"Rumah sakit?" tanyaku dengan heran.
"Benar. Kami ingin menyampaikan kabar buruk. Suami Anda mengalami kecelakaan parah.” “Apa?!” Tubuhku seketika gemetar. Jantungku berdetak tak karuan, rasanya kedua kakiku seperti tak menatap di tanah. "Halo, Bu." "I-iya. Sa-saya masih disini," ucapku terbata-bata setelah sempat diam beberapa saat. "Sa-saya akan segera ke rumah sakit." Tanpa berpikir panjang, aku memanggil ojek. Tak peduli berapa ongkosnya, yang penting aku harus segera tiba di sana. *** Tubuhku seketika ambruk ke lantai setibanya di rumah sakit. Kedua lututku seolah tak mampu lagi menopang bobot tubuhku yang bahkan hanya berbobot lima puluh kilo saja. Melalui kaca jendela ruang ICU, aku melihat Mas Ihsan yang tergolek lemah tak berdaya dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun harus memakai alat bernama CPAP. “Mas Ihsan! Kenapa harus begini?!” jeritku dengan suara kencang diantara tangisku. Tiba-tiba telingaku mendengar suara derap langkah kaki yang berlari mendekat ke arahku. Di antara lemahnya tubuhku, aku mencoba membuka mata. “Semua ini gara-gara kamu, Seruni!” Suara umpatan itu terasa seperti menusuk gendang telingaku diikuti dengan perihnya pipiku yang baru saja mendapatkan sebuah tamparan keras. Saat mataku sudah terbuka lebar, kulihat oleh Bu Minten, Ibu mertuaku, sudah berdiri di hadapanku. Padahal hatiku juga masih terluka melihat keadaan Mas Ihsan, suamiku. “Coba aja kamu gak manja, pakai acara pengen diantar jemput segala sama Ihsan. Mungkin anakku gak bakal ngalamin kecelakaan parah kayak gini!” pekiknya lagi, yang terasa begitu menusuk jauh ke dalam relung hatiku yang paling dalam. Aku merasa tindakan Mas Ihsan itu sebuah kewajaran. Sebagai seorang suami, mengantar jemput istrinya yang bekerja, bukanlah hal buruk. Bu Minten memang selalu mengucapkan kata-kata benci padaku dengan alasan aku yang berasal dari keluarga yang miskin dan aku yang juga tidak berpendidikan. Aku sadar akan hal itu. “Sudah, Bu. Jangan marahin Seruni terus. Kita semua sedih dengan keadaan Ihsan.” Aku menoleh ke arah orang yang baru saja berbicara dengan ibu mertuaku. Rupanya yang datang tadi itu bukan hanya ibu mertuaku, tapi ada Mbak Rania, kakak iparku. Rasanya wajar sih dia datang kemari. Bagaimanapun dia juga menantu dari ibu mertuaku. Meskipun rasanya agak aneh bagiku, karena dia memilih untuk datang ke rumah sakit daripada menemani anak bayinya di rumah. Di saat hatiku sedang hancur dengan keadaan suamiku, seorang perawat tampak muncul. “Keluarga dari pasien Ihsan Kusuma?” Aku yang masih terpuruk di lantai dingin rumah sakit itu, berusaha berdiri sekuat tenaga. Meskipun lututku masih terasa lemah. Belum sempat aku mengatakan kalau aku adalah istri dari Mas Ihsan, Bu Minten dan Mbak Rania sudah lebih dulu mendekat ke arah perawat tersebut. “Saya iparnya dan ini adalah ibunya,” kata Mbak Rania. Meski aku belum mendekat ke arah perawat tersebut, tapi telingaku masih bisa mendengar ucapan dari perawat itu. “Dokter meminta keluarga pasien untuk menemuinya di dalam ruangannya. Ada hal yang harus disampaikan.” “Ibu takut, Ran,” ucap ibu mertuaku pada Mbak Rania. “Coba kamu aja yang temuin.” Aku semakin sedih dengan sikap ibu mertuaku. Kenapa juga harus Mbak Rania? Istri dari Mas Ihsan kan aku. Aku benar-benar seperti menantu yang