Suara adzan subuh berkumandang, membuatku yang masih lelap dalam tidur, seketika terbangun. Sebelum pergi ke mushola, kutatap wajah mas Ihsan.
“Aku berharap kamu cepat sadar, Mas. Bagiku, hanya kamu yang bisa membantuku keluar dari masalahku ini,” gumamku.
Lagi-lagi hanya suara monitor yang menjawab pertanyaan juga keluhanku. Aku hanya bisa menghela napas sambil memejamkan kedua mataku.
Setelahnya aku segera pergi ke mushola untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim, meski sadar, diri ini berlumuran dosa. Dosa yang bahkan dilakukan dengan sadar dan sengaja.
Selesai sholat dan berdzikir, aku berdoa pada Allah. Mohon ampunan dan meminta agar segera dikeluarkan dari situasi tak mengenakkan ini.
Seperti biasa, setelah memastikan mas Ihsan selesai di lap tubuhnya dan lagi-lagi oleh perawat, aku segera pergi ke rumah juragan awira untuk bekerja.
&nbs
Aku terdiam dengan segala keadaan ini. Namun kecanggungan itu segera lenyap, begitu mas Bisma menarik tubuhnya dan membenahi posisinya. Setelah selesai berbelanja, kami menuju sebuah restoran mewah di dalam mall. Kami duduk di meja yang sudah dipesan oleh Mas Bisma. Hidangan yang disajikan sangat lezat dan berkelas. Aku merasa seperti hidup di dunia lain.Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian beberapa hari yang lalu saat aku melihat mas Bisma duduk di cafe bersama seorang wanita. Meski rasanya tak pantas, tapi aku rasa penasaranku jauh lebih mendominasi.“Mas.”Kulihat mas Bisma mengangkat wajahnya lalu menatap ke arahku. “Hmm?”“Boleh tanya sesuatu?” tanyaku sambil menatap makanan yang ada di atas piringku, tak berani menatap wajahnya.Aku hanya bisa menunduk, bingung dengan perasaanku sendiri.“Boleh,”
Hatiku seketika melompat kegirangan. "Alhamdulillah... Alhamdulillah..." air mataku mengalir deras, kali ini bukan karena kesedihan, tetapi kebahagiaan yang luar biasa.Aku yakin, sadarnya mas Ihsan adalah akhir dari penderitaanku karena keadaan ini. Mas Bisma pun sepertinya tak akan menagih sisa tiga pertemuan kami.Aku segera masuk ke dalam ruang rawat, mendapati Mas Ihsan yang tampak lemah namun matanya sudah terbuka. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan sayu. "Seruni?" suaranya terdengar lemah, namun itu adalah suara yang sudah lama aku rindukan."Mas Ihsan, akhirnya kamu sadar..." Aku bergegas mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Aku sangat merindukanmu, Mas.""Maafkan aku, Seruni. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir," katanya sambil berusaha tersenyum."Jangan minta maaf, Mas. Yang penting sekarang kamu sudah sadar. Kita akan melalui semua ini bersama," jawabk
Aku melepaskan pelukaku pad mas Ihsan lalu menoleh ke arah mbak Rania yang kini matanya menatap tajam ke arahku, lalu berganti menatap tajam pada mas Ihsan.Ah, rasanya sikap mbak Rania ini berlebihan menurutku. Dia hanya kakak ipar buat mas Ihsan tapi bersikap seolah dia adalah istri mas Ihsan.Sepertinya dugaanku benar. Mbak Rania itu jatuh cinta pada suamiku dan ingin menjadi istrinya. Wajah mendiang mas Raffi dan mas Ihsan kan hampir mirip meskipun lebih tampan mas Ihsan.Aku merasa sedikit terintimidasi, tapi berusaha tetap tenang. “Maaf, Mbak. Kami semua sangat sibuk mengurus Mas Ihsan dan mungkin terlewat untuk mengabari mbak.”Mbak Rania mendekat dengan langkah perlahan, matanya masih menyorot tajam. “Aku kan keluarganya juga. Bahkan, seharusnya aku yang pertama tahu.”Aku terhenyak mendengarnya, ‘Apa aku gak salah dengar? Memang siapa mb
Aku merasakan air mata menggenang di mataku. “Mas, aku sungguh gak bisa menjawab pertanyaanmu. Mas tahu kalau aku udah nikah sama mas Ihsan. Aku gak bisa mengabaikan ikatan suci pernikahanku dengan Mas Ihsan. Aku... aku merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda.”Mas Bisma memutar tubuhku hingga aku menghadapnya. Dia menatap dalam ke mataku, mencari kebenaran di dalamnya. “Seruni, aku hanya ingin kamu jujur. Kalau kamu merasa sesuatu untukku, aku akan menunggu. Bahkan kalau perlu aku akan merebutmu dari Ihsan. Tapi kalau tidak, aku akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi.”Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya. Tubuhku lemas mendengarnya akan pergi meninggalkanku. Perasaanku benar-benar campur aduk saat ini.Dia mengangkat daguku dengan lembut, memaksa aku untuk menatapnya. “Maafkan aku yang terus memaksamu. Aku terlalu naif karena terbawa perasaanku sendiri. Seperti yang kamu
