Aku terdiam dengan segala keadaan ini. Namun kecanggungan itu segera lenyap, begitu mas Bisma menarik tubuhnya dan membenahi posisinya. Setelah selesai berbelanja, kami menuju sebuah restoran mewah di dalam mall. Kami duduk di meja yang sudah dipesan oleh Mas Bisma. Hidangan yang disajikan sangat lezat dan berkelas. Aku merasa seperti hidup di dunia lain.
Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu saat aku melihat mas Bisma duduk di cafe bersama seorang wanita. Meski rasanya tak pantas, tapi aku rasa penasaranku jauh lebih mendominasi.
“Mas.”
Kulihat mas Bisma mengangkat wajahnya lalu menatap ke arahku. “Hmm?”
“Boleh tanya sesuatu?” tanyaku sambil menatap makanan yang ada di atas piringku, tak berani menatap wajahnya.
Aku hanya bisa menunduk, bingung dengan perasaanku sendiri.
“Boleh,”
Hatiku seketika melompat kegirangan. "Alhamdulillah... Alhamdulillah..." air mataku mengalir deras, kali ini bukan karena kesedihan, tetapi kebahagiaan yang luar biasa.Aku yakin, sadarnya mas Ihsan adalah akhir dari penderitaanku karena keadaan ini. Mas Bisma pun sepertinya tak akan menagih sisa tiga pertemuan kami.Aku segera masuk ke dalam ruang rawat, mendapati Mas Ihsan yang tampak lemah namun matanya sudah terbuka. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan sayu. "Seruni?" suaranya terdengar lemah, namun itu adalah suara yang sudah lama aku rindukan."Mas Ihsan, akhirnya kamu sadar..." Aku bergegas mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Aku sangat merindukanmu, Mas.""Maafkan aku, Seruni. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir," katanya sambil berusaha tersenyum."Jangan minta maaf, Mas. Yang penting sekarang kamu sudah sadar. Kita akan melalui semua ini bersama," jawabk
Aku melepaskan pelukaku pad mas Ihsan lalu menoleh ke arah mbak Rania yang kini matanya menatap tajam ke arahku, lalu berganti menatap tajam pada mas Ihsan.Ah, rasanya sikap mbak Rania ini berlebihan menurutku. Dia hanya kakak ipar buat mas Ihsan tapi bersikap seolah dia adalah istri mas Ihsan.Sepertinya dugaanku benar. Mbak Rania itu jatuh cinta pada suamiku dan ingin menjadi istrinya. Wajah mendiang mas Raffi dan mas Ihsan kan hampir mirip meskipun lebih tampan mas Ihsan.Aku merasa sedikit terintimidasi, tapi berusaha tetap tenang. “Maaf, Mbak. Kami semua sangat sibuk mengurus Mas Ihsan dan mungkin terlewat untuk mengabari mbak.”Mbak Rania mendekat dengan langkah perlahan, matanya masih menyorot tajam. “Aku kan keluarganya juga. Bahkan, seharusnya aku yang pertama tahu.”Aku terhenyak mendengarnya, ‘Apa aku gak salah dengar? Memang siapa mb
Aku merasakan air mata menggenang di mataku. “Mas, aku sungguh gak bisa menjawab pertanyaanmu. Mas tahu kalau aku udah nikah sama mas Ihsan. Aku gak bisa mengabaikan ikatan suci pernikahanku dengan Mas Ihsan. Aku... aku merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda.”Mas Bisma memutar tubuhku hingga aku menghadapnya. Dia menatap dalam ke mataku, mencari kebenaran di dalamnya. “Seruni, aku hanya ingin kamu jujur. Kalau kamu merasa sesuatu untukku, aku akan menunggu. Bahkan kalau perlu aku akan merebutmu dari Ihsan. Tapi kalau tidak, aku akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi.”Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya. Tubuhku lemas mendengarnya akan pergi meninggalkanku. Perasaanku benar-benar campur aduk saat ini.Dia mengangkat daguku dengan lembut, memaksa aku untuk menatapnya. “Maafkan aku yang terus memaksamu. Aku terlalu naif karena terbawa perasaanku sendiri. Seperti yang kamu
