Zara dengan terburu-buru memarkir mobilnya di garasi dan segera memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, ia melihat Nita yang sedang menggenggam nampan dengan handuk di atasnya. Lantas ia pun menghampirinya.
"Apa Tuan sudah pulang, Nita?" tanya Zara sambil menarik nafas. Nita mengangguk pelan, "Sudah, Nyonya. Saya kebetulan mau mengantarkan handuk ini ke kamar mandi untuk Tuan." Zara segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Nita, "Biarkan saya yang membawanya. Saya ingin memberi kejutan pada Tuan setelah semalaman saya tidak pulang."Nita tampak ragu, namun ia akhirnya mengalah dan mengangguk, "Baiklah, Nyonya. Silakan."
Zara tersenyum tipis dan segera melangkah menuju kamar mereka.
Mahesa melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja sebelah tas kerjanya. Tanpa menoleh, ia mendengar pintu kamarnya terbuka pelan. Yakin bahwa itu Nita, yang mengantarkan handuk sesuai perintahnya, ia tidak memberikan respons.
Namun, ternyata yang membuka pintu adalah Zara, istrinya. Melihat sikap acuh tak acuh Mahesa, Zara mengerucutkan bibirnya sambil menaruh handuk yang ia bawa di atas tempat tidur. Dalam hati, ia bergumam betapa dinginnya suaminya itu. Meski begitu, Zara tahu bahwa Mahesa sangat mencintainya.
Dengan iseng, Zara menghampiri Mahesa dan memeluknya dari belakang. Barulah Mahesa menyadari bahwa itu bukan Nita, melainkan Zara. Ia mengenali gelang yang dikenakan istrinya tersebut.
"Sudah pulang, hm?" tanya Mahesa sambil berbalik badan untuk menatap Zara.
"Sudah, baru saja," jawab Zara seadanya."Sebelum pergi kamu gak bilang?" Mahesa mengaitkan helaian rambut di telinga Zara.
Zara menunduk sedih. "Maaf... Aku hanya tak mampu berada di sini sedangkan suamiku sendiri bermalam dengan wanita lain, makanya aku memutuskan untuk pergi dan mencari kesenangan agar aku tidak kepikiran, tapi nyatanya aku justru merindukanmu." Kemudian Zara memeluk Mahesa dengan hati yang bergumam, "Aku sama sekali tidak peduli soal itu! Aku pergi karena aku merindukan kekasihku."
Mahesa mengusap-usap punggung Zara. "Maaf..."
Zara menggelengkan kepala. "Ini bukan salahmu, bukankah ini kesepakatan kita bersama?" senyum Zara yang menatap wajah sang suami, yang merupakan anak dari orang yang sudah menghancurkan hidupnya.
"Baiklah kalau begitu, tapi aku harus mandi sekarang," ucap Mahesa yang tak nyaman dengan tubuhnya yang terasa berat dan lelah.
Zara mengangguk dan mempersilahkannya, dan saat itu juga Mahesa berjalan menuju kamar mandi. Hingga akhirnya Zara keluar kamar ketika ia mengingat satu nama, Raisa.
Ia memasuki kamar yang menjadi istri kedua suaminya itu dengan langkah pelan. Raisa tengah menatap jendela luar kamarnya, malam yang sangat gelap dan tanpa bintang menyertai suasana hati Raisa. Zara menghampiri Raisa.
Raisa menoleh dan bertanya, "Kamu kemana saja seharian ini, Zara? Aku baru melihatmu sekarang."
Mendengar pertanyaan itu, Zara menghembuskan nafas panjang dan menjawab, "Kemarin malam, aku pergi ke hotel untuk menginap di sana. Aku butuh waktu untuk sendiri."
Raisa merasa bersalah mendengar jawaban Zara. Ia menggenggam tangan Zara dengan erat dan berkata, "Maafkan aku, Zara. Aku tahu pasti berat untukmu menerimaku." Zara menggelengkan kepalanya, menatap Raisa dengan lembut. "Bukan begitu, Raisa." Raisa langsung memeluk Zara dengan erat, air mata mengalir di pipinya."Maaf jika keberadaanku membuatmu sakit hati, tapi tolong jangan tinggalkan aku, aku merasa tidak memiliki siapapun di sini."Zara menyunggingkan senyum dengan pikirannya yang berkata, "Dasar wanita bodoh! Aku justru bahagia atas keberadaanmu, tentu karena kamu adalah bagian dari rencanaku."
