Diperalat dan dianggap remeh oleh Eric Wijaya—tunangannya, Cora Aleyna sangat kecewa dan sakit hati. Dia berniat menghalangi rencana Eric kemenangkan kompetisi dan mendapatkan keuntungan dari desain satu set perhiasan yang dicuri darinya. Namun siapa sangka dalam usahanya mencari seorang sponsor, Reno—CEO misterius yang mensponsorinya adalah orang yang memiliki masa lalu yang rumit dengannya! Dapatkah Cora mengambil kembali haknya yang telah diambil darinya? Lalu bagaimana dengan Reno—sang mantan, yang kembali dalam hidupnya? Dapatkah ia menjalaninya tanpa terjebak pesona pria itu?
View More“Lebih keras, Sayang!"
Sepasang pria dan wanita bergerak berirama, meliuk-liuk dengan tubuh yang berpeluh, bercampur dengan kuatnya aroma feromon di ruangan itu. Suara deritan ranjang mengikuti gerakan sensual keduanya, menyatu dengan desahan-desahan panjang yang menyayat hati Cora. Bagaimana tidak? Pria yang tengah bergerak berirama dengan wanita di hadapannya itu adalah calon suaminya sendiri! “E—Eric! Apa yang kamu lakukan?!” Eric dan Janet—wanita itu, seketika menoleh. Untuk sesaat mereka berdua terkejut melihat Cora. “Ah, akhirnya wanita murahan ini muncul juga!” Raut wajah Janet berubah menjadi sinis. Tubuh Cora bergetar, dan ia sulit bernafas, sehingga harus menopangnya dengan berpegangan pada kusen pintu. Cora menatap mereka dengan mata yang menggenang. Kenapa mereka tega melakukan ini padanya? Eric dan Janet menoleh. Seakan tidak memiliki perasaan, mereka menertawakannya dengan guratan wajah terpuaskan. Eric beranjak dari tubuh Janet, dan mengenakan pakaiannya dengan santai. Janet melakukan hal yang sama. Tidak tampak rasa bersalah di wajah mereka, seakan hal itu kerap kali mereka lakukan. "Teganya kamu melakukan ini, Eric?! Kamu tunanganku!" Janet tertawa. Ia menghampiri Eric dan memeluk pria itu dengan mesra. “Cora… kamu tidak sungguh-sungguh berpikir Eric akan menikahimu kan?” Apa maksudnya? Cora menatap nanar kedua orang dihadapannya. Meskipun hati Cora hancur berkeping-keping, ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia ingin tahu kenapa Eric melakukan itu padanya. “Eric?” Cora menunggu penjelasan tunangannya itu. Eric berhenti tertawa dan justru mencemoohnya, “Kamu itu naif, atau bodoh? Bukankah sudah jelas?” “Cora, aku tidak pernah mencintaimu, selama ini aku hanya berpura-pura saja.” Berpura-pura? Apakah pertunangan mereka tidak ada artinya? Lalu bagaimana dengan semua rencana pernikahan yang sudah mereka bicarakan? Apakah semua itu omong kosong? Tangannya yang dingin semakin erat memegang kusen, seakan ia akan terjatuh jika melepaskannya. “Kenapa? Kenapa kamu harus berpura-pura?” tanyanya dengan suara bergetar. “Kenapa?” Eric mengulang pertanyaan Cora. “Karena…aku tidak membutuhkanmu lagi…” ucap Eric sambil tertawa, diikuti oleh Janet di sampingnya. Tidak membutuhkan lagi? Apa maksudnya? Cora tidak mengerti apa yang Eric katakan. Janet menepuk bahu Eric. “Katakan saja padanya, Sayang. Tidak ada yang perlu kita tutupi lagi. Toh dia sudah tahu hubungan kita, dan—aku pun sudah mendapatkan hak paten-nya…” “Hak paten?” Seakan menyadari sesuatu, Cora menatap Eric dengan