"Ini kamarku dan kau tidak boleh memasukinya. Terserah kau mau tidur di mana yang penting bukan di kamarku," ujar Ze mengingatkan.
Setelah sah menikah, Ze langsung memboyong Hely pindah ke apartemen yang sebelumnya ia siapkan untuknya dan Minerva. Namun alih-alih Minerva yang ia bawa sebagai seorang istri, justru Hely si pembantu di rumah orang tuanya yang ia bawa. "Baik, Tuan," jawab Helios mengangguk. Sementara Ze masuk ke dalam kamarnya, Hely mencari kamar lain. Dengan cepat, ia menemukan kamar tidak jauh dari kamar Ze. Ia lekas masuk ke dalam dan beristirahat. Baru saja merapikan pakaian di lemari dan membaringkan tubuhnya, ia mendengar suara pintu dibanting. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dan melihat Ze sedang berlarian menuruni anak tangga. Hampir saja pria itu jatuh menggelinding, jika tangannya tidak bergegas berpegangan pada besi penjagaan. "Tuan Ze mau ke mana? Kenapa kelihatannya buru-buru sekali?" batin Hely bertanya-tanya. Wanita itu beranjak menuruni anak tangga dengan tatapan yang lurus ke arah Ze. Lama-kelamaan, pria itu mulai menghilang di balik pintu. "Apa ada masalah?" Wanita itu melipat tangan kirinya di depan dan tangan kanannya menyentuh dagunya, "Astaga! Kenapa aku jadi begini? Ingat, Hely! Kau itu bukan seperti istri pada umumnya. Kau hanya memiliki status itu tanpa memiliki hak apa pun atas Tuan Ze," imbuhnya mengingatkan. "Ya, seharusnya aku sadar akan hal itu." Sambil menghela nafas berat, Hely kembali ke kamarnya dan beristirahat. Entah sudah berapa jam ia tertidur, tiba-tiba ia dikejutkan dalam tidurnya. Ia mendengar suara seseorang meneriakkan namanya. Sambil beranjak bangun, Helios mengucek matanya. Ia turun dari tempat tidur dan melangkah ke arah pintu. Bertepatan dengan ia memutar kenop, pintu didorong ke belakang dengan keras. Sontak, tubuhnya terdorong ke belakang dan ia jatuh terjerambah di lantai. "Aawww, sakit!" Hely memekik kesakitan sambil mengusap pinggangnya. Wanita itu mengangkat pandangan dan mendapati Zeus ada di depan matanya. Dengan langkah pasti, Zeus melangkah maju. Tepat di hadapan Helios ia berjongkok dan mengulurkan tangannya ke arah leher. "Karena kau, aku batal menikah dengan Mine. Karena kau, Mine menikah dengan pria lain." "Uhuk-uhuk! Lepas, Tuan, sakit," kata Hely dengan raut kesakitan. "Sakit kau bilang? Rasa sakit ini tidak sebanding dengan rasa sakit di hatiku." Ze semakin mengeratkan tangannya membuat Hely semakin kesulitan untuk bernafas. "To-long le-pas, Tuan!" Hely berusaha meronta dengan menarik kedua tangan Ze yang menekan lehernya. Ia tidak bisa bertahan lebih lama di saat Ze membabi buta mencekik lehernya. Meski ia terus berusaha menarik tangan pria itu, tetapi tenaganya tidak bisa dibandingkan dengan tenaga Ze. Hingga lama-kelamaan, tenaganya mulai hilang begitu saja karena terlalu keras tekanan di lehernya. Melihat Hely yang tidak lagi melawan membuat Ze tidak bersemangat lagi. Rasanya tidak menyenangkan jika lawannya memilih pasrah alih-alih terus melawan. Akhirnya, ia melepaskan tangannya sambil mendorong wanita itu ke belakang. "Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk sambil menghembuskan nafas lega. Ia mengusap lehernya yang terasa perih dan membiarkan tubuhnya berbaring di atas lantai. Baru saja bisa bernafas dengan normal, tiba-tiba tangannya ditarik dengan paksa. Sontak, ia berdiri karena tidak bisa menahan rasa sakit di tangannya. Lalu dalam hitungan detik, tubuhnya sudah didorong ke atas tempat tidur. Entah mengapa, pikirannya berubah kosong. Sepersekian detik kemudian, ia beranjak duduk. Dengan manik mata yang membola, Hely melihat kain dilempar ke sembarang arah. Baru sempat menoleh, ia sudah didorong kembali ke belakang. Meskipun demikian, ia tetap bisa melihat penampilan Ze yang kini sedang melepas pakaiannya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian sebelumnya di kamar Ze beberapa hari yang lalu. Hely langsung melompat berdiri. Wanita itu berlari ke arah pintu. Baru mengulurkan tangannya hendak meraih gagang pintu, tubuhnya sudah ada di dekapan Ze. Pria itu langsung mengangkat tubuhnya dan melempar tubuh Hely ke atas tempat tidur dengan kasar. "Tuan, tolong jangan lakukan ini lagi," mohon Hely dengan wajah bercucuran air mata. "Melakukan apa? Apa kau sedang memberiku kode? Dasar murahan!" tanya Ze sambil tersenyum jijik. Pikiran Ze sedang kacau dan tidak bisa mencerna ucapan Hely dengan benar. Yang ada di pikirannya hanya hal buruk tentang wanita itu. Sementara Hely hanya bisa menelan salivanya kasar hingga hampir tersedak. Bagaimana bisa Ze berpikir seperti itu? "Tidak, Tuan, bukan itu maksud saya. Saya hanya memberitahu, Tuan, agar kejadian sebelumnya di kamar Tuan Ze tidak terjadi lagi," kata Hely berusaha menjelaskan dan berharap pria yang kini berstatus suaminya itu akan mengerti. "Memangnya kenapa?! Kau itu istriku dan sudah menjadi tugasmu untuk memuaskanku," tanya Ze nyalang. "Saya tahu, tapi bisakah tidak melakukannya dengan kekerasan?" pinta Hely ketakutan. Tanpa melakukan kekerasan pun Hely sudah trauma karena ulah Ze yang pertama kalinya. Apalagi jika sampai pria itu melakukannya lagi. Entah apa yang akan terjadi pada Hely nanti. "Jangan banyak omong!" seru Ze tidak terima dengan permintaan Hely. Beraninya wanita itu memerintahnya. Apakah Hely lupa telah menghancurkan hidupnya? Bukankah sudah sepantasnya Hely mendapatkan balasan yang setimpal dari Ze? "Tuan, saya mohon!" mohon Hely dengan raut takut. Hely mengatupkan kedua telapak tangannya dan menggosoknya. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin dan air matanya sudah tercampur menjadi satu, tubuhnya bergetar ketakutan. Akan tetapi, ia masih memiliki harapan agar Ze mau bersikap sedikit lebih lembut padanya. "Sekeras apa pun kau memohon, aku tidak akan pernah mendengarkanmu," balas Ze sambil melepaskan ikat pinggang di celananya. Lalu, melayangkannya ke tubuh Hely. "Aaaww! Ssssttt!" Hely berteriak kesakitan kala ikat pinggang itu menempel keras di tubuhnya, "Tuan?" Wanita itu hendak memohon, tetapi hanya sampai di tenggorokannya saja. Merasakan sakit yang teramat di bagian punggungnya membuat Hely menyusutkan tubuhnya ke belakang. Ya, meskipun ia tahu tidak akan ada gunanya. "Bagaimana? Sakit bukan?" tanya Ze dengan seringaian tipis di wajahnya. Kemudian, ia menggerakkan tangannya dan ikat pinggang kembali meluncur di tubuh Hely. "Ssssttt!" Wanita itu hanya bisa mendesis sambil menggigit bibirnya. Ia berusaha menahan teriakannya agar tidak keluar. Lihat saja, bibirnya sudah mulai mengeluarkan darah karena gigitannya yang terlalu keras. "Kenapa kau diam saja? Apa masih kurang?" tanya Ze tidak suka. Lalu, ia membuat luka lagi di punggung Hely menggunakan ikat pinggangnya. Yang ia inginkan adalah Hely yang berteriak kesakitan, menangis, dan memohon ampun. Namun sayangnya, wanita itu justru diam dan hanya meringkuk memeluk lututnya. "Kau? Beraninya kau diam saja di saat aku bertanya," geram Ze. Pria itu naik ke atas tempat tidur dan langsung merobek baju Hely dengan mudah. Sudut bibirnya kembali naik ke atas melihat Hely meringis kesakitan sekaligus ketakutan berusaha mempertahankan pakaiannya. Setelah itu, Ze merobek pakaian lainnya yang tersisa hingga tak tersisa sehelai benang pun.Hely hanya bisa bergumam, "Jangan, jangan lakukan ini padaku!" Kakinya digerak-gerakkan dan tangannya tidak bisa berhenti memukuli dada bidang Ze.Sambil berusaha berontak, Hely terus bergumam diiringi buliran-buliran bening yang menetes. Seluruh tubuhnya yang berlumuran darah seakan tidak sebanding dengan luka hati dan rasa takutnya. Sementara Ze, pria itu semakin bersemangat menggagahi tubuh Hely. Semakin wanita itu ketakutan dan berontak, maka semangatnya untuk terus menyakitinya terus meningkat."Lihat saja! Aku akan membuatmu hidup segan mati pun segan," tekad Ze.Pria itu benar-benar kejam. Sejak awal, ia yang membuat kesalahan dengan menodai Hely, tetapi ia tidak mau disalahkan. Ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Hely yang jelas-jelas statusnya di sana sebagai korban dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling tersakiti atau istilah kerennya playing victim."Buka matamu, Hely!" Ze menampar wajah Hely karena wanita itu terlihat memejamkan matanya, "Buka matamu, bodoh
