Mahesa terbangun di pagi hari, ia berjalan menuruni tangga dan tidak menemukan Zara di manapun, kemudian ia bertanya kepada salah satu sisten rumah tangga. "Ratih, apa kamu tahu di mana Nyonya?"
Pembantu itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Zara pergi sedari semalam, Tuan." Mahesa tetap dengan tatapan datarnya, dan seolah tidak peduli dengan kepergian Zara. Mahesa kembali ke kamarnya. Ia terkejut ketika melihat ada pesan singkat dari Zara di ponselnya. Isinya mengatakan bahwa Zara tengah berada di hotel, menenangkan pikiran karena terlalu sedih dengan apa yang terjadi pada mereka. Di sisi lain Zara berbaring di tempat tidur yang empuk, di kamar hotel mewah, dengan kepalanya bersandar pada lengan Damian yang kokoh. Sementara itu, wajah Damian tertutup oleh katalog menu sarapan yang dipegangnya erat-erat. Zara menoleh ke arah Damian dan bertanya, "Sudah menentukan sarapan apa yang ingin kita makan pagi ini?" Damian pun menurunkan katalog tersebut, memperlihatkan wajah tampannya yang memancarkan senyum simpul. "Sudah, Sayang," jawabnya dengan suara rendah yang khas. "Aku sudah menentukan pilihanku." Zara mengangkat alisnya, penasaran. "Oh? Apa itu?" Dengan ekspresi penuh niat jahil, Damian menjawab, "Aku memilihmu, Sayang, sebagai sarapanku." Zara terkekeh, menutup wajahnya dengan tangan. "Hei, bukankah kita baru saja..." Namun Damian tak bergeming, menatap Zara dengan tatapan penuh keinginan. "Aku tahu, tapi aku butuh lebih, Cintaku," katanya, seraya mendekatkan wajahnya pada Zara, membuat detak jantung wanita itu semakin cepat. Zara tersenyum malu, menatap mata Damian yang tajam, dan merasakan desiran panas yang menjalar di tubuhnya. Tiba-tiba Damian teringat akan Mahesa. "Oh iya, bagaimana dengan suamimu? Apa dia sudah bersama perempuan itu?" Zara menampilkan smirknya. "Tentu saja! Aku yakin mereka pasti telah bercinta, karena bagaimana pun Mahesa harus mendapatkan warisannya, dengan begitu rencanaku untuk mengambil alih hartanya akan lebih mudah." "Gadis pintar! Lalu kenapa tidak kamu saja yang hamil?" tanya Damian. "Aku tidak sudi mengandung anaknya, maka dari itu aku beralibi bahwa aku memiliki masalah pada rahimku. Aku hanya akan mengandung anakmu saja Sayang, bukankah dari awal ini rencana kita." "Benar sekali! Kita harus membuat Mahesa jatuh. Zara mengangguk, "Jatuh! Sama seperti mereka yang telah menjatuhkan perusahaan ayahku.” ** Tok! Tok! Tok! Raisa terbangun dari tidurnya karena ketukan pintu dari luar. "Masuk," serunya dengan suara serak. Pintu terbuka dan sosok Laras, yang menghampirinya dengan sebuah nampan berisi sarapan di tangannya. Raisa mengusap matanya yang masih mengantuk, teringat kejadian semalam yang membuat tubuhnya sakit dan lelah hingga ia kesiangan bangun pagi ini. Tak lama, Bu Titi, kepala pelayan di rumah itu, datang dan menepuk bahu Laras pelan, "Laras, kamu keluar dulu, biar aku yang menemani Nona Raisa," ujarnya dengan lembut. Laras mengangguk hormat dan meninggalkan mereka berdua. Bu Titi duduk di samping Raisa dan menatap wajahnya dengan keprihatinan. "Bagaimana keadaanmu, Nak? Apakah kamu merasa baik-baik saja?" tanyanya penuh perhatian. Raisa menatap Bu Titi dan tersenyum lemah, "Aku hanya sedikit lelah, Bu," jawabnya jujur. Bu Titi mengangguk mengerti, lalu menyuruh Raisa untuk menyantap sarapan yang telah disiapkan, "Makan dulu, ya, Nak. Biar badanmu kembali bugar," ujarnya sambil mengatur posisi bantal agar Raisa bisa bersandar dengan nyaman. "Nanti setelah sarapan, aku akan meminta Laras dan yang lain untuk membantumu mandi dan merapikan diri." Raisa mengangguk patuh, kemudian mulai menyantap hidangan yang ada di depannya. Bu Titi bertanya, "Raisa, sudah diberitahu oleh Nyonya Zara kan bahwa kamu tidak boleh pergi kemana pun?" Raisa mengangguk perlahan, merasa terkurung dan tak bebas untuk menjalani hidupnya. Bu Titi mendekati Raisa, lalu menjelaskan dengan lembut, "Tuan Fariz, mertuanya Nyonya Zara alias Ayah dari Tuan Mahesa, selalu menyuruh mata-mata untuk memantau kami. Yang aku khawatirkan, jika mereka melaporkan bahwa ada wanita asing di sini. Apalagi, Tuan Fariz tidak tahu tentang pernikahan kalian. Beliau sangat membenci Nyonya Zara dan jika beliau tau bahwa anaknya menikahi wanita lain karena Nyonya Zara mandul, maka