"Raisa, aku ingin meminta sesuatu darimu. Aku mau kamu menjadi maduku, hanya untuk satu tahun."
Mendengar ucapan atasannya itu, Raisa merasa suasana restoran malam ini menjadi sangat dingin. Beberapa hari yang lalu, dirinya memang sempat menceritakan pada Zara mengenai Ibunya yang harus melakukan operasi dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, Raisa yang hanya pegawai biasa tidak memiliki uang untuk membayar operasi Ibunya. Saat itu, Zara yang merupakan tamu VVIP sekaligus sahabat dari pemilik butik, tempatnya bekerja. Zara mengatakan akan membantu Raisa dengan memintanya untuk datang ke tempat ini. Tapi, siapa sangka maksudnya menjadi madu? "Maaf, Bu. Tapi--" Belum sempat berbicara, Zara sudah memotong ucapannya, "Aku akan membantu biaya pengobatan dan operasi ibumu hingga dia benar-benar sembuh. Aku tahu ini permintaan yang berat, tetapi kami benar-benar membutuhkan bantuanmu, Raisa." Kali ini mata Zara berkaca-kaca seolah-olah Raisa memanglah harapan terakhir untuk dirinya dan Mahesa, suaminya. Raisa jelas merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin ibunya sembuh, tetapi disisi lain, ia takut menghadapi konsekuensi dari keputusan ini. Zara berpindah ke sebelah Raisa, kemudian menggenggam tangan Raisa yang dingin, Zara mencoba meyakinkannya bahwa ini adalah pilihan yang tepat. "Raisa, tolong! Aku percaya kamu adalah wanita yang baik dan bisa membantu kami mewujudkan impian ini. Aku berjanji, setelah satu tahun, kamu bebas untuk menjalani hidupmu sendiri dan bahkan aku akan memberikan kamu lebih agar kamu dan ibumu tidak kesusahan lagi. Hanya satu tahun saja," ucap Zara dengan suara lirih seraya menoleh ke arah sang suami yang duduk di depannya. Mahesa sendiri membuang muka, tatapannya datar dan tidak seorang pun tahu isi hatinya saat ini. "Tapi ini terlalu berat untuk saya," ucap Raisa lirih dan hampir putus asa, "apakah tidak ada cara lain?" "Coba pikir kembali, Raisa … Ibumu menderita kanker darah, dia membutuhkan penanganan yang intensif. Apa kamu tega membiarkannya terus kesakitan? Aku berjanji bahwa aku akan menjamin kamu, Raisa." Zara menepuk bahu Raisa lembut dan mencoba meyakinkannya lagi. Gadis itu sontak memejamkan matanya. Terbayang wajah tua ibunya yang kesakitan, membuat Raisa menjadi serba salah. "Bagaimana Raisa? Apakah kamu mau menjadi maduku?" Raisa menatap Zara dengan tatapa menyiratkan penuh harapan dan permohonan. Cukup lama ketiganya tanpa suara di meja makan itu. Raisa tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi, apakah ada cara selain ini? Menahan segala kepedihan dan pikiran yang berkecamuk, Raisa menarik napas panjang. "B-baiklah kalau begitu." "Benarkah?" Melihat Raisa menganggukkan kepalanya, Zara sontak menoleh ke arah Mahesa dengan senyum penuh kebahagiaan. Tapi, entah mengapa, Raisa dapat melihat Mahesa tampak tak senang? "Terima kasih, Raisa … besok aku akan memastikan jadwal operasi ibumu— Oh tidak! Malam ini aku akan menghubungi dokter dan rumah sakit terbaik untuk merawat ibumu, dan tentunya mereka akan melakukan operasi itu secepatnya, dan setelahnya kamu harus ikut bersama kami," jelas Zara masih dengan senyum bahagia. Hanya saja, kali ini Raisa membelakkan matanya. "Tapi … siapa yang akan merawat ibuku?" "Mintalah salah satu temanmu untuk menjaga ibumu, dengan beralasan bahwa kamu dipindah tugaskan oleh atasanmu ke luar kota, aku yakin ibumu pasti akan mengerti.” Zara memberi solusi. Raisa hanya diam, sampai akhirnya ia memikirkan satu nama, Dinda, sahabat sekaligus tetangganya. "Kamu tidak perlu cemas, aku akan meminta anak buahku untuk menjaga ibu serta temanmu selagi kamu tidak ada. Bukan begitu, Sayang?" Bersamaan dengan itu Zara melirik ke arah sang suami. Lagi-lagi, Mahesa tidak menanggapi. Ia hanya menghela napas kasar di seberang sana, membuat Raisa semakin tak nyaman. Apakah keputusannya ini salah? "Jadi apa kita bisa menandatangani kontrak itu sekarang? Kebetulan aku sudah menyiapkan segalanya, sebelum aku datang kemari dan setelah pertemuan kita di butik tempat kamu bekerja." Kemudian Zara mengeluarkan selembar kertas yang lengkap dengan materainya di sana, menyodorkannya pada Raisa. "Silahkan kamu baca isi perjanjian tersebut." Raisa mengangguk dan menerima surat tersebut, yang di dalamnya berisi bahwa Raisa harus menjadi istri kedua suaminya selama satu tahun atau sampai melahirkan, dengan pihak pertama yang akan memberikan benefit untuk biaya rumah sakit serta operasi ibunya, tentu Zara juga akan memberikan sejumlah uang sebagai balas budinya sebesar 500 juta rupiah. Raisa memastikan angka yang ia baca itu tidak salah, dan kemudian mengangkat suara. "Bu Zara, apa ini tidak berlebihan? 