Di kamar,Zara memencet sebuah tombol yang ada di dekat nakasnya, yang tak lama dari itu salah satu pelayan pun datang ke kamar.Ia menghampiri Zara. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?""Tari, tolong kamu bawa makan malam saya kesini. Saya terlalu malas untuk turun ke bawah," titah Zara karena malam ini Mahesa makan malam diluar, sehingga tak masalah jika ia makan di kamarnya tanpa menunggu Mahesa."Baik Nyonya.” Tari kembali menutup pintu kamarnya dan bergegas menyiapkan makan malam untuk Zara.TingSebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, dan dengan segera Zara pun membukanya.From: My hubbyTo: Me[Zar, malam ini sepertinya aku akan pulang sedikit larut.]"Aku sama sekali tidak peduli denganmu," batin Zara yang kemudian mengetikkan pesan balasan untuknya.From: MeTo: My hubby[Baiklah kalau begitu, hati-hati saat pulang nanti :( I miss you.]"Ini adalah drama yang paling membosankan, karena aku harus berpura-pura menyukai putra dari seseorang yang aku benci." Zara menyilangkan kedua
Mahesa baru saja sampai di rumahnya, dengan langkah yang mulai memasukinya."Selamat malam tuan," sapa beberapa maid yang ia lewati."Tari, apa Zara sudah makan?" tanya Mahesa pada salah satu maidnya."Sudah tuan."Mahesa mengangguk kecil. "Lalu bagaimana dengan gadis itu, apa dia juga sudah makan?"Tari membenarkan, "Sudah juga tuan."Mahesa merasa lega ketika mendengarnya, setelah itu ia pun kembali ke kamarnya.KlekTerdengar pintu kamarnya yang terbuka membuat Zara mengalihkan perhatiannya dari ponsel."Sayang, kamu belum tidur?" tanya Mahesa ketika waktu sudah menunjukkan pukul jam 9:30 malam."Aku masih nunggu kamu, Sayang," sahut Zara yang kemudian menghampirinya untuk memeluk.Mahesa tersenyum kecil. "Maaf karena aku pulang terlambat."Zara menganggukkan kepalanya dalam dekapan Mahesa. "Apa kamu sudah makan?" tanya Zara kemudian."Aku sudah makan sayang.""Baiklah kalau begitu, kamu pasti sangat lelah karena bekerja seharian. Mau aku siapkan air hangat untuk mandi?" tawar Zara
Dengan senang hati Raisa menganggukkan kepalanya, karena keinginan sang bayi akhirnya terpenuhi.Mahesa dan Zara kemudian mendekatinya, dengan tangan yang terulur untuk mengelus perutnya.Sang janin pun mulai bergerak ketika ia mendapat rangsangan dari ayahnya, keinginan Raisa terpenuhi sehingga membuatnya lega.Mahesa tersenyum ketika anaknya merespon sentuhannya."Dok, kira-kira apa jenis kelamin anak kami?" tanya Zara yang sudah sangat penasaran."Ini sudah memasuki bulan kelima kehamilannya, sudah sepantasnya Raisa melakukan USG untuk mengetahui kondisi bayinya.""Baiklah, kalau begitu kapan Raisa bisa melakukannya?" tanya Raisa yang juga sudah bosan berada di kamarnya.Dokter Lily menjawab, "Mungkin lusa, kalian bisa membawa Raisa ke rumah sakit untuk kontrol lebih lanjut.""Baik Dok," angguk mereka bertiga.Setelah itu Bu Titi pun membawa Dokter Lily untuk turun ke bawah, sedangkan Raisa kini tengah mengobrol dengan Zara dan juga Mahesa."Aku sudah tidak sabar untuk mengetahui j
Di ruang tamu,"Ti, tolong panggilkan Raisa untuk menemuiku disini,” titah Zara saat Bu Titi tengah membersihkan meja."Baik Nyonya,” angguk Bu Titi yang saat itu juga berlalu meninggalkan Zara, untuk membawa Raisa padanya.Sedangkan di dalam kamar, Raisa berjalan mondar-mandir karena merasa jenuhTok tok tokLangkah Raisa terhenti ketika pintu kamarnya diketuk, dan dengan segera ia pun membukanya."Bu Titi? Ada apa?" tanya Raisa ketika mendapati Bu Titi ada di depan pintu kamarnya.Bu Titi sedikit menunduk. "Maaf jika mengganggu, saya diperintahkan Nyonya Zara untuk membawa anda turun ke bawah.""Untuk apa?" Alis Raisa tampak menyatu."Nyonya berencana untuk mengajak Anda pergi keluar," jawab Bu Titi yang membuat mata Raisa berbinar-binar."Apa Bu Titi serius?" Genggam Raisa pada tangannya."Tentu saja!" senyum Bu Titi yang turut merasakan kebahagiaan Raisa.Raisa berseru, "Baiklah! Apa kita bisa turun sekarang?"Dengan pasti Lina menganggukan kepalanya. "Ayok!"Raisa tak melepaskan