Raisa belum berhenti menangis. "Jika ada yang mengganjal di hatimu, jangan sungkan untuk memberitahu ku."
Zara mengangguk seraya melepaskan pelukannya, mengusap air mata Raisa. "Sudah jangan dibahas lagi, aku ingin bertanya, apa kamu betah tinggal di sini?"
Raisa dengan ragu menjawab, "Aku belum terbiasa dengan semuanya apalagi beberapa aktivitas hampir semua dikerjakan oleh maid dan aku tidak benar-benar merasa tak nyaman."
Zara menyentuh lengannya. "Kamu harus terbiasa karena bagaimana pun kamu adalah Nyonya disini, ya walaupun hanya istri kontrak suamiku."
Raisa mengangguk membenarkan. "Hem... tapi aku juga merasa bosan berada di sini seharian penuh."
"Di lantai ini tepatnya di sebelah kamar ini, ada sebuah perpustakaan yang bisa kamu kunjungi jika kamu merasa bosan."
Mata Raisa berbinar karena ia yang gemar membaca. "Benarkah?! Aku boleh mengunjunginya?"
Zara tersenyum. "Tentu saja, kamu bebas membaca apapun yang kamu suka, tapi hanya pada malam hari. Oke!?"
Raisa mengangguk dengan antusias. "Oke."
Bersamaan itu Laras masuk ke kamar Raisa dengan membawa nampan berisi makan malam untuknya.
Zara, yang sedari tadi berbicara dengan Raisa, lantas menoleh. "Selamat menikmati makan malammu, Raisa," ucap Zara dengan ramah. "Aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu lama-lama. Mahesa pasti sudah menungguku di meja makan."
Raisa mengangguk paham, "Tidak apa, Zara. Terima kasih sudah singgah sebentar." Ia mencoba tersenyum agar tidak terlihat kecewa. Zara mengangguk dan perlahan berlalu dari kamar Raisa, pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Raisa menatap pintu itu, merasa kehampaan menyelimuti hatinya. Ia tak memiliki teman selain dirinya, dan Laras terlalu formal untuk diajak berbicara santai. Sementara itu, di meja makan, Mahesa memang sudah menunggu kedatangan Zara. Piring-piring berisi berbagai makanan sudah tersaji di atas sana, namun ia enggan memulai tanpa kehadiran Zara. Zara menghampiri dengan tersenyum tipis, "Maaf membuatmu menunggu, Sayang. Aku tadi sempat mampir ke kamar Raisa untuk melihat keadaannya." Mahesa hanya mengangguk kecil, dengan Zara yang menempatkan dirinya di sisi kanan Mahesa.Sementara itu Tuan Fariz tengah mendengarkan salah satu mata-matanya yang ia tugaskan untuk memantau rumah putranya, dan seperti biasanya semua aman terkendali.
Lalu mengapa kepergian Zara tak terpantau olehnya, itu karena Zara yang menggunakan mobil baru serta nomor plat palsu saat keluar dari sana, belum lagi ia memang sudah mengancam akan membunuh ayah dari mata-mata itu jika berani mengatakan yang sebenarnya karena kini dia berada dalam sandera Damian atas keinginannya.