"Dari mana saja kau?" tanya Ze dingin."Sa-saya la-lapar, Tuan. Berhubung di rumah ini tidak ada bahan makanan apa pun, jadi saya keluar untuk membeli makanan," jelas Hely terbata. Kepalanya senantiasa tertunduk tidak berani mengangkatnya meski hanya sejenak.Ze menatap Hely dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum licik dan berbalik masuk ke dalam. Sedangkan Hely, wanita itu mengangkat pandangan sambil menghela nafas lega. Lalu, ia berjalan masuk menuju dapur. Meraih piring dan gelas untuk diisi air. Setelah itu, ia mulai membuka bungkus bebek goreng dan hendak menikmatinya."Aku juga lapar. Kenapa kau makan sendiri?" Ze tiba-tiba datang sambil menarik kursi makan dan duduk, "Aku juga mau nasi bebeknya," lanjut Ze sambil menarik piring bebek Hely."Saya hanya beli satu dan itu belinya di pinggir jalan, Tuan," kata Hely berharap pria itu akan mengurungkan niatnya.Perutnya sudah sangat keroncongan dan di saat melihat nasi bebek juga sambal hitam yang menggoda justru ada yang
"Bahkan luka yang tadi siang Tuan Ze buat masih basah," lirih Hely sendu.Mengetahui ikat pinggang yang sebentar lagi mendarat di tubuhnya, sontak Hely memejamkan matanya erat. Tidak ada gunanya melawan dan pasrah adalah pilihan terbaik. Tentu saja karena ia telah mengenal siapa sebenarnya pria itu beberapa hari ini. Padahal sebelumnya, ia sempat mengagumi pria dengan paras tampan yang memiliki aura kuat itu."Sabar, Hely, sabar. Nanti setelah luka di tubuhmu sembuh, kau boleh membalasnya. Kau gigit saja tangannya yang suka sekali memukulmu," batin Hely berusaha menenangkan dirinya sendiri."Brengsek!" umpat Ze kesal. Pria itu melempar ikat pinggangnya ke sembarang arah karena lagi-lagi perutnya kembali terasa sakit. Andai rasa sakit itu tidak tiba-tiba datang, mungkin akan terdengar suara indah akibat dari erangan kesakitan Hely."Syukurlah, aku masih selamat." Hely menghembuskan nafas lega melihat Ze melangkah menjauh ke arah kamar mandi.Kini, wanita itu beranjak berdiri dan menung
"Makanan apa ini? Kenapa rasanya tidak jelas sekali?" Ze menghentakkan sendok ke piring hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras."Maaf, Tuan, tapi saya sudah mengetes rasanya dulu sebelum disajikan di meja makan," sanggah Hely.Pagi-pagi sekali, wanita itu memesan taksi dan pergi ke pasar. Ia membeli, ayam, ikan, daging, telur, sayur-mayur, dan rempah-rempah untuk persediaan selama satu Minggu. Hari ini, ia memasak ayam rica-rica dan sayur jagung muda dicampur buncis. Namun sayangnya, masakan yang ia buat dengan sepenuh hati justru tidak dihargai sama sekali oleh Ze."Apa kau bilang? Kalau aku bilang rasanya tidak jelas, itu artinya harus diganti. Kau tidak berhak menyanggah dan kau harus memasak menu yang lain," geram Ze sambil menggertakkan giginya."Baiklah," balas Hely lesu. Ia lekas berbalik dan membuka lemari pendingin."Sebelum kau memasak, kau buatkan aku kopi lebih dulu. Aku mau menunggu sambil menikmati kopi dan membaca koran," ujar Ze seolah lupa sudah waktunya pe
Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas."Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar.Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana."Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku?"Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak.