akan terjadi konflik yang sangat besar dan bahkan bisa jadi Tuan Fariz akan meminta Tuan menceraikan Nyonya." Raisa mengangguk dan menjelaskan bahwa ia sudah tahu semuanya karena Zara yang sudah menjelaskan semua padanya. Karena ia tahu bahwa ia hanyalah alat untuk memberikan keturunan pada kekuarga ini, yang tentunya memiliki timbal balik juga untuknya. Dan yang terpenting ia harus bisa menjaga diri dan bertahan sampai semuanya benar-benar selesai di waktu yang telah disepakati.Raisa duduk anggun di meja rias, dikelilingi para pelayan yang membantunya dan berias, sama sekali bukan kebiasaannya namun disini ia dituntut harus seperti ini. Setelah selesai, Raisa tersenyum manis pada mereka. "Terimakasih." "Ini sudah menjadi tugas kami, Nyonya Muda." Kemudian para pelayan pun pergi dari kamarnya satu per satu, meninggalkan Raisa sendirian. Dalam kesendirian itu, Raisa teringat akan Dinda, dan ibunya yang baru saja menjalani operasi. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Dinda untuk menanyakan kabar ibunya. "Dinda, gimana keadaan ibu? Operasinya berhasil kan?" tanya Raisa dengan suara yang penuh kecemasan. "Tenang, Sa. Operasinya berhasil kok, dan sekarang Bibi sedang dalam masa pemulihan," jawab Dinda dengan suara yang meyakinkan. Raisa merasa lega mendengar kabar itu. "Aku ingin bicara dengan ibu, apa boleh?" Dinda menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Maaf, Raisa. Tapi Bibi sedang istirahat. Dokter menyarankan agar beliau tidak terlalu banyak b
Di kantor Mahesa dengan beberapa tim redaksi sedang mengadakan rapat, dengan salah seorang pembicara yang tengah mempresentasikan pemecahan masalah di perusahaan. Beberapa dari tim memberikan masukan, sampai akhirnya mereka mengalihkan perhatiannya pada Mahesa untuk keputusan akhir. "Saya lebih memilih opsi A, karena simpel dan tidak bertele-tele, apalagi kita mengejar waktu," singkat Mahesa. "Dan jika masih belum berhasil, kita lanjut ke plan B." Dan akhirnya meeting pun telah selesai, Mahesa beranjak menuju ruangannya dengan sekertaris dan asisten yang menemaninya sampai ke pintu ruangan. Saat ia mendudukkan dirinya, ia teringat akan beberapa laporan yang belum ia cek, sehingga ia pun memutuskan untuk menyelesaikannya, jika harus pulang, ia tak memiliki alasan untuk itu sedangkan Zara tidak ada. Ia merasa tak nyaman jika harus mengikuti saran Zara untuk menghabiskan waktu dengan Raisa. Namun saat tengah mengecek laporan tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian semalam.
Zara dengan terburu-buru memarkir mobilnya di garasi dan segera memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, ia melihat Nita yang sedang menggenggam nampan dengan handuk di atasnya. Lantas ia pun menghampirinya. "Apa Tuan sudah pulang, Nita?" tanya Zara sambil menarik nafas. Nita mengangguk pelan, "Sudah, Nyonya. Saya kebetulan mau mengantarkan handuk ini ke kamar mandi untuk Tuan." Zara segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Nita, "Biarkan saya yang membawanya. Saya ingin memberi kejutan pada Tuan setelah semalaman saya tidak pulang."Nita tampak ragu, namun ia akhirnya mengalah dan mengangguk, "Baiklah, Nyonya. Silakan."Zara tersenyum tipis dan segera melangkah menuju kamar mereka.Mahesa melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja sebelah tas kerjanya. Tanpa menoleh, ia mendengar pintu kamarnya terbuka pelan. Yakin bahwa itu Nita, yang mengantarkan handuk sesuai perintahnya, ia tidak memberikan respons.Namun, ternyata yang membuka pintu adalah Zara, istrinya. Melihat s
"Hmmmm...." Raisa merasa gelisah, sulit tidur meskipun jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pikirannya terus melayang, mencari cara untuk mengusir rasa bosan dan mengantuk yang tak kunjung datang. Tiba-tiba, ingatannya melayang pada perpustakaan yang ada di lantai tersebut. "Kayaknya aku harus baca buku biar aku gak bosen," gumam Raisa. Dengan langkah kaki yang perlahan dan hati-hati, Raisa keluar dari kamarnya dan mengendap-endap menuju perpustakaan itu. "Aman..." kata Raisa yang memang tak bisa sembarang orang bisa ia temui atau menemuinya. Begitu sampai di sana, matanya langsung terbelalak kagum melihat rak-rak buku raksasa yang berjajar dengan jumlah buku yang sangat banyak. Sejak kecil, Raisa memang sangat menyukai buku, dan perpustakaan ini seperti surga baginya. "Woww!!! Perpustakaan ini sangat luar biasa." Raisa mulai menyusuri setiap rak buku dengan penuh antusias, menelusuri judul-judul yang menarik perhatiannya. Akhirnya, pilihannya jatuh pada sebuah novel rom
