Share

Bab 6: Perpustakaan

Zara dengan terburu-buru memarkir mobilnya di garasi dan segera memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, ia melihat Nita yang sedang menggenggam nampan dengan handuk di atasnya. Lantas ia pun menghampirinya.

"Apa Tuan sudah pulang, Nita?" tanya Zara sambil menarik nafas.

Nita mengangguk pelan, "Sudah, Nyonya. Saya kebetulan mau mengantarkan handuk ini ke kamar mandi untuk Tuan."

Zara segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Nita, "Biarkan saya yang membawanya. Saya ingin memberi kejutan pada Tuan setelah semalaman saya tidak pulang."

Nita tampak ragu, namun ia akhirnya mengalah dan mengangguk, "Baiklah, Nyonya. Silakan."

Zara tersenyum tipis dan segera melangkah menuju kamar mereka.

Mahesa melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja sebelah tas kerjanya. Tanpa menoleh, ia mendengar pintu kamarnya terbuka pelan. Yakin bahwa itu Nita, yang mengantarkan handuk sesuai perintahnya, ia tidak memberikan respons.

Namun, ternyata yang membuka pintu adalah Zara, istrinya. Melihat sikap acuh tak acuh Mahesa, Zara mengerucutkan bibirnya sambil menaruh handuk yang ia bawa di atas tempat tidur. Dalam hati, ia bergumam betapa dinginnya suaminya itu. Meski begitu, Zara tahu bahwa Mahesa sangat mencintainya.

Dengan iseng, Zara menghampiri Mahesa dan memeluknya dari belakang. Barulah Mahesa menyadari bahwa itu bukan Nita, melainkan Zara. Ia mengenali gelang yang dikenakan istrinya tersebut.

"Sudah pulang, hm?" tanya Mahesa sambil berbalik badan untuk menatap Zara. 

"Sudah, baru saja," jawab Zara seadanya.

"Sebelum pergi kamu gak bilang?" Mahesa mengaitkan helaian rambut di telinga Zara.

Zara menunduk sedih. "Maaf... Aku hanya tak mampu berada di sini sedangkan suamiku sendiri bermalam dengan wanita lain, makanya aku memutuskan untuk pergi dan mencari kesenangan agar aku tidak kepikiran, tapi nyatanya aku justru merindukanmu." Kemudian Zara memeluk Mahesa dengan hati yang bergumam, "Aku sama sekali tidak peduli soal itu! Aku pergi karena aku merindukan kekasihku."

Mahesa mengusap-usap punggung Zara. "Maaf..."

Zara menggelengkan kepala. "Ini bukan salahmu, bukankah ini kesepakatan kita bersama?" senyum Zara yang menatap wajah sang suami, yang merupakan anak dari orang yang sudah menghancurkan hidupnya.

"Baiklah kalau begitu, tapi aku harus mandi sekarang," ucap Mahesa yang tak nyaman dengan tubuhnya yang terasa berat dan lelah.

Zara mengangguk dan mempersilahkannya, dan saat itu juga Mahesa berjalan menuju kamar mandi. Hingga akhirnya Zara keluar kamar ketika ia mengingat satu nama, Raisa.

Ia memasuki kamar yang menjadi istri kedua suaminya itu dengan langkah pelan. Raisa tengah menatap jendela luar kamarnya, malam yang sangat gelap dan tanpa bintang menyertai suasana hati Raisa. Zara menghampiri Raisa.

Raisa menoleh dan bertanya, "Kamu kemana saja seharian ini, Zara? Aku baru melihatmu sekarang."

Mendengar pertanyaan itu, Zara menghembuskan nafas panjang dan menjawab, "Kemarin malam, aku pergi ke hotel untuk menginap di sana. Aku butuh waktu untuk sendiri."

Raisa merasa bersalah mendengar jawaban Zara. Ia menggenggam tangan Zara dengan erat dan berkata, "Maafkan aku, Zara. Aku tahu pasti berat untukmu menerimaku."

Zara menggelengkan kepalanya, menatap Raisa dengan lembut. "Bukan begitu, Raisa."

Raisa langsung memeluk Zara dengan erat, air mata mengalir di pipinya."Maaf jika keberadaanku membuatmu sakit hati, tapi tolong jangan tinggalkan aku, aku merasa tidak memiliki siapapun di sini."

Zara menyunggingkan senyum dengan pikirannya yang berkata, "Dasar wanita bodoh! Aku justru bahagia atas keberadaanmu, tentu karena kamu adalah bagian dari rencanaku."

Raisa belum berhenti menangis. "Jika ada yang mengganjal di hatimu, jangan sungkan untuk memberitahu ku."

Zara mengangguk seraya melepaskan pelukannya, mengusap air mata Raisa. "Sudah jangan dibahas lagi, aku ingin bertanya, apa kamu betah tinggal di sini?"

Raisa dengan ragu menjawab, "Aku belum terbiasa dengan semuanya apalagi beberapa aktivitas hampir semua dikerjakan oleh maid dan aku tidak benar-benar merasa tak nyaman."

Zara menyentuh lengannya. "Kamu harus terbiasa karena bagaimana pun kamu adalah Nyonya disini, ya walaupun hanya istri kontrak suamiku."

Raisa mengangguk membenarkan. "Hem... tapi aku juga merasa bosan berada di sini seharian penuh."

"Di lantai ini tepatnya di sebelah kamar ini, ada sebuah perpustakaan yang bisa kamu kunjungi jika kamu merasa bosan."

Mata Raisa berbinar karena ia yang gemar membaca. "Benarkah?! Aku boleh mengunjunginya?"

Zara tersenyum. "Tentu saja, kamu bebas membaca apapun yang kamu suka, tapi hanya pada malam hari. Oke!?"

Raisa mengangguk dengan antusias. "Oke."

Bersamaan itu Laras masuk ke kamar Raisa dengan membawa nampan berisi makan malam untuknya.

Zara, yang sedari tadi berbicara dengan Raisa, lantas menoleh. "Selamat menikmati makan malammu, Raisa," ucap Zara dengan ramah. "Aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu lama-lama. Mahesa pasti sudah menungguku di meja makan."

Raisa mengangguk paham, "Tidak apa, Zara. Terima kasih sudah singgah sebentar." Ia mencoba tersenyum agar tidak terlihat kecewa.

Zara mengangguk dan perlahan berlalu dari kamar Raisa, pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Raisa menatap pintu itu, merasa kehampaan menyelimuti hatinya. Ia tak memiliki teman selain dirinya, dan Laras terlalu formal untuk diajak berbicara santai.

Sementara itu, di meja makan, Mahesa memang sudah menunggu kedatangan Zara. Piring-piring berisi berbagai makanan sudah tersaji di atas sana, namun ia enggan memulai tanpa kehadiran Zara.

Zara menghampiri dengan tersenyum tipis, "Maaf membuatmu menunggu, Sayang. Aku tadi sempat mampir ke kamar Raisa untuk melihat keadaannya."

Mahesa hanya mengangguk kecil, dengan Zara yang menempatkan dirinya di sisi kanan Mahesa.

Sementara itu Tuan Fariz tengah mendengarkan salah satu mata-matanya yang ia tugaskan untuk memantau rumah putranya, dan seperti biasanya semua aman terkendali.

Lalu mengapa kepergian Zara tak terpantau olehnya, itu karena Zara yang menggunakan mobil baru serta nomor plat palsu saat keluar dari sana, belum lagi ia memang sudah mengancam akan membunuh ayah dari mata-mata itu jika berani mengatakan yang sebenarnya karena kini dia berada dalam sandera Damian atas keinginannya.

Bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status