Cora berjalan dengan santai di selasar gedung apartemen Tiara, setelah turun dari mobil Reno beberapa saat yang lalu. Ia tidak tergesa-gesa naik ke apartemen temannya itu. Ia memilih berjalan di selasar samping gedung apartemen yang lenggang. Cora ingin memeikirkan kembali apa yang akan ia lakukan dan telah ia lakukan sampai saat ini. Bersandiwara dan menikah dengan Reno adalah keputusan yang cukup berani diambilnya. Semua itu ia lakukan demi untuk menghalangi Eric dan Janet menikmati hasil jerih payahnya. Ia mungkin tidak bisa mengembalikan hak paten atas Adorable Glam atau pun harus membuat kembali setiap design perhiasan yang ada dalam laptopnya yang telah rusak. Akan tetapi, paling tidak ia bisa menghalangi mereka untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan yang mereka dapatkan dari hasil karyanya! Ya, ia tidka akan membiarkan Eric dan Janet dengan mudahnya mempermainkannya, mengambil karyanya begitu saja! “Cora!” Cora menghentikan langkahnya mendengar suara yang familiar
Meskipun Cora tidak tahu siapa orang tuanya, tetap saja, kalimat seperti itu tidak pantas diucapkan siapa pun! “Be-reng-sek kamu! Le-pas-kan!” serunya dengan nafas tersenggal menahan rasa sakit. “Kenapa? Tidak bisa menerima?” ledek Eric sambil menyentak pergelangan itu dengan kasar. Ia tertawa melihat begitu menderitanya Cora. Kedua matanya melotot memperlihatkan kepribadiannya aslinya yang bengis. “Aarrrrggghhh! Kurang ajar!” Eric berteriak. Ia melepaskan tangan kiri Cora karena gadis itu menggigitnya! Saat itu Cora tidak melihat jalan lain untuk melepaskan diri, sehingga begitu ada kesemoatan, digigitnya tangan Eric. Eric yang kesal semakin kuat mencengkram tangan kanan Cora “Le—paaasss!” Begitu sakitnya Cora merasa tidak lagi bertenaga. Ia hanya bisa menangis sambil berusaha menarik tangan Eric dengan tangannya yang bebas. “Aku akan melepaskanmu, asalkan kamu pergi dari kota ini!” ucap Eric sambil mengyeringai di depan wajah Cora. Tidak! Ia tidak mungkin pergi dari Fragr
“Siapa yang melakukan ini? Kamu yang melakukan ini?” tanya dokter yang memeriksa Cora. Dia melirik tajam pada Reno yang berdiri di samping ranjang periksa. Reno ingin mengatakan sesuatu untuk membela dirinya, namun Dokter itu lanjut memarahinya. “Kamu tahu betapa berbahayanya mencengkeram pergelangan tangan seperti ini?” Dengan kesal ia melirik Reno. “Dokter, dia bukan—” Cora yang masih terbaring lemah di atas ranjang berusaha menjelaskan jika bukan Reno yang menyakitinya. Namun, Dokter itu begitu kesal melihat kondisi Cora sehingga ia masih terus menuduh Reno. “Bagaimana kalau ligamennya sampai putus?” Dokter itu mendesah berat dan menggelengkan kepalanya dengan heran. Reno dan Cora saling bertukar pandang. Reno menggeleng, mengisyaratkan Cora untuk diam saja daripada menghabiskan tenaga gadis itu yang masih sangat lemah. Apalagi Cora tidak sadarkan diri saat ia membawanya ke rumah sakit. Seandainya mereka tidak sedang berada di rumah sakit, dan tidak sedang membutuhkan bantuan d
