah dan kecemburuan.
Aku menoleh dengan sinis pad Ihsan. “Sok-sokan marah. Padahal apa yang dia lakukan juga udah nyakitin Seruni banget.”
Seruni yang masih ada dalam pelukanku mendongakkan kepalanya. “Mas, ngomong apa?”
Aku lupa kalau ada Seruni dalam pelukanku. “Gak ada kok. Aku cuma ngomong gak jelas aja.”
Aku jelaskan pun rasanya percuma karena bisa saja Seruni tidak percaya dengan ceritaku tentang Ihsan. Untuk saat ini aku memilih zona aman. Kesalahpahaman hanya akan membuat Seruni menjauh lagi dariku dan aku tidak ingin hal itu terjadi.
Tanpa menghiraukan Ihsan, aku segera menggendong Seruni sebelum tiga pria yang menculiknya bangkit dan mencoba melawan lagi. Aku melewati Ihsan yang masih berusaha berjalan dengan susah payah, sambil berusaha menenangkan diri dari se
Sebagai pengantin yang baru dua minggu menjalani biduk pernikahan. Aku merasa jadi wanita paling beruntung karena dinikahi Mas Ihsan, laki-laki yang telah memacariku sejak dua tahun yang lalu.Aku tak peduli meskipun pekerjaan suamiku hanya sebagai montir dengan gaji tak seberapa di bengkel kecil milik Mas Raffi, kakaknya yang sudah meninggal setahun yang lalu, konon meninggal karena serangan jantung mendadak.“Memangnya kamu gak keberatan kalau nikah sama montir yang gajinya hanya cukup buat makan?” tanyanya kala itu, sekitar sebulan sebelum pernikahan.Aku menggelengkan kepala dengan yakin. “Aku sama sekali gak keberatan, Mas.”Dan pernikahan sederhana pun akhirnya berlangsung, meskipun aku merasa aneh saat Mbak Rania, istri mendiang Mas Raffi yang tak lain kakak ipar Mas Ihsan datang sambil menggendong anaknya yang baru berusia tiga bulan dengan mata sembab. Dia menyalami kami dan mengucapkan selamat. Mungkin saja dia teringat dengan mendiang Mas Raffi. Apalagi bayi mereka lahir t
"Rumah sakit?" tanyaku dengan heran."Benar. Kami ingin menyampaikan kabar buruk. Suami Anda mengalami kecelakaan parah.”“Apa?!”Tubuhku seketika gemetar. Jantungku berdetak tak karuan, rasanya kedua kakiku seperti tak menatap di tanah."Halo, Bu.""I-iya. Sa-saya masih disini," ucapku terbata-bata setelah sempat diam beberapa saat. "Sa-saya akan segera ke rumah sakit."Tanpa berpikir panjang, aku memanggil ojek. Tak peduli berapa ongkosnya, yang penting aku harus segera tiba di sana.***Tubuhku seketika ambruk ke lantai setibanya di rumah sakit. Kedua lututku seolah tak mampu lagi menopang bobot tubuhku yang bahkan hanya berbobot lima puluh kilo saja.Melalui kaca jendela ruang ICU, aku melihat Mas Ihsan yang tergolek lemah tak berdaya dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun harus memakai alat bernama CPAP.“Mas Ihsan! Kenapa harus begini?!” jeritku dengan suara kencang diantara tangisku.Tiba-tiba telingaku mendengar suara derap langkah kaki
“Ya Allah! Ihsaaan!” pekik ibu mertuaku yang langsung seperti kehilangan tenaga. “Haruskah aku kehilangan anakku lagi?”Aku yang kebetulan ada di sampingnya, langsung menangkap tubuhnya, namun dengan teganya dia tepis tanganku, bahkan sampai mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai.Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Mbak Rania. “Itu kertas apa, Mbak?”“Ini jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi Mas Ihsan,” ujarnya sambil menyodorkan selembar kertas itu padaku. Mataku melebar saat melihat deretan angka yang tercantum di atas kertas itu. “Dua ratus juta?! Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu semalam?”Bu Minten terlihat menoleh ke arahku. “Kalau kamu gak mau selamanya aku benci sama kamu, cari uang untuk biaya operasi Ihsan itu sekarang juga!”Dengan pikiranku yang sangat kalut, aku berjalan menelusuri jalan di malam yang gelap tanpa tujuan. Bahkan perutku yang terasa keroncongan pun aku abaikan.Biasanya sebelum pulang dari rumah Bu Ambar
Jangan lupa subscribe cerita ini ya. Beri bintang 5. Follow juga akun fb dan tiktokku.Fb: Za AlanaTiktok: @miss_alana_author*“Ayolah, Run. Aku udah gak bisa nunggu lama lagi."Aku yang sedang berdiri di depan cermin yang berada di dalam kamar mandi, tampak memejamkan mata saat mendengar suara tersebut.Bahkan saat ini aku sudah mengenakan pakaian tidur pendek berwarna hitam yang kontras dengan warna kulitku yang putih. Banyak orang bilang kalau aku ini cantik meski tanpa pulasan make up. Bahkan ada yang menyebutku sebagai kembang desa.“Sebentar, Mas,” ucapku dengan lirih.Aku menangis tanpa suara. Malam ini terpaksa aku harus ambil keputusan yang mungkin akan kusesali seumur hidupku demi uang 200 juta, untuk biaya operasi suamiku. “Gak apa-apa. Anggap saja ini sebagai baktiku kepada suamiku,” gumamku di tengah kepedihan hatiku. “Aku yakin kalau Allah juga mengerti dengan keputusanku ini. Aku tak punya pilihan lain.”Aku usap wajahku yang basah karena air mata lalu aku kuatkan la