Raisa dan Zara keluar dengan menenteng banyak sekali paperbag, untungnya barang-barang mereka tidak terlalu berat.Sang sopir datang terpongoh-pongoh dan menghampiri mereka, untuk mengambil alih barang-barang tersebut.“Biar saya bawakan, Bu,” ujar sang sopir."Tono, kamu tolong antar Raisa sampai ke rumah ya? Saya masih ada urusan disini," pinta Zara padanya.Tono mengangguk, "Baik Bu."Zara kemudian melirik ke arah Raisa. "Pulanglah terlebih dahulu."Raisa menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Baiklah kalau begitu.""Mari Nona," ajak Tono pada Raisa, yang sudah siap membukakan pintu mobil untuknya."Aku duluan," pamit Raisa yang kemudian memasuki mobil tersebut.BrommmMobil pun mulai melaju meninggalkan area parkir.Setelah kepergian Raisa dan sang sopir, Zara pun segera meminta kekasihnya itu menjemput dirinya. Tak lama ia menunggu, sebuah mobil berhenti tepat di depannya.Zara kemudian memasuki mobil tersebut, yang akan membawanya pergi ke suatu tempat.Di kantor, Mahesa menyamb
Sesampainya di rumah,Mahesa bergegas masuk ke dalam rumahnya dengan mata yang terus mencari. "Zara!!! KAMU DIMANA!!??""Zara!!???" seru Mahesa yang memanggil-manggil namanya dengan kaki yang terus melangkah.Laras yang tengah melihat tuannya uring-uringan, seketika itu juga menghampirinya. "Ada apa tuan!?""Dimana Zara!?" tanya Mahesa singkat, namun penuh ketegasan."N-nyonya belum pulang Tuan-""Lalu dimana gadis itu? Bukankah Zara pergi bersama dengannya,” lanjut Mahesa.Laras menunduk. "Nona ada di dalam kamarnya, beberapa puluh menit yang lalu ia sampai di rumah."Mendengar hal itu Mahesa pun berlalu memasuki litt yang akan membawanya ke kamar Raisa.Sedangkan di dalam kamarnya Raisa tengah menikmati jusnya, dengan Tari yang juga ada disana.Brakk Brakk Brakkk!!Raisa sedikit terlonjak ketika pintu kamarnya digedor-gedor dengan sangat keras."Biar saya yang membukanya Nona," ucap Nada yang kemudian berjalan untuk membukakan pintu.KlekTampak disana Mahesa dengan wajah memerahnya
Di kamar,"Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka? Kenapa Mahesa kelihatan marah saat menanyakan Zara?" batin Raisa yang sedang memikirkan mereka berdua.Laras yang ada disana seketika itu juga menghampiri Raisa yang tampak termenung, "Nona pasti bertanya-tanya tentang hal ini, kan?""Iya Ras, ini pertama kalinya aku melihat Mahesa marah saat mencari Zara." Raisa menghela nafas.Laras membenarkan. "Sama, ini juga pertama kalinya saya melihat Tuan Mahesa semarah ini.""Hem semoga saja mereka baik-baik saja,” gumam Raisa."Iyo semoga saja," timpal Laras."Ngomong-ngomong kamu sudah bekerja berapa lama di sini?" tanya Raisa berbasa-basi.Laras menjawab, "Sudah lebih dari 3 tahun.""Sama seperti umur pernikahan mereka?" sahut Raisa,"Iya karena kebetulan saya direkrut saat Nyonya baru menginjakkan kakinya di sini."Raisa manggut-manggut. "Oh begitu.""Ya walaupun sebenarnya saya merasa lebih nyaman mengobrol dengan Anda Nona, Anda begitu berbaur dengan kami."Raisa mengernyitkan dah
