Aku segera berlari ke ruang makan dan menemukan Bisma tergeletak di lantai dengan wajahnya yang memucat.“Mas Bisma, kamu kenapa?” tanyaku sambil mencoba menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi dia masih bergeming di posisinya. “Mas, jangan buat aku takut dong.”Sepertinya laki-laki itu memang benar-benar pingsan. Dengan sekuat tenaga kutarik tubuh tinggi besar itu ke arah ruang tengah. Aku menyamankan tubuh Mas Bisma di atas karpet, sebab tak kuat menariknya ke atas sofa. “Malah pingsan segala sih? Duh, aku harus gimana?”Kulihat wajahnya yang memerah, bahkan ada bintik-bintik merah di sekitar lehernya. Sepertinya dia benar-benar pingsan.“Aku coba ulaskan minyak angin di hidungnya deh.”Gegas aku berlari ke arah kamar untuk mengambil minyak angin yang biasa ada dalam tas slempangku. Setelah mendapatkannya, aku kemabli ke ruang tengah. Kubiarkan kepalanya rebahan di pahaku.“Bangun dong, Mas. Kalau mau ngeprank jangan kayak gini,” ucapku sambil mendketakna botol minyak angin yang sudah
Aku meringis menahan rasa sakit akibat rambutku yang di jambak oleh ibu mertuaku. Bu Minten menatapku dengan penuh amarah. "Jangan coba-coba bohongi aku, Seruni! Kalau kamu tidak kasih uang itu sekarang, kamu akan tahu apa akibatnya!" ancamnya sambil menunjuk wajahku.Aku hanya bisa terdiam, merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Di satu sisi, ada foto USG yang membuatku penasaran, di sisi lain, ada ibu mertua kejam yang terus memaksaku untuk memberinya uang. Aku merasa seperti berada di antara dua jurang yang siap menelanku kapan saja.Aku terhuyung dan jatuh ke lantai setelah ibu mertua menjambak rambutku dengan keras, alu mendorongku. Tubuhku terhempas ke lantai, sakitnya terasa sampai ke tulang. Aku hanya bisa menangis, meratapi nasibku yang terasa semakin buruk setiap harinya. Air mata mengalir deras di pipiku, sementara ibu mertua masih berdiri di depanku dengan wajah marah."Aku gak mau tahu, malam ini juga aku minta uang 10 juta itu," pekik ibu mertuaku dengan tel
POV Bisma.Pagi ini, aku harus kembali ke Singapura. Pekerjaan yang banyak sudah menantiku di sana. Sebagai seorang CEO di sebuah perusahaan, tentunya aku harus bertanggung jawab dan tidak bisa seenaknya meninggalkan pekerjaanku. Dari hasil perkebunan sawit dan kentang milik orang tuaku, aku mendirikan perusahaan pemasaran minyak kelapa sawit dan makanan ringan berbahan kentang. Perusahaan ini memerlukan perhatian penuh, dan aku tidak bisa absen terlalu lama.Aku memilih Singapura sebagai tempat berdirinya perusahaan ini karena tadinya mengikuti keinginan Melodi, tapi rupanya takdir diantara kami tak berjalan mulus. Aku harus kehilangan Melodi lima tahun yang lalu.Akan tetapi kesedihanku saat itu tak berlangsung lama. Tepat saat aku pulang ke Indonesia, kulihat seorang pembantu baru menggantikan mbok Jumi yang makin tua. Namanya Seruni dan usianya masih 17 tahun kala itu.Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ya, secepat itu aku melupakan Melodi dan berpindah hati pada Seruni.Aku
POV Seruni.Setelah pertemuan singkat dengan mbak Dina yang setuju untuk membantuku, aku kembali ke ruang rawat Mas Ihsan. Perasaanku sedikit lebih tenang. Setidaknya aku sudah mengambil langkah awal untuk mencari tahu.Kutatap wajah tampan nan pucat milik mas Ihsan. “Mas, aku harus berangkat bekerja. Hasilnya bisa kutabung untuk biaya hidup sementara. Setelah kamu sadar, mungkin kamu belum bisa langsung bekerja seperti dulu.”Nihil. Mas Ihsan sama sekali tak merespon ucapanku.‘Bangun, Mas. Mau sampai kapan mas tidur terus? Sementara biaya rawat inap, infus dan obat-obatan terus berjalan,’Pintu ruang rawat mas Ihsan terbuka, dan ibu mertuaku muncul dengan mata tajam menatap ke arahku. “Mana sisa uang yang belum kamu kasih ke aku?” tanyanya langsung. Kemarin malam Bu Minten hanya menerima 4,5 juta saja.Bukannya men