jantung berdebar kencang. Ia merasa ada sesuatu yang lain dibalik perselingkuhan mereka. Eric tersenyum miring. Ia berjalan menuju meja nakas dan mengambil selembar kertas dari sana. “Lihatlah…” Disodorkannya kertas itu kepada Cora Cora meraih kertas itu dan melihat sebuah sertifikat hak paten atas satu set perhiasan. Janet? Bagaimana mungkin mereka mengklaim perhiasan yang ia ciptakan dengan susah payah adalah milik Janet? “Aku hanya menginginkan hak paten Adorable Glam, dan sekarang, Adorable Glam adalah milik—Janet…” Tanpa malu, Eric mencium Janet dengan mesra. “Kurang ajar! Kalian berdua bersekongkol mencuri karyaku! Aku akan menuntut kalian!” seru Cora dengan tatapan tajam pada kedua orang di hadapannya. Ia begitu geram pada mereka berdua. “Tuntut? Bagaimana kamu akan menuntut kami?” Eric tertawa mencemooh. “Kalian tidak akan lolos begitu saja. Adorable Glam milikku, aku yang membuatnya! Aku punya semua bukti!” seru Cora dengan suara lantang. Namun selantang apa pun, ia tidak bisa menutupi getaran perasaan yang bercampur aduk di hatinya. Hancur, kecewa dan tersakiti melebur jadi satu oleh pengkhianatan mereka! Eric dan Janet saling bertukar pandang sebelum keduanya kembali tertawa. “Maksudmu… ini?” Eric meraih laptop berwarna merah yang ada di atas meja dan seketika itu juga Cora membelalakkan matanya. Ia mengenali laptop itu. Laptop itu adalah miliknya! Di sanalah semua kerja keras dan hasil karya miliknya berada! “Bukti?” Dengan mengangkat dagunya, Eric menantang Cora, lalu ia mengangkat laptop itu. “Sekarang—tidak lagi…” Eric menghantam laptop itu berkali-kali hingga pecahan komponen gawai itu berserakan, sebelum dengan bengis, menginjaknya! Melihat keadaan laptop yang menggenaskan, Janet tertawa senang. Cora yang sedari tadi mematung, merangkak untuk meraih laptopnya. Dengan tangan gemetar, ia memeluknya. “Eric… kamu…” seru Cora dengan airmata bercucuran. Ia tidak menyangka Eric begitu tega melakukan hal seperti itu. “Nenek Anjani benar. Tidak seharusnya aku mempercayaimu…” Sambil berusaha bangkit berdiri, Cora menatap Eric dengan tajam seraya mengacungkan telunjuknya. “Apa katamu?” sergah Eric dengan tatapan tajam. “Kamu dan nenek tua itu sama saja. Bodoh dan menyusahkan!” “Tunggu!” seru Janet tiba-tiba. Ia dengan cepat mendekat, lalu meraih tangan Cora dengan kasar. “Sayang, bukankah ini cincin nenekmu?” Tatapan mata Janet terarah pada sebuah cincin di jari telunjuk Cora. “Kamu mencurinya!” tuduh Eric saat ia melihat cincin itu. Cora menggeleng. “Nenek memberikan cincin itu untukku!” “Pembohong! Kamu tahu harga cincin ini sangat mahal! Tidak mungkin nenek memberikan ini untukmu” Eric dan Janet menarik cincin itu dengan kasar dari jari Cora tanpa mempedulikan Cora yang berteriak kesakitan. Setelah itu, Eric memerintahkan pelayan untuk menyeret Cora keluar. Tanpa bisa melawan, Cora diseret dan dihempaskan ke jalanan, bersama sebuah koper yang berisi barang-barang miliknya. “Kalian benar-benar keterlaluan!” teriak Cora dengan bibir bergetar, menatap kedua pengkhianat di depannya. “Pergi! Sebelum aku memanggil polisi dan menuntutmu karena mencuri cincin ini! Aku tidak mau melihatmu ada di kota ini lagi!” usir Eric sambil ia mengenakan cincin bermata satu itu di jari kelingkingnya dengan tatapan puas. Setelah itu, ia dan Janet berjalan masuk ke dalam rumah. Suara tawa mereka yang terdengar samar di telinga Cora, menorehkan luka yang semakin dalam di hatinya. “Aku tidak akan membiarkan kalian menikmati jerih payahku!” tekad Cora sambil menatap rumah besar didepannya dengan geram.