Jangan lupa subscribe cerita ini ya. Beri bintang 5. Follow juga akun f* dan tiktokku.
F*: Za Alana
Tiktok: @miss_alana_author
*
“Ayolah, Run. Aku udah gak bisa nunggu lama lagi."
Aku yang sedang berdiri di depan cermin yang berada di dalam kamar mandi, tampak memejamkan mata saat mendengar suara tersebut.
Bahkan saat ini aku sudah mengenakan pakaian tidur pendek berwarna hitam yang kontras dengan warna kulitku yang putih. Banyak orang bilang kalau aku ini cantik meski tanpa pulasan make up. Bahkan ada yang menyebutku sebagai kembang desa.
“Sebentar, Mas,” ucapku dengan lirih.
Aku menangis tanpa suara. Malam ini terpaksa aku harus ambil keputusan yang mungkin akan kusesali seumur hidupku demi uang 200 juta, untuk biaya operasi suamiku.
“Gak apa-apa. Anggap saja ini sebagai baktiku kepada suamiku,” gumamku di tengah kepedihan hatiku. “Aku yakin kalau Allah juga mengerti dengan keputusanku ini. Aku tak punya pilihan lain.”
Aku usap wajahku yang basah karena air mata lalu aku kuatkan langkahku untuk melangkah keluar dari kamar mandi menuju kamar yang bahkan cahayanya sudah dibuat redup.
Dengan tatapan mata yang penuh dengan ketidak ikhlasan, aku melihat Mas Bisma sudah menungguku. Ada perjanjian diantara aku dan mas Bisma yang telah kusetujui dan harus kujalani.
‘Ya Allah … haruskah? Kenapa tidak ada pilihan lain di saat sulit seperti ini?’ batinku, mencoba mengeluhkan kondisi ini pada Allah.
Sebelumnya saat masih berada di ruang tamu, Mas Bisma akhirnya bersuara setelah hening cukup lama.
“Aku akan memberimu uang bukan hanya 200 juta tapi 300 juta,” ucapnya.
Aku membelalakkan kedua mataku. Seumur-umur aku bekerja di rumah ini, baru kali ini aku merasa senang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki urakan ini.
Bagaimana tidak kusebut sebagai laki-laki urakan. Lihat saja pakaiannya. Celana jeansnya robek-robek. Dia memakai jaket kulit yang modelnya saja gak jelas. Rambutnya gondrong dan selalu diikat ke belakang. Belum lagi ada piercing anting di kedua telinga dan di ujung alisnya.
Bahkan kudengar dia anggota band beraliran rock alternatif. Kata ibuku biasanya laki-laki urakan seperti dia itu pergaulan tidak jauh dari hal-hal yang dilarang Allah.
Aku bergidik ngeri membayangkannya. Benar-benar manusia dur-h∆k∆ di mataku.
“Benarkah, Mas?” tanyaku dengan kelegaan tak terkira dalam hatiku.
“Iya. Tapi ada syaratnya.”
Kulihat wajahnya tampak mencurigakan. Terkesan datar dan penuh teka-teki.
“Apa itu?”
“Kamu harus mau jadi milikku seutuhnya. Setelah 6 kali pertemuan, aku anggap semua lunas.”
DEG!
Rasanya tubuhku seperti sedang dihempaskan ke jurang paling dalam mendengar ucapannya. Aku semakin jijik pada laki-laki ini.
Telepon genggamku kembali berdering. Rupanya ibu mertuaku yang menghubungiku.
“Gimana? Udah dapat uangnya?” tanyanya. Seolah tak peduli meski aku harus mengadaikan nyawaku sekalipun.
Wanita itu terus saja menekanku. Aku yang merasa kalut akhirnya gelap mata. Aku menyanggupi syarat dari mas Bisma.
Dan saat ini, aku hanya bisa pasrah sambil memejamkan kedua mata saat merasakan nafas mas Bisma menyatu denganku, tanpa bisa kutolak lagi.
'Mas Ihsan, lihat aku! Bahkan aku harus rela ada dalam kondisi seperti ini hanya demi mendapatkan biaya operasimu, Mas!" jeritku dalam hati. Berharap suamiku tak pernah menyalahkanku andai tahu kenyataan yang sesungguhnya.
“Bersiaplah, Run. Aku akan segera menuntaskannya,” bisiknya di telingaku hingga membuat bulu kudukku terasa meremang.
“Jangan kasar, Mas. Soalnya–”
“Iya. Aku paham kok. Lagian aku juga masih newbie,” ucapnya.
Aku mengerutkan kening saat dia menyebutkan kata ‘Newbie’ yang bahkan tidak aku ketahui apa artinya. Tapi aku tak peduli. Yang pasti malam ini aku harus merelakan hal yang selama dua puluh dua tahun aku jaga padanya.
Ya, aku dan mas Ihsan memang belum sempat melewati indahnya malam bahagia sebagai pasangan suami istri.