"Apa yang kau lakukan di sini, Hely?" tanya Ze dingin."Sa-saya ... Saya sedang bekerja, Tuan," jawab Hely terbata. Pria itu beralih menatap sekretarisnya. "Kau urus pertemuan ini dan lakukan yang terbaik," ujar Ze memerintah. "Baik, Pak," jawab Nick tegas.Setelah mendapat jawaban, Ze menyentuh tangan Hely dan menariknya keluar. Pria itu ke arah parkiran yang masih kosong. Kemudian, ia menghempaskan tangan Helios kuat-kuat."Bekerja kau bilang? Semua orang sudah tahu kalau kau istriku dan kau bekerja di cafe kecil seperti ini?" tanya Ze geram."Maaf. Saya hanya--""Hanya apa? Kalau kau butuh uang, kau tinggal bilang dan aku akan memberikannya padamu," potong Ze menggebu."Bagaimana cara saya memintanya pada Tuan? Bahkan membagi makanan dengan saya saja, Tuan, tidak sudi," sanggah Hely menunduk sambil memainkan jemarinya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Ze berpikir sejenak. Meskipun terdengar masuk akal, ia tetap tidak bisa membenarkan keputusan Hely yang bisa mempermalukannya d
Melihat tidak ada pergerakan apa pun membuat Ze khawatir. Ia beranjak berdiri dan menendang kaki Hely. Namun sayangnya, ia sama sekali tidak mendapat respon apa pun dan hanya melihat wajah wanita itu yang sudah pucat pasi seperti mayat."Hely?" terkejut Ze.Pria itu lekas mengangkat tubuh Hely dan berjalan tergopoh-gopoh keluar. Lalu, ia membaringkan tubuh wanita itu di lantai. Setelah itu, ia memeriksa detak jantungnya."Ya Tuhan ... Hely, bangun!" panik Ze.Ia lekas memangku kepala Hely dan menjepit hidung wanita itu perlahan. Kemudian, ia mulai merapatkan bibirnya pada mulut Hely. Ia menarik nafas dalam-dalam dan meniupkannya perlahan. Ze melakukan beberapa kali hingga akhirnya Hely bangun dan mengeluarkan air dari mulutnya."Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk dengan manik mata yang membola.Sontak, Ze menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menghembuskan nafas lega. Hampir saja ia menjadi pembunuh jika ia gagal menyelamatkan Hely. Namun sayangnya, belum ada tiga menit wanita itu kembali ping
"Hei! Kenapa diam saja? Apa saya ... Ah tidak, sepertinya kita akan menjadi teman. Jadi, apa aku perlu mengenalkanmu pada pengacara kenalanku?" tanya Dokter Rani sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Hely.Dokter cantik itu merasa tidak nyaman berbicara dengan Hely yang jauh lebih muda darinya. Jadi, ia berusaha berbicara sedikit santai agar ia dan Hely sama-sama nyaman."Tidak perlu, Dok. Suami saya--""Aku, pakai aku kau saja biar lebih nyaman. Kau juga boleh menganggapku sebagai kakakmu," potong Dokter Rani mengoreksi."Suamiku memang orang yang dingin, tapi dia tidak sekejam itu. Dia hanya tidak bisa menerima saya menjadi istrinya," lanjut Hely setelah ucapannya sempat terpotong.Bagaimana bisa wanita itu membela Zu? Sudah jelas-jelas ia selalu disiksa hingga dirawat di rumah sakit dan koma berhari-hari."Tidak kejam bagaimana? Sudah jelas-jelas dia hampir membunuhmu. Lalu, kenapa kalian bisa sampai menikah kalau dia tidak mau menerimamu menjadi istrinya?" tanya Dokter Rani