“Cora, ada apa?” tanya Reno dengan suara dipelankan. Ia heran melihat Cora bereaksi keras dan menatapnya dengan sangat gugup.
Reno memberi isyarat pada pelayan restoran untuk menunggu, sementara ia menarik Cora, menepi di luar pintu restoran itu. “Reno, aku— sepertinya aku tidak bisa menemanimu,” ucap Cora dengan gugup. Cora tidak ingin menemui pria itu—Sofyan Nor Afrizal. “Kenapa?” tanya Reno dengan tatapan penuh selidik. Ia merasa heran mengapa Cora tiba-tiba saja berubah pikiran. Cora menggeleng. “Aku— tiba-tiba aku merasa tidak enak badan…” ujar Cora beralasan. Tanpa disadari, jari -jari tangan Cora bergerak meremas sisi gaunnya. Ia sangat gugup dan gelisah. Dan hal itu tidak lepas dari pengamatan Reno. “No, Cora. Kamu tidak bisa mundur sekarang!” seru Reno dengan nada memaksa. “Reno, kamu— kamu bisa meminta apa saja. Tetapi aku tidak bisa melakukan ini,” ucap Cora sambil menatap Reno dengan memohon. “Melakukan ini? Apa yang membuatmu begitu gelisah? Apakah ada seseorang yang membuatmu takut?” tanya Reno mencoba mencari tahu apa yang membuat Cora begitu gelisah. Cora menggigit bibirnya. Ia tidak bisa memberitahu Reno siapa dan mengapa ia tidak mau menemui Sofyan. “Tidak, bukan—bukan itu…” Cora menampiknya sembari menggeleng dengan gelisah. “Lalu?” tanya Reno sambil memperhatikan raut wajah Cora yang tidak bisa menutupi kecemasannya. Cora tetap diam. Dia menggigit bibir bawahnya, menjaga agar mulutnya tidak mengatakan apa pun mengenai apa yang ia rasakan. Reno menghela nafas, dan ia berjalan mendekat. Dengan sedikit membungkuk, dipegangnya kedua lengan Cora. “Cora, kamu ingin mengikuti kompetisi itu? Aku akan mensponsorinya! Tetapi aku ingin kamu melakukan hal yang sama untukku!” ucap Reno dengan perlahan sambil menatap Cora dengan tatapan serius. Cora menatap balik Reno. Ia bisa merasakan kalimat Reno itu adalah sebuah ultimatum. Ultimatum bahwa dia pun berharap kerjasama yang seimbang darinya. “Here’s the deal,” ucap Reno menjeda, memberi Cora tatapan penuh arti. “Alasan aku mengajakmu malam ini adalah karena aku membutuhkanmu untuk berpura-pura menjadi tunanganku, calon istriku, agar Papa tidak menjodohkanku dengan—siapa pun orang yang diinginkannya!” Cora membelalakkan matanya dengan terkejut. Calon istri? Itu sebabnya Reno ingin mereka berdua menemui Papanya? “Bagaimana? Kamu setuju? Kamu membutuhkan sponspor, dan aku membutuhkan seorang istri…” tanya Reno dengan tatapan yang masih sangat serius. “T-tapi Reno… a-aku tidak bisa menjadi istrimu…” ucap Cora dengan gugup. Bagaimana mungkin ia menikah dengan Reno dan berhadapan kembali dengan Sofyan? Kening Reno berkerut. “Kenapa tidak? Kamu—belum menikah kan?” Cora menggeleng. Tentu ia belum menikah. Hanya saja… “Kalau begitu kenapa? Apa aku tidak cukup baik untuk jadi suamimu?” tanya Reno dengan nada tinggi. Dilepaskannya Cora dengan kesal. “Aku cukup baik untuk jadi sponsormu, tapi aku tidak cukup baik untuk menjadi suamimu?” tanya Reno lagi dengan nada sarkas, menyindir Cora. Cora menggeleng dengan cepat. “Tidak, bukan itu…” tampik Cora dengan gelisah. Cora merasa serba salah. Ia ingin memberitahu Reno mengapa ia tidak bisa menemui Sofyan dan bahkan menikah dengannya. Tapi, ia tidak bisa melakukan itu. “Lalu apa?” Reno menatapnya tajam. Cora masih dapat melihat kekecewaan dan rasa sakit yang dulu pernah ia torehkan di hati pria di hadapannya itu. Cora merasa kontradiksi. Ia melihat ke dalam restoran, lalu kepada Reno. “Reno—” “Kamu pikir aku membutuhkanmu untuk bisa membuat Lumiere menjadi terkenal?” sergah Reno sebelum Cora sempat berbicara. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil berjalan perlahan mendekati Cora. “Dengan ataupun tanpa dirimu, aku bisa membuat Lumiere terkenal. Hanya masalah waktu. Tapi kamu? Bisakah kamu ikut kompetisi tanpa sponsor dariku?” Cora menundukkan wajahnya. Reno benar. Jika pria itu ingin mengangkat Lumiere dengan cepat, dia bisa saja melakukannya. Dia punya uang dan sumber daya yang dibutuhkan. Dan sebaliknya, dirinyalah yang sebenarnya membutuhkan Reno. Reno kembali memegang kedua lengan Cora. “Lihat aku!” Cora mengangkat wajahnya dan bertemu dengan kedua pasang mata yang begitu lekat menatapnya. Seperti dua buah magnet, kedua bola mata mereka seakan saling terikat satu sama lain. “Jika kamu setuju menjadi istriku, aku akan membantumu, tidak hanya mensponsorimu, namun juga mengambil kembali apa yang menjadi milikmu.” “Siapa pun di dalam sana yang membuatmu begitu takut,” ucap Reno sambil menunjuk dengan matanya ke arah restoran. “Tidak akan berani untuk menyakitimu. Jadi istriku, dan aku akan melindungimu.” Cora bisa merasakan bulu kuduknya merinding mendengar ucapan Reno. Pria di hadapannya ini terlihat begitu serius dengan kata-katanya. Tanpa sadar ia menggenggam erat kedua tangannya. Ia tahu ini tidak akan mudah, apalagi jika ia harus bersinggungan kembali dengan Sofyan. Akan tetapi ia yakin Reno akan menepati janjinya. Bayangan Eric dan Janet yang telah mengkhianati dan memperlakukannya dengan kasar, membuatnya membulatkan tekad. “Oke!” jawabnya dengan menatap Reno. Reno menatap Cora dengan senyuman di wajahnya. Ia mengangguk mendukung keputusan Cora, seakan Cora telah membuat pilihan yang tepat. Ia melepaskan pegangannya dan sebagai gantinya membuka telapak tangannya. “Kita masuk?” Cora menatap tangan yang besar dengan jari-jari yang ramping dan kokoh di hadapannya. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan sebelum meletakkan telapak tangannya di atas telapak tangan pria itu. Dengan bergandengan tangan, keduanya berjalan masuk ke dalam restoran dan membiarkan pelayan restoran itu mengantarkan mereka ke meja yang dituju. Dan di sanalah ia melihat Sofyan—Papa Reno, sedang duduk bersama tiga orang lainnya. Jika ia ingin Reno mendukungnya dalam kompetisi itu, maka jalan satu-satunya adalah menghadapi Sofyan sebagai calon istri Reno. Dengan langkah yang pasti, Cora menggenggam tangan Reno lebih erat, sehingga pria itu menoleh dan melakukan hal yang sama dengan tangannya.“Reno, apa-apaan ini? Siapa dia?” Sofyan mengecilkan suaranya, namun nada bicaranya tidak luput dari rasa kesal dan geram. Pria berusia 55 tahun itu langsung mendatangi Reno dan Cora saat melihat keduanya. “Apa Papa tidak mengenalinya?” tanya Reno sambil merangkul Cora dengan mesra, menariknya lebih dekat. Sofyan menatap dengan sinis pada sosok perempuan muda disamping Reno. Ia memicingkan mata memperhatikan dengan seksama siapa gerangan orang yang disebut putranya itu. Menyimpulkan ucapan Reno, ia seharusnya mengenal perempuan yang sangat mesra dirangkul oleh putra semata wayangnya. Tapi, siapa dia? Ia tidak ingat, meskipun ia merasa pernah melihat wajahnya entah di mana. Cora menatap Sofyan sambil tersenyum kecil. Ia membiarkan orang tua Reno itu mengingat siapa dirinya. “Siapa dia?” Sofyan pasrah dan bertanya pada Reno. Reno dan Cora saling beradu pandang dan tersenyum. “Papa, Pak Refaldi, Ibu dan Laura…” ucap Reno sambil menatapa satu persatu orang-orang yang disebutnya. “D