500 juta itu sangat banyak." Zara melirik ke arah suaminya dengan senyuman, dan kembali menatap Raisa. "Karena kami akan mendapatkan hal yang lebih besar, maka dari itu kami akan sangat berterimakasih jika kamu mau menerima tawaran dari kami." Setelah cukup menyakinkan dirinya, Raisa pun akhirnya membubuhkan tandatangannya di sana, dengan Zara dan Mahesa yang menjadi pihak pertama dan saksinya. Dan malam itu Zara langsung menghubungi dokter serta rumah sakit terbaik untuk memindahkan Bu Mira yang tadinya hanya di rawat di rumah sakit biasa, ke rumah sakit berkelas milik pamannya. ‘Ibu, semoga Ibu tidak akan kecewa denganku,’ gumamnya sedih.Bu Mira menoleh ke arah pintu saat ia mendengar bunyi pintu yang terbuka. Di hadapannya, tampak Raisa, baru saja datang. Dengan susah payah, Raisa tersenyum lalu duduk di samping ranjang ibunya. "Gimana keadaan Ibu sekarang?" Sebelum Bu Mira sempat menjawab, suster yang merawatnya berkata, "Kondisi Ibu Mira semakin melemah, Mbak." Mendengar itu, rasa cemas dan khawatir melanda hatinya. Namun, untunglah ia telah menyetujui tawaran itu. Raisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, lalu berkata, "Bu, nanti Ibu akan segera dioperasi. Semoga semuanya berjalan lancar dan Ibu bisa segera pulih." Bu Mira menatap anaknya dengan heran. "Raisa, kamu mendapatkan uang untuk operasi dari mana?" Raisa menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu menjawab, "Raisa meminjam uang dari atasan, Bu. Dan sebagai gantinya Raisa harus pindah tugas diluar kota untuk melunasi pinjamannya, kebetulan disana gajinya lebih tinggi. Tapi maaf, Raisa tidak bisa menemani Ibu saat operasi nanti karena tugas dan mun
Mahesa terbangun di pagi hari, ia berjalan menuruni tangga dan tidak menemukan Zara di manapun, kemudian ia bertanya kepada salah satu sisten rumah tangga. "Ratih, apa kamu tahu di mana Nyonya?" Pembantu itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Zara pergi sedari semalam, Tuan." Mahesa tetap dengan tatapan datarnya, dan seolah tidak peduli dengan kepergian Zara. Mahesa kembali ke kamarnya. Ia terkejut ketika melihat ada pesan singkat dari Zara di ponselnya. Isinya mengatakan bahwa Zara tengah berada di hotel, menenangkan pikiran karena terlalu sedih dengan apa yang terjadi pada mereka. Di sisi lain Zara berbaring di tempat tidur yang empuk, di kamar hotel mewah, dengan kepalanya bersandar pada lengan Damian yang kokoh. Sementara itu, wajah Damian tertutup oleh katalog menu sarapan yang dipegangnya erat-erat. Zara menoleh ke arah Damian dan bertanya, "Sudah menentukan sarapan apa yang ingin kita makan pagi ini?" Damian pun menurunkan katalog tersebut, memperlihatkan wajah tam
Raisa duduk anggun di meja rias, dikelilingi para pelayan yang membantunya dan berias, sama sekali bukan kebiasaannya namun disini ia dituntut harus seperti ini. Setelah selesai, Raisa tersenyum manis pada mereka. "Terimakasih." "Ini sudah menjadi tugas kami, Nyonya Muda." Kemudian para pelayan pun pergi dari kamarnya satu per satu, meninggalkan Raisa sendirian. Dalam kesendirian itu, Raisa teringat akan Dinda, dan ibunya yang baru saja menjalani operasi. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Dinda untuk menanyakan kabar ibunya. "Dinda, gimana keadaan ibu? Operasinya berhasil kan?" tanya Raisa dengan suara yang penuh kecemasan. "Tenang, Sa. Operasinya berhasil kok, dan sekarang Bibi sedang dalam masa pemulihan," jawab Dinda dengan suara yang meyakinkan. Raisa merasa lega mendengar kabar itu. "Aku ingin bicara dengan ibu, apa boleh?" Dinda menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Maaf, Raisa. Tapi Bibi sedang istirahat. Dokter menyarankan agar beliau tidak terlalu banyak b