“Ada benda-benda yang tidak bisa—dibeli dengan uang,” ucap Cora menjelaskan. Ia tidak bicara mengenai pakaian dan kebutuhan pribadi lainnya. Ia membutuhkan ijasah, portofolio serta sketsa-sketsa rancangan miliknya yang tidak bisa dibeli di mana pun. Reno sebenarnya enggan untuk mampir ke apartemen itu lagi. Namun melihat raut wajah Cora yang mengiba, ia memutar balik mobilnya. “Terima kasih,” ucap Cora sambil tersenyum kecil. Reno tidak menjawab dan terus menatap ke depan, ke jalanan di hadapan mereka. Tidak lama, mereka sampai di aparteman itu kembali, dan Reno mengikuti Cora masuk ke dalam. Reno memperhatikan apartemen studio yang hanya seluas 24 meter persegi itu. Hanya ada satu ranjang berukuran tidak terlalu besar, dapur kecil, dan sebuah meja belajar. Bagi Reno, tempat itu jelas terlihat tidak nyaman. Apalagi tempat sekecil itu ditempati oleh Cora dan Tiara. Melihat tatapan Reno yang memperhatikan keadaan apartemen itu, Cora merasa canggung. Ia tahu apa yang Reno pikirkan
Reno tinggal di sebuah kawasan elite di mana orang-orang yang memiliki banyak uang membeli lahan atau properti untuk ditinggali ataupun untuk hanya sekedar berinvestasi. Kawasan itu terlihat sangat tenang, jauh dari kebisingan dan keramaian jalan. Rumah-rumah dibangun berjauhan satu sama lainnya. Akhirnya mobil mereka memasuki halaman sebuah rumah yang cukup besar. “Kamu tinggal sendiri?” tanya Cora sambil menatap rumah bergaya yang terlihat modern dengan bentuk geometris yang beraturan dan indah. Tatapan matanya kagum melihat bentuk arsitektur indah rumah itu. “Tidak,” jawab Reno pendek sambil ia memarkir mobil panjang berwarna hitam itu persis di depan rumah besar itu. “Tunggu…” ucap Cora sambil membelalakkan mata. Tiba-tiba ia memikirkan sesuatu. “Kamu tidak tinggal bersama—Papamu ‘kan?” Cora belum menanyakan hal ini sejak ia setuju untuk menikah dan tinggal bersama Reno. Dan ia pun baru mengetahui kemarin jika Reno—mantan pacarnya itu adalah CEO Renowed Innovation, sebuah
Cora berjalan di belakang Reno memasuki rumah besar itu. Saat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah modern itu, Cora merasakan aroma segar dan angin sejuk mengenai wajahnya. Sambil berjalan, ia memperhatikan bagian dalam interior rumah yang dipenuhi oleh berbagai macam perabot dan aksesoris modern, estetik dan juga canggih. Langit-langit yang tinggi, pencahayaan yang cukup dari dinding kaca, serta dinding dengan warna yang hangat dipadu padankan dengan batu alam di beberapa bagian dinding membuat rumah besar itu terkesan sangat mewah dan megah. Decak kagum keluar dari bibirnya tanpa disadarinya. Reno menoleh mendengar suara decakannya. Pria itu tersenyum miring dan berkata dengan nada menyindir, “Apa aku cukup baik untukmu sekarang, Cora Aleyna?” Cora terdiam dan menggigit bibirnya. Kata-kata itu pernah ia ucapkan pada Reno saat ia memutuskan pria itu 5 tahun yang lalu. Dan Reno kembali mengungkitnya. Ia tidak pernah menyangka jika keputusannya untuk meninggalkan pria itu mem
Reno menatap Cora menunggunya mengatakan sesuatu. Namun gadis itu tampak memendam sesuatu yang berat. “Cora, apa yang aku katakan mengenai kerjasama kita? Jika kamu mau aku sponsori, kamu harus jujur padaku,” ucap Reno, mendesak gadis itu untuk bercerita. Ia teringat apa yang dilihatnya beberapa saat yang lalu ketika mobilnya kembali melewati apartemen Tiara. Setelah mengantarkan Cora, ia sedianya hendak kembali ke kantor. Namun karena kemacetan lalu lintas di jalan yang dilaluinya, Heri memutuskan untuk melewati jalan lain yang kebetulan membuat mobil mereka berbalik arah melewati apartemen teman Cora itu. Saat itulah ia melihat Cora dan Eric yang terlihat sedang berargumen. Awalnya ia hanya ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Namun saat ia sampai di sana, ia justru melihat Eric sedang mencengkeram tangan Cora hingga gadis itu menangis. Reno bisa melihat wajah Cora yang pucat pasi dan bahkan tubuhnya merosot ke lantai karena tidak lagi mampu melawan dan menahan rasa sakit
