POV Seruni.Ajakan Mas Bisma membuatku terkejut. Apalagi dia bicara seperti itu di depan ibu mertuaku sendiri. Membuatku serba salah. Beruntung wajah Bu Minten tak seperti orang curiga kalau ada apa-apa diantara aku dan mas Bisma.Saat aku ingin menjawab, tiba-tiba suara lemah Mas Ihsan menghentikan niatku.“Seruni…” panggil Mas Ihsan lirih, membuatku segera menoleh ke arah ruang rawat.“Gara-gara kamu berisik, Ihsan jadi bangun,” omel Bu Minten, lagi-lagi menyalahkanku. AKu hanya bisa menghela napas pasrah.Bu Minten segera masuk, diikuti olehku. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh ke dalam ruang rawat suamiku, Mas Bisma menahan tanganku.Aku menatapnya dengan bingung, tapi tatapannya seolah-olah mengatakan, "Jangan masuk, ikutlah denganku."“Mas, tolong lepaskan tanganku. Aku harus masuk
POV Ihsan.Saat pagi tiba, aku sudah berada di ruang rawat Mas Ihsan. Setelah berlama-lama berada di taman, aku memutuskan untuk kembali lalu tidur sebentar.Aku terbangun karena dibangunkan oleh mas Ihsan. Saking lelapnya aku bahkan tak mendengar suara adzan subuh berkumandang. Bahkan saat Ibu mertuaku pulang pun aku tak tahu.“Mas kok gak bangunin aku?” tanyaku saat melihat jam sudah menunjukkan angka 6.30 pagi.Mas Ihsan tersenyum padaku. Dulu senyum itu selalu membuatku tenang dan bahagia, tapi sekarang justru malah membuatku merasa sesak.“Aku gak tega bangunin kamu, Sayang,” ucap mas Ihsan.Aku tertegun mendengar ucapan mas Ihsan. Percayakah kalian kalau ini adalah panggilan sayang pertama mas Ihsan padaku, bahkan sejak kami mulai berpacaran dulu.Aku seketika merasa serba salah. Lalu aku pamit untuk pergi ke mushola d
POV Ihsan.Aku terbangun karena suara dering ponsel yang memecah keheningan kamar. Kubuka mataku sedikit. Rupanya ponsel Seruni yang berdering, tapi aku tak tahu siapa orang yang menghubunginya.Tak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki Seruni keluar dari kamar. Rasa penasaran membuatku bangkit, meski tubuhku masih lemah.“Ah, sial! Kenapa juga aku harus harus ngalamin ini sih?” keluhku, seraya beringsut ke arah kursi roda.Setelah duduk di kursi roda, dengan susah payah aku menggerakkan kursi roda menuju pintu kamar.“Kok sepi? Ibu sama nenek kemana ya? Tidur kali ya,” gumamku lalu kembali menggulirkan roda di kursi ke arah ruang tamu.“Perempuan itu kemana sih? Bukannya nemenin suami tidur, ini malah ngeloyor gak jelas,” omelku.Ya, inilah aku. Sosok Ihsan Kusuma, suami Seruni yang sebenarnya memben
POV Ihsan.Rupanya itu telepon dari Heru, laki-laki yang sedang mencariku. Hal inilah yang mendasariku untuk diam sementara di rumah nenekku dengan membawa Seruni. Mereka menuduhku berkhianat karena dianggap menghilang.“Dimana kamu? Kenapa nomormu lama tidak aktif?” tanya Heru begitu sambungan telepon aku terima.“Aku kecelakaan dan koma sampai dua minggu lamanya,” bisikku. Aku takut Seruni mendengar. Seruni memang tampak tidur, tapi itu bukan jaminan kalau dia benar-benar tidur.“Sialan! Bos terus nanyain aku tentang kamu dan istrimu itu,” ucapnya begitu kencang di telingaku."Aku tidak bisa memberitahumu banyak lewat telepon. Kita harus bertemu langsung," ucapku masih dengan suara berbisik."Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?" tanyanya."Aku akan mengirimkan lokasi. Tapi ingat, pertemuan ini hanya antara kita berdua," ucapku.“Oke.”Meski Heru sempat berkata ’oke’ dan tak akan mengatakan pertemuan ini pada siapapun, tapi aku harus mempersiapkan segala kemungkinan terburuk.Aku men