“Re-reno, apa maksudmu aku tidak membayarnya dengan uang? Lalu—aku harus bayar dengan apa?” tanya Cora sekali lagi.Kesepakatan apa lagi yang Reno inginkan darinya untuk laptop ini?“Menurutmu? Dengan apa lagi kamu—bisa membayarnya selain dengan uang? Kamu bisa mengira-ngira berapa harga laptop ini kan?” tanya Reno dengan mengerling, menyiratkan berbagai hal yang ada di benak Reno, yang tidak bisa Cora pastikan.Reno tersenyum miring, lalu bergerak mundur, kembali duduk bersandar. Ia meraih telepon genggamnya saat ada notifikasi pesan masuk.Kening Cora berkerut memikirkan ucapan Reno. Ia memprediksi harga laptop baru dengan spec seperti itu pastilah di atas 40 juta. Dan Reno tidak ingin ia membayarnya dengan uang. Lantas dengan apa ia membayar laptop itu?50 juta… apa yang ia miliki bisa setara 50 juta…Cora melihat tangannya. Hanya ada jam tangan berharga 2-3 juta saja dipergelangannya.Lalu, cincin kawin dari Reno. Tidak mungkin ia membayarnya dengan cincin itu, meski ia memprediks
“Reno, laptop ini darimu?” tanya Cora begitu mobil mulai berjalan. Ia mengangkat tas laptop yang ada di tangannya ke hadapan mereka.Reno yang duduk santai di samping Cora, mengangkat satu alisnya.“Apa mereka bilang itu dari aku?” tanyanya balik.Cora berdecak. Apa sulitnya mengakui iya atau tidak?“Haruskah mereka mengatakan ini dari kamu?” Cora ikut balik bertanya.“Seharusnya tidak, tapi kalau mereka bilang begitu… apa bedanya? Lumiere milikku juga, dan laptop itu dibeli oleh Lumiere,” jawab Reno. Ia terlihat datar dan acuh, namun yang sebenarnya ia menahan senyumnya melihat ekspresi wajah Cora.Tentu ia yang menyuruh Eva menyiapkan laptop itu untuk Cora. Cora membutuhkannya untuk menggambar disain miliknya.Reno kembali menatap layar telepon genggamnya mengira percakapan mereka selesai. Ia lanjut menonton live streaming berita ekonomi dan bisnis.“Reno Afrizal!” panggil Cora dengan suara yang terdengar lantang. Reno menoleh, bersiap memberi Cora tatapan kesal dan protesnya. Namu
Sambil berjalan, Cora menatap bangunan gedung Limiere yang memiliki dua lantai. Gedung itu tidak terlalu besar.Bagian bawah bangunan adalah showroom yang menjual perhiasan yang dibuat oleh Lumiere. Dan dilantai atas adalah bagian kantornya di mana semua proses perencanaan, perancangan dan pemasaran setiap perhiasan dibuat di sana. Mereka melewati bagian showroom, dan menaiki lift untuk sampai ke lantai dua, kemudian menuju kantor General Manager.Di depan kantor itu, seorang perempuan berusia tiga puluhan tahun datang menyambut mereka. “Selamat siang, Pak Reno, apa kabar?”“Baik, Eva. Apa sudah siap semua yang saya minta?” tanya Reno sambil menjabat tangan Eva Lisbeth—GM Lumiere yang diangkatnya setahun yang lalu saat ia mendirikan perusahaan itu.“Sudah Pak, sebaiknya kita bicara di dalam saja.” Eva mempersilahkan mereka masuk.“Eva, Ini Cora, seperti yang sudah saya bicarakan sebelumnya, dia akan mewakili Lumiere dalam IJD tahun ini,” ujar Reno, kemudian ia beralih pada Cora. “
