"Kau masih berani bertanya? Harusnya papa yang tanya, sebenarnya ada apa denganmu? Apa yang kau lakukan pada Hely, sedangkan besok pagi kau akan menikah?" sanggah Asilas menggebu.
Pria paruh baya itu berkata sambil menggertakkan giginya. Manik matanya menatap tajam sang putra bak mata belati. "Maksud Papa apa? Memangnya apa yang aku lakukan pada Hely?" tanya Ze masih belum sadar atas apa yang telah ia lakukan pada Hely. Tatapan mata Asilas tertuju pada Hely yang meringkuk di lantai menggunakan selimut. Kemudian, Ze mengikuti arah pandangnya. "Hely? Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Ze terkejut. Hely semakin terisak dan semakin menenggelamkan wajahnya. Ia merasa hidupnya sudah hancur karena sesuatu yang paling berharga darinya sudah direnggut paksa oleh Ze. Terlebih, pria itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Jangan tanya pada Hely! Tanyakan saja pada dirimu sendiri, apa yang telah kau lakukan padanya. Kau lihat? Tubuhmu terlihat sangat kotor dan menjijikan," timpal Asilas menatap jijik pada tubuh putranya. Saat ini, tubuh polos Ze seperti kain merah menyala dengan motif garis-garis. Tubuh pria itu berlumuran darah dengan banyak sekali bekas cakaran. "Astaga!" Ze hampir melompat terlalu terkejut melihat kondisi tubuhnya. Bahkan ia baru merasakan perih di sekujur tubuhnya karena luka itu. "Cepat bersihkan tubuhmu yang kotor dan bau itu! Setelah itu, papa dan Mama akan menunggumu di bawah." Tatapan mata Asilas berpindah pada Hely, "Kau juga. Cepat bersihkan tubuhmu dan kita akan bicara di bawah," lanjutnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, Asilas meraih tubuh istrinya dan memapahnya keluar. Sementara di dalam, Ze langsung menatap tajam ke arah Hely. "Sebenarnya apa yang kau lakukan di kamarku, huh?! Apa kau yang menjebakku?" tanya Ze dingin. Pria itu tidak bisa menerima kenyataan bahwa di malam terakhirnya ia melajang telah menodai kesucian seorang wanita. Apalagi wanita itu adalah seorang asisten rumah tangga di rumahnya sendiri. Rasa-rasanya, ia ingin sekali menenggelamkan tubuhnya ke dalam air laut hingga menjadi buih. "Jangan asal bicara, Tuan! Di sini saya yang menjadi korban dan tolong Tuan jangan bersikap seolah saya pelakunya," sanggah Hely tidak kalah dingin. "Lalu, kenapa kau ada di kamarku malam-malam begini?" tanya Ze lagi karena belum mendapatkan jawaban yang pasti. Ze akui ketika pulang dari pesta, ia dalam keadaan mabuk berat. Ia masuk ke dalam kamar dan mendapati calon istrinya di dalam. Jadi karena tidak bisa menahan diri, pria itu langsung mengungkung tubuh calon istrinya dan bersenang-senang. Namun yang tak disangka-sangka, ia justru menodai wanita lain dengan cara paksa. Tidak sesuai dengan penglihatannya sebelumnya. "Tuan lihat, baju pengantin yang sudah tidak berbentuk itu?" Hely menunjuk ke arah baju pengantin pria yang jatuh terjerambah di lantai dalam kondisi berantakan dengan noda darah. "Saya datang ke sini untuk mengantar baju pengantin itu. Saya pikir, Tuan tidak ada jadi saya masuk untuk meletakkannya di atas tempat tidur. Tapi ternyata, Tuan tiba-tiba ada di belakang saya dan--." Sebenarnya, Helios malas sekali menjelaskan hal itu. Namun, ia tidak ingin dituduh yang tidak-tidak dengan menjebak Ze. "Cukup! Tidak perlu kau lanjutkan lagi! Lebih baik kau cepat keluar dari kamarku," seru Ze samar-samar mengingat kejadian awalnya. Tanpa pikir panjang, Hely beranjak berdiri. Akan tetapi, baru