Reno tidak bergeming dan terus menatap Cora, menunggunya berbicara lebih banyak, membiarkan dia meluapkan apa yang dirasakannya. Ia merasa Cora begitu emosional, dan ia ingin mengetahui lebih jauh apa yang Cora rasakan dan apa yang dia alami. “Anjani seorang yang sangat baik. Dia tidak pernah sekalipun berbuat jahat padaku,” ucap Cora dengan nada yang lebih tenang sambil menatap Reno. Ia bukan membelanya, tetapi ia ingin Reno tahu alasan mengapa ia tidak akan mencurigai Anjani. “Dia memperlakukan aku dengan sangat—sangat baik,” ucap Cora dengan mata berkaca-kaca, mengenang wanita tua itu. “Dia—” ucapan Cora tersendat karena haru di hatinya. “—seperti ibu bagiku. Ibu—yang tidak pernah—kumiliki…” Dan airmata Cora menetes membasahi pipinya. Pembicaraan mengenai ibu—orang tua, selalu menjadi hal yang sensitif bagi seorang yatim piatu seperti Cora. Bahkan bagi Reno sekalipun. Reno berjalan mengambil sebuah saputangan dari dalam salah satu laci dan memberikannya pada Cora. Cora mene
“Re-reno, apa maksudmu aku tidak membayarnya dengan uang? Lalu—aku harus bayar dengan apa?” tanya Cora sekali lagi.Kesepakatan apa lagi yang Reno inginkan darinya untuk laptop ini?“Menurutmu? Dengan apa lagi kamu—bisa membayarnya selain dengan uang? Kamu bisa mengira-ngira berapa harga laptop ini kan?” tanya Reno dengan mengerling, menyiratkan berbagai hal yang ada di benak Reno, yang tidak bisa Cora pastikan.Reno tersenyum miring, lalu bergerak mundur, kembali duduk bersandar. Ia meraih telepon genggamnya saat ada notifikasi pesan masuk.Kening Cora berkerut memikirkan ucapan Reno. Ia memprediksi harga laptop baru dengan spec seperti itu pastilah di atas 40 juta. Dan Reno tidak ingin ia membayarnya dengan uang. Lantas dengan apa ia membayar laptop itu?50 juta… apa yang ia miliki bisa setara 50 juta…Cora melihat tangannya. Hanya ada jam tangan berharga 2-3 juta saja dipergelangannya.Lalu, cincin kawin dari Reno. Tidak mungkin ia membayarnya dengan cincin itu, meski ia memprediks
“Reno, laptop ini darimu?” tanya Cora begitu mobil mulai berjalan. Ia mengangkat tas laptop yang ada di tangannya ke hadapan mereka.Reno yang duduk santai di samping Cora, mengangkat satu alisnya.“Apa mereka bilang itu dari aku?” tanyanya balik.Cora berdecak. Apa sulitnya mengakui iya atau tidak?“Haruskah mereka mengatakan ini dari kamu?” Cora ikut balik bertanya.“Seharusnya tidak, tapi kalau mereka bilang begitu… apa bedanya? Lumiere milikku juga, dan laptop itu dibeli oleh Lumiere,” jawab Reno. Ia terlihat datar dan acuh, namun yang sebenarnya ia menahan senyumnya melihat ekspresi wajah Cora.Tentu ia yang menyuruh Eva menyiapkan laptop itu untuk Cora. Cora membutuhkannya untuk menggambar disain miliknya.Reno kembali menatap layar telepon genggamnya mengira percakapan mereka selesai. Ia lanjut menonton live streaming berita ekonomi dan bisnis.“Reno Afrizal!” panggil Cora dengan suara yang terdengar lantang. Reno menoleh, bersiap memberi Cora tatapan kesal dan protesnya. Namu