Entahlah, Mas Ihsan selalu mengatakan belum siap untuk melewatinya. Padahal dari yang pernah kudengar, bahwa seorang laki-laki yak butuh cinta saat ingin menjalani kewajibannya.
“Argh!”
Aku memekik kencang saat kurasakan hal telah kujaga selama dua puluh dua tahun kini telah hilang dari genggaman tanganku.
“Seruni, kamu …,” kudengar suara Mas Bisma menggantung di udara.Sungguh. Air mata ketidakikhlasanku saat ini mengalir deras tak terbendung. Dalam kepasrahan dan ketidakberdayaanku, aku mengangguk perlahan. “Ya, Mas, aku masih belum tersentuh.”Entah aku salah melihat atau memang hal itu yang sebenarnya terjadi. Aku melihat Mas Bisma tersenyum menyeringai. Wajahnya tampak seperti orang yang bahagia. “Kalau begitu aku beruntung. Tidak sia-sia kukeluarkan uang sebanyak itu untukmu," katanya.Tak menunggu lama, kurasakan mas Bisma melanjutkan kegiatannya. Aku benar-benar awam dengan hal ini, karena ini adalah yang pertama kali untukku.Aku yang bisa diam, gak peduli dengan rasa sakit yang menderaku. Sama sekali tak kurasakan hal indah seperti yang dikatakan banyak orang tentang indahnya sebuah penyatuan.Tiba-tiba mas Bisma semakin bekerja dengan cepat untuk segera tiba di tepian, padahal aku sudah protes. Aku memekik perlahan, mencoba menerima setiap rasa yang kualamai saat ini. Hingga
Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin untuk menumpahkan segala rasa yang bahkan sudah membuat tubuhku seakan kebas. Padahal baru tiga jam saja aku meninggalkan rumah sakit dalam keadaan bingung yang tiada berujung, dengan berbagai pikiran berkecamuk. Secara logika, untuk orang miskin dan tidak berpendidikan sepertiku, rasanya mustahil bisa mendapatkan uang 200 juta hanya dalam hitungan jam tanpa jaminan apapun.Area sensitifku bahkan masih terasa ngilu setiap kali aku memaksakan diri untuk melangkah. Sampai seperti ini pengorbananku untuk suamiku, tapi tak sedikitpun ada harganya di mata ibu mertuaku.“Run! Kenapa diam aja? Kamu berhasil gak dapat uang 200 juta itu?” tanya Mbak Rania.Seharusnya sesama menantu itu tidak boleh saling menyudutkan. Tapi dari yang aku rasakan, Mbak Rania itu seperti selalu mencari muka terutama di hadapan ibu mertuaku, padahal sudah setahun lalu Mas Raffi meninggal dunia. Aku pun semakin yakin kalau dia mengincar suamiku.Dengan air mata berderai
“Sudah lunas ya, Bu.”Aku terkesiap saat perawat di bagian administrasi itu menyodorkan selembar kertas yang sudah diberi cap warna merah bertuliskan LUNAS!Baru saja aku hanyut dalam ingatan satu jam yang lalu. Rasanya terlalu mustahil bagiku memaksakan diri untuk bersama dengan laki-laki yang tidak aku cintai, meskipun dia memiliki banyak uang.Dasar memang dia laki-laki urakan dan pemaksa.“Ah, iya. Terima kasih, Sus,” ucapku sedikit terbata-bata.Perawat itu tersenyum padaku. “Sekarang pasien akan segera dipindahkan ke ruang operasi.”Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu, saat ini bahkan kalian mungkin tengah menghujatku dan menganggapku bodoh. Tapi faktanya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Kuayunkan langkahku dengan gontai dan tatapan mata yang kosong. Aku harus kembali ruang ICU untuk memastikan suamiku benar-benar sudah ditangani dengan baik oleh rumah sakit ini. “Ya Allah, kepalaku pusing sekali.” Aku sedikit memijat-mijat pelipisku yang tiba-tiba terasa berde
Aku mengaduk-aduk nasi goreng di depanku. Setiap suapan terasa seperti batu kerikil yang sulit untuk ditelan. Pikiranku melayang-layang, teringat akan nasib suamiku yang masih dalam proses operasi dan pertemuan berikutnya dengan mas Bisma yang terus menghantuiku.“Gak bisa makan juga, Seruni?” gumamku pelan, bertanya pada diriku sendiri, sambil meletakkan sendok. Aku menunduk, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata.Dengan langkah gontai, aku meninggalkan kantin. Di lorong rumah sakit yang sepi, hanya ada suara langkah kakiku yang menggema. Aku tahu bahwa kembali ke depan ruang operasi mungkin hanya akan membuatku disambut dengan cemoohan, tetapi aku merasa tak punya pilihan lain.“Kenapa aku ditakdirkan memiliki ibu mertua yang kejam, Ya Allah? Padahal aku ini anak yatim piatu,” keluhku sambil melangkah. “Ada mas Ihsan yang menyayangiku, tapi saat ini kondisinya sedang berada di antara hidup dan mati.”Setibanya di depan ruang operasi, Bu Minten langsung melayangkan