saja hendak melangkah untuk memunguti pakaiannya. Ia merasakan sakit yang teramat di bagian tubuh bawahnya. Lalu, ia terhuyung dan terjatuh ke tepi tempat tidur. "Cepat!" bentak Ze membuat Hely terkejut. Meskipun terasa sangat sakit, tetapi Hely tidak bisa terus berada di sana. Ia memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai dengan tubuh remuk. Ia melangkah ke kamar mandi untuk memakai baju. Tidak lama kemudian, ia keluar dalam keadaan memakai pakaian lengkap. Begitu juga dengan Ze yang sudah memakai pakaian. Setelah itu, mereka kedua turun ke bawah. "Duduklah!" kata Asilas. Ze pun bergegas duduk di seberang meja dan Hely langsung duduk di lantai. "Ze. Papa terpaksa harus membatalkan pernikahanmu dengan Minerva," ujar Asilas serius. "Apa? Bagaimana bisa Papa membatalkan pernikahan aku dengan Mine?" tanya Ze terbelalak. Pria dengan hidung mancung itu sangat terkejut mendengar ucapan ayahnya. Pria itu langsung beranjak berdiri sambil menatap sang ayah dengan tatapan tidak percaya "Tentu saja, bisa. Kau bahkan bisa memperkosa Hely di saat kau akan menikah dengan Minerva," sanggah Asilas mengejek. "Apa yang terjadi antara Ze dan Hely murni sebuah kecelakaan, Pa. Jadi, tolong jangan batalkan pernikahan Ze dengan Mine," ujar Ze memohon. "Apa pun kenyataannya, biarpun itu murni kecelakaan sekalipun. Kau tetap harus membatalkan pernikahanmu dengan Minerva dan menikah dengan Hely sebagai bentuk pertanggungjawabanmu," balas Asilas memutuskan. Meskipun Hely hanya seorang asisten rumah tangga, tetapi ia tidak boleh mengabaikan apa yang telah terjadi pada wanita itu. Putranya telah merenggut kesucian wanita itu dan ia tidak bisa tinggal diam. Apalagi prinsip yang selama ini pegang adalah berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Jadi, putranya harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. "Tapi, Pa. Ze tidak mencintai Hely dan Ze hanya mencintai Mine." Wajah Ze terlihat sangat muram karena kesulitan membujuk ayahnya. "Cinta akan datang seiring berjalannya waktu, Ze. Jadi yang paling penting sekarang, kau bertanggung jawab pada Hely. Mama tidak bisa membiarkanmu lepas dari tanggung jawab," timpal Diana menggebu. "Mama juga? Plis, Ma, Ze mohon bantu Ze. Ze tidak bisa menikah dengan Hely." Ze begitu terkejut melihat sang ibu setuju dengan rencana ayahnya. Pria itu tidak menyangka sang ibu akan mendukung ke putusan ayahnya. Padahal seharusnya, apa pun yang terjadi Diana tetap membelanya. "Tidak, Ze. Mama dan Papa sudah menghubungi orang tua Minerva untuk membatalkan pernikahanmu dengan Minerva dan mempelai wanitanya akan diganti dengan Hely," sergah Diana tidak bisa memenuhi permohonan putra semata wayangnya. "A-apa?" Ze begitu terkejut mendapatkan kabar buruk itu. Tubuh pria itu langsung terasa lemah seolah tidak memiliki tulang. Ia menjatuhkan seluruh tubuhnya ke belakang bersandarkan sofa. Mulutnya mendadak tertutup rapat dan manik matanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. "Istirahatlah! Besok pagi kau harus bersiap untuk menikah dengan Hely." Belum cukup dikejutkan di mana pernikahannya harus gagal dengan Minerva dan harus menikah dengan Hely. Kini, ia dikejutkan lagi di mana ia harus menikahi Hely besok pagi. "Besok pagi?" Ze terkejut dengan manik mata terbelalak. "Ya, besok pagi. Kenapa? Apa kau keberatan?" Asilas mengangkat alisnya dengan manik mata yang terbuka lebar. Pria paruh baya itu dengan mencebikkan bibirnya