Sambil berjalan, Cora menatap bangunan gedung Limiere yang memiliki dua lantai. Gedung itu tidak terlalu besar.Bagian bawah bangunan adalah showroom yang menjual perhiasan yang dibuat oleh Lumiere. Dan dilantai atas adalah bagian kantornya di mana semua proses perencanaan, perancangan dan pemasaran setiap perhiasan dibuat di sana. Mereka melewati bagian showroom, dan menaiki lift untuk sampai ke lantai dua, kemudian menuju kantor General Manager.Di depan kantor itu, seorang perempuan berusia tiga puluhan tahun datang menyambut mereka. “Selamat siang, Pak Reno, apa kabar?”“Baik, Eva. Apa sudah siap semua yang saya minta?” tanya Reno sambil menjabat tangan Eva Lisbeth—GM Lumiere yang diangkatnya setahun yang lalu saat ia mendirikan perusahaan itu.“Sudah Pak, sebaiknya kita bicara di dalam saja.” Eva mempersilahkan mereka masuk.“Eva, Ini Cora, seperti yang sudah saya bicarakan sebelumnya, dia akan mewakili Lumiere dalam IJD tahun ini,” ujar Reno, kemudian ia beralih pada Cora. “
“Reno, apa temanmu mengatakan sesuatu?” Cora kembali bertanya dengan tidak sabar, “Dia butuh lebih banyak waktu untuk mengeceknya. Laptopmu itu rusak parah, Cora. Tidak bisa dengan cepat diperbaiki,” jawab Reno akhirnya.Dilihatnya Cora kecewa dengan jawabannya. Ia pun merubah posisi duduknya mengarah pada gadis itu. “Bukankah aku sudah bilang untuk tidak terlalu berharap?”Cora terdiam. Ia memang sangat berharap kenalan Reno itu bisa memperbaikinya. Ia masih tidak rela Eric dan Janet menipunya dan bahkan mengklaim sesuatu yang adalah miliknya.Walaupun Reno sudah mengatakan untuk tidak terlalu berharap, tetap saja harapan itu masih ada.“Cora, lebih baik saat ini kamu fokus pada Passionate Love. Kalau kamu ingin mengalahkan mereka dalam kompetisi ini, kamu harus fokus pada yang ingin kamu capai.”“Dan lagi, kamu bisa membuat rancangan baru yang lebih bagus dari yang pernah kamu miliki di laptop itu. Kamu harus ingat Cora, imajinasi itu—”“Tidak berbatas…” sambung Cora seperti sebua
“Apa ini?” tanya Cora sambil menatap kotak itu. Dari wujud kotak itu, Cora menduga apa yang ada di dalamnya. Namun ia tetap bertanya karena tidak yakin dengan maksud Reno menunjukkan kotak dan apa pun yang ada di dalamnya kepadanya.Reno membuka kotak itu dan Cora melihat sebuah kalung di dalamnya.“Pakailah…” ucap Reno sambil menyodorkan kalung itu.“Ini kalung siapa?” tanya Cora sambil meraih kaling itu dan memperhatikan desain dan ukuran yang terdapat di bandulannya. Kalung emas itu memiliki bentuk yang sederhana dengan sebuah bandulan sebesar uang logam yang berbentuk ukiran kelopak mawar. Jika dikenakan, kalung itu akan memberi kesan klasik dan modelnya timeless, tidak lekang oleh waktu.Melihat kalung itu, Cora bisa mengetahui bahwa kalung itu bukan dibuat di masa kini. Kalung itu merupakan sebuah kalung yang berusia paling tidak 30 tahun ke belakang.“Sudah, pakai saja.”Cora menggeleng dan mengembalikan kalung itu kepada Reno. “Aku tidak bisa memakainya.” Cora menolaknya. M
Telepon genggam itu terus bergetar sehingga membuat Cora mendekatinya. “Kenapa tidak diangkat?” Reno melirik gadis itu sebelum ia mengangkatnya. “Ya Pah?” Cora langsung mengetahui dari siapa panggilan telepon itu. Ia hendak bergerak menjauh untuk memberi Reno privacy berbincang dengan Papanya. Namun, Reno menahan tangannya dan memberinya tatapan isyarat untuk tetap di sana. “Reno, apa yang kamu lakukan pada Laura? Dan Perempuan itu, apa yang dia lakukan di kantormu?” Terdengan nada protes dari suara Sofyan. “Tidak ada,” jawab Reno pendek. Lalu ia lanjut berkata, “Dan “perempuan itu” adalah istri Reno, Pah,” ujarnya sembari melirik Cora. Cora mengangkat alisnya merasa namanya disebut dan diperbincangkan. Dia menyandarkan panggulnya di tepi meja kerja Reno, mendengarkan lebih lanjut. “Humpphh! Papa tidak akan mengakuinya! Tidak mungkin kalian benar-benar menikah!” ucapnya tidak mau mengakui walaupun laporan mata-mata di rumah Reno mendukung pernyataan Reno. “Terserah Papa. Per
