Share

TMK (Bab 2)

"Rumah sakit?" tanyaku dengan heran.

"Benar. Kami ingin menyampaikan kabar buruk. Suami Anda mengalami kecelakaan parah.”

“Apa?!”

Tubuhku seketika gemetar. Jantungku berdetak tak karuan, rasanya kedua kakiku seperti tak menatap di tanah.

"Halo, Bu."

"I-iya. Sa-saya masih disini," ucapku terbata-bata setelah sempat diam beberapa saat. "Sa-saya akan segera ke rumah sakit."

Tanpa berpikir panjang, aku memanggil ojek. Tak peduli berapa ongkosnya, yang penting aku harus segera tiba di sana.

***

Tubuhku seketika ambruk ke lantai setibanya di rumah sakit. Kedua lututku seolah tak mampu lagi menopang bobot tubuhku yang bahkan hanya berbobot lima puluh kilo saja.

Melalui kaca jendela ruang ICU, aku melihat Mas Ihsan yang tergolek lemah tak berdaya dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun harus memakai alat bernama CPAP.

“Mas Ihsan! Kenapa harus begini?!” jeritku dengan suara kencang diantara tangisku.

Tiba-tiba telingaku mendengar suara derap langkah kaki yang berlari mendekat ke arahku. Di antara lemahnya tubuhku, aku mencoba membuka mata.

“Semua ini gara-gara kamu, Seruni!”

Suara umpatan itu terasa seperti menusuk gendang telingaku diikuti dengan perihnya pipiku yang baru saja mendapatkan sebuah tamparan keras. Saat mataku sudah terbuka lebar, kulihat oleh Bu Minten, Ibu mertuaku, sudah berdiri di hadapanku. Padahal hatiku juga masih terluka melihat keadaan Mas Ihsan, suamiku.

“Coba aja kamu gak manja, pakai acara pengen diantar jemput segala sama Ihsan. Mungkin anakku gak bakal ngalamin kecelakaan parah kayak gini!” pekiknya lagi, yang terasa begitu menusuk jauh ke dalam relung hatiku yang paling dalam.

Aku merasa tindakan Mas Ihsan itu sebuah kewajaran. Sebagai seorang suami, mengantar jemput istrinya yang bekerja, bukanlah hal buruk.

Bu Minten memang selalu mengucapkan kata-kata benci padaku dengan alasan aku yang berasal dari keluarga yang miskin dan aku yang juga tidak berpendidikan. Aku sadar akan hal itu.

“Sudah, Bu. Jangan marahin Seruni terus. Kita semua sedih dengan keadaan Ihsan.”

Aku menoleh ke arah orang yang baru saja berbicara dengan ibu mertuaku. Rupanya yang datang tadi itu bukan hanya ibu mertuaku, tapi ada Mbak Rania, kakak iparku.

Rasanya wajar sih dia datang kemari. Bagaimanapun dia juga menantu dari ibu mertuaku. Meskipun rasanya agak aneh bagiku, karena dia memilih untuk datang ke rumah sakit daripada menemani anak bayinya di rumah.

Di saat hatiku sedang hancur dengan keadaan suamiku, seorang perawat tampak muncul.

“Keluarga dari pasien Ihsan Kusuma?”

Aku yang masih terpuruk di lantai dingin rumah sakit itu, berusaha berdiri sekuat tenaga. Meskipun lututku masih terasa lemah. Belum sempat aku mengatakan kalau aku adalah istri dari Mas Ihsan, Bu Minten dan Mbak Rania sudah lebih dulu mendekat ke arah perawat tersebut.

“Saya iparnya dan ini adalah ibunya,” kata Mbak Rania.

Meski aku belum mendekat ke arah perawat tersebut, tapi telingaku masih bisa mendengar ucapan dari perawat itu. “Dokter meminta keluarga pasien untuk menemuinya di dalam ruangannya. Ada hal yang harus disampaikan.”

“Ibu takut, Ran,” ucap ibu mertuaku pada Mbak Rania. “Coba kamu aja yang temuin.”

Aku semakin sedih dengan sikap ibu mertuaku. Kenapa juga harus Mbak Rania? Istri dari Mas Ihsan kan aku. Aku benar-benar seperti menantu yang tak dianggap keberadaannya.

“Ya sudah kalau gitu, Bu. Aku akan menemui dokter,,” ujar Mbak Rania yang tampak begitu peduli pada suamiku.

‘Jangan-jangan wanita itu pengen turun ranjang. Tak akan aku biarkan suamiku menikah lagi. Aku tak siap menjadi istri pertama,’

Aku sungguh tak habis pikir dengan sikap dua orang itu. Mereka seolah tak mempedulikan dengan keberadaanku yang bahkan tengah sangat hancur dengan kondisi mas Ihsan.

Baiklah, aku mengalah saja. Daripada ibu mertuaku semakin membenciku. Akupun memilih duduk di kursi tunggu.

“Enak-enakan ya kamu duduk di sini, Perempuan pembawa sial. Padahal dulu aku sudah melarang Ihsan untuk menikahimu! Mending Ihsan nikah sama si Suci daripada sama kamu!”

Aku menoleh ke arah Bu Minten. Dia sedang menatap sinis ke arahku dengan telunjuknya yang menuding tepat ke arah wajahku.

Aku tidak terkejut saat mendengar ucapannya yang seperti itu. Selama dua minggu tinggal serumah dengan mas Ihsan dan Bu Minten, ibu mertuaku itu tidak pernah bersikap baik padaku. Itulah alasan kenapa aku memilih untuk tetap bekerja pada Bu Ambar dan Pak Wira. Aku tidak mau tertekan setiap hari dengan sikap kejamnya.

“Maaf, Bu. Kan tadi ibu sendiri yang nyuruh Mbak Rania buat nemuin dokter. Padahal yang istrinya Mas Ihsan adalah aku. Jadi aku duduk aja di sini,” ucapku sambil mengusap air mataku.

Rupanya Bu Minten tetap tak peduli padaku. Dia terus saja menyebutku sebagai wanita si-∆l yang telah membuat anaknya kecelakaan.

Mbak Rania muncul dengan wajahnya yang tampak kalut. Di tangannya ada selembar kertas. Aku mencoba untuk mendekat ke arah wanita yang usianya mungkin lebih tua tiga tahun dariku itu.

Aku melihat ibu mertuaku berdiri lalu bertanya pada Mbak Rania. “Gimana, Ran?”

Kulihat Mbak Rania langsung meneteskan air matanya. “Mas Ihsan kritis, Bu. Dia harus segera menjalani operasi malam ini juga karena pembuluh darah di otaknya sudah pecah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status