dan menghempaskan punggungnya ke belakang. Bahkan meskipun Ze keberatan sekalipun, Asilas tidak akan merubah keputusannya untuk menikahkan sang putra dengan Hely. Tentu saja karena apa yang dilakukan Ze bukan hal sepele. "Maaf, Tuan, karena saya terpaksa harus menyela." Hely mengangkat pandangan sejenak sebelum akhirnya kembali menunduk. "Tuan dan Nyonya tidak perlu memaksakan kehendak Tuan Muda untuk menikah dengan saya. Saya tahu kalau Tuan Muda harus bertanggung jawab, tetapi saya merasa tidak pantas karena saya hanya seorang pembantu. Jadi, biarkan Tuan Muda menikah dengan Nona Minerva dan saya akan pergi dari rumah ini." "Apa kau bilang? Aku tidak peduli dengan status sosial. Mau kau hanya sekedar asisten rumah tangga di rumahku, aku tetap tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya satu, perbuatan putraku padamu. Bukankah seharusnya kau meminta pertanggungjawaban atas direnggutnya kesucianmu?" geram Asilas sambil menggertakkan giginya. Hely langsung memberingsut ketakutan mendengar suara majikannya yang sangat dingin. "Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin menjadi benalu di keluarga ini. Saya tidak ingin Tuan dan Nyonya menanggung malu karena memiliki menantu seperti saya." Meskipun baru bekerja kurang dari dua tahun di rumah itu. Namun, sikap Asilas dan Diana sangat baik. Mereka tidak pernah memperlakukannya sebagai asisten rumah tangga. Meskipun demikian, ada batasan yang harus tetap dijaga. "Ya. Mungkin orang-orang di luar sana akan menggunjingkan kami karena memiliki menantu seorang pembantu sepertimu. Akan tetapi, bagaimana denganmu? Apa kau tidak merasa dirugikan? Apakah di luaran sana ada pria yang akan menikah dengan wanita yang sudah tidak perawan?" tanya Asilas menggebu. Sejak dulu, Asilas tidak pernah memandang orang dari status sosialnya. Entah itu orang dari status sosial atas, tengah, maupun bawah. Semuanya terlihat sama di matanya dan yang membedakan adalah ketulusan hatinya. Jadi, tidak masalah jika Hely menjadi menantunya. Apalagi alasannya karena ulah anak kandungnya sendiri. "Kenapa diam saja? Apa kau masih tidak ingin menikah dengan orang yang telah merenggut kesucianmu?" tanya Asilas dingin. Mendengar pertanyaan yang Asilas lontarkan membuat Hely meremas ujung bajunya. Ia diam karena membenarkan ucapan pria itu. Helios tahu betul, di luaran sana tidak akan ada pria yang mau menerima kekurangannya itu. Namun, ia merasa rendah diri jika harus menikah dengan Ze meski pria itu sendiri yang merenggut kesuciannya. "Hely benar, Pa. Kita semua akan malu jika Ze sampai menikah dengan seorang pembantu. Jadi, bisakah--" "Tidak bisa. Apa pun yang terjadi, kau tetap harus menikah dengan Hely," potong Asilas tegas. Bagaimana bisa Asilas menghancurkan prinsipnya yang selama ini ia pegang untuk selalu berpegang teguh pada kebenaran? Meskipun hal itu akan membuat keluarganya malu, ia tetap harus menikahkan putranya dengan Hely."Ini kamarku dan kau tidak boleh memasukinya. Terserah kau mau tidur di mana yang penting bukan di kamarku," ujar Ze mengingatkan.Setelah sah menikah, Ze langsung memboyong Hely pindah ke apartemen yang sebelumnya ia siapkan untuknya dan Minerva. Namun alih-alih Minerva yang ia bawa sebagai seorang istri, justru Hely si pembantu di rumah orang tuanya yang ia bawa."Baik, Tuan," jawab Helios mengangguk.Sementara Ze masuk ke dalam kamarnya, Hely mencari kamar lain. Dengan cepat, ia menemukan kamar tidak jauh dari kamar Ze. Ia lekas masuk ke dalam dan beristirahat.Baru saja merapikan pakaian di lemari dan membaringkan tubuhnya, ia mendengar suara pintu dibanting. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dan melihat Ze sedang berlarian menuruni anak tangga. Hampir saja pria itu jatuh menggelinding, jika tangannya tidak bergegas berpegangan pada besi penjagaan."Tuan Ze mau ke mana? Kenapa kelihatannya buru-buru sekali?" batin Hely bertanya-tanya.Wanita itu beranjak menuruni anak tangga de
