Bu Mira menoleh ke arah pintu saat ia mendengar bunyi pintu yang terbuka. Di hadapannya, tampak Raisa, baru saja datang.
Dengan susah payah, Raisa tersenyum lalu duduk di samping ranjang ibunya. "Gimana keadaan Ibu sekarang?" Sebelum Bu Mira sempat menjawab, suster yang merawatnya berkata, "Kondisi Ibu Mira semakin melemah, Mbak." Mendengar itu, rasa cemas dan khawatir melanda hatinya. Namun, untunglah ia telah menyetujui tawaran itu. Raisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, lalu berkata, "Bu, nanti Ibu akan segera dioperasi. Semoga semuanya berjalan lancar dan Ibu bisa segera pulih." Bu Mira menatap anaknya dengan heran. "Raisa, kamu mendapatkan uang untuk operasi dari mana?" Raisa menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu menjawab, "Raisa meminjam uang dari atasan, Bu. Dan sebagai gantinya Raisa harus pindah tugas diluar kota untuk melunasi pinjamannya, kebetulan disana gajinya lebih tinggi. Tapi maaf, Raisa tidak bisa menemani Ibu saat operasi nanti karena tugas dan mungkin Raisa akan meminta Dinda untuk menemani Ibu." Mendengar jawaban putrinya, Bu Mira tersenyum lemah. "Terima kasih, Sayang. Semoga Tuhan membalas kebaikan bos kamu. Kamu jangan khawatir, Ibu akan kuat menjalani operasi ini." Raisa menggenggam erat tangan ibunya, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. Meski ia tidak bisa berada di samping ibunya saat operasi nanti, ia akan terus berdoa agar semuanya berjalan lancar dan Bu Mira bisa segera pulih. Keesokan harinya Zara datang menghampiri Raisa yang baru saja selesai menyuapi ibunya, karena semalam Raisa memang menemani ibunya di rumah sakit. “Bu Zara…” gumam Raisa yang membuat Bu Mira menoleh. Zara menyapa Bu Mira, dan Bu Mira pun membalas sapaannya. Raisa mengenalkan Zara sebagai atasannya, dan Bu Mira langsung berterima kasih pada Zara yang sudah membantu dirinya. “Tidak perlu berterima kasih, Bu… saya hanya membantu apa yang bisa saya bantu.” Zara menyentuh bahu Raisa dan tersenyum padanya. “Karena Raisa sangat baik pada saya.” Selepas itu Raisa pun meminta izin pada Bu Mira untuk mengobrol di luar dengan Zara. Raisa dan Zara duduk berdampingan di bangku luar kamar, Zara menoleh pada Raisa, dengan ekspresi wajah yang penuh kepedulian, ia mengatakan, "Besok operasi ibumu sudah dijadwalkan." Raisa menatap Zara dengan rasa terharu dan berucap, "Terima kasih, Bu Zara." Namun Zara menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum, "Ini sudah seharusnya terjadi, Raisa. Ini adalah bentuk kerjasama kita." Merasa diperhatikan, Raisa menunduk, menahan air matanya yang hampir jatuh. Zara kemudian menepuk-nepuk punggung Raisa, menghiburnya. "Sudahlah, jangan sedih. Oh ya, Raisa, mumpung kita ada di rumah sakit, bagaimana kalau kamu memeriksakan kesehatan dan keadaan rahimmu juga? Siapa tahu ada yang perlu ditangani." Raisa mengangguk menyetujui usulan Zara, kemudian mereka berdiri bersama-sama untuk menuju ke ruang pemeriksaan. Setelah pemeriksaan medis selesai, Zara tersenyum puas karena kondisi Raisa yang begitu sehat. "Mulai hari ini, kamu akan tinggal bersamaku, Raisa," ucap Zara tegas. Raisa terkejut, wajahnya berubah bingung. Ini sangat dadakan dan ia belum sempat pamitan dengan ibunya. "Tapi aku bahkan belum berpamitan dengan Ibu?" kata Raisa dengan mata berkaca-kaca. Zara mengangguk, mempersilahkan Raisa. "Kalau begitu kamu temui dulu ibumu." Dengan berat hati, Raisa pun kembali ke kamar Bu Mira dan menjelaskan situasi yang terjadi. Air mata Bu Mira tak terbendung, ia mencoba menahan kesedihan saat harus berpisah dengan putrinya. "Jaga diri baik-baik, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungimu," ucap Bu