“Aku tidak yakin kalau kamu tulus mencintai Reno. Apa yang kamu inginkan kali ini? harta?” Sindir Sofyan, mengetahui ia tidak bisa mempengaruhi putranya. Ia menyerang Cora—sebagai pihak yang lebih lemah. “Jangan ganggu dia. Ini keputusan kami berdua. Dengan ataupun tanpa persetujuan Papa, aku akan menikahi Cora!” Reno menarik Cora ke dalam pelukannya sebagai gestur bahwa ia akan melindungi Cora dari siapa pun, termasuk Papanya sendiri. Sofyan menahan diri. Ia tidak bisa menentang Reno terang-terangan. Ia tidak boleh kehilangan putranya hanya gara-gara perempuan itu! Ia menghela nafas dan merubah ekspresi wajahnya. “Reno, Papa hanya memikirkan kamu. Masa depanmu,” ujar Sofyan dengan nada yang lebih lembut dan pelan. “Papa punya alasan untuk menentang hubungan kalian. Karena Papa tidak percaya dengannya,” ujar Sofyan sambil melirik Cora dengan matanya. “Papa tidak perlu khawatir, karena aku dan Cora yang akan menjalani!” sergah Reno, sambil diam-diam tersenyum melihat Papanya mulai
Cora menatap buku nikah di tangannya dengan tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka menyetujui rencana Reno untuk menikah mendadak pagi itu. Semuanya begitu cepat terjadi. Tidak pernah terbayangkan dalam benak Cora untuk menikah secepat dan sebiasa itu. Tidak ada undangan ataupun keluarga yang menghadiri pernikahan mereka. Hanya dirinya, Reno, Heri dan Edwin, teman Reno yang baru pertama kali ditemuinya hari ini. “Cora…” Reno yang baru saja mengantarkan temannya pergi, sudah kembali berdiri di depannya. Di tangannya, dia memegang buku nikah yang sama dengannya. Di jari manis mereka tersemat cincin yang memiliki bentuk yang hampir sama. Hanya berbeda ukuran dan batu yang menghiasinya. Cincin yang berada di jari manis Cora memiliki sebuah batu berlian berwarna bening, dengan ukuran yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Sedangkan yang ada di jari manis Reno memiliki ukuran lebih besar, namun yidak dihiasi oleh batu berharga satupun. Bukan hal mengherankan jika Reno bi
Cora berjalan dengan santai di selasar gedung apartemen Tiara, setelah turun dari mobil Reno beberapa saat yang lalu. Ia tidak tergesa-gesa naik ke apartemen temannya itu. Ia memilih berjalan di selasar samping gedung apartemen yang lenggang. Cora ingin memeikirkan kembali apa yang akan ia lakukan dan telah ia lakukan sampai saat ini. Bersandiwara dan menikah dengan Reno adalah keputusan yang cukup berani diambilnya. Semua itu ia lakukan demi untuk menghalangi Eric dan Janet menikmati hasil jerih payahnya. Ia mungkin tidak bisa mengembalikan hak paten atas Adorable Glam atau pun harus membuat kembali setiap design perhiasan yang ada dalam laptopnya yang telah rusak. Akan tetapi, paling tidak ia bisa menghalangi mereka untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan yang mereka dapatkan dari hasil karyanya! Ya, ia tidka akan membiarkan Eric dan Janet dengan mudahnya mempermainkannya, mengambil karyanya begitu saja! “Cora!” Cora menghentikan langkahnya mendengar suara yang familiar