Di kantor Mahesa dengan beberapa tim redaksi sedang mengadakan rapat, dengan salah seorang pembicara yang tengah mempresentasikan pemecahan masalah di perusahaan. Beberapa dari tim memberikan masukan, sampai akhirnya mereka mengalihkan perhatiannya pada Mahesa untuk keputusan akhir. "Saya lebih memilih opsi A, karena simpel dan tidak bertele-tele, apalagi kita mengejar waktu," singkat Mahesa. "Dan jika masih belum berhasil, kita lanjut ke plan B." Dan akhirnya meeting pun telah selesai, Mahesa beranjak menuju ruangannya dengan sekertaris dan asisten yang menemaninya sampai ke pintu ruangan. Saat ia mendudukkan dirinya, ia teringat akan beberapa laporan yang belum ia cek, sehingga ia pun memutuskan untuk menyelesaikannya, jika harus pulang, ia tak memiliki alasan untuk itu sedangkan Zara tidak ada. Ia merasa tak nyaman jika harus mengikuti saran Zara untuk menghabiskan waktu dengan Raisa. Namun saat tengah mengecek laporan tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian semalam.
Zara dengan terburu-buru memarkir mobilnya di garasi dan segera memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, ia melihat Nita yang sedang menggenggam nampan dengan handuk di atasnya. Lantas ia pun menghampirinya. "Apa Tuan sudah pulang, Nita?" tanya Zara sambil menarik nafas. Nita mengangguk pelan, "Sudah, Nyonya. Saya kebetulan mau mengantarkan handuk ini ke kamar mandi untuk Tuan." Zara segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Nita, "Biarkan saya yang membawanya. Saya ingin memberi kejutan pada Tuan setelah semalaman saya tidak pulang."Nita tampak ragu, namun ia akhirnya mengalah dan mengangguk, "Baiklah, Nyonya. Silakan."Zara tersenyum tipis dan segera melangkah menuju kamar mereka.Mahesa melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja sebelah tas kerjanya. Tanpa menoleh, ia mendengar pintu kamarnya terbuka pelan. Yakin bahwa itu Nita, yang mengantarkan handuk sesuai perintahnya, ia tidak memberikan respons.Namun, ternyata yang membuka pintu adalah Zara, istrinya. Melihat s
"Hmmmm...." Raisa merasa gelisah, sulit tidur meskipun jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pikirannya terus melayang, mencari cara untuk mengusir rasa bosan dan mengantuk yang tak kunjung datang. Tiba-tiba, ingatannya melayang pada perpustakaan yang ada di lantai tersebut. "Kayaknya aku harus baca buku biar aku gak bosen," gumam Raisa. Dengan langkah kaki yang perlahan dan hati-hati, Raisa keluar dari kamarnya dan mengendap-endap menuju perpustakaan itu. "Aman..." kata Raisa yang memang tak bisa sembarang orang bisa ia temui atau menemuinya. Begitu sampai di sana, matanya langsung terbelalak kagum melihat rak-rak buku raksasa yang berjajar dengan jumlah buku yang sangat banyak. Sejak kecil, Raisa memang sangat menyukai buku, dan perpustakaan ini seperti surga baginya. "Woww!!! Perpustakaan ini sangat luar biasa." Raisa mulai menyusuri setiap rak buku dengan penuh antusias, menelusuri judul-judul yang menarik perhatiannya. Akhirnya, pilihannya jatuh pada sebuah novel rom
Dua hari kemudian"Hati-hati ya, Sayang," ucap Zara saat Mahesa mencium keningnya. Sedangkan sang sopir sudah menunggu dan membukakan pintu untuknya. "Aku pergi dulu," kata Mahesa yang kemudian berjalan memasuki mobil. Zara memandang kepergian Mahesa, hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Dengan langkah yang lesu, Zara berbalik memasuki rumah yang masih terasa sejuk oleh embun pagi. Ia tersenyum saat melihat Laras, sedang berdiri dengan nampan berisi sarapan yang masih mengepul hangat. "Itu sarapan untuk Raisa?" tanya Zara. Laras mengangguk, "Iya, Bu. Baru saja saya siapkan." Zara mengambil alih nampan dari tangan Laras, "Biarkan saya yang mengantarkan." "Baik Bu." Laras mengangguk, lalu kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Zara melangkah menuju kamar Raisa, mengetuk pintu perlahan. "Raisa, apa kamu di dalam?" panggilnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Raisa muncul dengan rambut basah tergerai dan wajah yang tampak segar meski matanya