Mira dengan suara parau. ** Raisa melangkah masuk ke rumah mewah Zara dan Mahesa, dengan rasa takjub yang mendalam. Setiap sudut rumah itu menampilkan kemewahan yang tak terkira, mulai dari lantai marmer yang berkilau, hiasan dinding yang artistik, hingga ornamen mahal yang tersebar di seluruh ruangan. Raisa merasa seperti memasuki istana yang megah, tak pernah ia membayangkan akan bisa berada di tempat yang seindah ini. Zara tersenyum melihat reaksi Raisa dan mengajaknya naik ke lantai tiga, tempat kamar yang akan ditempati Raisa berada. Seorang pelayan wanita mengikuti langkah mereka sambil membawa kopernya Raisa. Ketika sampai di depan pintu kamar, Zara membukakan pintu dan mempersilahkan Raisa untuk masuk. Setelah memastikan bahwa Raisa merasa nyaman, Zara memberikan senyuman terakhir dan perlahan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya, memperlihatkan Mahesa yang mendekat dengan langkah tenang. Wajahnya tetap tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia menggantungkan jasnya di gantungan dan berjalan menuju jendela, memandang keluar tanpa sepatah kata. Raisa mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "T-tuan—” Mahesa tetap memandang keluar jendela, tangannya bersedekap. "Pernikahan ini hanya formalitas. Aku harap kamu mengerti situasinya." Kata-kata itu menusuk hati Raisa. Ia tahu dari awal bahwa ini bukan pernikahan berdasarkan cinta, tapi mendengarnya langsung dari Mahesa tetap membuatnya sakit. Mahesa berbalik dan menatap Raisa dengan tatapan dingin. "Aku sudah membuat segalanya jelas dari awal. Kita melakukan ini karena kebutuhan, bukan karena perasaan. Jangan berharap lebih." Raisa menundukkan kepalanya, merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku mengerti," bisiknya. Mahesa menghela napas dalam-dalam dan mengatakan dengan suara yang berat, "Raisa, aku berharap kita bisa menuntaskan ini dengan cepat." Malam itu, mereka berdua merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa dihindari dan harus mereka hadapi bersama. Raisa dan Mahesa duduk berdampingan di sisi ranjang yang empuk. Raisa menoleh ke Mahesa, lalu berkata dengan suara lembut, "Saya belum pernah melakukannya,” Mahesa mengangguk dan beranjak mematikan saklar lampu, menyisakan cahaya lilin yang remang-remang. Ia kembali ke sisi Raisa dan menggenggam tangannya erat. Mereka saling menatap dalam keheningan, seakan mencari keberanian. Perlahan, Mahesa mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Raisa dengan lembut. dengan rasa cinta yang tak pernah ada, namun mereka dipaksakan untuk bersatu. Raisa merasa tegang, tak pernah menyangka Mahesa akan menjadi yang pertama dalam hidupnya. Mahesa berbisik ke telinga Raisa, "Rileks... Aku ingin semuanya segera selesai." Malam itu, tubuh mereka mulai menyatu, memadu kasih dalam kegelapan malam. Raisa dibuat mabuk kepayang oleh apa yang dibuat oleh Mahesa. Seketika ia menjadi lupa diri bahwa ia hanya Rahim pengganti untuk Zara dan Mahesa.Mahesa terbangun di pagi hari, ia berjalan menuruni tangga dan tidak menemukan Zara di manapun, kemudian ia bertanya kepada salah satu sisten rumah tangga. "Ratih, apa kamu tahu di mana Nyonya?" Pembantu itu tampak ragu sebelum menjawab, "Nyonya Zara pergi sedari semalam, Tuan." Mahesa tetap dengan tatapan datarnya, dan seolah tidak peduli dengan kepergian Zara. Mahesa kembali ke kamarnya. Ia terkejut ketika melihat ada pesan singkat dari Zara di ponselnya. Isinya mengatakan bahwa Zara tengah berada di hotel, menenangkan pikiran karena terlalu sedih dengan apa yang terjadi pada mereka. Di sisi lain Zara berbaring di tempat tidur yang empuk, di kamar hotel mewah, dengan kepalanya bersandar pada lengan Damian yang kokoh. Sementara itu, wajah Damian tertutup oleh katalog menu sarapan yang dipegangnya erat-erat. Zara menoleh ke arah Damian dan bertanya, "Sudah menentukan sarapan apa yang ingin kita makan pagi ini?" Damian pun menurunkan katalog tersebut, memperlihatkan wajah tam