Dua hari kemudian"Hati-hati ya, Sayang," ucap Zara saat Mahesa mencium keningnya. Sedangkan sang sopir sudah menunggu dan membukakan pintu untuknya. "Aku pergi dulu," kata Mahesa yang kemudian berjalan memasuki mobil. Zara memandang kepergian Mahesa, hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Dengan langkah yang lesu, Zara berbalik memasuki rumah yang masih terasa sejuk oleh embun pagi. Ia tersenyum saat melihat Laras, sedang berdiri dengan nampan berisi sarapan yang masih mengepul hangat. "Itu sarapan untuk Raisa?" tanya Zara. Laras mengangguk, "Iya, Bu. Baru saja saya siapkan." Zara mengambil alih nampan dari tangan Laras, "Biarkan saya yang mengantarkan." "Baik Bu." Laras mengangguk, lalu kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Zara melangkah menuju kamar Raisa, mengetuk pintu perlahan. "Raisa, apa kamu di dalam?" panggilnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Raisa muncul dengan rambut basah tergerai dan wajah yang tampak segar meski matanya
Raisa berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai, seakan masih mencerna informasi yang baru saja dia terima. Zara yang sudah menunggu di luar dengan gelisah, langsung menghampiri Raisa dengan mata yang berbinar penuh harap. "Bagaimana hasilnya?" tanya Zara, suaranya gemetar. Tanpa banyak kata, Raisa mengulurkan sebuah test pack yang menunjukkan dua garis merah. Zara membelalakkan mata, tak percaya, dan mulutnya menganga sebelum terbentuk senyum lebar di wajahnya. "Hasilnya positif, Raisa! Aaaa aku sangat senang," serunya gembira, lalu memeluk Raisa dengan erat yang masih terpaku dengan hasil di tangannya itu. Raisa membalas pelukan itu dengan perasaan campur aduk, terkejut namun ada rasa lega yang tak bisa diungkapkan. Laras yang sedari tadi diam memperhatikan dari kejauhan, tersenyum simpul. "Aku sangat tidak sabar memberitahu Mahesa soal ini, dia pasti akan senang!" pungkasnya, dan lalu menatap Raisa dengan serius. "Pokoknya selama kehamilan, kamu tidak boleh s
Mahesa baru membuka pintu kamar ketika ia melihat Zara, istrinya, yang sedang berdandan di depan cermin. Zara segera menyambut Mahesa dengan senyum lebar di wajahnya, "Sayabg, aku punya berita yang sangat bagus!" kegirangannya tak tersembunyi. Mahesa yang masih terkejut dengan sambutan tiba-tiba itu hanya bisa mengerutkan dahi, penasaran dengan apa yang begitu menggembirakan Zara. "Apa itu?" Zara menarik tangan Mahesa, membuatnya duduk di tepi tempat tidur. "Raisa, bilang dia telat datang bulan. Setelah dia melakukan tes kehamilan, hasilnya positif, Sayang!" ceritanya semangat. Mahesa, yang mendengar kabar itu, langsung terpaku. Pikirannya melayang membayangkan dirinya yang akan menjadi seorang ayah. Emosi bercampur antara kejutan dan kebahagiaan mulai menguar dalam dirinya. Dengan penuh antusias, Zara menarik lagi tangan Mahesa, "Ayo, kita ke rumah sakit sekarang. Kita temani Raisa untuk check-up dan pastikan semuanya baik-baik saja." Mahesa masih terdiam sejenak, mencoba men
Keesokan paginya,Mahesa tampak menyunggingkan senyumnya, ketika mereka semua tengah mengadakan rapat antar dewan.Beberapa dari mereka tampak terkejut karena untuk pertama kalinya melihat Mahesa tersenyum selebar itu."Jadi bagaimana Pak Mahesa? Apa cara ini bisa kita lakukan untuk mempromosikan produk kita?" tanya Monica, yang baru saja mempresentasikan hasil penelitiannya, dimana ia merupakan ketua tim pemasaran.Mahesa tersadar. "Ya saya setuju... Nanti hasil rapatnya kamu taruh di meja saya.""Baik Pak."Setelah menghabiskan waktu beberapa jam di ruang meeting, perlahan satu persatu dari mereka pun mulai meninggalkan ruangan tersebut."Apa anda baik-baik saja Pak?" tanya Sean yang cukup mengkhawatirkannya."Aku tidak apa-apa, aku hanya merasa sangat senang saja hari ini..."Sean mengerutkan keningnya, "Memangnya ada apa dengan hari ini."Mahesa memasuki ruangannya dengan Sean yang terus mengekorinya."Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah-""Apa gadis itu sudah hamil!?" tan