Aku mematung di depan pintu yang tidak tertutup rapat. Mendengar ucapan ibu mertuaku membuat rasa penasaran menguasai diriku. Apa maksud Bu Minten berbicara seperti itu dan apa pula tujuan utama mas Ihsan menikahiku? Hati kecilku mendesak untuk mendengar lebih lanjut, namun ada juga rasa takut yang menghantui.“Ihsan, apa kamu lupa tujuan utamamu menikahi Seruni, hah?” suara Bu Minten terdengar jelas.“Aku ingat, Bu. Tapi untuk saat ini aku gak bisa dan aku juga gak mau Seruni terluka,” jawab Mas Ihsan dengan suara bergetar.“Apa kamu bilang, Ihsan?!” Kudengar suara ibu mertuanya yang sepertinya terkejut mendengar jawaban suamiku. “Kamu gak mau dia terluka? Lalu kamu mau mengabaikan luka hati ibu akibat perbuatan ibunya si Seruni yang udah jadi mayat itu?”Hatiku berdebar-debar terutama saat mendiang ibuku disebut-sebut. Tidak! Ibuku orang baik, dan mustahil kalau dia menyakiti seseorang. Seingatku, bahkan mendiang ibuku tak sanggup membunuh nyamuk yang telah menghisap darahnya.Aku
POV BismaPara penumpang yang terhormat, selamat datang di bandara tujuan. Demi keselamatan dan kenyamanan Anda, harap tetap duduk dengan sabuk pengaman terpasang hingga kapten mematikan tanda Kencangkan Sabuk Pengaman. Harap periksa di sekitar tempat duduk Anda untuk barang-barang pribadi yang mungkin Anda bawa ke dalam pesawat dan berhati-hatilah saat membuka tempat sampah di atas kepala, karena barang-barang tersebut mungkin telah bergeser selama penerbangan. Atas nama maskapai bird air dan seluruh kru, kami mengucapkan terima kasih karena telah bergabung dengan kami dalam perjalanan ini dan kami berharap dapat bertemu dengan Anda lagi dalam waktu dekat. Semoga perjalanan Anda menyenangkan dan selamat sampai tujuan.Terima kasih.Aku yang sedang tidur pulas karena kelelahan, sedikit terperanjat mendengar pengumuman yang terdengar melalui headphone yang menempel di telingaku.Aku kelelahan setelah mengejar waktu. Melodi sempat menghalangi kepergianku, sementara niatku untuk pulang k
POV Seruni.Ajakan Mas Bisma membuatku terkejut. Apalagi dia bicara seperti itu di depan ibu mertuaku sendiri. Membuatku serba salah. Beruntung wajah Bu Minten tak seperti orang curiga kalau ada apa-apa diantara aku dan mas Bisma.Saat aku ingin menjawab, tiba-tiba suara lemah Mas Ihsan menghentikan niatku.“Seruni…” panggil Mas Ihsan lirih, membuatku segera menoleh ke arah ruang rawat.“Gara-gara kamu berisik, Ihsan jadi bangun,” omel Bu Minten, lagi-lagi menyalahkanku. AKu hanya bisa menghela napas pasrah.Bu Minten segera masuk, diikuti olehku. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh ke dalam ruang rawat suamiku, Mas Bisma menahan tanganku.Aku menatapnya dengan bingung, tapi tatapannya seolah-olah mengatakan, "Jangan masuk, ikutlah denganku."“Mas, tolong lepaskan tanganku. Aku harus masuk
POV Ihsan.Saat pagi tiba, aku sudah berada di ruang rawat Mas Ihsan. Setelah berlama-lama berada di taman, aku memutuskan untuk kembali lalu tidur sebentar.Aku terbangun karena dibangunkan oleh mas Ihsan. Saking lelapnya aku bahkan tak mendengar suara adzan subuh berkumandang. Bahkan saat Ibu mertuaku pulang pun aku tak tahu.“Mas kok gak bangunin aku?” tanyaku saat melihat jam sudah menunjukkan angka 6.30 pagi.Mas Ihsan tersenyum padaku. Dulu senyum itu selalu membuatku tenang dan bahagia, tapi sekarang justru malah membuatku merasa sesak.“Aku gak tega bangunin kamu, Sayang,” ucap mas Ihsan.Aku tertegun mendengar ucapan mas Ihsan. Percayakah kalian kalau ini adalah panggilan sayang pertama mas Ihsan padaku, bahkan sejak kami mulai berpacaran dulu.Aku seketika merasa serba salah. Lalu aku pamit untuk pergi ke mushola d