POV Bisma.“Capek banget rasanya tubuhku,” keluhku.Aku baru saja tiba di apartemenku di Singapura setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, mencoba menghilangkan kepenatan yang menggantung di setiap sendi tubuhku.Kubuka telepon genggamku dan kutatap foto Seruni yang cantik paripurna. Wajahnya selalu membuat hatiku berdebar. Aku memutuskan akan memperjuangkannya, tak peduli meski harus merebutnya dari Ihsan. Aku mencintainya sampai ke tulang sumsumku. Mungkin aku jahat dengan segala kelicikanku, tapi aku yakin tindakanku sudah tepat.“Baru juga beberapa jam, tapi aku udah kangen banget sama kamu,” ucapku sambil terus menatap foto Seruni.Di galeri telepon genggamku, bukan hanya ada foto-foto Seruni, tetapi juga satu video panas kami yang kuambil dengan handycam yang kuletakkan secara sembuny
POV BismaKeesokan harinya aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Aku memang bukan seorang muslim yang taat. Ketika ingin sholat maka aku akan sholat, dan ketika malas, maka aku tidak akan mengerjakannya.Benar-benar seorang pendosa gila. Semoga Allah mengampuniku.Aku sadar dengan yang kulakukan. Apalagi dengan segala kelicikanku untuk merebut Seruni dari Ihsan, meski aku punya alasan kuat melakukannya. Setidaknya setelah aku mengetahui sesuatu.Selesai sholat aku tidak langsung mandi, melainkan meraih ponselku untuk menghubungi Seruni. Rasa penasaran sekaligus rasa khawatir membuatku ingin segera mengetahui keadaan Seruni.Sambil rebahan di ranjang, aku melakukan panggilan video call. Aku tahu kalau Seruni tak akan merespon bila aku menghubunginya secara langsung seperti ini.Tanpa kuduga, Seruni menerima panggilan video cal dariku. Apakah ini artinya di jam sepagi i
POV Bisma.Mendapatkan pertanyaan seperti itu membuatku terdiam sejenak. Ada rasa tak tega, tapi aku harus bisa mengatakannya.“Benar. Aku sedang menjalin hubungan kasih dengan seorang wanita,” jawabku.Kulihat perlahan raut wajahnya memperlihatkan kekecewaan. Apalagi dari beberapa paket yang kuterima darinya yang menunjukkan kalau dia kembali berharap bisa bersamaku.‘Tidak. Niatku sudah bulat untuk bersama Seruni. Aku sudah terlanjur jadi manusia jahat dengan rencana licikku untuk memiliki Seruni. Tentu saja aku tak mungkin mundur,’ ucapku dalam hati.Melodi tampak diam. Aku tahu kalau dia sedang terluka hatinya.Dia menatapku dengan wajah lelah. “Bisma, bisakah kamu menjaga Garvin sampai dia tidur? Aku benar-benar tidak punya tenaga lagi.”Aku mencoba menolak dengan lembut. “Melodi, aku harus segera pulang ke Indonesia malam ini.Namun, wajah Melodi memelas, matanya penuh harap. “Siapa lagi yang bisa membantuku di sini selain kamu, Bisma? Tolong jaga dan sayangi anakku,” ucap Melod
Aku mematung di depan pintu yang tidak tertutup rapat. Mendengar ucapan ibu mertuaku membuat rasa penasaran menguasai diriku. Apa maksud Bu Minten berbicara seperti itu dan apa pula tujuan utama mas Ihsan menikahiku? Hati kecilku mendesak untuk mendengar lebih lanjut, namun ada juga rasa takut yang menghantui.“Ihsan, apa kamu lupa tujuan utamamu menikahi Seruni, hah?” suara Bu Minten terdengar jelas.“Aku ingat, Bu. Tapi untuk saat ini aku gak bisa dan aku juga gak mau Seruni terluka,” jawab Mas Ihsan dengan suara bergetar.“Apa kamu bilang, Ihsan?!” Kudengar suara ibu mertuanya yang sepertinya terkejut mendengar jawaban suamiku. “Kamu gak mau dia terluka? Lalu kamu mau mengabaikan luka hati ibu akibat perbuatan ibunya si Seruni yang udah jadi mayat itu?”Hatiku berdebar-debar terutama saat mendiang ibuku disebut-sebut. Tidak! Ibuku orang baik, dan mustahil kalau dia menyakiti seseorang. Seingatku, bahkan mendiang ibuku tak sanggup membunuh nyamuk yang telah menghisap darahnya.Aku
POV BismaPara penumpang yang terhormat, selamat datang di bandara tujuan. Demi keselamatan dan kenyamanan Anda, harap tetap duduk dengan sabuk pengaman terpasang hingga kapten mematikan tanda Kencangkan Sabuk Pengaman. Harap periksa di sekitar tempat duduk Anda untuk barang-barang pribadi yang mungkin Anda bawa ke dalam pesawat dan berhati-hatilah saat membuka tempat sampah di atas kepala, karena barang-barang tersebut mungkin telah bergeser selama penerbangan. Atas nama maskapai bird air dan seluruh kru, kami mengucapkan terima kasih karena telah bergabung dengan kami dalam perjalanan ini dan kami berharap dapat bertemu dengan Anda lagi dalam waktu dekat. Semoga perjalanan Anda menyenangkan dan selamat sampai tujuan.Terima kasih.Aku yang sedang tidur pulas karena kelelahan, sedikit terperanjat mendengar pengumuman yang terdengar melalui headphone yang menempel di telingaku.Aku kelelahan setelah mengejar waktu. Melodi sempat menghalangi kepergianku, sementara niatku untuk pulang k