“Reno, apa temanmu mengatakan sesuatu?” Cora kembali bertanya dengan tidak sabar, “Dia butuh lebih banyak waktu untuk mengeceknya. Laptopmu itu rusak parah, Cora. Tidak bisa dengan cepat diperbaiki,” jawab Reno akhirnya.Dilihatnya Cora kecewa dengan jawabannya. Ia pun merubah posisi duduknya mengarah pada gadis itu. “Bukankah aku sudah bilang untuk tidak terlalu berharap?”Cora terdiam. Ia memang sangat berharap kenalan Reno itu bisa memperbaikinya. Ia masih tidak rela Eric dan Janet menipunya dan bahkan mengklaim sesuatu yang adalah miliknya.Walaupun Reno sudah mengatakan untuk tidak terlalu berharap, tetap saja harapan itu masih ada.“Cora, lebih baik saat ini kamu fokus pada Passionate Love. Kalau kamu ingin mengalahkan mereka dalam kompetisi ini, kamu harus fokus pada yang ingin kamu capai.”“Dan lagi, kamu bisa membuat rancangan baru yang lebih bagus dari yang pernah kamu miliki di laptop itu. Kamu harus ingat Cora, imajinasi itu—”“Tidak berbatas…” sambung Cora seperti sebua
“Apa ini?” tanya Cora sambil menatap kotak itu. Dari wujud kotak itu, Cora menduga apa yang ada di dalamnya. Namun ia tetap bertanya karena tidak yakin dengan maksud Reno menunjukkan kotak dan apa pun yang ada di dalamnya kepadanya.Reno membuka kotak itu dan Cora melihat sebuah kalung di dalamnya.“Pakailah…” ucap Reno sambil menyodorkan kalung itu.“Ini kalung siapa?” tanya Cora sambil meraih kaling itu dan memperhatikan desain dan ukuran yang terdapat di bandulannya. Kalung emas itu memiliki bentuk yang sederhana dengan sebuah bandulan sebesar uang logam yang berbentuk ukiran kelopak mawar. Jika dikenakan, kalung itu akan memberi kesan klasik dan modelnya timeless, tidak lekang oleh waktu.Melihat kalung itu, Cora bisa mengetahui bahwa kalung itu bukan dibuat di masa kini. Kalung itu merupakan sebuah kalung yang berusia paling tidak 30 tahun ke belakang.“Sudah, pakai saja.”Cora menggeleng dan mengembalikan kalung itu kepada Reno. “Aku tidak bisa memakainya.” Cora menolaknya. M
Telepon genggam itu terus bergetar sehingga membuat Cora mendekatinya. “Kenapa tidak diangkat?” Reno melirik gadis itu sebelum ia mengangkatnya. “Ya Pah?” Cora langsung mengetahui dari siapa panggilan telepon itu. Ia hendak bergerak menjauh untuk memberi Reno privacy berbincang dengan Papanya. Namun, Reno menahan tangannya dan memberinya tatapan isyarat untuk tetap di sana. “Reno, apa yang kamu lakukan pada Laura? Dan Perempuan itu, apa yang dia lakukan di kantormu?” Terdengan nada protes dari suara Sofyan. “Tidak ada,” jawab Reno pendek. Lalu ia lanjut berkata, “Dan “perempuan itu” adalah istri Reno, Pah,” ujarnya sembari melirik Cora. Cora mengangkat alisnya merasa namanya disebut dan diperbincangkan. Dia menyandarkan panggulnya di tepi meja kerja Reno, mendengarkan lebih lanjut. “Humpphh! Papa tidak akan mengakuinya! Tidak mungkin kalian benar-benar menikah!” ucapnya tidak mau mengakui walaupun laporan mata-mata di rumah Reno mendukung pernyataan Reno. “Terserah Papa. Per