Zara tampak mondar-mandir di dalam kamarnya, dengan jari yang ia ketukan di dagu. "Sekarang ini aku harus lebih waspada terhadap si tua bangka itu! Yang diam-diam ternyata dia memata-mataiku," gumamnya."Aku ingin sekali menelpon Damian untuk memberitahunya untuk tidak menghubungiku dulu, untung ponselku sudah aku tinggalkan di dalam mobilnya. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan menghubungi ke rumah, mumpung Mahesa tidak ada lebih baik aku telepon dia sekarang."Saat itu juga Zara menghampiri telepon rumahnya untuk menghubungi sang kekasih.TringggDamian mengalihkan perhatiannya pada sebuah telepon yang ada di atas meja kerjanya, tanpa pikir panjang ia pun segera mengangkatnya."Hallo sayang," sapa Zara dari seberang sana."Ada apa sayang? Apa ada hal penting mengenai mereka? Apa Mahesa mencurigaimu?" tanya Damian bertubi-tubi.Zara menjawab, "Bukan hanya itu saja, tapi Tuan Fariz dan antek-anteknya juga memata-mataiku, aku rasa kita tidak bisa bertemu dalam waktu dekat in
Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an
Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan
Damian menyunggingkan senyumannya ketika melewati Raisa. Sedangkan Raisa tampaknya masih shock, hingga akhirnya Laras datang menghampirinya."Mari ikut saya Nona," ujarnya seraya menuntun Raisa untuk kembali ke kamarnya.Raisa hanya menurut sembari melangkahkan kakinya, walaupun kini pikirannya tengah porak poranda.Sesampainya di kamar,Raisa menempatkan dirinya di atas tempat tidur, dengan Laras yang kini tengah mengunci kamarnya."Ada apa, Nona?" tanya Laras yang menghampirinya."Aku sangat mengkhawatirkan mereka, kamu mendengarnya bukan? Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk." Raisa tak bisa menyembunyikan ketegangannya.Laras mencoba untuk menenangkan Raisa. "Saya juga sangat terkejut dengan semuanya, dan berharap ini bukanlah masalah besar seperti yang kita duga."Raisa menganggukan kepalanya dan menjawab, "Aku juga berharap seperti itu Ras... Aku tidak tahu bagaimana nasibku, jika mereka berpisah. Bagaimana dengan anak ini? Apakah mereka masih mau menerimanya atau tidak, sedang
Sesampainya di rumah,Mahesa dan Zara segera membagikan kue-kue kepada para maid dan penjaga rumah, sebagai bentuk perayaan."Terimakasih Tuan," senyum Laras dan Tari ketika mereka menerima bingkisan itu.TringTiba-tiba saja ponsel Zara berdering dengan nomor yang tidak diketahui, dimana ia sudah yakin bahwa yang menelponnya adalah Damian.Saat itu juga ia melirik ke arah Mahesa. "Sayang... Aku terima telpon dulu ya? Soalnya penting dari Om aku.""Iya," angguk Mahesa yang sebenarnya menaruh curiga padanya.Zara kemudian berlalu menjauhi mereka semua."Bu Titi, kamu tolong bagikan ini semua ke yang lain ya?" ujar Mahesa yang hendak menyusul Zara.Raisa yang berada di sana hanya bisa menatap kepergiannya dengan bingung.Setelah mendapatkan tempat yang aman di dekat taman belakang, Zara kemudian mengangkat telepon darinya."Ada apa sayang!? Kenapa kamu menelponku? Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menelponku, jika bukan aku yang menelponmu,” omel Zara padanya.Dengan heran Damian me
Malam pun tiba, Mahesa dan juga Zara tengah bersantai ria di balkon kamar mereka."Sayang, besok kamu berangkatnya agak siang, ya?" Zara melirik ke arah Mahesa yang ada di sebelahnya, tampak suaminya itu tengah asyik memainkan ponselnya."Memangnya ada apa?" tanyanya tanpa mengalihkan."Apa kamu lupa? Besok kita harus membawa Raisa ke klinik untuk USG. Aku sangat penasaran dengan jenis kelamin bayi kita," seru Zara yang begitu antusias.Mendengar hal itu Mahesa berhenti mengetik ponselnya. "Astaga! Bagaimana bisa aku melupakan perihal anakku sendiri."Zara memeluk lengan Mahesa dan menyandarkan kepalanya di bahu. "Mungkin karena kamu terlalu sibuk di kantor, sehingga lupa dengan jadwal pemeriksaannya."Mahesa manggut-manggut. "Mungkin saja, jadi kapan kita berangkat ke klinik?""Mungkin sekitar jam 07.30 pagi,” sahut Zara."Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Sean untuk menggantikanku.”"Hemm," angguk Zara yang tengah menikmati malam ini.***Keesokan harinya,Raisa sudah bersiap-s