Meskipun Cora tidak tahu siapa orang tuanya, tetap saja, kalimat seperti itu tidak pantas diucapkan siapa pun! “Be-reng-sek kamu! Le-pas-kan!” serunya dengan nafas tersenggal menahan rasa sakit. “Kenapa? Tidak bisa menerima?” ledek Eric sambil menyentak pergelangan itu dengan kasar. Ia tertawa melihat begitu menderitanya Cora. Kedua matanya melotot memperlihatkan kepribadiannya aslinya yang bengis. “Aarrrrggghhh! Kurang ajar!” Eric berteriak. Ia melepaskan tangan kiri Cora karena gadis itu menggigitnya! Saat itu Cora tidak melihat jalan lain untuk melepaskan diri, sehingga begitu ada kesemoatan, digigitnya tangan Eric. Eric yang kesal semakin kuat mencengkram tangan kanan Cora “Le—paaasss!” Begitu sakitnya Cora merasa tidak lagi bertenaga. Ia hanya bisa menangis sambil berusaha menarik tangan Eric dengan tangannya yang bebas. “Aku akan melepaskanmu, asalkan kamu pergi dari kota ini!” ucap Eric sambil mengyeringai di depan wajah Cora. Tidak! Ia tidak mungkin pergi dari Fragr
“Siapa yang melakukan ini? Kamu yang melakukan ini?” tanya dokter yang memeriksa Cora. Dia melirik tajam pada Reno yang berdiri di samping ranjang periksa. Reno ingin mengatakan sesuatu untuk membela dirinya, namun Dokter itu lanjut memarahinya. “Kamu tahu betapa berbahayanya mencengkeram pergelangan tangan seperti ini?” Dengan kesal ia melirik Reno. “Dokter, dia bukan—” Cora yang masih terbaring lemah di atas ranjang berusaha menjelaskan jika bukan Reno yang menyakitinya. Namun, Dokter itu begitu kesal melihat kondisi Cora sehingga ia masih terus menuduh Reno. “Bagaimana kalau ligamennya sampai putus?” Dokter itu mendesah berat dan menggelengkan kepalanya dengan heran. Reno dan Cora saling bertukar pandang. Reno menggeleng, mengisyaratkan Cora untuk diam saja daripada menghabiskan tenaga gadis itu yang masih sangat lemah. Apalagi Cora tidak sadarkan diri saat ia membawanya ke rumah sakit. Seandainya mereka tidak sedang berada di rumah sakit, dan tidak sedang membutuhkan bantuan d
“Ada benda-benda yang tidak bisa—dibeli dengan uang,” ucap Cora menjelaskan. Ia tidak bicara mengenai pakaian dan kebutuhan pribadi lainnya. Ia membutuhkan ijasah, portofolio serta sketsa-sketsa rancangan miliknya yang tidak bisa dibeli di mana pun. Reno sebenarnya enggan untuk mampir ke apartemen itu lagi. Namun melihat raut wajah Cora yang mengiba, ia memutar balik mobilnya. “Terima kasih,” ucap Cora sambil tersenyum kecil. Reno tidak menjawab dan terus menatap ke depan, ke jalanan di hadapan mereka. Tidak lama, mereka sampai di aparteman itu kembali, dan Reno mengikuti Cora masuk ke dalam. Reno memperhatikan apartemen studio yang hanya seluas 24 meter persegi itu. Hanya ada satu ranjang berukuran tidak terlalu besar, dapur kecil, dan sebuah meja belajar. Bagi Reno, tempat itu jelas terlihat tidak nyaman. Apalagi tempat sekecil itu ditempati oleh Cora dan Tiara. Melihat tatapan Reno yang memperhatikan keadaan apartemen itu, Cora merasa canggung. Ia tahu apa yang Reno pikirkan
Reno tinggal di sebuah kawasan elite di mana orang-orang yang memiliki banyak uang membeli lahan atau properti untuk ditinggali ataupun untuk hanya sekedar berinvestasi. Kawasan itu terlihat sangat tenang, jauh dari kebisingan dan keramaian jalan. Rumah-rumah dibangun berjauhan satu sama lainnya. Akhirnya mobil mereka memasuki halaman sebuah rumah yang cukup besar. “Kamu tinggal sendiri?” tanya Cora sambil menatap rumah bergaya yang terlihat modern dengan bentuk geometris yang beraturan dan indah. Tatapan matanya kagum melihat bentuk arsitektur indah rumah itu. “Tidak,” jawab Reno pendek sambil ia memarkir mobil panjang berwarna hitam itu persis di depan rumah besar itu. “Tunggu…” ucap Cora sambil membelalakkan mata. Tiba-tiba ia memikirkan sesuatu. “Kamu tidak tinggal bersama—Papamu ‘kan?” Cora belum menanyakan hal ini sejak ia setuju untuk menikah dan tinggal bersama Reno. Dan ia pun baru mengetahui kemarin jika Reno—mantan pacarnya itu adalah CEO Renowed Innovation, sebuah
“Re-reno, apa maksudmu aku tidak membayarnya dengan uang? Lalu—aku harus bayar dengan apa?” tanya Cora sekali lagi.Kesepakatan apa lagi yang Reno inginkan darinya untuk laptop ini?“Menurutmu? Dengan apa lagi kamu—bisa membayarnya selain dengan uang? Kamu bisa mengira-ngira berapa harga laptop ini kan?” tanya Reno dengan mengerling, menyiratkan berbagai hal yang ada di benak Reno, yang tidak bisa Cora pastikan.Reno tersenyum miring, lalu bergerak mundur, kembali duduk bersandar. Ia meraih telepon genggamnya saat ada notifikasi pesan masuk.Kening Cora berkerut memikirkan ucapan Reno. Ia memprediksi harga laptop baru dengan spec seperti itu pastilah di atas 40 juta. Dan Reno tidak ingin ia membayarnya dengan uang. Lantas dengan apa ia membayar laptop itu?50 juta… apa yang ia miliki bisa setara 50 juta…Cora melihat tangannya. Hanya ada jam tangan berharga 2-3 juta saja dipergelangannya.Lalu, cincin kawin dari Reno. Tidak mungkin ia membayarnya dengan cincin itu, meski ia memprediks
“Reno, laptop ini darimu?” tanya Cora begitu mobil mulai berjalan. Ia mengangkat tas laptop yang ada di tangannya ke hadapan mereka.Reno yang duduk santai di samping Cora, mengangkat satu alisnya.“Apa mereka bilang itu dari aku?” tanyanya balik.Cora berdecak. Apa sulitnya mengakui iya atau tidak?“Haruskah mereka mengatakan ini dari kamu?” Cora ikut balik bertanya.“Seharusnya tidak, tapi kalau mereka bilang begitu… apa bedanya? Lumiere milikku juga, dan laptop itu dibeli oleh Lumiere,” jawab Reno. Ia terlihat datar dan acuh, namun yang sebenarnya ia menahan senyumnya melihat ekspresi wajah Cora.Tentu ia yang menyuruh Eva menyiapkan laptop itu untuk Cora. Cora membutuhkannya untuk menggambar disain miliknya.Reno kembali menatap layar telepon genggamnya mengira percakapan mereka selesai. Ia lanjut menonton live streaming berita ekonomi dan bisnis.“Reno Afrizal!” panggil Cora dengan suara yang terdengar lantang. Reno menoleh, bersiap memberi Cora tatapan kesal dan protesnya. Namu