tak dianggap keberadaannya. “Ya sudah kalau gitu, Bu. Aku akan menemui dokter,,” ujar Mbak Rania yang tampak begitu peduli pada suamiku. ‘Jangan-jangan wanita itu pengen turun ranjang. Tak akan aku biarkan suamiku menikah lagi. Aku tak siap menjadi istri pertama,’ Aku sungguh tak habis pikir dengan sikap dua orang itu. Mereka seolah tak mempedulikan dengan keberadaanku yang bahkan tengah sangat hancur dengan kondisi mas Ihsan. Baiklah, aku mengalah saja. Daripada ibu mertuaku semakin membenciku. Akupun memilih duduk di kursi tunggu. “Enak-enakan ya kamu duduk di sini, Perempuan pembawa sial. Padahal dulu aku sudah melarang Ihsan untuk menikahimu! Mending Ihsan nikah sama si Suci daripada sama kamu!” Aku menoleh ke arah Bu Minten. Dia sedang menatap sinis ke arahku dengan telunjuknya yang menuding tepat ke arah wajahku. Aku tidak terkejut saat mendengar ucapannya yang seperti itu. Selama dua minggu tinggal serumah dengan mas Ihsan dan Bu Minten, ibu mertuaku itu tidak pernah bersikap baik padaku. Itulah alasan kenapa aku memilih untuk tetap bekerja pada Bu Ambar dan Pak Wira. Aku tidak mau tertekan setiap hari dengan sikap kejamnya. “Maaf, Bu. Kan tadi ibu sendiri yang nyuruh Mbak Rania buat nemuin dokter. Padahal yang istrinya Mas Ihsan adalah aku. Jadi aku duduk aja di sini,” ucapku sambil mengusap air mataku. Rupanya Bu Minten tetap tak peduli padaku. Dia terus saja menyebutku sebagai wanita si-∆l yang telah membuat anaknya kecelakaan. Mbak Rania muncul dengan wajahnya yang tampak kalut. Di tangannya ada selembar kertas. Aku mencoba untuk mendekat ke arah wanita yang usianya mungkin lebih tua tiga tahun dariku itu. Aku melihat ibu mertuaku berdiri lalu bertanya pada Mbak Rania. “Gimana, Ran?” Kulihat Mbak Rania langsung meneteskan air matanya. “Mas Ihsan kritis, Bu. Dia harus segera menjalani operasi malam ini juga karena pembuluh darah di otaknya sudah pecah.”“Ya Allah! Ihsaaan!” pekik ibu mertuaku yang langsung seperti kehilangan tenaga. “Haruskah aku kehilangan anakku lagi?”Aku yang kebetulan ada di sampingnya, langsung menangkap tubuhnya, namun dengan teganya dia tepis tanganku, bahkan sampai mendorongku hingga aku tersungkur ke lantai.Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Mbak Rania. “Itu kertas apa, Mbak?”“Ini jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi Mas Ihsan,” ujarnya sambil menyodorkan selembar kertas itu padaku. Mataku melebar saat melihat deretan angka yang tercantum di atas kertas itu. “Dua ratus juta?! Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu semalam?”Bu Minten terlihat menoleh ke arahku. “Kalau kamu gak mau selamanya aku benci sama kamu, cari uang untuk biaya operasi Ihsan itu sekarang juga!”Dengan pikiranku yang sangat kalut, aku berjalan menelusuri jalan di malam yang gelap tanpa tujuan. Bahkan perutku yang terasa keroncongan pun aku abaikan.Biasanya sebelum pulang dari rumah Bu Ambar
