Share

Terpaksa Menjual Kehormatan
Terpaksa Menjual Kehormatan
Penulis: Alana4444

TMK (bab 1)

Sebagai pengantin yang baru dua minggu menjalani biduk pernikahan. Aku merasa jadi wanita paling beruntung karena dinikahi Mas Ihsan, laki-laki yang telah memacariku sejak dua tahun yang lalu.

Aku tak peduli meskipun pekerjaan suamiku hanya sebagai montir dengan gaji tak seberapa di bengkel kecil milik Mas Raffi, kakaknya yang sudah meninggal setahun yang lalu, konon meninggal karena serangan jantung mendadak.

“Memangnya kamu gak keberatan kalau nikah sama montir yang gajinya hanya cukup buat makan?” tanyanya kala itu, sekitar sebulan sebelum pernikahan.

Aku menggelengkan kepala dengan yakin. “Aku sama sekali gak keberatan, Mas.”

Dan pernikahan sederhana pun akhirnya berlangsung, meskipun aku merasa aneh saat Mbak Rania, istri mendiang Mas Raffi yang tak lain kakak ipar Mas Ihsan datang sambil menggendong anaknya yang baru berusia tiga bulan dengan mata sembab. Dia menyalami kami dan mengucapkan selamat.

Mungkin saja dia teringat dengan mendiang Mas Raffi. Apalagi bayi mereka lahir tanpa tahu wajah ayahnya.

“Seruni!”

Aku sedikit terperanjat saat mendengar Bu Ambar memanggilku. Aku yang sedang mencuci piring sambil mengingat kejadian dua minggu yang lalu, memilih untuk menghentikan sejenak kegiatan mencuci piringku.

Aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Pak Wira Dananjaya dan Bu Ambar.

“Iya,Bu,” ucapku setibanya di ruang keluarga di mana Bu Ambar berada.

Bu Ambar menatapku dengan seulas senyum yang ditujukan padaku. Dia memang wanita yang ramah dan baik. “Mas Bisma sebentar lagi pulang dari Singapura. Cepat bersihkan kamarnya. Jangan lupa ganti spreinya.”

“Inggih, Bu.”

Aku segera melangkah menuju kamar Mas Bisma yang ada di lantai dua. Mengingat sosok Bisma, anak majikanku, aku memiliki sedikit rasa tak nyaman setiap kali dia pulang ke rumah ini.

Apalagi setahuku dia pergi ke Singapura dengan membawa kekecewaan dan hal itu berkaitan denganku.

“Andai ada tempat lain yang lebih layak gajinya meski sebagai pembantu juga, aku pasti lebih memilih jalan itu meski gak enak pada Pak Wira dan Bu Ambar yang sudah begitu baik padaku." Aku menghela napas sejenak ditengah kegiatanku menyapu lantai kamar mas Bisma. "Aku tak bisa terus terjebak dalam suasana canggung kedepannya.”

Selesai menyapu, aku mendahulukan untuk mengganti sprei kasur. Aku ambil sprei warna putih, salah satu warna kesukaan mas Bisma. Saat sedang menyelipkan sisi sprei ke bagian bawah kasur tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah pintu.

Saat aku menoleh, aku melihat mas Bisma berdiri diambang pintu kamarnya. Dia yang dulu senang menggangguku, kini bersikap tak acuh.

Tanpa berkata apapun, kulihat dia meninggalkan kamarnya.

Ya, benar-benar suasana canggung yang tidak mengenakkan.

Setelah kamar mas Bisma selesai kubersihkan, aku melangkah ke luar. Aku melihat mas Bisma duduk di sofa ruang keluarga yang ada di lantai dua. Tempat mas Bisma berkumpul bersama teman-temannya kalau kebetulan mereka berkunjung.

“Mas, kamarnya sudah bersih," ucapku.

"Mmm ...."

Dia hanya merespon ucapanku dengan deheman pelan tanpa menoleh ke arahku, seperti dulu.