POV Ihsan.Aku terbangun karena suara dering ponsel yang memecah keheningan kamar. Kubuka mataku sedikit. Rupanya ponsel Seruni yang berdering, tapi aku tak tahu siapa orang yang menghubunginya.Tak lama kemudian, aku mendengar langkah kaki Seruni keluar dari kamar. Rasa penasaran membuatku bangkit, meski tubuhku masih lemah.“Ah, sial! Kenapa juga aku harus harus ngalamin ini sih?” keluhku, seraya beringsut ke arah kursi roda.Setelah duduk di kursi roda, dengan susah payah aku menggerakkan kursi roda menuju pintu kamar.“Kok sepi? Ibu sama nenek kemana ya? Tidur kali ya,” gumamku lalu kembali menggulirkan roda di kursi ke arah ruang tamu.“Perempuan itu kemana sih? Bukannya nemenin suami tidur, ini malah ngeloyor gak jelas,” omelku.Ya, inilah aku. Sosok Ihsan Kusuma, suami Seruni yang sebenarnya memben
POV Ihsan.Rupanya itu telepon dari Heru, laki-laki yang sedang mencariku. Hal inilah yang mendasariku untuk diam sementara di rumah nenekku dengan membawa Seruni. Mereka menuduhku berkhianat karena dianggap menghilang.“Dimana kamu? Kenapa nomormu lama tidak aktif?” tanya Heru begitu sambungan telepon aku terima.“Aku kecelakaan dan koma sampai dua minggu lamanya,” bisikku. Aku takut Seruni mendengar. Seruni memang tampak tidur, tapi itu bukan jaminan kalau dia benar-benar tidur.“Sialan! Bos terus nanyain aku tentang kamu dan istrimu itu,” ucapnya begitu kencang di telingaku."Aku tidak bisa memberitahumu banyak lewat telepon. Kita harus bertemu langsung," ucapku masih dengan suara berbisik."Baiklah. Di mana kita bisa bertemu?" tanyanya."Aku akan mengirimkan lokasi. Tapi ingat, pertemuan ini hanya antara kita berdua," ucapku.“Oke.”Meski Heru sempat berkata ’oke’ dan tak akan mengatakan pertemuan ini pada siapapun, tapi aku harus mempersiapkan segala kemungkinan terburuk.Aku men
POV SeruniSiang telah berlalu berganti malam. Keheningan merayapi rumah neneknya mas Ihsan yang sudah cukup tua dan penuh kenangan. Saat ini aku berada di dapur, mencuci piring bekas makan malam beberapa waktu yang lalu.Air dingin mengalir deras, mengguyur piring-piring dengan suara gemericik yang menenangkan."Seruni!" panggil Bu Minten dengan nada tajam, mengagetkanku.Aku menoleh dan melihat beliau berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya terlihat sinis seperti biasa. Beliau mendekat lalu menarik lenganku dengan kasar."Ikut aku sebentar," katanya dengan nada memerintah, kemudian membawaku ke samping rumah, jauh dari telinga yang mungkin mendengar."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan jantungku yang berdegup kencang."Seruni, aku mau kamu ninggalin Ihsan. Aku lihat semua udah gak sesuai rencana awal," kata Bu Minten tegas, suaranya penuh
POV Seruni.“Mas Bisma!” pekikku dengan kedua mata yang masih melebar. “Kok bisa ada di sini?”Dia hanya tersenyum padaku sambil mengemudi. Wajahnya penuh keringat dan sedikit darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya penuh kekhawatiran padaku.“Panjang kalau diceritain. Bisa ngabisin 1 buku novel cetak,” jawabnya, yang membuatku merubah raut wajahku menjadi masam. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya untuk yang kedua kali.Aku mengangguk, meskipun raut wajahku masih cukup masam. “Aku gak apa-apa. Kamu sendiri gimana, Mas?”Dia tersenyum lemah. “Aku akan baik-baik saja. Yang penting sekarang kita selamat dulu dari kejaran orang-orang itu.”Dalam keheningan mobil, aku tidak bisa menahan rasa terima kasih yang meluap-luap di dalam hatiku. Mas Bisma telah menyelamatkanku. Ini bukan pertama kalinya aku merasa aman berada di dekatnya meskipun situasinya begitu berbahaya.