Hely hanya bisa bergumam, "Jangan, jangan lakukan ini padaku!" Kakinya digerak-gerakkan dan tangannya tidak bisa berhenti memukuli dada bidang Ze.Sambil berusaha berontak, Hely terus bergumam diiringi buliran-buliran bening yang menetes. Seluruh tubuhnya yang berlumuran darah seakan tidak sebanding dengan luka hati dan rasa takutnya. Sementara Ze, pria itu semakin bersemangat menggagahi tubuh Hely. Semakin wanita itu ketakutan dan berontak, maka semangatnya untuk terus menyakitinya terus meningkat."Lihat saja! Aku akan membuatmu hidup segan mati pun segan," tekad Ze.Pria itu benar-benar kejam. Sejak awal, ia yang membuat kesalahan dengan menodai Hely, tetapi ia tidak mau disalahkan. Ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Hely yang jelas-jelas statusnya di sana sebagai korban dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling tersakiti atau istilah kerennya playing victim."Buka matamu, Hely!" Ze menampar wajah Hely karena wanita itu terlihat memejamkan matanya, "Buka matamu, bodoh
"Dari mana saja kau?" tanya Ze dingin."Sa-saya la-lapar, Tuan. Berhubung di rumah ini tidak ada bahan makanan apa pun, jadi saya keluar untuk membeli makanan," jelas Hely terbata. Kepalanya senantiasa tertunduk tidak berani mengangkatnya meski hanya sejenak.Ze menatap Hely dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum licik dan berbalik masuk ke dalam. Sedangkan Hely, wanita itu mengangkat pandangan sambil menghela nafas lega. Lalu, ia berjalan masuk menuju dapur. Meraih piring dan gelas untuk diisi air. Setelah itu, ia mulai membuka bungkus bebek goreng dan hendak menikmatinya."Aku juga lapar. Kenapa kau makan sendiri?" Ze tiba-tiba datang sambil menarik kursi makan dan duduk, "Aku juga mau nasi bebeknya," lanjut Ze sambil menarik piring bebek Hely."Saya hanya beli satu dan itu belinya di pinggir jalan, Tuan," kata Hely berharap pria itu akan mengurungkan niatnya.Perutnya sudah sangat keroncongan dan di saat melihat nasi bebek juga sambal hitam yang menggoda justru ada yang
"Bahkan luka yang tadi siang Tuan Ze buat masih basah," lirih Hely sendu.Mengetahui ikat pinggang yang sebentar lagi mendarat di tubuhnya, sontak Hely memejamkan matanya erat. Tidak ada gunanya melawan dan pasrah adalah pilihan terbaik. Tentu saja karena ia telah mengenal siapa sebenarnya pria itu beberapa hari ini. Padahal sebelumnya, ia sempat mengagumi pria dengan paras tampan yang memiliki aura kuat itu."Sabar, Hely, sabar. Nanti setelah luka di tubuhmu sembuh, kau boleh membalasnya. Kau gigit saja tangannya yang suka sekali memukulmu," batin Hely berusaha menenangkan dirinya sendiri."Brengsek!" umpat Ze kesal. Pria itu melempar ikat pinggangnya ke sembarang arah karena lagi-lagi perutnya kembali terasa sakit. Andai rasa sakit itu tidak tiba-tiba datang, mungkin akan terdengar suara indah akibat dari erangan kesakitan Hely."Syukurlah, aku masih selamat." Hely menghembuskan nafas lega melihat Ze melangkah menjauh ke arah kamar mandi.Kini, wanita itu beranjak berdiri dan menung