Sambil berjalan, Cora menatap bangunan gedung Limiere yang memiliki dua lantai. Gedung itu tidak terlalu besar.Bagian bawah bangunan adalah showroom yang menjual perhiasan yang dibuat oleh Lumiere. Dan dilantai atas adalah bagian kantornya di mana semua proses perencanaan, perancangan dan pemasaran setiap perhiasan dibuat di sana. Mereka melewati bagian showroom, dan menaiki lift untuk sampai ke lantai dua, kemudian menuju kantor General Manager.Di depan kantor itu, seorang perempuan berusia tiga puluhan tahun datang menyambut mereka. “Selamat siang, Pak Reno, apa kabar?”“Baik, Eva. Apa sudah siap semua yang saya minta?” tanya Reno sambil menjabat tangan Eva Lisbeth—GM Lumiere yang diangkatnya setahun yang lalu saat ia mendirikan perusahaan itu.“Sudah Pak, sebaiknya kita bicara di dalam saja.” Eva mempersilahkan mereka masuk.“Eva, Ini Cora, seperti yang sudah saya bicarakan sebelumnya, dia akan mewakili Lumiere dalam IJD tahun ini,” ujar Reno, kemudian ia beralih pada Cora. “
“Reno, apa temanmu mengatakan sesuatu?” Cora kembali bertanya dengan tidak sabar, “Dia butuh lebih banyak waktu untuk mengeceknya. Laptopmu itu rusak parah, Cora. Tidak bisa dengan cepat diperbaiki,” jawab Reno akhirnya.Dilihatnya Cora kecewa dengan jawabannya. Ia pun merubah posisi duduknya mengarah pada gadis itu. “Bukankah aku sudah bilang untuk tidak terlalu berharap?”Cora terdiam. Ia memang sangat berharap kenalan Reno itu bisa memperbaikinya. Ia masih tidak rela Eric dan Janet menipunya dan bahkan mengklaim sesuatu yang adalah miliknya.Walaupun Reno sudah mengatakan untuk tidak terlalu berharap, tetap saja harapan itu masih ada.“Cora, lebih baik saat ini kamu fokus pada Passionate Love. Kalau kamu ingin mengalahkan mereka dalam kompetisi ini, kamu harus fokus pada yang ingin kamu capai.”“Dan lagi, kamu bisa membuat rancangan baru yang lebih bagus dari yang pernah kamu miliki di laptop itu. Kamu harus ingat Cora, imajinasi itu—”“Tidak berbatas…” sambung Cora seperti sebua
“Apa ini?” tanya Cora sambil menatap kotak itu. Dari wujud kotak itu, Cora menduga apa yang ada di dalamnya. Namun ia tetap bertanya karena tidak yakin dengan maksud Reno menunjukkan kotak dan apa pun yang ada di dalamnya kepadanya.Reno membuka kotak itu dan Cora melihat sebuah kalung di dalamnya.“Pakailah…” ucap Reno sambil menyodorkan kalung itu.“Ini kalung siapa?” tanya Cora sambil meraih kaling itu dan memperhatikan desain dan ukuran yang terdapat di bandulannya. Kalung emas itu memiliki bentuk yang sederhana dengan sebuah bandulan sebesar uang logam yang berbentuk ukiran kelopak mawar. Jika dikenakan, kalung itu akan memberi kesan klasik dan modelnya timeless, tidak lekang oleh waktu.Melihat kalung itu, Cora bisa mengetahui bahwa kalung itu bukan dibuat di masa kini. Kalung itu merupakan sebuah kalung yang berusia paling tidak 30 tahun ke belakang.“Sudah, pakai saja.”Cora menggeleng dan mengembalikan kalung itu kepada Reno. “Aku tidak bisa memakainya.” Cora menolaknya. M
Telepon genggam itu terus bergetar sehingga membuat Cora mendekatinya. “Kenapa tidak diangkat?” Reno melirik gadis itu sebelum ia mengangkatnya. “Ya Pah?” Cora langsung mengetahui dari siapa panggilan telepon itu. Ia hendak bergerak menjauh untuk memberi Reno privacy berbincang dengan Papanya. Namun, Reno menahan tangannya dan memberinya tatapan isyarat untuk tetap di sana. “Reno, apa yang kamu lakukan pada Laura? Dan Perempuan itu, apa yang dia lakukan di kantormu?” Terdengan nada protes dari suara Sofyan. “Tidak ada,” jawab Reno pendek. Lalu ia lanjut berkata, “Dan “perempuan itu” adalah istri Reno, Pah,” ujarnya sembari melirik Cora. Cora mengangkat alisnya merasa namanya disebut dan diperbincangkan. Dia menyandarkan panggulnya di tepi meja kerja Reno, mendengarkan lebih lanjut. “Humpphh! Papa tidak akan mengakuinya! Tidak mungkin kalian benar-benar menikah!” ucapnya tidak mau mengakui walaupun laporan mata-mata di rumah Reno mendukung pernyataan Reno. “Terserah Papa. Per