Suara adzan subuh berkumandang, membuatku yang masih lelap dalam tidur, seketika terbangun. Sebelum pergi ke mushola, kutatap wajah mas Ihsan.“Aku berharap kamu cepat sadar, Mas. Bagiku, hanya kamu yang bisa membantuku keluar dari masalahku ini,” gumamku.Lagi-lagi hanya suara monitor yang menjawab pertanyaan juga keluhanku. Aku hanya bisa menghela napas sambil memejamkan kedua mataku.Setelahnya aku segera pergi ke mushola untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim, meski sadar, diri ini berlumuran dosa. Dosa yang bahkan dilakukan dengan sadar dan sengaja.Selesai sholat dan berdzikir, aku berdoa pada Allah. Mohon ampunan dan meminta agar segera dikeluarkan dari situasi tak mengenakkan ini.Seperti biasa, setelah memastikan mas Ihsan selesai di lap tubuhnya dan lagi-lagi oleh perawat, aku segera pergi ke rumah juragan awira untuk bekerja.&nbs
Aku terdiam dengan segala keadaan ini. Namun kecanggungan itu segera lenyap, begitu mas Bisma menarik tubuhnya dan membenahi posisinya. Setelah selesai berbelanja, kami menuju sebuah restoran mewah di dalam mall. Kami duduk di meja yang sudah dipesan oleh Mas Bisma. Hidangan yang disajikan sangat lezat dan berkelas. Aku merasa seperti hidup di dunia lain.Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu saat aku melihat mas Bisma duduk di cafe bersama seorang wanita. Meski rasanya tak pantas, tapi aku rasa penasaranku jauh lebih mendominasi.“Mas.”Kulihat mas Bisma mengangkat wajahnya lalu menatap ke arahku. “Hmm?”“Boleh tanya sesuatu?” tanyaku sambil menatap makanan yang ada di atas piringku, tak berani menatap wajahnya.Aku hanya bisa menunduk, bingung dengan perasaanku sendiri.“Boleh,”
Hatiku seketika melompat kegirangan. "Alhamdulillah... Alhamdulillah..." air mataku mengalir deras, kali ini bukan karena kesedihan, tetapi kebahagiaan yang luar biasa.Aku yakin, sadarnya mas Ihsan adalah akhir dari penderitaanku karena keadaan ini. Mas Bisma pun sepertinya tak akan menagih sisa tiga pertemuan kami.Aku segera masuk ke dalam ruang rawat, mendapati Mas Ihsan yang tampak lemah namun matanya sudah terbuka. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan sayu. "Seruni?" suaranya terdengar lemah, namun itu adalah suara yang sudah lama aku rindukan."Mas Ihsan, akhirnya kamu sadar..." Aku bergegas mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Aku sangat merindukanmu, Mas.""Maafkan aku, Seruni. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir," katanya sambil berusaha tersenyum."Jangan minta maaf, Mas. Yang penting sekarang kamu sudah sadar. Kita akan melalui semua ini bersama," jawabk
Aku melepaskan pelukaku pad mas Ihsan lalu menoleh ke arah mbak Rania yang kini matanya menatap tajam ke arahku, lalu berganti menatap tajam pada mas Ihsan.Ah, rasanya sikap mbak Rania ini berlebihan menurutku. Dia hanya kakak ipar buat mas Ihsan tapi bersikap seolah dia adalah istri mas Ihsan.Sepertinya dugaanku benar. Mbak Rania itu jatuh cinta pada suamiku dan ingin menjadi istrinya. Wajah mendiang mas Raffi dan mas Ihsan kan hampir mirip meskipun lebih tampan mas Ihsan.Aku merasa sedikit terintimidasi, tapi berusaha tetap tenang. “Maaf, Mbak. Kami semua sangat sibuk mengurus Mas Ihsan dan mungkin terlewat untuk mengabari mbak.”Mbak Rania mendekat dengan langkah perlahan, matanya masih menyorot tajam. “Aku kan keluarganya juga. Bahkan, seharusnya aku yang pertama tahu.”Aku terhenyak mendengarnya, ‘Apa aku gak salah dengar? Memang siapa mb