Share

Bab 2: Tempat Tinggal Baru

Bu Mira menoleh ke arah pintu saat ia mendengar bunyi pintu yang terbuka. Di hadapannya, tampak Raisa, baru saja datang.

Dengan susah payah, Raisa tersenyum lalu duduk di samping ranjang ibunya. "Gimana keadaan Ibu sekarang?"

Sebelum Bu Mira sempat menjawab, suster yang merawatnya berkata, "Kondisi Ibu Mira semakin melemah, Mbak."

Mendengar itu, rasa cemas dan khawatir melanda hatinya. Namun, untunglah ia telah menyetujui tawaran itu. Raisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, lalu berkata, "Bu, nanti Ibu akan segera dioperasi. Semoga semuanya berjalan lancar dan Ibu bisa segera pulih."

Bu Mira menatap anaknya dengan heran. "Raisa, kamu mendapatkan uang untuk operasi dari mana?"

Raisa menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu menjawab, "Raisa meminjam uang dari atasan, Bu. Dan sebagai gantinya Raisa harus pindah tugas diluar kota untuk melunasi pinjamannya, kebetulan disana gajinya lebih tinggi. Tapi maaf, Raisa tidak bisa menemani Ibu saat operasi nanti karena tugas dan mungkin Raisa akan meminta Dinda untuk menemani Ibu."

Mendengar jawaban putrinya, Bu Mira tersenyum lemah. "Terima kasih, Sayang. Semoga Tuhan membalas kebaikan bos kamu. Kamu jangan khawatir, Ibu akan kuat menjalani operasi ini."

Raisa menggenggam erat tangan ibunya, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. Meski ia tidak bisa berada di samping ibunya saat operasi nanti, ia akan terus berdoa agar semuanya berjalan lancar dan Bu Mira bisa segera pulih.

Keesokan harinya

Zara datang menghampiri Raisa yang baru saja selesai menyuapi ibunya, karena semalam Raisa memang menemani ibunya di rumah sakit.

“Bu Zara…” gumam Raisa yang membuat Bu Mira menoleh.

Zara menyapa Bu Mira, dan Bu Mira pun membalas sapaannya. Raisa mengenalkan Zara sebagai atasannya, dan Bu Mira langsung berterima kasih pada Zara yang sudah membantu dirinya.

“Tidak perlu berterima kasih, Bu… saya hanya membantu apa yang bisa saya bantu.” Zara menyentuh bahu Raisa dan tersenyum padanya. “Karena Raisa sangat baik pada saya.”

Selepas itu Raisa pun meminta izin pada Bu Mira untuk mengobrol di luar dengan Zara.

Raisa dan Zara duduk berdampingan di bangku luar kamar, Zara menoleh pada Raisa, dengan ekspresi wajah yang penuh kepedulian, ia mengatakan, "Besok operasi ibumu sudah dijadwalkan."

Raisa menatap Zara dengan rasa terharu dan berucap, "Terima kasih, Bu Zara." Namun Zara menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum, "Ini sudah seharusnya terjadi, Raisa. Ini adalah bentuk kerjasama kita."

Merasa diperhatikan, Raisa menunduk, menahan air matanya yang hampir jatuh. Zara kemudian menepuk-nepuk punggung Raisa, menghiburnya. "Sudahlah, jangan sedih. Oh ya, Raisa, mumpung kita ada di rumah sakit, bagaimana kalau kamu memeriksakan kesehatan dan keadaan rahimmu juga? Siapa tahu ada yang perlu ditangani."

Raisa mengangguk menyetujui usulan Zara, kemudian mereka berdiri bersama-sama untuk menuju ke ruang pemeriksaan.

Setelah pemeriksaan medis selesai, Zara tersenyum puas karena kondisi Raisa yang begitu sehat. "Mulai hari ini, kamu akan tinggal bersamaku, Raisa," ucap Zara tegas. Raisa terkejut, wajahnya berubah bingung. Ini sangat dadakan dan ia belum sempat pamitan dengan ibunya.