Bersambung,
"Hmmmm...." Raisa merasa gelisah, sulit tidur meskipun jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pikirannya terus melayang, mencari cara untuk mengusir rasa bosan dan mengantuk yang tak kunjung datang. Tiba-tiba, ingatannya melayang pada perpustakaan yang ada di lantai tersebut. "Kayaknya aku harus baca buku biar aku gak bosen," gumam Raisa. Dengan langkah kaki yang perlahan dan hati-hati, Raisa keluar dari kamarnya dan mengendap-endap menuju perpustakaan itu. "Aman..." kata Raisa yang memang tak bisa sembarang orang bisa ia temui atau menemuinya. Begitu sampai di sana, matanya langsung terbelalak kagum melihat rak-rak buku raksasa yang berjajar dengan jumlah buku yang sangat banyak. Sejak kecil, Raisa memang sangat menyukai buku, dan perpustakaan ini seperti surga baginya. "Woww!!! Perpustakaan ini sangat luar biasa." Raisa mulai menyusuri setiap rak buku dengan penuh antusias, menelusuri judul-judul yang menarik perhatiannya. Akhirnya, pilihannya jatuh pada sebuah novel rom
Dua hari kemudian"Hati-hati ya, Sayang," ucap Zara saat Mahesa mencium keningnya. Sedangkan sang sopir sudah menunggu dan membukakan pintu untuknya. "Aku pergi dulu," kata Mahesa yang kemudian berjalan memasuki mobil. Zara memandang kepergian Mahesa, hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Dengan langkah yang lesu, Zara berbalik memasuki rumah yang masih terasa sejuk oleh embun pagi. Ia tersenyum saat melihat Laras, sedang berdiri dengan nampan berisi sarapan yang masih mengepul hangat. "Itu sarapan untuk Raisa?" tanya Zara. Laras mengangguk, "Iya, Bu. Baru saja saya siapkan." Zara mengambil alih nampan dari tangan Laras, "Biarkan saya yang mengantarkan." "Baik Bu." Laras mengangguk, lalu kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Zara melangkah menuju kamar Raisa, mengetuk pintu perlahan. "Raisa, apa kamu di dalam?" panggilnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Raisa muncul dengan rambut basah tergerai dan wajah yang tampak segar meski matanya
Raisa berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai, seakan masih mencerna informasi yang baru saja dia terima. Zara yang sudah menunggu di luar dengan gelisah, langsung menghampiri Raisa dengan mata yang berbinar penuh harap. "Bagaimana hasilnya?" tanya Zara, suaranya gemetar. Tanpa banyak kata, Raisa mengulurkan sebuah test pack yang menunjukkan dua garis merah. Zara membelalakkan mata, tak percaya, dan mulutnya menganga sebelum terbentuk senyum lebar di wajahnya. "Hasilnya positif, Raisa! Aaaa aku sangat senang," serunya gembira, lalu memeluk Raisa dengan erat yang masih terpaku dengan hasil di tangannya itu. Raisa membalas pelukan itu dengan perasaan campur aduk, terkejut namun ada rasa lega yang tak bisa diungkapkan. Laras yang sedari tadi diam memperhatikan dari kejauhan, tersenyum simpul. "Aku sangat tidak sabar memberitahu Mahesa soal ini, dia pasti akan senang!" pungkasnya, dan lalu menatap Raisa dengan serius. "Pokoknya selama kehamilan, kamu tidak boleh s
Mahesa baru membuka pintu kamar ketika ia melihat Zara, istrinya, yang sedang berdandan di depan cermin. Zara segera menyambut Mahesa dengan senyum lebar di wajahnya, "Sayabg, aku punya berita yang sangat bagus!" kegirangannya tak tersembunyi. Mahesa yang masih terkejut dengan sambutan tiba-tiba itu hanya bisa mengerutkan dahi, penasaran dengan apa yang begitu menggembirakan Zara. "Apa itu?" Zara menarik tangan Mahesa, membuatnya duduk di tepi tempat tidur. "Raisa, bilang dia telat datang bulan. Setelah dia melakukan tes kehamilan, hasilnya positif, Sayang!" ceritanya semangat. Mahesa, yang mendengar kabar itu, langsung terpaku. Pikirannya melayang membayangkan dirinya yang akan menjadi seorang ayah. Emosi bercampur antara kejutan dan kebahagiaan mulai menguar dalam dirinya. Dengan penuh antusias, Zara menarik lagi tangan Mahesa, "Ayo, kita ke rumah sakit sekarang. Kita temani Raisa untuk check-up dan pastikan semuanya baik-baik saja." Mahesa masih terdiam sejenak, mencoba men