"Makanan apa ini? Kenapa rasanya tidak jelas sekali?" Ze menghentakkan sendok ke piring hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras."Maaf, Tuan, tapi saya sudah mengetes rasanya dulu sebelum disajikan di meja makan," sanggah Hely.Pagi-pagi sekali, wanita itu memesan taksi dan pergi ke pasar. Ia membeli, ayam, ikan, daging, telur, sayur-mayur, dan rempah-rempah untuk persediaan selama satu Minggu. Hari ini, ia memasak ayam rica-rica dan sayur jagung muda dicampur buncis. Namun sayangnya, masakan yang ia buat dengan sepenuh hati justru tidak dihargai sama sekali oleh Ze."Apa kau bilang? Kalau aku bilang rasanya tidak jelas, itu artinya harus diganti. Kau tidak berhak menyanggah dan kau harus memasak menu yang lain," geram Ze sambil menggertakkan giginya."Baiklah," balas Hely lesu. Ia lekas berbalik dan membuka lemari pendingin."Sebelum kau memasak, kau buatkan aku kopi lebih dulu. Aku mau menunggu sambil menikmati kopi dan membaca koran," ujar Ze seolah lupa sudah waktunya pe
Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas."Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar.Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana."Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku?"Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak.
"Apa yang kau lakukan di sini, Hely?" tanya Ze dingin."Sa-saya ... Saya sedang bekerja, Tuan," jawab Hely terbata. Pria itu beralih menatap sekretarisnya. "Kau urus pertemuan ini dan lakukan yang terbaik," ujar Ze memerintah. "Baik, Pak," jawab Nick tegas.Setelah mendapat jawaban, Ze menyentuh tangan Hely dan menariknya keluar. Pria itu ke arah parkiran yang masih kosong. Kemudian, ia menghempaskan tangan Helios kuat-kuat."Bekerja kau bilang? Semua orang sudah tahu kalau kau istriku dan kau bekerja di cafe kecil seperti ini?" tanya Ze geram."Maaf. Saya hanya--""Hanya apa? Kalau kau butuh uang, kau tinggal bilang dan aku akan memberikannya padamu," potong Ze menggebu."Bagaimana cara saya memintanya pada Tuan? Bahkan membagi makanan dengan saya saja, Tuan, tidak sudi," sanggah Hely menunduk sambil memainkan jemarinya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Ze berpikir sejenak. Meskipun terdengar masuk akal, ia tetap tidak bisa membenarkan keputusan Hely yang bisa mempermalukannya d
Melihat tidak ada pergerakan apa pun membuat Ze khawatir. Ia beranjak berdiri dan menendang kaki Hely. Namun sayangnya, ia sama sekali tidak mendapat respon apa pun dan hanya melihat wajah wanita itu yang sudah pucat pasi seperti mayat."Hely?" terkejut Ze.Pria itu lekas mengangkat tubuh Hely dan berjalan tergopoh-gopoh keluar. Lalu, ia membaringkan tubuh wanita itu di lantai. Setelah itu, ia memeriksa detak jantungnya."Ya Tuhan ... Hely, bangun!" panik Ze.Ia lekas memangku kepala Hely dan menjepit hidung wanita itu perlahan. Kemudian, ia mulai merapatkan bibirnya pada mulut Hely. Ia menarik nafas dalam-dalam dan meniupkannya perlahan. Ze melakukan beberapa kali hingga akhirnya Hely bangun dan mengeluarkan air dari mulutnya."Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk dengan manik mata yang membola.Sontak, Ze menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menghembuskan nafas lega. Hampir saja ia menjadi pembunuh jika ia gagal menyelamatkan Hely. Namun sayangnya, belum ada tiga menit wanita itu kembali ping