POV Bisma.Aku mendengar teriakan Ihsan yang penuh dengan amarah dan kecemburuan.Aku menoleh dengan sinis pad Ihsan. “Sok-sokan marah. Padahal apa yang dia lakukan juga udah nyakitin Seruni banget.”Seruni yang masih ada dalam pelukanku mendongakkan kepalanya. “Mas, ngomong apa?”Aku lupa kalau ada Seruni dalam pelukanku. “Gak ada kok. Aku cuma ngomong gak jelas aja.”Aku jelaskan pun rasanya percuma karena bisa saja Seruni tidak percaya dengan ceritaku tentang Ihsan. Untuk saat ini aku memilih zona aman. Kesalahpahaman hanya akan membuat Seruni menjauh lagi dariku dan aku tidak ingin hal itu terjadi.Tanpa menghiraukan Ihsan, aku segera menggendong Seruni sebelum tiga pria yang menculiknya bangkit dan mencoba melawan lagi. Aku melewati Ihsan yang masih berusaha berjalan dengan susah payah, sambil berusaha menenangkan diri dari se
POV BismaAku menggeliatkan tubuhku yang masih terasa lemah setelah melepaskan segala hormon stress ku tadi bersama Seruni. Beberapa waktu lalu, kami habis memadu kasih dengan penuh gairah.“Kamu itu menggemaskan, Seruni,” ucapku membayangkan kegilaan kami tadi.Aku melepas kepergian Seruni yang memutuskan untuk pulang sendiri dan menolak diantar olehku.“Sudahlah, yang penting sekarang Seruni benar-benar akan jadi milikku,” gumamku.Aku turun dari ranjang dengan perasaan bahagia. Tubuhku masih polos tanpa sehelai benang pun, namun aku tidak peduli. Lagi pula kami sudah mengikat janji akan bersama setelah ini, dan aku merasa perjuanganku tidak sia-sia meski harus memakai cara jahat dan licik dengan memanfaatkan kesulitan Seruni saat dia membutuhkan uang untuk biaya operasi Ihsan.Toh aku tahu, Ihsan bukan laki-laki baik sebenarny
POV Ihsan.Jam menunjukkan angka 7.30, namun Seruni belum kembali dari apotek. Aku mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah, hati terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.“Kenapa Seruni belum kembali?” gumamku pelan.Pikiran-pikiran buruk mulai menguasai benakku. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Bukan karena aku khawatir dengan keselamatannya. Aku yakin akan hal itu, tapi Seruni adalah calon pohon uangku.“Udahlah, Ihsan. Nanti juga dia akan pulang,” ucap ibuku.Aku menatap tajam pada ibuku. “Ibu yang bikin Seruni pergi malam-malam dan nenek juga udah bilang gak jadi, tapi ibu terus maksa!” seruku marah, melemparkan pandangan tajam ke arah ibuku.Nenekku tampak terdiam dan merasa bersalah. Ibuku yang melihat hal itu merasa tak suka.“Bu, istirahat saja di kamar ya,&rdqu
POV Seruni.“Mas Bisma!” pekikku dengan kedua mata yang masih melebar. “Kok bisa ada di sini?”Dia hanya tersenyum padaku sambil mengemudi. Wajahnya penuh keringat dan sedikit darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya penuh kekhawatiran padaku.“Panjang kalau diceritain. Bisa ngabisin 1 buku novel cetak,” jawabnya, yang membuatku merubah raut wajahku menjadi masam. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya untuk yang kedua kali.Aku mengangguk, meskipun raut wajahku masih cukup masam. “Aku gak apa-apa. Kamu sendiri gimana, Mas?”Dia tersenyum lemah. “Aku akan baik-baik saja. Yang penting sekarang kita selamat dulu dari kejaran orang-orang itu.”Dalam keheningan mobil, aku tidak bisa menahan rasa terima kasih yang meluap-luap di dalam hatiku. Mas Bisma telah menyelamatkanku. Ini bukan pertama kalinya aku merasa aman berada di dekatnya meskipun situasinya begitu berbahaya.