Aku duduk di samping tempat tidur mas Ihsan, memegang tangannya yang dingin.Alat-alat kesehatan masih menempel di tubuhnya, bunyi mesin yang monoton menjadi satu-satunya suara di ruangan ini.Wajah mas Ihsan terlihat seperti orang yang tertidur lelap, tenang dan damai meski belum tahu kapan suamiku ini akan jauh sadar.Sudah beberapa jam sejak aku pingsan dan tersadar kembali, namun tak kulihat bayangan Mbak Rania atau Bu Minten di sini.“Mas, cepatlah sadar,” bisikku pelan. “Aku butuh kamu di sisiku. Cuma kamu yang bisa mengerti aku."Perasaan cemas dan lelah membuatku merasa butuh udara segar. Aku memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah."Mas, aku pulang sebentar ya. Aku mau mandi, dan ganti baju. Aku pasti akan kembali lagi kemari," ucapku seraya mengecup kening suamiku dengan penuh cinta.Aku melangkah, meninggalkan ruang rawat mas Ihsan menuju jalan. Aku pun menyetop angkot. Nanti setelah sampai di rumah, mungkin aku akan mengambil beberapa barang yang diperlukan selama di rum
Empat hari telah berlalu sejak operasi mas Ihsan dilakukan. Meskipun respons tubuhnya cukup baik, kenyataannya dia belum juga sadar sampai saat ini."Mas, aku pergi kerja dulu ya. Mungkin sebentar lagi ibu akan datang kemari untuk menunggumu di sini," ucapku seraya mengecup gening mas Ihsan.Ya, aku memutuskan untuk tetap bekerja untuk menyambung hidup kami di kemudian hari.Setiap hari aku bekerja di rumah Bu Ambar dan Pak Wira. Anehnya, selama empat hari itu, Bisma sama sekali tak terlihat di rumah. Aku bersyukur atas ketidakberadaan Bisma, memberikan sedikit kedamaian dalam hidupku yang penuh tekanan ini."Run, buatkan teh hangat untuk kami ya," pekik bu Ambar dari ruang tengah."Inggih, Bu."Segera aku buatkan teh hangat untuk kedua majikanku itu. Kebetulan sore ini cuaca mendung, dengan suhu udara yang cukup dingin."Gimana kabar Bisma di Singapura?" tanya Pak Wira."Gitulah. Sibuk dengan kegiatannya," jawab Bu Ambar.'Jadi, laki-laki urakan itu ada di Singapura. Pantesan 4 hari i
Aku menoleh ke arah suara yang familiar itu. Tubuhku langsung membeku saat melihat sosok itu.‘Ya Allah! Itu kan Suci? Aku harus gimana ini?’Bibirku mendadak kelu, tidak tahu harus berkata apa. Bayangan amarah mas Ihsan langsung muncul di depanku.Kulihat mas Bisma maju ke depan, hingga posisiku ada di belakangnya, seolah ingin menyelamatkanku dari situasi yang canggung ini."Siapa kamu?" tanya Mas Bisma pada Suci dengan nada dingin.Suci, yang juga mengenakan pakaian pesta meski tidak semewah punyaku, menjawab dengan sopan, "Saya Suci, Den Bisma. Temannya Seruni. Anaknya Pak Atma yang bekerja di perkebunan kentang punya Pak Wira, bapaknya Den Bisma.”“Oh begitu? Maaf, kalau saya ndak kenal kamu.” Mas Bisma tampak mengernyitkan keningnya, sepertinya dia baru ingat dengan pertanyaan Suci padaku. Kemudian dia menjawab dengan nada tegas, "Tadi kamu bertanya tentang wanita di belakang saya kan? Dia ini Arumi, calon istri saya. Bukan Seruni seperti pikiranmu."Suci tampak mematung, sedikit
Setelah berada di dalam ruang rawat mas Ihsan, hal pertama yang ingin kulakukan adalah mandi, tak peduli meski sekarang sudah jam 1 malam.“Aku hanya seorang wanita kotor saat ini,” gumamku diantara kepedihan hatiku dengan nasib hidupku yang buruk menurutku.Rasanya semua yang terjadi malam ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Tubuhku terasa berat, dan kepalaku penuh dengan pikiran yang membuatku hampir gila. Andai semua ini tak segera berakhir, mungkin perhentian terakhir perjalanan hidupku adalah rumah sakit jiwa.“Ya Allah, tolong aku agar bisam segera keluar dari lingkaran se-tan ini,” gumamku.Aku masuk ke kamar mandi rumah sakit dengan langkah gontai. Begitu pintu tertutup, aku langsung menyalakan shower dan membiarkan air hangat mengalir di tubuhku. Tanpa suara, air mataku mulai mengalir deras.“Seluruh tubuhku kini terasa kotor. Bukan hanya karena keringat dan debu, tapi juga karena perasaan bersalah yang menghantui,” bisikku di tengah kucuran air yang tercurah d