POV SeruniSiang telah berlalu berganti malam. Keheningan merayapi rumah neneknya mas Ihsan yang sudah cukup tua dan penuh kenangan. Saat ini aku berada di dapur, mencuci piring bekas makan malam beberapa waktu yang lalu.Air dingin mengalir deras, mengguyur piring-piring dengan suara gemericik yang menenangkan."Seruni!" panggil Bu Minten dengan nada tajam, mengagetkanku.Aku menoleh dan melihat beliau berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat sinis seperti biasa. Beliau mendekat lalu menarik lenganku dengan kasar."Ikut aku sebentar," katanya dengan nada memerintah, kemudian membawaku ke samping rumah, jauh dari telinga yang mungkin mendengar."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan jantungku yang berdegup kencang."Seruni, aku mau kamu ninggalin Ihsan. Aku lihat semua udah gak sesuai rencana awal," kata Bu Minten tegas, suaranya penuh
POV Seruni.“Mas Bisma!” pekikku dengan kedua mata yang masih melebar. “Kok bisa ada di sini?”Dia hanya tersenyum padaku sambil mengemudi. Wajahnya penuh keringat dan sedikit darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya penuh kekhawatiran padaku.“Panjang kalau diceritain. Bisa ngabisin 1 buku novel cetak,” jawabnya, yang membuatku merubah raut wajahku menjadi masam. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya untuk yang kedua kali.Aku mengangguk, meskipun raut wajahku masih cukup masam. “Aku gak apa-apa. Kamu sendiri gimana, Mas?”Dia tersenyum lemah. “Aku akan baik-baik saja. Yang penting sekarang kita selamat dulu dari kejaran orang-orang itu.”Dalam keheningan mobil, aku tidak bisa menahan rasa terima kasih yang meluap-luap di dalam hatiku. Mas Bisma telah menyelamatkanku. Ini bukan pertama kalinya aku merasa aman berada di dekatnya meskipun situasinya begitu berbahaya.
POV Ihsan.Jam menunjukkan angka 7.30, namun Seruni belum kembali dari apotek. Aku mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah, hati terasa semakin berat seiring berjalannya waktu.“Kenapa Seruni belum kembali?” gumamku pelan.Pikiran-pikiran buruk mulai menguasai benakku. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Bukan karena aku khawatir dengan keselamatannya. Aku yakin akan hal itu, tapi Seruni adalah calon pohon uangku.“Udahlah, Ihsan. Nanti juga dia akan pulang,” ucap ibuku.Aku menatap tajam pada ibuku. “Ibu yang bikin Seruni pergi malam-malam dan nenek juga udah bilang gak jadi, tapi ibu terus maksa!” seruku marah, melemparkan pandangan tajam ke arah ibuku.Nenekku tampak terdiam dan merasa bersalah. Ibuku yang melihat hal itu merasa tak suka.“Bu, istirahat saja di kamar ya,&rdqu
POV BismaAku menggeliatkan tubuhku yang masih terasa lemah setelah melepaskan segala hormon stress ku tadi bersama Seruni. Beberapa waktu lalu, kami habis memadu kasih dengan penuh gairah.“Kamu itu menggemaskan, Seruni,” ucapku membayangkan kegilaan kami tadi.Aku melepas kepergian Seruni yang memutuskan untuk pulang sendiri dan menolak diantar olehku.“Sudahlah, yang penting sekarang Seruni benar-benar akan jadi milikku,” gumamku.Aku turun dari ranjang dengan perasaan bahagia. Tubuhku masih polos tanpa sehelai benang pun, namun aku tidak peduli. Lagi pula kami sudah mengikat janji akan bersama setelah ini, dan aku merasa perjuanganku tidak sia-sia meski harus memakai cara jahat dan licik dengan memanfaatkan kesulitan Seruni saat dia membutuhkan uang untuk biaya operasi Ihsan.Toh aku tahu, Ihsan bukan laki-laki baik sebenarny