Jangan lupa subscribe cerita ini ya. Beri bintang 5. Follow juga akun fb dan tiktokku.Fb: Za AlanaTiktok: @miss_alana_author*“Ayolah, Run. Aku udah gak bisa nunggu lama lagi."Aku yang sedang berdiri di depan cermin yang berada di dalam kamar mandi, tampak memejamkan mata saat mendengar suara tersebut.Bahkan saat ini aku sudah mengenakan pakaian tidur pendek berwarna hitam yang kontras dengan warna kulitku yang putih. Banyak orang bilang kalau aku ini cantik meski tanpa pulasan make up. Bahkan ada yang menyebutku sebagai kembang desa.“Sebentar, Mas,” ucapku dengan lirih.Aku menangis tanpa suara. Malam ini terpaksa aku harus ambil keputusan yang mungkin akan kusesali seumur hidupku demi uang 200 juta, untuk biaya operasi suamiku. “Gak apa-apa. Anggap saja ini sebagai baktiku kepada suamiku,” gumamku di tengah kepedihan hatiku. “Aku yakin kalau Allah juga mengerti dengan keputusanku ini. Aku tak punya pilihan lain.”Aku usap wajahku yang basah karena air mata lalu aku kuatkan la
“Seruni, kamu …,” kudengar suara Mas Bisma menggantung di udara.Sungguh. Air mata ketidakikhlasanku saat ini mengalir deras tak terbendung. Dalam kepasrahan dan ketidakberdayaanku, aku mengangguk perlahan. “Ya, Mas, aku masih belum tersentuh.”Entah aku salah melihat atau memang hal itu yang sebenarnya terjadi. Aku melihat Mas Bisma tersenyum menyeringai. Wajahnya tampak seperti orang yang bahagia. “Kalau begitu aku beruntung. Tidak sia-sia kukeluarkan uang sebanyak itu untukmu," katanya.Tak menunggu lama, kurasakan mas Bisma melanjutkan kegiatannya. Aku benar-benar awam dengan hal ini, karena ini adalah yang pertama kali untukku.Aku yang bisa diam, gak peduli dengan rasa sakit yang menderaku. Sama sekali tak kurasakan hal indah seperti yang dikatakan banyak orang tentang indahnya sebuah penyatuan.Tiba-tiba mas Bisma semakin bekerja dengan cepat untuk segera tiba di tepian, padahal aku sudah protes. Aku memekik perlahan, mencoba menerima setiap rasa yang kualamai saat ini. Hingga
Ingin rasanya aku menjerit sekencang mungkin untuk menumpahkan segala rasa yang bahkan sudah membuat tubuhku seakan kebas. Padahal baru tiga jam saja aku meninggalkan rumah sakit dalam keadaan bingung yang tiada berujung, dengan berbagai pikiran berkecamuk. Secara logika, untuk orang miskin dan tidak berpendidikan sepertiku, rasanya mustahil bisa mendapatkan uang 200 juta hanya dalam hitungan jam tanpa jaminan apapun.Area sensitifku bahkan masih terasa ngilu setiap kali aku memaksakan diri untuk melangkah. Sampai seperti ini pengorbananku untuk suamiku, tapi tak sedikitpun ada harganya di mata ibu mertuaku.“Run! Kenapa diam aja? Kamu berhasil gak dapat uang 200 juta itu?” tanya Mbak Rania.Seharusnya sesama menantu itu tidak boleh saling menyudutkan. Tapi dari yang aku rasakan, Mbak Rania itu seperti selalu mencari muka terutama di hadapan ibu mertuaku, padahal sudah setahun lalu Mas Raffi meninggal dunia. Aku pun semakin yakin kalau dia mengincar suamiku.Dengan air mata berderai
“Sudah lunas ya, Bu.”Aku terkesiap saat perawat di bagian administrasi itu menyodorkan selembar kertas yang sudah diberi cap warna merah bertuliskan LUNAS!Baru saja aku hanyut dalam ingatan satu jam yang lalu. Rasanya terlalu mustahil bagiku memaksakan diri untuk bersama dengan laki-laki yang tidak aku cintai, meskipun dia memiliki banyak uang.Dasar memang dia laki-laki urakan dan pemaksa.“Ah, iya. Terima kasih, Sus,” ucapku sedikit terbata-bata.Perawat itu tersenyum padaku. “Sekarang pasien akan segera dipindahkan ke ruang operasi.”Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Aku tahu, saat ini bahkan kalian mungkin tengah menghujatku dan menganggapku bodoh. Tapi faktanya memang aku tidak memiliki pilihan lain.Kuayunkan langkahku dengan gontai dan tatapan mata yang kosong. Aku harus kembali ruang ICU untuk memastikan suamiku benar-benar sudah ditangani dengan baik oleh rumah sakit ini. “Ya Allah, kepalaku pusing sekali.” Aku sedikit memijat-mijat pelipisku yang tiba-tiba terasa berde
