POV Seruni
Siang telah berlalu berganti malam. Keheningan merayapi rumah neneknya mas Ihsan yang sudah cukup tua dan penuh kenangan. Saat ini aku berada di dapur, mencuci piring bekas makan malam beberapa waktu yang lalu.
Air dingin mengalir deras, mengguyur piring-piring dengan suara gemericik yang menenangkan.
"Seruni!" panggil Bu Minten dengan nada tajam, mengagetkanku.
Aku menoleh dan melihat beliau berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat sinis seperti biasa. Beliau mendekat lalu menarik lenganku dengan kasar.
"Ikut aku sebentar," katanya dengan nada memerintah, kemudian membawaku ke samping rumah, jauh dari telinga yang mungkin mendengar.
"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan jantungku yang berdegup kencang.
"Seruni, aku mau kamu ninggalin Ihsan. Aku lihat semua udah gak sesuai rencana awal," kata Bu Minten tegas, suaranya penuh
POV Seruni.“Mas Bisma!” pekikku dengan kedua mata yang masih melebar. “Kok bisa ada di sini?”Dia hanya tersenyum padaku sambil mengemudi. Wajahnya penuh keringat dan sedikit darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya penuh kekhawatiran padaku.“Panjang kalau diceritain. Bisa ngabisin 1 buku novel cetak,” jawabnya, yang membuatku merubah raut wajahku menjadi masam. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya untuk yang kedua kali.Aku mengangguk, meskipun raut wajahku masih cukup masam. “Aku gak apa-apa. Kamu sendiri gimana, Mas?”Dia tersenyum lemah. “Aku akan baik-baik saja. Yang penting sekarang kita selamat dulu dari kejaran orang-orang itu.”Dalam keheningan mobil, aku tidak bisa menahan rasa terima kasih yang meluap-luap di dalam hatiku. Mas Bisma telah menyelamatkanku. Ini bukan pertama kalinya aku merasa aman berada di dekatnya meskipun situasinya begitu berbahaya.
POV Ihsan.Jam menunjukkan angka 7.30, namun Seruni belum kembali dari apotek. Aku mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah, hati terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.“Kenapa Seruni belum kembali?” gumamku pelan.Pikiran-pikiran buruk mulai menguasai benakku. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Bukan karena aku khawatir dengan keselamatannya. Aku yakin akan hal itu, tapi Seruni adalah calon pohon uangku.“Udahlah, Ihsan. Nanti juga dia akan pulang,” ucap ibuku.Aku menatap tajam pada ibuku. “Ibu yang bikin Seruni pergi malam-malam dan nenek juga udah bilang gak jadi, tapi ibu terus maksa!” seruku marah, melemparkan pandangan tajam ke arah ibuku.Nenekku tampak terdiam dan merasa bersalah. Ibuku yang melihat hal itu merasa tak suka.“Bu, istirahat saja di kamar ya,&rdqu
POV BismaAku menggeliatkan tubuhku yang masih terasa lemah setelah melepaskan segala hormon stress ku tadi bersama Seruni. Beberapa waktu lalu, kami habis memadu kasih dengan penuh gairah.“Kamu itu menggemaskan, Seruni,” ucapku membayangkan kegilaan kami tadi.Aku melepas kepergian Seruni yang memutuskan untuk pulang sendiri dan menolak diantar olehku.“Sudahlah, yang penting sekarang Seruni benar-benar akan jadi milikku,” gumamku.Aku turun dari ranjang dengan perasaan bahagia. Tubuhku masih polos tanpa sehelai benang pun, namun aku tidak peduli. Lagi pula kami sudah mengikat janji akan bersama setelah ini, dan aku merasa perjuanganku tidak sia-sia meski harus memakai cara jahat dan licik dengan memanfaatkan kesulitan Seruni saat dia membutuhkan uang untuk biaya operasi Ihsan.Toh aku tahu, Ihsan bukan laki-laki baik sebenarny
POV Bisma.Aku mendengar teriakan Ihsan yang penuh dengan amarah dan kecemburuan.Aku menoleh dengan sinis pad Ihsan. “Sok-sokan marah. Padahal apa yang dia lakukan juga udah nyakitin Seruni banget.”Seruni yang masih ada dalam pelukanku mendongakkan kepalanya. “Mas, ngomong apa?”Aku lupa kalau ada Seruni dalam pelukanku. “Gak ada kok. Aku cuma ngomong gak jelas aja.”Aku jelaskan pun rasanya percuma karena bisa saja Seruni tidak percaya dengan ceritaku tentang Ihsan. Untuk saat ini aku memilih zona aman. Kesalahpahaman hanya akan membuat Seruni menjauh lagi dariku dan aku tidak ingin hal itu terjadi.Tanpa menghiraukan Ihsan, aku segera menggendong Seruni sebelum tiga pria yang menculiknya bangkit dan mencoba melawan lagi. Aku melewati Ihsan yang masih berusaha berjalan dengan susah payah, sambil berusaha menenangkan diri dari se