Setelah selesai menyantap makan siang mereka. Cora duduk di sofa di kantor Reno, sementara pria itu masih melakukan beberapa pekerjaan kantornya. Reno melarangnya langsung pulang dan menyuruhnya menunggu. Dia bilang ingin mengajak Cora pergi ke suatu tempat sebagai ucapan terima kasihnya atas hadiah ulang tahun yang Cora siapkan untuknya. Cora melirik Reno yang masih sibuk di meja kerjanya. “Boleh aku menyetel televisi?” tanya Cora sambil melirik layar televisi besar di salah satu sisi dinding. “Yah, boleh. Remotenya ada di meja itu,” jawab Reno sambil mengangkat wajahnya sesaat dari berkas yang sedang ia periksa sebelum kembali menurunkannya. Cora menyalakan televisi dan menurunkan volumenya. Walaupun ia bosan, tetapi ia tidak ingin mengganggu Reno bekerja. Ia memencet tombol program untuk mencari program acara yang menarik untuk di tonton, dan saat ia sampai di program berita, jarinya berhenti memencet tombol. Berita di televisi itu sedang menyiarkan mengenai kasus yang seda
“Ini…” Tatapan mata Reno tertuju pada hidangan yang mempunyai nilai sentimentil baginya. Dia sudah mencari hidangan itu ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang menyamai rasa yang diingatnya. Dan aroma ini… aromanya tampak familiar di hidungnya. Reno mengangkat kotak makan itu dan ia menghirup wanginya. Mirip! “Kamu—yang membuatnya?” tanya Reno m. Ia menoleh dengan tatapan mata yang tidak lagi memancarkan pribadi yang keras dan dingin. “Mmm… Rina membantuku mengolahnya,” jawab Cora, mengulang kembali apa yang ia katakan tadi. Ia tersenyum melihat ekspresi wajah Reno. Ia seperti bisa merasakan haru yang dirasakan Reno saat ini. Namun Cora membuang rasa itu jauh-jauh. Ia harus bisa menyemangati Reno! Bagaimana ia akan menyemangatinya kalau ia ikut bersikap melow? “Biar aku ambilkan,” ucap Cora sambil mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan ayam cabai hijau serta tumisan sayur yang ia buat. “Ini, cobalah. Aku harap—kamu menyukainya…” ucap Cora sambil meletakkan pirin
Tidak mungkin jam tangan ini palsu! Apa yang perempuan kampungan ini ketahui sampai berani mengatakan jam tangan ini palsu?! Laura begitu geram. Berani-beraninya Cora, perempuan rendahan ini mengatakan jam pemberiannya palsu. Padahal ia membeli jam tangan ini dengan harga yang sangat mahal! Cora dengan polosnya menjawab, “Tapi itu benar.. Perhatikan dengan seksama. Logo crown yang ada di sini, terlihat sedikit miring, tidak tepat ditengah.” Cora menunjukkan letak logo crown di bagian atas jam itu yang menggantikan angka 12. Laura dan juga Reno ikut memperhatikan. Wajah Laura seketika memerah, karena apa yang dikatakan Cora ternyata benar. Logo crown itu memang sediki miring. “Mungkin—mungkin, orang yang membuatnya sedang tidak—fokus!” Laura langsung beralasan. Reno mengulum senyum berusaha untuk tidak tertawa. Cora menggeleng menanggapi Laura. “Itu tidak mungkin. Sekelas jam Rolex sangat memperhatikan detil, tidak mungkin melakukan kesalahan seperti ini,” ujarnya menyan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments