Share

TMK (Bab 7)

“Sudah lunas ya, Bu.”

Aku terkesiap saat perawat di bagian administrasi itu menyodorkan selembar kertas yang sudah diberi cap warna merah bertuliskan LUNAS!

Baru saja aku hanyut dalam ingatan satu jam yang lalu. Rasanya terlalu mustahil bagiku memaksakan diri untuk bersama dengan laki-laki yang tidak aku cintai, meskipun dia memiliki banyak uang.

Dasar memang dia laki-laki urakan dan pemaksa.

“Ah, iya. Terima kasih, Sus,” ucapku sedikit terbata-bata.

Perawat itu tersenyum padaku. “Sekarang pasien akan segera dipindahkan ke ruang operasi.”

Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu, saat ini bahkan kalian mungkin tengah menghujatku dan menganggapku bodoh. Tapi faktanya memang aku tidak memiliki pilihan lain.

Kuayunkan langkahku dengan gontai dan tatapan mata yang kosong. Aku harus kembali ruang ICU untuk memastikan suamiku benar-benar sudah ditangani dengan baik oleh rumah sakit ini. 

“Ya Allah, kepalaku pusing sekali.” Aku sedikit memijat-mijat pelipisku yang tiba-tiba terasa berdenyut. 

Aku baru ingat kalau tadi belum sempat makan malam. Awalnya karena tidak ingin berlama-lama berada di rumah Bu Ambar dan Pak Wira, akibat Mas Bisma yang terus saja menggangguku.

Tapi kali ini mungkin akibat rasa panik dan tertekan hebat akibat memikirkan nasib suamiku, hingga aku melupakan untuk mengisi perutku sendiri.

Aku memutuskan untuk duduk sejenak, berharap rasa pening di kepalaku menghilang. Tapi tiba-tiba kulihat dari kejauhan sebuah blankar yang didorong dengan cepat dan terus mendekat ke arahku.

Brankar itu melewatiku begitu saja. Tapi hal yang membuatku tertegun adalah pandangan mataku sendiri yang rasanya belum bisa kupercaya. 

‘Itu tadi kan mas Ihsan? Terus kenapa Mbak Rania berlari di samping brankar sambil menggenggam erat tangan mas Ihsan sambil menangis? Apa aku salah lihat?’

Aku masih mencoba untuk berpikiran positif. Bisa saja karena terdorong oleh keadaan, Mbak Rania bersikap seperti itu. Aku menguatkan kakiku untuk bisa berjalan ke arah ruang operasi.

Kali ini tak kulihat Mas Bisma, bahkan bayangannya pun seolah pergi. Syukurlah, aku tenang.

TING

Aku yang sedang berjalan pelan sambil memegangi tembok ke arah bagian depan ruang operasi, seketika menghentikan langkahku untuk melihat siapa orang yang mengirimiku pesan.

“Astaghfirullaah … bisa gak sih dia gak gangguin aku?” Aka sampai memijat pangkal hidung saking jengkelnya dengan makhluk satu itu.

Kuabaikan pesannya dan kulanjutkan langkah kakiku menuju ruang operasi.

Setibanya di sana, melihat Bu Minten duduk dengan mulut yang terlihat berkomat-kamit. Sepertinya dia sedang berdoa. Lalu Mbak Rania, tampak cemas dengan berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi.

Bu Minten hanya melirik sinis saja padaku. Meski tak ada satupun yang mengharapkan kehadiranku di sana, namun aku tetap duduk di kursi ruang tunggu.

Mbak Rania mendekat ke arahku. “Den Bisma kemana, Run?”

“Gak tahu, Mbak.”

“Aneh ya ada anak majikan mau nganterin pembantunya,” ucap Mbak Rania.

Aku mengerutkan keningku. Emosiku terpancing oleh kata-katanya. “Maksud Mbak apa ngomong kayak gitu?”

“Kali aja–”

“Cukup, Mbak! Bisa-bisanya di saat seperti ini mbak berpikiran buruk tentang saya!”

Oke, faktanya aku memang wanita buruk saat ini. Tapi tetap saja aku tak terima dengan ucapan kakak iparku ini.

Rasa lelah, kalut, termasuk rasa sakit di hati dan area sensitifku semua bergabung menjadi satu dan berubah menjadi emosi tak terbendung.

Kulihat Bu Minten berdiri sambil menatap tajam ke arahku. “Beraninya kamu membentak menantu kesayanganku. Orang miskin aja belagu. Jangan mentang-mentang kamu udah berhasil mendapatkan pinjaman dari majikanmu, terus kamu bisa bersikap seenak udelmu.”

Kesal. Aku pun memilih pergi meninggalkan bagian depan ruang operasi itu menuju kantin. Betulan juga perutku sudah sangat lapar malam ini. 

Sejak aku meninggalkan ruang ICU menuju bagian administrasi rumah sakit, aku tidak lagi melihat Mas Bisma. Entah ke mana dia pergi. Tapi itu jauh lebih baik.

“Ini pesanannya, Mbak.” Seorang pelayan kantin tapak meletakkan sepiring nasi goreng ayam pesananku.

Tadi pasti banyak di kantin aku langsung memesan makanan..

“Makasih, Mbak,” ucapku dengan tetapan penuh minat ke arah nasi goreng ayam tersebut.

Aku baru ingat kalau tadi Mas Bisma mengirimiku pesan. Meskipun enggan, pada akhirnya aku tetap membuka aplikasi chatting berwarna hijau untuk membaca pesannya. 

Aku harus bersikap profesional terhadap perjanjian yang sudah disepakati bersama. Toh Mas Bisma pun sudah berjanji padaku tidak akan pernah membuka aib ini pada siapapun. Setidaknya aku bisa tenang.

“Tadi ibu sama bapak nelpon dan tanya aku ada di mana. Aku jawab aja kalau aku lagi nongkrong sama temen-temen. Aku cuma mau ngingetin, empat hari lagi kamu siap-siap, karena itu adalah pertemuan kita yang kedua”

Aku yang sedang menelan nasi goreng, tiba-tiba seperti sedang menelan sesendok pasir yang terasa serat tenggorokanku. Tak terasa air mataku kembali menetes membayangkan kalau empat hari lagi aku harus kembali melayaninya.

Siapapun, tolong aku. Rasa sakit itu masih terbayang dalam ingatanku. Aku seperti terjebak dalam sebuah ruangan yang tidak memiliki pintu untuk keluar. 

“Mungkin gak ya kalau perjanjiannya diubah saja? Aku bayar ke mas Bisma pake tenaga gitu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status