POV SeruniSiang telah berlalu berganti malam. Keheningan merayapi rumah neneknya mas Ihsan yang sudah cukup tua dan penuh kenangan. Saat ini aku berada di dapur, mencuci piring bekas makan malam beberapa waktu yang lalu.Air dingin mengalir deras, mengguyur piring-piring dengan suara gemericik yang menenangkan."Seruni!" panggil Bu Minten dengan nada tajam, mengagetkanku.Aku menoleh dan melihat beliau berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat sinis seperti biasa. Beliau mendekat lalu menarik lenganku dengan kasar."Ikut aku sebentar," katanya dengan nada memerintah, kemudian membawaku ke samping rumah, jauh dari telinga yang mungkin mendengar."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan jantungku yang berdegup kencang."Seruni, aku mau kamu ninggalin Ihsan. Aku lihat semua udah gak sesuai rencana awal," kata Bu Minten tegas, suaranya penuh
POV Ihsan.Rupanya itu telepon dari Heru, laki-laki yang sedang mencariku. Hal inilah yang mendasariku untuk diam sementara di rumah nenekku dengan membawa Seruni. Mereka menuduhku berkhianat karena dianggap menghilang.“Dimana kamu? Kenapa nomormu lama tidak aktif?” tanya Heru begitu sambungan telepon aku terima.“Aku kecelakaan dan koma sampai dua minggu lamanya,” bisikku. Aku takut Seruni mendengar. Seruni memang tampak tidur, tapi itu bukan jaminan kalau dia benar-benar tidur.“Sialan! Bos terus nanyain aku tentang kamu dan istrimu itu,” ucapnya begitu kencang di telingaku."Aku tidak bisa memberitahumu banyak lewat telepon. Kita harus bertemu langsung," ucapku masih dengan suara berbisik."Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?" tanyanya."Aku akan mengirimkan lokasi. Tapi ingat, pertemuan ini hanya antara kita berdua," ucapku.“Oke.”Meski Heru sempat berkata ’oke’ dan tak akan mengatakan pertemuan ini pada siapapun, tapi aku harus mempersiapkan segala kemungkinan terburuk.Aku men
POV Ihsan.Aku terbangun karena suara dering ponsel yang memecah keheningan kamar. Kubuka mataku sedikit. Rupanya ponsel Seruni yang berdering, tapi aku tak tahu siapa orang yang menghubunginya.Tak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki Seruni keluar dari kamar. Rasa penasaran membuatku bangkit, meski tubuhku masih lemah.“Ah, sial! Kenapa juga aku harus harus ngalamin ini sih?” keluhku, seraya beringsut ke arah kursi roda.Setelah duduk di kursi roda, dengan susah payah aku menggerakkan kursi roda menuju pintu kamar.“Kok sepi? Ibu sama nenek kemana ya? Tidur kali ya,” gumamku lalu kembali menggulirkan roda di kursi ke arah ruang tamu.“Perempuan itu kemana sih? Bukannya nemenin suami tidur, ini malah ngeloyor gak jelas,” omelku.Ya, inilah aku. Sosok Ihsan Kusuma, suami Seruni yang sebenarnya memben
POV Ihsan.Saat pagi tiba, aku sudah berada di ruang rawat Mas Ihsan. Setelah berlama-lama berada di taman, aku memutuskan untuk kembali lalu tidur sebentar.Aku terbangun karena dibangunkan oleh mas Ihsan. Saking lelapnya aku bahkan tak mendengar suara adzan subuh berkumandang. Bahkan saat Ibu mertuaku pulang pun aku tak tahu.“Mas kok gak bangunin aku?” tanyaku saat melihat jam sudah menunjukkan angka 6.30 pagi.Mas Ihsan tersenyum padaku. Dulu senyum itu selalu membuatku tenang dan bahagia, tapi sekarang justru malah membuatku merasa sesak.“Aku gak tega bangunin kamu, Sayang,” ucap mas Ihsan.Aku tertegun mendengar ucapan mas Ihsan. Percayakah kalian kalau ini adalah panggilan sayang pertama mas Ihsan padaku, bahkan sejak kami mulai berpacaran dulu.Aku seketika merasa serba salah. Lalu aku pamit untuk pergi ke mushola d
POV Seruni.Ajakan Mas Bisma membuatku terkejut. Apalagi dia bicara seperti itu di depan ibu mertuaku sendiri. Membuatku serba salah. Beruntung wajah Bu Minten tak seperti orang curiga kalau ada apa-apa diantara aku dan mas Bisma.Saat aku ingin menjawab, tiba-tiba suara lemah Mas Ihsan menghentikan niatku.“Seruni…” panggil Mas Ihsan lirih, membuatku segera menoleh ke arah ruang rawat.“Gara-gara kamu berisik, Ihsan jadi bangun,” omel Bu Minten, lagi-lagi menyalahkanku. AKu hanya bisa menghela napas pasrah.Bu Minten segera masuk, diikuti olehku. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh ke dalam ruang rawat suamiku, Mas Bisma menahan tanganku.Aku menatapnya dengan bingung, tapi tatapannya seolah-olah mengatakan, "Jangan masuk, ikutlah denganku."“Mas, tolong lepaskan tanganku. Aku harus masuk