Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an
Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj
"Raisa, aku ingin meminta sesuatu darimu. Aku mau kamu menjadi maduku, hanya untuk satu tahun." Mendengar ucapan atasannya itu, Raisa merasa suasana restoran malam ini menjadi sangat dingin. Beberapa hari yang lalu, dirinya memang sempat menceritakan pada Zara mengenai Ibunya yang harus melakukan operasi dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, Raisa yang hanya pegawai biasa tidak memiliki uang untuk membayar operasi Ibunya. Saat itu, Zara yang merupakan tamu VVIP sekaligus sahabat dari pemilik butik, tempatnya bekerja. Zara mengatakan akan membantu Raisa dengan memintanya untuk datang ke tempat ini. Tapi, siapa sangka maksudnya menjadi madu? "Maaf, Bu. Tapi--" Belum sempat berbicara, Zara sudah memotong ucapannya, "Aku akan membantu biaya pengobatan dan operasi ibumu hingga dia benar-benar sembuh. Aku tahu ini permintaan yang berat, tetapi kami benar-benar membutuhkan bantuanmu, Raisa." Kali ini mata Zara berkaca-kaca seolah-olah Raisa memanglah harapan terakhir
Bu Mira menoleh ke arah pintu saat ia mendengar bunyi pintu yang terbuka. Di hadapannya, tampak Raisa, baru saja datang. Dengan susah payah, Raisa tersenyum lalu duduk di samping ranjang ibunya. "Gimana keadaan Ibu sekarang?" Sebelum Bu Mira sempat menjawab, suster yang merawatnya berkata, "Kondisi Ibu Mira semakin melemah, Mbak." Mendengar itu, rasa cemas dan khawatir melanda hatinya. Namun, untunglah ia telah menyetujui tawaran itu. Raisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, lalu berkata, "Bu, nanti Ibu akan segera dioperasi. Semoga semuanya berjalan lancar dan Ibu bisa segera pulih." Bu Mira menatap anaknya dengan heran. "Raisa, kamu mendapatkan uang untuk operasi dari mana?" Raisa menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu menjawab, "Raisa meminjam uang dari atasan, Bu. Dan sebagai gantinya Raisa harus pindah tugas diluar kota untuk melunasi pinjamannya, kebetulan disana gajinya lebih tinggi. Tapi maaf, Raisa tidak bisa menemani Ibu saat operasi nanti karena tugas dan mun
Mahesa terbangun di pagi hari, ia berjalan menuruni tangga dan tidak menemukan Zara di manapun, kemudian ia bertanya kepada salah satu sisten rumah tangga. "Ratih, apa kamu tahu di mana Nyonya?" Pembantu itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Zara pergi sedari semalam, Tuan." Mahesa tetap dengan tatapan datarnya, dan seolah tidak peduli dengan kepergian Zara. Mahesa kembali ke kamarnya. Ia terkejut ketika melihat ada pesan singkat dari Zara di ponselnya. Isinya mengatakan bahwa Zara tengah berada di hotel, menenangkan pikiran karena terlalu sedih dengan apa yang terjadi pada mereka. Di sisi lain Zara berbaring di tempat tidur yang empuk, di kamar hotel mewah, dengan kepalanya bersandar pada lengan Damian yang kokoh. Sementara itu, wajah Damian tertutup oleh katalog menu sarapan yang dipegangnya erat-erat. Zara menoleh ke arah Damian dan bertanya, "Sudah menentukan sarapan apa yang ingin kita makan pagi ini?" Damian pun menurunkan katalog tersebut, memperlihatkan wajah tam
Raisa duduk anggun di meja rias, dikelilingi para pelayan yang membantunya dan berias, sama sekali bukan kebiasaannya namun disini ia dituntut harus seperti ini. Setelah selesai, Raisa tersenyum manis pada mereka. "Terimakasih." "Ini sudah menjadi tugas kami, Nyonya Muda." Kemudian para pelayan pun pergi dari kamarnya satu per satu, meninggalkan Raisa sendirian. Dalam kesendirian itu, Raisa teringat akan Dinda, dan ibunya yang baru saja menjalani operasi. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Dinda untuk menanyakan kabar ibunya. "Dinda, gimana keadaan ibu? Operasinya berhasil kan?" tanya Raisa dengan suara yang penuh kecemasan. "Tenang, Sa. Operasinya berhasil kok, dan sekarang Bibi sedang dalam masa pemulihan," jawab Dinda dengan suara yang meyakinkan. Raisa merasa lega mendengar kabar itu. "Aku ingin bicara dengan ibu, apa boleh?" Dinda menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Maaf, Raisa. Tapi Bibi sedang istirahat. Dokter menyarankan agar beliau tidak terlalu banyak b
Di kantor Mahesa dengan beberapa tim redaksi sedang mengadakan rapat, dengan salah seorang pembicara yang tengah mempresentasikan pemecahan masalah di perusahaan. Beberapa dari tim memberikan masukan, sampai akhirnya mereka mengalihkan perhatiannya pada Mahesa untuk keputusan akhir. "Saya lebih memilih opsi A, karena simpel dan tidak bertele-tele, apalagi kita mengejar waktu," singkat Mahesa. "Dan jika masih belum berhasil, kita lanjut ke plan B." Dan akhirnya meeting pun telah selesai, Mahesa beranjak menuju ruangannya dengan sekertaris dan asisten yang menemaninya sampai ke pintu ruangan. Saat ia mendudukkan dirinya, ia teringat akan beberapa laporan yang belum ia cek, sehingga ia pun memutuskan untuk menyelesaikannya, jika harus pulang, ia tak memiliki alasan untuk itu sedangkan Zara tidak ada. Ia merasa tak nyaman jika harus mengikuti saran Zara untuk menghabiskan waktu dengan Raisa. Namun saat tengah mengecek laporan tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian semalam.