“Seruni, kamu …,” kudengar suara Mas Bisma menggantung di udara.Sungguh. Air mata ketidakikhlasanku saat ini mengalir deras tak terbendung. Dalam kepasrahan dan ketidakberdayaanku, aku mengangguk perlahan. “Ya, Mas, aku masih belum tersentuh.”Entah aku salah melihat atau memang hal itu yang sebenarnya terjadi. Aku melihat Mas Bisma tersenyum menyeringai. Wajahnya tampak seperti orang yang bahagia. “Kalau begitu aku beruntung. Tidak sia-sia kukeluarkan uang sebanyak itu untukmu," katanya.Tak menunggu lama, kurasakan mas Bisma melanjutkan kegiatannya. Aku benar-benar awam dengan hal ini, karena ini adalah yang pertama kali untukku.Aku yang bisa diam, gak peduli dengan rasa sakit yang menderaku. Sama sekali tak kurasakan hal indah seperti yang dikatakan banyak orang tentang indahnya sebuah penyatuan.Tiba-tiba mas Bisma semakin bekerja dengan cepat untuk segera tiba di tepian, padahal aku sudah protes. Aku memekik perlahan, mencoba menerima setiap rasa yang kualamai saat ini. Hingga
Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin untuk menumpahkan segala rasa yang bahkan sudah membuat tubuhku seakan kebas. Padahal baru tiga jam saja aku meninggalkan rumah sakit dalam keadaan bingung yang tiada berujung, dengan berbagai pikiran berkecamuk. Secara logika, untuk orang miskin dan tidak berpendidikan sepertiku, rasanya mustahil bisa mendapatkan uang 200 juta hanya dalam hitungan jam tanpa jaminan apapun.Area sensitifku bahkan masih terasa ngilu setiap kali aku memaksakan diri untuk melangkah. Sampai seperti ini pengorbananku untuk suamiku, tapi tak sedikitpun ada harganya di mata ibu mertuaku.“Run! Kenapa diam aja? Kamu berhasil gak dapat uang 200 juta itu?” tanya Mbak Rania.Seharusnya sesama menantu itu tidak boleh saling menyudutkan. Tapi dari yang aku rasakan, Mbak Rania itu seperti selalu mencari muka terutama di hadapan ibu mertuaku, padahal sudah setahun lalu Mas Raffi meninggal dunia. Aku pun semakin yakin kalau dia mengincar suamiku.Dengan air mata berderai
“Sudah lunas ya, Bu.”Aku terkesiap saat perawat di bagian administrasi itu menyodorkan selembar kertas yang sudah diberi cap warna merah bertuliskan LUNAS!Baru saja aku hanyut dalam ingatan satu jam yang lalu. Rasanya terlalu mustahil bagiku memaksakan diri untuk bersama dengan laki-laki yang tidak aku cintai, meskipun dia memiliki banyak uang.Dasar memang dia laki-laki urakan dan pemaksa.“Ah, iya. Terima kasih, Sus,” ucapku sedikit terbata-bata.Perawat itu tersenyum padaku. “Sekarang pasien akan segera dipindahkan ke ruang operasi.”Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu, saat ini bahkan kalian mungkin tengah menghujatku dan menganggapku bodoh. Tapi faktanya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Kuayunkan langkahku dengan gontai dan tatapan mata yang kosong. Aku harus kembali ruang ICU untuk memastikan suamiku benar-benar sudah ditangani dengan baik oleh rumah sakit ini. “Ya Allah, kepalaku pusing sekali.” Aku sedikit memijat-mijat pelipisku yang tiba-tiba terasa berde
Aku mengaduk-aduk nasi goreng di depanku. Setiap suapan terasa seperti batu kerikil yang sulit untuk ditelan. Pikiranku melayang-layang, teringat akan nasib suamiku yang masih dalam proses operasi dan pertemuan berikutnya dengan mas Bisma yang terus menghantuiku.“Gak bisa makan juga, Seruni?” gumamku pelan, bertanya pada diriku sendiri, sambil meletakkan sendok. Aku menunduk, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata.Dengan langkah gontai, aku meninggalkan kantin. Di lorong rumah sakit yang sepi, hanya ada suara langkah kakiku yang menggema. Aku tahu bahwa kembali ke depan ruang operasi mungkin hanya akan membuatku disambut dengan cemoohan, tetapi aku merasa tak punya pilihan lain.“Kenapa aku ditakdirkan memiliki ibu mertua yang kejam, Ya Allah? Padahal aku ini anak yatim piatu,” keluhku sambil melangkah. “Ada mas Ihsan yang menyayangiku, tapi saat ini kondisinya sedang berada di antara hidup dan mati.”Setibanya di depan ruang operasi, Bu Minten langsung melayangkan