Aku mengaduk-aduk nasi goreng di depanku. Setiap suapan terasa seperti batu kerikil yang sulit untuk ditelan. Pikiranku melayang-layang, teringat akan nasib suamiku yang masih dalam proses operasi dan pertemuan berikutnya dengan mas Bisma yang terus menghantuiku.“Gak bisa makan juga, Seruni?” gumamku pelan, bertanya pada diriku sendiri, sambil meletakkan sendok. Aku menunduk, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata.Dengan langkah gontai, aku meninggalkan kantin. Di lorong rumah sakit yang sepi, hanya ada suara langkah kakiku yang menggema. Aku tahu bahwa kembali ke depan ruang operasi mungkin hanya akan membuatku disambut dengan cemoohan, tetapi aku merasa tak punya pilihan lain.“Kenapa aku ditakdirkan memiliki ibu mertua yang kejam, Ya Allah? Padahal aku ini anak yatim piatu,” keluhku sambil melangkah. “Ada mas Ihsan yang menyayangiku, tapi saat ini kondisinya sedang berada di antara hidup dan mati.”Setibanya di depan ruang operasi, Bu Minten langsung melayangkan
Aku duduk di samping tempat tidur mas Ihsan, memegang tangannya yang dingin.Alat-alat kesehatan masih menempel di tubuhnya, bunyi mesin yang monoton menjadi satu-satunya suara di ruangan ini.Wajah mas Ihsan terlihat seperti orang yang tertidur lelap, tenang dan damai meski belum tahu kapan suamiku ini akan jauh sadar.Sudah beberapa jam sejak aku pingsan dan tersadar kembali, namun tak kulihat bayangan Mbak Rania atau Bu Minten di sini.“Mas, cepatlah sadar,” bisikku pelan. “Aku butuh kamu di sisiku. Cuma kamu yang bisa mengerti aku."Perasaan cemas dan lelah membuatku merasa butuh udara segar. Aku memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah."Mas, aku pulang sebentar ya. Aku mau mandi, dan ganti baju. Aku pasti akan kembali lagi kemari," ucapku seraya mengecup kening suamiku dengan penuh cinta.Aku melangkah, meninggalkan ruang rawat mas Ihsan menuju jalan. Aku pun menyetop angkot. Nanti setelah sampai di rumah, mungkin aku akan mengambil beberapa barang yang diperlukan selama di rum
Empat hari telah berlalu sejak operasi mas Ihsan dilakukan. Meskipun respons tubuhnya cukup baik, kenyataannya dia belum juga sadar sampai saat ini."Mas, aku pergi kerja dulu ya. Mungkin sebentar lagi ibu akan datang kemari untuk menunggumu di sini," ucapku seraya mengecup gening mas Ihsan.Ya, aku memutuskan untuk tetap bekerja untuk menyambung hidup kami di kemudian hari.Setiap hari aku bekerja di rumah Bu Ambar dan Pak Wira. Anehnya, selama empat hari itu, Bisma sama sekali tak terlihat di rumah. Aku bersyukur atas ketidakberadaan Bisma, memberikan sedikit kedamaian dalam hidupku yang penuh tekanan ini."Run, buatkan teh hangat untuk kami ya," pekik bu Ambar dari ruang tengah."Inggih, Bu."Segera aku buatkan teh hangat untuk kedua majikanku itu. Kebetulan sore ini cuaca mendung, dengan suhu udara yang cukup dingin."Gimana kabar Bisma di Singapura?" tanya Pak Wira."Gitulah. Sibuk dengan kegiatannya," jawab Bu Ambar.'Jadi, laki-laki urakan itu ada di Singapura. Pantesan 4 hari i