Raisa berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai, seakan masih mencerna informasi yang baru saja dia terima. Zara yang sudah menunggu di luar dengan gelisah, langsung menghampiri Raisa dengan mata yang berbinar penuh harap. "Bagaimana hasilnya?" tanya Zara, suaranya gemetar. Tanpa banyak kata, Raisa mengulurkan sebuah test pack yang menunjukkan dua garis merah. Zara membelalakkan mata, tak percaya, dan mulutnya menganga sebelum terbentuk senyum lebar di wajahnya. "Hasilnya positif, Raisa! Aaaa aku sangat senang," serunya gembira, lalu memeluk Raisa dengan erat yang masih terpaku dengan hasil di tangannya itu. Raisa membalas pelukan itu dengan perasaan campur aduk, terkejut namun ada rasa lega yang tak bisa diungkapkan. Laras yang sedari tadi diam memperhatikan dari kejauhan, tersenyum simpul. "Aku sangat tidak sabar memberitahu Mahesa soal ini, dia pasti akan senang!" pungkasnya, dan lalu menatap Raisa dengan serius. "Pokoknya selama kehamilan, kamu tidak boleh s
Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an
Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan
Damian menyunggingkan senyumannya ketika melewati Raisa. Sedangkan Raisa tampaknya masih shock, hingga akhirnya Laras datang menghampirinya."Mari ikut saya Nona," ujarnya seraya menuntun Raisa untuk kembali ke kamarnya.Raisa hanya menurut sembari melangkahkan kakinya, walaupun kini pikirannya tengah porak poranda.Sesampainya di kamar,Raisa menempatkan dirinya di atas tempat tidur, dengan Laras yang kini tengah mengunci kamarnya."Ada apa, Nona?" tanya Laras yang menghampirinya."Aku sangat mengkhawatirkan mereka, kamu mendengarnya bukan? Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk." Raisa tak bisa menyembunyikan ketegangannya.Laras mencoba untuk menenangkan Raisa. "Saya juga sangat terkejut dengan semuanya, dan berharap ini bukanlah masalah besar seperti yang kita duga."Raisa menganggukan kepalanya dan menjawab, "Aku juga berharap seperti itu Ras... Aku tidak tahu bagaimana nasibku, jika mereka berpisah. Bagaimana dengan anak ini? Apakah mereka masih mau menerimanya atau tidak, sedang
Sesampainya di rumah,Mahesa dan Zara segera membagikan kue-kue kepada para maid dan penjaga rumah, sebagai bentuk perayaan."Terimakasih Tuan," senyum Laras dan Tari ketika mereka menerima bingkisan itu.TringTiba-tiba saja ponsel Zara berdering dengan nomor yang tidak diketahui, dimana ia sudah yakin bahwa yang menelponnya adalah Damian.Saat itu juga ia melirik ke arah Mahesa. "Sayang... Aku terima telpon dulu ya? Soalnya penting dari Om aku.""Iya," angguk Mahesa yang sebenarnya menaruh curiga padanya.Zara kemudian berlalu menjauhi mereka semua."Bu Titi, kamu tolong bagikan ini semua ke yang lain ya?" ujar Mahesa yang hendak menyusul Zara.Raisa yang berada di sana hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung.Setelah mendapatkan tempat yang aman di dekat taman belakang, Zara kemudian mengangkat telepon darinya."Ada apa sayang!? Kenapa kamu menelponku? Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menelponku, jika bukan aku yang menelponmu,” omel Zara padanya.Dengan heran Damian me
Malam pun tiba, Mahesa dan juga Zara tengah bersantai ria di balkon kamar mereka."Sayang, besok kamu berangkatnya agak siang, ya?" Zara melirik ke arah Mahesa yang ada di sebelahnya, tampak suaminya itu tengah asyik memainkan ponselnya."Memangnya ada apa?" tanyanya tanpa mengalihkan."Apa kamu lupa? Besok kita harus membawa Raisa ke klinik untuk USG. Aku sangat penasaran dengan jenis kelamin bayi kita," seru Zara yang begitu antusias.Mendengar hal itu Mahesa berhenti mengetik ponselnya. "Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan perihal anakku sendiri."Zara memeluk lengan Mahesa dan menyandarkan kepalanya di bahu. "Mungkin karena kamu terlalu sibuk di kantor, sehingga lupa dengan jadwal pemeriksaannya."Mahesa manggut-manggut. "Mungkin saja, jadi kapan kita berangkat ke klinik?""Mungkin sekitar jam 07.30 pagi,” sahut Zara."Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Sean untuk menggantikanku.”"Hemm," angguk Zara yang tengah menikmati malam ini.***Keesokan harinya,Raisa sudah bersiap-s