Raisa duduk anggun di meja rias, dikelilingi para pelayan yang membantunya dan berias, sama sekali bukan kebiasaannya namun disini ia dituntut harus seperti ini. Setelah selesai, Raisa tersenyum manis pada mereka. "Terimakasih." "Ini sudah menjadi tugas kami, Nyonya Muda." Kemudian para pelayan pun pergi dari kamarnya satu per satu, meninggalkan Raisa sendirian. Dalam kesendirian itu, Raisa teringat akan Dinda, dan ibunya yang baru saja menjalani operasi. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Dinda untuk menanyakan kabar ibunya. "Dinda, gimana keadaan ibu? Operasinya berhasil kan?" tanya Raisa dengan suara yang penuh kecemasan. "Tenang, Sa. Operasinya berhasil kok, dan sekarang Bibi sedang dalam masa pemulihan," jawab Dinda dengan suara yang meyakinkan. Raisa merasa lega mendengar kabar itu. "Aku ingin bicara dengan ibu, apa boleh?" Dinda menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Maaf, Raisa. Tapi Bibi sedang istirahat. Dokter menyarankan agar beliau tidak terlalu banyak b
Di kantor Mahesa dengan beberapa tim redaksi sedang mengadakan rapat, dengan salah seorang pembicara yang tengah mempresentasikan pemecahan masalah di perusahaan. Beberapa dari tim memberikan masukan, sampai akhirnya mereka mengalihkan perhatiannya pada Mahesa untuk keputusan akhir. "Saya lebih memilih opsi A, karena simpel dan tidak bertele-tele, apalagi kita mengejar waktu," singkat Mahesa. "Dan jika masih belum berhasil, kita lanjut ke plan B." Dan akhirnya meeting pun telah selesai, Mahesa beranjak menuju ruangannya dengan sekertaris dan asisten yang menemaninya sampai ke pintu ruangan. Saat ia mendudukkan dirinya, ia teringat akan beberapa laporan yang belum ia cek, sehingga ia pun memutuskan untuk menyelesaikannya, jika harus pulang, ia tak memiliki alasan untuk itu sedangkan Zara tidak ada. Ia merasa tak nyaman jika harus mengikuti saran Zara untuk menghabiskan waktu dengan Raisa. Namun saat tengah mengecek laporan tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian semalam.
Zara dengan terburu-buru memarkir mobilnya di garasi dan segera memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, ia melihat Nita yang sedang menggenggam nampan dengan handuk di atasnya. Lantas ia pun menghampirinya. "Apa Tuan sudah pulang, Nita?" tanya Zara sambil menarik nafas. Nita mengangguk pelan, "Sudah, Nyonya. Saya kebetulan mau mengantarkan handuk ini ke kamar mandi untuk Tuan." Zara segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Nita, "Biarkan saya yang membawanya. Saya ingin memberi kejutan pada Tuan setelah semalaman saya tidak pulang."Nita tampak ragu, namun ia akhirnya mengalah dan mengangguk, "Baiklah, Nyonya. Silakan."Zara tersenyum tipis dan segera melangkah menuju kamar mereka.Mahesa melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja sebelah tas kerjanya. Tanpa menoleh, ia mendengar pintu kamarnya terbuka pelan. Yakin bahwa itu Nita, yang mengantarkan handuk sesuai perintahnya, ia tidak memberikan respons.Namun, ternyata yang membuka pintu adalah Zara, istrinya. Melihat s