Tatapan matanya tadi bahkan sedingin salju.

'Ah, sudahlah. Lagi pula aku sudah menikah dengan mas Ihsan. Aku tak perlu sibuk memikirkan yang lainnya termasuk sikap mas Bisma,' ucapku dalam hati.

Aku pergi meninggalkan area lantai dua menuju dapur untuk meletakkan alat-alat kebersihan yang baru saja kugunakan.

TING!

Satu notifikasi pesan chatting masuk ke telepon genggamku. Rupanya pesan berasal dari Mas Bisma, orang yang tadi bersikap tak acuh padaku.

“Dua minggu aku menghabiskan waktu di Singapura, tapi gak bisa bikin aku lupa kalau aku mencintaimu sejak lima tahun yang lalu, Seruni. Aku patah hati saat kamu menolakku untuk yang kesekian ratus kali dan memilih menikah dengan Ihsan. Semoga kamu gak menyesal sudah memilihnya!”

Aku melebarkan kedua mataku. “Menyesal? Aku gak mungkin menyesal nikah sama mas Ihsan.”

Aku semakin bertekad untuk mencari informasi pekerjaan lain setelah ini. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi bekerja di rumah ini.

Andai saja dulu orang tuaku bisa menyekolahkanku sampai SMA, mungkin nasibku tidak akan berakhir menjadi seorang pembantu. Setidaknya aku bisa bekerja di pabrik seperti Suci, sahabatku.

Aku memutuskan untuk menemui Bu Ambar untuk berpamitan. Dia sedang berada di kamarnya.

"Masuk, Run," ucapnya.

"Saya pamit pulang sekarang, Bu. Soalnya ini sudah jam 7 malam," ucapku begitu masuk ke dalam kamar Bu Ambar.

"Suamimu sudah jemput, Run?" tanya Bu Ambar.

Aku menggelengkan kepalanya pelan. "Belum sih, Bu. Tapi saya pulang saja pake angkot. Siapa tahu mas Ihsan mendadak berhalangan menjemput saya." Aku mencoba mengenyahkan pikiran burukku.

"Hati-hati kalau gitu. Besok jangan lupa datang lagi." Bu Ambar menoleh padaku seraya tersenyum.

"Siap, Bu."

Setelah berpamitan pada Bu Ambar, aku pun pergi ke kamar untuk mengganti pakaianku dan meraih tas satu-satunya tas selempang kesayanganku karena peninggalan mendiang ibuku.

Begitu tiba di halaman rumah Pak Wira, aku menghapus pesan dari Mas Bisma, sebab takut jadi masalah di kemudian hari.

Setelah itu aku segera menghubungi nomor Mas Ihsan. Saat ini sudah jam 7 malam bahkan lebih, tapi suamiku belum datang untuk menjemputku.

“Ya Allah … Kok gak diangkat-angkat sih? Mas Ihsan kemana ya? Udah jam 7 malam tapi kok dia belum jemput aku?” gumamku yang kini merasa kesal.

Karena mas Ihsan tak kunjung datang juga, aku memutuskan untuk pulang naik angkot saja. Saat aku sedang menunggu angkot yang melintas, aku terkesiap saat telepon genggamku berdering. Nomor tak dikenal menghubungiku.

“Siapa yang menghubungiku?” Aku mendengus kasar dan mengabaikan panggilan telepon itu.

Aku masukan lagi telepon genggamku sebab khawatir ada orang jahat yang merampas telepon genggamku.

Saat aku kembali melangkah sambil menunggu angkot lewat, telepon genggamku kembali berdering. Kulihat panggilan telepon itu dari nomor yang sama. Akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilan telepon itu.

“Halo,” sapaku.

“Halo, dengan Bu Seruni, istri dari pak Ihsan?”

“Iya betul. Ini siapa?” tanyaku dengan kerutan yang dalam di keningku.

“Kami dari rumah sakit, Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status