POV Bisma.“Capek banget rasanya tubuhku,” keluhku.Aku baru saja tiba di apartemenku di Singapura setelah melakukan perjalanan panjang dari Indonesia. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, mencoba menghilangkan kepenatan yang menggantung di setiap sendi tubuhku.Kubuka telepon genggamku dan kutatap foto Seruni yang cantik paripurna. Wajahnya selalu membuat hatiku berdebar. Aku memutuskan akan memperjuangkannya, tak peduli meski harus merebutnya dari Ihsan. Aku mencintainya sampai ke tulang sumsumku. Mungkin aku jahat dengan segala kelicikanku, tapi aku yakin tindakanku sudah tepat.“Baru juga beberapa jam, tapi aku udah kangen banget sama kamu,” ucapku sambil terus menatap foto Seruni.Di galeri telepon genggamku, bukan hanya ada foto-foto Seruni, tetapi juga satu video panas kami yang kuambil dengan handycam yang kuletakkan secara sembuny
POV BismaKeesokan harinya aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Aku memang bukan seorang muslim yang taat. Ketika ingin sholat maka aku akan sholat, dan ketika malas, maka aku tidak akan mengerjakannya.Benar-benar seorang pendosa gila. Semoga Allah mengampuniku.Aku sadar dengan yang kulakukan. Apalagi dengan segala kelicikanku untuk merebut Seruni dari Ihsan, meski aku punya alasan kuat melakukannya. Setidaknya setelah aku mengetahui sesuatu.Selesai sholat aku tidak langsung mandi, melainkan meraih ponselku untuk menghubungi Seruni. Rasa penasaran sekaligus rasa khawatir membuatku ingin segera mengetahui keadaan Seruni.Sambil rebahan di ranjang, aku melakukan panggilan video call. Aku tahu kalau Seruni tak akan merespon bila aku menghubunginya secara langsung seperti ini.Tanpa kuduga, Seruni menerima panggilan video cal dariku. Apakah ini artinya di jam sepagi i
POV Bisma.Mendapatkan pertanyaan seperti itu membuatku terdiam sejenak. Ada rasa tak tega, tapi aku harus bisa mengatakannya.“Benar. Aku sedang menjalin hubungan kasih dengan seorang wanita,” jawabku.Kulihat perlahan raut wajahnya memperlihatkan kekecewaan. Apalagi dari beberapa paket yang kuterima darinya yang menunjukkan kalau dia kembali berharap bisa bersamaku.‘Tidak. Niatku sudah bulat untuk bersama Seruni. Aku sudah terlanjur jadi manusia jahat dengan rencana licikku untuk memiliki Seruni. Tentu saja aku tak mungkin mundur,’ ucapku dalam hati.Melodi tampak diam. Aku tahu kalau dia sedang terluka hatinya.Dia menatapku dengan wajah lelah. “Bisma, bisakah kamu menjaga Garvin sampai dia tidur? Aku benar-benar tidak punya tenaga lagi.”Aku mencoba menolak dengan lembut. “Melodi, aku harus segera pulang ke Indonesia malam ini.Namun, wajah Melodi memelas, matanya penuh harap. “Siapa lagi yang bisa membantuku di sini selain kamu, Bisma? Tolong jaga dan sayangi anakku,” ucap Melod
Aku mematung di depan pintu yang tidak tertutup rapat. Mendengar ucapan ibu mertuaku membuat rasa penasaran menguasai diriku. Apa maksud Bu Minten berbicara seperti itu dan apa pula tujuan utama mas Ihsan menikahiku? Hati kecilku mendesak untuk mendengar lebih lanjut, namun ada juga rasa takut yang menghantui.“Ihsan, apa kamu lupa tujuan utamamu menikahi Seruni, hah?” suara Bu Minten terdengar jelas.“Aku ingat, Bu. Tapi untuk saat ini aku gak bisa dan aku juga gak mau Seruni terluka,” jawab Mas Ihsan dengan suara bergetar.“Apa kamu bilang, Ihsan?!” Kudengar suara ibu mertuanya yang sepertinya terkejut mendengar jawaban suamiku. “Kamu gak mau dia terluka? Lalu kamu mau mengabaikan luka hati ibu akibat perbuatan ibunya si Seruni yang udah jadi mayat itu?”Hatiku berdebar-debar terutama saat mendiang ibuku disebut-sebut. Tidak! Ibuku orang baik, dan mustahil kalau dia menyakiti seseorang. Seingatku, bahkan mendiang ibuku tak sanggup membunuh nyamuk yang telah menghisap darahnya.Aku