Keesokan paginya,Mahesa tampak menyunggingkan senyumnya, ketika mereka semua tengah mengadakan rapat antar dewan.Beberapa dari mereka tampak terkejut karena untuk pertama kalinya melihat Mahesa tersenyum selebar itu."Jadi bagaimana Pak Mahesa? Apa cara ini bisa kita lakukan untuk mempromosikan produk kita?" tanya Monica, yang baru saja mempresentasikan hasil penelitiannya, dimana ia merupakan ketua tim pemasaran.Mahesa tersadar. "Ya saya setuju... Nanti hasil rapatnya kamu taruh di meja saya.""Baik Pak."Setelah menghabiskan waktu beberapa jam di ruang meeting, perlahan satu persatu dari mereka pun mulai meninggalkan ruangan tersebut."Apa anda baik-baik saja Pak?" tanya Sean yang cukup mengkhawatirkannya."Aku tidak apa-apa, aku hanya merasa sangat senang saja hari ini..."Sean mengerutkan keningnya, "Memangnya ada apa dengan hari ini."Mahesa memasuki ruangannya dengan Sean yang terus mengekorinya."Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah-""Apa gadis itu sudah hamil!?" tan
Sedang berada dalam panggilan..."Hallo Din," sapa Raisa ketika sambungan telepon terhubung pada sahabatnya."Astaga Raisa! Setelah hampir 5 hari tidak ada kabar, akhirnya kamu menelponku juga."Raisa kemudian berujar, "Maafkan aku Dinda... Di sini banyak sekali pekerjaan, dan bahkan aku harus sampai lembur.""Kamu pasti merasa sangat kelelahan di sana, bisa aku pastikan bahwa pekerjaanmu lebih berat daripada di tempat lamamu." Dinda bersimpati padanya."Sebenarnya pekerjaanku sama sekali tidaklah berat, tapi membosankan karena di sini aku terus-terusan berada di kamar. Mungkin beberapa bulan lagi hal ini akan terasa lebih berat lagi untukku..." batin Raisa sembari mengelus perutnya yang masih rata."Iya Dinda, ngomong-ngomong bagaimana keadaan ibuku?" lanjut Raisa."Sangat baik! Kemarin aku baru saja mengantarnya untuk kontrol. Apa kamu ingin mengobrol dengan Bibi? Karena kebetulan aku sedang dalam perjalanan menuju rumahmu, setelah berbelanja kebutuhannya."Raisa bersyukur dalam hat
Di kamar,Zara memencet sebuah tombol yang ada di dekat nakasnya, yang tak lama dari itu salah satu pelayan pun datang ke kamar.Ia menghampiri Zara. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?""Tari, tolong kamu bawa makan malam saya kesini. Saya terlalu malas untuk turun ke bawah," titah Zara karena malam ini Mahesa makan malam diluar, sehingga tak masalah jika ia makan di kamarnya tanpa menunggu Mahesa."Baik Nyonya.” Tari kembali menutup pintu kamarnya dan bergegas menyiapkan makan malam untuk Zara.TingSebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, dan dengan segera Zara pun membukanya.From: My hubbyTo: Me[Zar, malam ini sepertinya aku akan pulang sedikit larut.]"Aku sama sekali tidak peduli denganmu," batin Zara yang kemudian mengetikkan pesan balasan untuknya.From: MeTo: My hubby[Baiklah kalau begitu, hati-hati saat pulang nanti :( I miss you.]"Ini adalah drama yang paling membosankan, karena aku harus berpura-pura menyukai putra dari seseorang yang aku benci." Zara menyilangkan kedua