Setelah selesai menyantap makan siang mereka. Cora duduk di sofa di kantor Reno, sementara pria itu masih melakukan beberapa pekerjaan kantornya. Reno melarangnya langsung pulang dan menyuruhnya menunggu. Dia bilang ingin mengajak Cora pergi ke suatu tempat sebagai ucapan terima kasihnya atas hadiah ulang tahun yang Cora siapkan untuknya. Cora melirik Reno yang masih sibuk di meja kerjanya. “Boleh aku menyetel televisi?” tanya Cora sambil melirik layar televisi besar di salah satu sisi dinding. “Yah, boleh. Remotenya ada di meja itu,” jawab Reno sambil mengangkat wajahnya sesaat dari berkas yang sedang ia periksa sebelum kembali menurunkannya. Cora menyalakan televisi dan menurunkan volumenya. Walaupun ia bosan, tetapi ia tidak ingin mengganggu Reno bekerja. Ia memencet tombol program untuk mencari program acara yang menarik untuk di tonton, dan saat ia sampai di program berita, jarinya berhenti memencet tombol. Berita di televisi itu sedang menyiarkan mengenai kasus yang seda
“Ini…” Tatapan mata Reno tertuju pada hidangan yang mempunyai nilai sentimentil baginya. Dia sudah mencari hidangan itu ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang menyamai rasa yang diingatnya. Dan aroma ini… aromanya tampak familiar di hidungnya. Reno mengangkat kotak makan itu dan ia menghirup wanginya. Mirip! “Kamu—yang membuatnya?” tanya Reno m. Ia menoleh dengan tatapan mata yang tidak lagi memancarkan pribadi yang keras dan dingin. “Mmm… Rina membantuku mengolahnya,” jawab Cora, mengulang kembali apa yang ia katakan tadi. Ia tersenyum melihat ekspresi wajah Reno. Ia seperti bisa merasakan haru yang dirasakan Reno saat ini. Namun Cora membuang rasa itu jauh-jauh. Ia harus bisa menyemangati Reno! Bagaimana ia akan menyemangatinya kalau ia ikut bersikap melow? “Biar aku ambilkan,” ucap Cora sambil mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan ayam cabai hijau serta tumisan sayur yang ia buat. “Ini, cobalah. Aku harap—kamu menyukainya…” ucap Cora sambil meletakkan pirin
Tidak mungkin jam tangan ini palsu! Apa yang perempuan kampungan ini ketahui sampai berani mengatakan jam tangan ini palsu?! Laura begitu geram. Berani-beraninya Cora, perempuan rendahan ini mengatakan jam pemberiannya palsu. Padahal ia membeli jam tangan ini dengan harga yang sangat mahal! Cora dengan polosnya menjawab, “Tapi itu benar.. Perhatikan dengan seksama. Logo crown yang ada di sini, terlihat sedikit miring, tidak tepat ditengah.” Cora menunjukkan letak logo crown di bagian atas jam itu yang menggantikan angka 12. Laura dan juga Reno ikut memperhatikan. Wajah Laura seketika memerah, karena apa yang dikatakan Cora ternyata benar. Logo crown itu memang sediki miring. “Mungkin—mungkin, orang yang membuatnya sedang tidak—fokus!” Laura langsung beralasan. Reno mengulum senyum berusaha untuk tidak tertawa. Cora menggeleng menanggapi Laura. “Itu tidak mungkin. Sekelas jam Rolex sangat memperhatikan detil, tidak mungkin melakukan kesalahan seperti ini,” ujarnya menyan