Sebagai pengantin yang baru dua minggu menjalani biduk pernikahan. Aku merasa jadi wanita paling beruntung karena dinikahi Mas Ihsan, laki-laki yang telah memacariku sejak dua tahun yang lalu.Aku tak peduli meskipun pekerjaan suamiku hanya sebagai montir dengan gaji tak seberapa di bengkel kecil milik Mas Raffi, kakaknya yang sudah meninggal setahun yang lalu, konon meninggal karena serangan jantung mendadak.“Memangnya kamu gak keberatan kalau nikah sama montir yang gajinya hanya cukup buat makan?” tanyanya kala itu, sekitar sebulan sebelum pernikahan.Aku menggelengkan kepala dengan yakin. “Aku sama sekali gak keberatan, Mas.”Dan pernikahan sederhana pun akhirnya berlangsung, meskipun aku merasa aneh saat Mbak Rania, istri mendiang Mas Raffi yang tak lain kakak ipar Mas Ihsan datang sambil menggendong anaknya yang baru berusia tiga bulan dengan mata sembab. Dia menyalami kami dan mengucapkan selamat. Mungkin saja dia teringat dengan mendiang Mas Raffi. Apalagi bayi mereka lahir t
"Rumah sakit?" tanyaku dengan heran."Benar. Kami ingin menyampaikan kabar buruk. Suami Anda mengalami kecelakaan parah.”“Apa?!”Tubuhku seketika gemetar. Jantungku berdetak tak karuan, rasanya kedua kakiku seperti tak menatap di tanah."Halo, Bu.""I-iya. Sa-saya masih disini," ucapku terbata-bata setelah sempat diam beberapa saat. "Sa-saya akan segera ke rumah sakit."Tanpa berpikir panjang, aku memanggil ojek. Tak peduli berapa ongkosnya, yang penting aku harus segera tiba di sana.***Tubuhku seketika ambruk ke lantai setibanya di rumah sakit. Kedua lututku seolah tak mampu lagi menopang bobot tubuhku yang bahkan hanya berbobot lima puluh kilo saja.Melalui kaca jendela ruang ICU, aku melihat Mas Ihsan yang tergolek lemah tak berdaya dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun harus memakai alat bernama CPAP.“Mas Ihsan! Kenapa harus begini?!” jeritku dengan suara kencang diantara tangisku.Tiba-tiba telingaku mendengar suara derap langkah kaki
“Ya Allah! Ihsaaan!” pekik ibu mertuaku yang langsung seperti kehilangan tenaga. “Haruskah aku kehilangan anakku lagi?”Aku yang kebetulan ada di sampingnya, langsung menangkap tubuhnya, namun dengan teganya dia tepis tanganku, bahkan sampai mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai.Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Mbak Rania. “Itu kertas apa, Mbak?”“Ini jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi Mas Ihsan,” ujarnya sambil menyodorkan selembar kertas itu padaku. Mataku melebar saat melihat deretan angka yang tercantum di atas kertas itu. “Dua ratus juta?! Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu semalam?”Bu Minten terlihat menoleh ke arahku. “Kalau kamu gak mau selamanya aku benci sama kamu, cari uang untuk biaya operasi Ihsan itu sekarang juga!”Dengan pikiranku yang sangat kalut, aku berjalan menelusuri jalan di malam yang gelap tanpa tujuan. Bahkan perutku yang terasa keroncongan pun aku abaikan.Biasanya sebelum pulang dari rumah Bu Ambar
Jangan lupa subscribe cerita ini ya. Beri bintang 5. Follow juga akun fb dan tiktokku.Fb: Za AlanaTiktok: @miss_alana_author*“Ayolah, Run. Aku udah gak bisa nunggu lama lagi."Aku yang sedang berdiri di depan cermin yang berada di dalam kamar mandi, tampak memejamkan mata saat mendengar suara tersebut.Bahkan saat ini aku sudah mengenakan pakaian tidur pendek berwarna hitam yang kontras dengan warna kulitku yang putih. Banyak orang bilang kalau aku ini cantik meski tanpa pulasan make up. Bahkan ada yang menyebutku sebagai kembang desa.“Sebentar, Mas,” ucapku dengan lirih.Aku menangis tanpa suara. Malam ini terpaksa aku harus ambil keputusan yang mungkin akan kusesali seumur hidupku demi uang 200 juta, untuk biaya operasi suamiku. “Gak apa-apa. Anggap saja ini sebagai baktiku kepada suamiku,” gumamku di tengah kepedihan hatiku. “Aku yakin kalau Allah juga mengerti dengan keputusanku ini. Aku tak punya pilihan lain.”Aku usap wajahku yang basah karena air mata lalu aku kuatkan la