Mahesa baru saja sampai di rumahnya, dengan langkah yang mulai memasukinya."Selamat malam tuan," sapa beberapa maid yang ia lewati."Tari, apa Zara sudah makan?" tanya Mahesa pada salah satu maidnya."Sudah tuan."Mahesa mengangguk kecil. "Lalu bagaimana dengan gadis itu, apa dia juga sudah makan?"Tari membenarkan, "Sudah juga tuan."Mahesa merasa lega ketika mendengarnya, setelah itu ia pun kembali ke kamarnya.KlekTerdengar pintu kamarnya yang terbuka membuat Zara mengalihkan perhatiannya dari ponsel."Sayang, kamu belum tidur?" tanya Mahesa ketika waktu sudah menunjukkan pukul jam 9:30 malam."Aku masih nunggu kamu, Sayang," sahut Zara yang kemudian menghampirinya untuk memeluk.Mahesa tersenyum kecil. "Maaf karena aku pulang terlambat."Zara menganggukkan kepalanya dalam dekapan Mahesa. "Apa kamu sudah makan?" tanya Zara kemudian."Aku sudah makan sayang.""Baiklah kalau begitu, kamu pasti sangat lelah karena bekerja seharian. Mau aku siapkan air hangat untuk mandi?" tawar Zara
Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an
Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan
Damian menyunggingkan senyumannya ketika melewati Raisa. Sedangkan Raisa tampaknya masih shock, hingga akhirnya Laras datang menghampirinya."Mari ikut saya Nona," ujarnya seraya menuntun Raisa untuk kembali ke kamarnya.Raisa hanya menurut sembari melangkahkan kakinya, walaupun kini pikirannya tengah porak poranda.Sesampainya di kamar,Raisa menempatkan dirinya di atas tempat tidur, dengan Laras yang kini tengah mengunci kamarnya."Ada apa, Nona?" tanya Laras yang menghampirinya."Aku sangat mengkhawatirkan mereka, kamu mendengarnya bukan? Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk." Raisa tak bisa menyembunyikan ketegangannya.Laras mencoba untuk menenangkan Raisa. "Saya juga sangat terkejut dengan semuanya, dan berharap ini bukanlah masalah besar seperti yang kita duga."Raisa menganggukan kepalanya dan menjawab, "Aku juga berharap seperti itu Ras... Aku tidak tahu bagaimana nasibku, jika mereka berpisah. Bagaimana dengan anak ini? Apakah mereka masih mau menerimanya atau tidak, sedang
Sesampainya di rumah,Mahesa dan Zara segera membagikan kue-kue kepada para maid dan penjaga rumah, sebagai bentuk perayaan."Terimakasih Tuan," senyum Laras dan Tari ketika mereka menerima bingkisan itu.TringTiba-tiba saja ponsel Zara berdering dengan nomor yang tidak diketahui, dimana ia sudah yakin bahwa yang menelponnya adalah Damian.Saat itu juga ia melirik ke arah Mahesa. "Sayang... Aku terima telpon dulu ya? Soalnya penting dari Om aku.""Iya," angguk Mahesa yang sebenarnya menaruh curiga padanya.Zara kemudian berlalu menjauhi mereka semua."Bu Titi, kamu tolong bagikan ini semua ke yang lain ya?" ujar Mahesa yang hendak menyusul Zara.Raisa yang berada di sana hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung.Setelah mendapatkan tempat yang aman di dekat taman belakang, Zara kemudian mengangkat telepon darinya."Ada apa sayang!? Kenapa kamu menelponku? Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menelponku, jika bukan aku yang menelponmu,” omel Zara padanya.Dengan heran Damian me
Malam pun tiba, Mahesa dan juga Zara tengah bersantai ria di balkon kamar mereka."Sayang, besok kamu berangkatnya agak siang, ya?" Zara melirik ke arah Mahesa yang ada di sebelahnya, tampak suaminya itu tengah asyik memainkan ponselnya."Memangnya ada apa?" tanyanya tanpa mengalihkan."Apa kamu lupa? Besok kita harus membawa Raisa ke klinik untuk USG. Aku sangat penasaran dengan jenis kelamin bayi kita," seru Zara yang begitu antusias.Mendengar hal itu Mahesa berhenti mengetik ponselnya. "Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan perihal anakku sendiri."Zara memeluk lengan Mahesa dan menyandarkan kepalanya di bahu. "Mungkin karena kamu terlalu sibuk di kantor, sehingga lupa dengan jadwal pemeriksaannya."Mahesa manggut-manggut. "Mungkin saja, jadi kapan kita berangkat ke klinik?""Mungkin sekitar jam 07.30 pagi,” sahut Zara."Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Sean untuk menggantikanku.”"Hemm," angguk Zara yang tengah menikmati malam ini.***Keesokan harinya,Raisa sudah bersiap-s