"Tapi aku bahkan belum berpamitan dengan Ibu?" kata Raisa dengan mata berkaca-kaca. Zara mengangguk, mempersilahkan Raisa. "Kalau begitu kamu temui dulu ibumu."

Dengan berat hati, Raisa pun kembali ke kamar Bu Mira dan menjelaskan situasi yang terjadi. Air mata Bu Mira tak terbendung, ia mencoba menahan kesedihan saat harus berpisah dengan putrinya. "Jaga diri baik-baik, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungimu," ucap Bu Mira dengan suara parau.

**

Raisa melangkah masuk ke rumah mewah Zara dan Mahesa, dengan rasa takjub yang mendalam. Setiap sudut rumah itu menampilkan kemewahan yang tak terkira, mulai dari lantai marmer yang berkilau, hiasan dinding yang artistik, hingga ornamen mahal yang tersebar di seluruh ruangan. Raisa merasa seperti memasuki istana yang megah, tak pernah ia membayangkan akan bisa berada di tempat yang seindah ini.

Zara tersenyum melihat reaksi Raisa dan mengajaknya naik ke lantai tiga, tempat kamar yang akan ditempati Raisa berada. Seorang pelayan wanita mengikuti langkah mereka sambil membawa kopernya Raisa. Ketika sampai di depan pintu kamar, Zara membukakan pintu dan mempersilahkan Raisa untuk masuk.

Setelah memastikan bahwa Raisa merasa nyaman, Zara memberikan senyuman terakhir dan perlahan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya, memperlihatkan Mahesa yang mendekat dengan langkah tenang. Wajahnya tetap tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia menggantungkan jasnya di gantungan dan berjalan menuju jendela, memandang keluar tanpa sepatah kata.

Raisa mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "T-tuan—”

Mahesa tetap memandang keluar jendela, tangannya bersedekap. "Pernikahan ini hanya formalitas. Aku harap kamu mengerti situasinya."

Kata-kata itu menusuk hati Raisa. Ia tahu dari awal bahwa ini bukan pernikahan berdasarkan cinta, tapi mendengarnya langsung dari Mahesa tetap membuatnya sakit.

Mahesa berbalik dan menatap Raisa dengan tatapan dingin. "Aku sudah membuat segalanya jelas dari awal. Kita melakukan ini karena kebutuhan, bukan karena perasaan. Jangan berharap lebih."

Raisa menundukkan kepalanya, merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku mengerti," bisiknya.

Mahesa menghela napas dalam-dalam dan mengatakan dengan suara yang berat, "Raisa, aku berharap kita bisa menuntaskan ini dengan cepat."

Malam itu, mereka berdua merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa dihindari dan harus mereka hadapi bersama.

Raisa dan Mahesa duduk berdampingan di sisi ranjang yang empuk. Raisa menoleh ke Mahesa, lalu berkata dengan suara lembut, "Saya belum pernah melakukannya,”

Mahesa mengangguk dan beranjak mematikan saklar lampu, menyisakan cahaya lilin yang remang-remang. Ia kembali ke sisi Raisa dan menggenggam tangannya erat. Mereka saling menatap dalam keheningan, seakan mencari keberanian.

Perlahan, Mahesa mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Raisa dengan lembut. dengan rasa cinta yang tak pernah ada, namun mereka dipaksakan untuk bersatu. Raisa merasa tegang, tak pernah menyangka Mahesa akan menjadi yang pertama dalam hidupnya.

Mahesa berbisik ke telinga Raisa, "Rileks... Aku ingin semuanya segera selesai."

Malam itu, tubuh mereka mulai menyatu, memadu kasih dalam kegelapan malam.

Raisa dibuat mabuk kepayang oleh apa yang dibuat oleh Mahesa. Seketika ia menjadi lupa diri bahwa ia hanya Rahim pengganti untuk Zara dan Mahesa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status