"Hmmmm...." Raisa merasa gelisah, sulit tidur meskipun jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Pikirannya terus melayang, mencari cara untuk mengusir rasa bosan dan mengantuk yang tak kunjung datang. Tiba-tiba, ingatannya melayang pada perpustakaan yang ada di lantai tersebut. "Kayaknya aku harus baca buku biar aku gak bosen," gumam Raisa. Dengan langkah kaki yang perlahan dan hati-hati, Raisa keluar dari kamarnya dan mengendap-endap menuju perpustakaan itu. "Aman..." kata Raisa yang memang tak bisa sembarang orang bisa ia temui atau menemuinya. Begitu sampai di sana, matanya langsung terbelalak kagum melihat rak-rak buku raksasa yang berjajar dengan jumlah buku yang sangat banyak. Sejak kecil, Raisa memang sangat menyukai buku, dan perpustakaan ini seperti surga baginya. "Woww!!! Perpustakaan ini sangat luar biasa." Raisa mulai menyusuri setiap rak buku dengan penuh antusias, menelusuri judul-judul yang menarik perhatiannya. Akhirnya, pilihannya jatuh pada sebuah novel rom
Dua hari kemudian"Hati-hati ya, Sayang," ucap Zara saat Mahesa mencium keningnya. Sedangkan sang sopir sudah menunggu dan membukakan pintu untuknya. "Aku pergi dulu," kata Mahesa yang kemudian berjalan memasuki mobil. Zara memandang kepergian Mahesa, hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Dengan langkah yang lesu, Zara berbalik memasuki rumah yang masih terasa sejuk oleh embun pagi. Ia tersenyum saat melihat Laras, sedang berdiri dengan nampan berisi sarapan yang masih mengepul hangat. "Itu sarapan untuk Raisa?" tanya Zara. Laras mengangguk, "Iya, Bu. Baru saja saya siapkan." Zara mengambil alih nampan dari tangan Laras, "Biarkan saya yang mengantarkan." "Baik Bu." Laras mengangguk, lalu kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Zara melangkah menuju kamar Raisa, mengetuk pintu perlahan. "Raisa, apa kamu di dalam?" panggilnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Raisa muncul dengan rambut basah tergerai dan wajah yang tampak segar meski matanya
Raisa berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai, seakan masih mencerna informasi yang baru saja dia terima. Zara yang sudah menunggu di luar dengan gelisah, langsung menghampiri Raisa dengan mata yang berbinar penuh harap. "Bagaimana hasilnya?" tanya Zara, suaranya gemetar. Tanpa banyak kata, Raisa mengulurkan sebuah test pack yang menunjukkan dua garis merah. Zara membelalakkan mata, tak percaya, dan mulutnya menganga sebelum terbentuk senyum lebar di wajahnya. "Hasilnya positif, Raisa! Aaaa aku sangat senang," serunya gembira, lalu memeluk Raisa dengan erat yang masih terpaku dengan hasil di tangannya itu. Raisa membalas pelukan itu dengan perasaan campur aduk, terkejut namun ada rasa lega yang tak bisa diungkapkan. Laras yang sedari tadi diam memperhatikan dari kejauhan, tersenyum simpul. "Aku sangat tidak sabar memberitahu Mahesa soal ini, dia pasti akan senang!" pungkasnya, dan lalu menatap Raisa dengan serius. "Pokoknya selama kehamilan, kamu tidak boleh s
Mahesa baru membuka pintu kamar ketika ia melihat Zara, istrinya, yang sedang berdandan di depan cermin. Zara segera menyambut Mahesa dengan senyum lebar di wajahnya, "Sayabg, aku punya berita yang sangat bagus!" kegirangannya tak tersembunyi. Mahesa yang masih terkejut dengan sambutan tiba-tiba itu hanya bisa mengerutkan dahi, penasaran dengan apa yang begitu menggembirakan Zara. "Apa itu?" Zara menarik tangan Mahesa, membuatnya duduk di tepi tempat tidur. "Raisa, bilang dia telat datang bulan. Setelah dia melakukan tes kehamilan, hasilnya positif, Sayang!" ceritanya semangat. Mahesa, yang mendengar kabar itu, langsung terpaku. Pikirannya melayang membayangkan dirinya yang akan menjadi seorang ayah. Emosi bercampur antara kejutan dan kebahagiaan mulai menguar dalam dirinya. Dengan penuh antusias, Zara menarik lagi tangan Mahesa, "Ayo, kita ke rumah sakit sekarang. Kita temani Raisa untuk check-up dan pastikan semuanya baik-baik saja." Mahesa masih terdiam sejenak, mencoba men