Share

Bab 4: Berita yang Melegakan

Raisa duduk anggun di meja rias, dikelilingi para pelayan yang membantunya dan berias, sama sekali bukan kebiasaannya namun disini ia dituntut harus seperti ini.

Setelah selesai, Raisa tersenyum manis pada mereka. "Terimakasih."

"Ini sudah menjadi tugas kami, Nyonya Muda."

Kemudian para pelayan pun pergi dari kamarnya satu per satu, meninggalkan Raisa sendirian. Dalam kesendirian itu, Raisa teringat akan Dinda, dan ibunya yang baru saja menjalani operasi. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Dinda untuk menanyakan kabar ibunya.

"Dinda, gimana keadaan ibu? Operasinya berhasil kan?" tanya Raisa dengan suara yang penuh kecemasan.

"Tenang, Sa. Operasinya berhasil kok, dan sekarang Bibi sedang dalam masa pemulihan," jawab Dinda dengan suara yang meyakinkan.

Raisa merasa lega mendengar kabar itu. "Aku ingin bicara dengan ibu, apa boleh?"

Dinda menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Maaf, Raisa. Tapi Bibi sedang istirahat. Dokter menyarankan agar beliau tidak terlalu banyak bicara untuk sementara waktu."

Mendengar hal itu, Raisa menghela napas dan mengerti situasinya. "Baiklah, Dinda. Terima kasih ya, beri tahu aku kalau ada perkembangan tentang ibu."

"Siap, Rais. Semoga pekerjaanmu hari ini berjalan lancar. Doaku selalu menyertaimu," ujar Dinda sebelum mereka mengakhiri percakapan. Raisa meletakkan ponselnya dan menatap dirinya di cermin, berusaha menyemangati diri sendiri.

Mahesa berjalan menuju mobil yang akan mengantarnya ke kantor. Ia teringat saran Zara untuk mengambil libur dan menikmati waktu berdua dengan Raisa demi keberhasilan pembuahan. Namun, rencana itu harus ia batalkan karena sekretarisnya mengabarkan ada masalah mendesak di kantor yang membutuhkan kehadirannya.

Di dalam mobil, Mahesa duduk di kursi penumpang sambil memandangi pemandangan di luar jendela. Pikirannya melayang jauh, Mahesa merasa ada sesuatu yang berbeda pada malam itu.

Sopir itu melirik ke arah kaca spion, terlihat Mahesa yang hanya diam namun matanya bergerak-gerak seperti gelisah. Ia mencoba untuk tidak terlalu peduli, namun rasa penasaran dan kekhawatiran mulai menguasainya.

Ia akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Pak Mahesa, apa Bapak tidak enak badan?"

Mahesa menjawab, "Tidak."

"Tapi, Pak, kalau Bapak sakit atau ada masalah, tolong beritahu. Saya khawatir kalau sampai kenapa-napa," ujar sopir itu dengan nada tulus.

Mahesa menghela napas dalam, kemudian menegaskan, "Apa perlu saya ulangi?"

"T-tidak Pak." Sopir itu menggelengkan kepala, lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada jalan.

Di rumah sakit,

Bu Mira perlahan membuka matanya, merasa cahaya yang masuk ke ruangannya terasa begitu menyilaukan.

"Bibi Mira, bagaimana perasaan Bibi sekarang?" tanya Dinda dengan wajah khawatir.

"Aku... masih lemas, Nak," jawab Bu Mira dengan suara serak. "Bagaimana dengan Raisa? Apa dia memberi kabar?"

Dinda tersenyum kecil, mencoba menenangkannya. "Raisa tadi menelpon, Bi. Dia ingin berbicara dengan Bibi, tapi karena Bibi sedang tidur, dia memutuskan untuk kembali bekerja dulu. Raisa bilang dia akan segera datang begitu ada kesempatan."

Bu Mira menghela napas lega, meskipun tubuhnya masih terasa lemas, setidaknya dia bisa merasa sedikit tenang mengetahui Raisa baik-baik saja. Dia merasa bersyukur karena memiliki Dinda yang selalu setia menemaninya di saat-saat sulit seperti ini.

Dinda mengambil segelas air putih dari dispenser dan memberikannya pada Bu Mira. "Ini, Bu, minum air dulu."

Bu Mira menatap Dinda dengan pandangan yang lemah. "Makasih ya, Din."

Tangannya yang gemetar mencoba meraih gelas air, tetapi Dinda segera membantu dengan menopang tangan Bu Mira agar air tidak tumpah.

"Bibi sangat bersyukur kamu mau datang merawat Bibi," bisik Bu Mira setelah menyesap air yang disodorkan Dinda.

Dinda tersenyum tipis, mengusap peluh di dahi Bu Mira dengan lembut. "Tidak usah berterima kasih, Bi. Ini juga kewajiban Dinda sebagai tetangga sekaligus sahabatnya Raisa," balas Dinda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status