Setelah selesai menyantap makan siang mereka. Cora duduk di sofa di kantor Reno, sementara pria itu masih melakukan beberapa pekerjaan kantornya. Reno melarangnya langsung pulang dan menyuruhnya menunggu. Dia bilang ingin mengajak Cora pergi ke suatu tempat sebagai ucapan terima kasihnya atas hadiah ulang tahun yang Cora siapkan untuknya. Cora melirik Reno yang masih sibuk di meja kerjanya. “Boleh aku menyetel televisi?” tanya Cora sambil melirik layar televisi besar di salah satu sisi dinding. “Yah, boleh. Remotenya ada di meja itu,” jawab Reno sambil mengangkat wajahnya sesaat dari berkas yang sedang ia periksa sebelum kembali menurunkannya. Cora menyalakan televisi dan menurunkan volumenya. Walaupun ia bosan, tetapi ia tidak ingin mengganggu Reno bekerja. Ia memencet tombol program untuk mencari program acara yang menarik untuk di tonton, dan saat ia sampai di program berita, jarinya berhenti memencet tombol. Berita di televisi itu sedang menyiarkan mengenai kasus yang seda
“Ini…” Tatapan mata Reno tertuju pada hidangan yang mempunyai nilai sentimentil baginya. Dia sudah mencari hidangan itu ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang menyamai rasa yang diingatnya. Dan aroma ini… aromanya tampak familiar di hidungnya. Reno mengangkat kotak makan itu dan ia menghirup wanginya. Mirip! “Kamu—yang membuatnya?” tanya Reno m. Ia menoleh dengan tatapan mata yang tidak lagi memancarkan pribadi yang keras dan dingin. “Mmm… Rina membantuku mengolahnya,” jawab Cora, mengulang kembali apa yang ia katakan tadi. Ia tersenyum melihat ekspresi wajah Reno. Ia seperti bisa merasakan haru yang dirasakan Reno saat ini. Namun Cora membuang rasa itu jauh-jauh. Ia harus bisa menyemangati Reno! Bagaimana ia akan menyemangatinya kalau ia ikut bersikap melow? “Biar aku ambilkan,” ucap Cora sambil mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan ayam cabai hijau serta tumisan sayur yang ia buat. “Ini, cobalah. Aku harap—kamu menyukainya…” ucap Cora sambil meletakkan pirin
Tidak mungkin jam tangan ini palsu! Apa yang perempuan kampungan ini ketahui sampai berani mengatakan jam tangan ini palsu?! Laura begitu geram. Berani-beraninya Cora, perempuan rendahan ini mengatakan jam pemberiannya palsu. Padahal ia membeli jam tangan ini dengan harga yang sangat mahal! Cora dengan polosnya menjawab, “Tapi itu benar.. Perhatikan dengan seksama. Logo crown yang ada di sini, terlihat sedikit miring, tidak tepat ditengah.” Cora menunjukkan letak logo crown di bagian atas jam itu yang menggantikan angka 12. Laura dan juga Reno ikut memperhatikan. Wajah Laura seketika memerah, karena apa yang dikatakan Cora ternyata benar. Logo crown itu memang sediki miring. “Mungkin—mungkin, orang yang membuatnya sedang tidak—fokus!” Laura langsung beralasan. Reno mengulum senyum berusaha untuk tidak tertawa. Cora menggeleng menanggapi Laura. “Itu tidak mungkin. Sekelas jam Rolex sangat memperhatikan detil, tidak mungkin melakukan kesalahan seperti ini,” ujarnya menyan