Share

8. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas.

"Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar.

Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana.

"Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku?

"Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak."

"Apa? Pukul delapan?" Ze terkejut karena terlalu asyik menyiksa Hely menjadi lupa waktu, "Baiklah, aku ke perusahaan sekarang juga."

"Baik, Pak."

"Kali ini kau selamat lagi, tapi lihat saja nanti kalau kau berani melawan dan membangkang perintahku." Ze menunjuk ke wajah Hely sebelum akhirnya beranjak pergi.

Sementara itu, setelah melihat Ze menghilang dari balik pintu, Hely menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tidak peduli di mana ia berada saat ini, ia hanya ingin melemaskan seluruh otot di tubuhnya yang sempat menegang karena ulah Ze.

"Lepas dari Ayah, kenapa aku harus menikah dengan pria yang tidak kalah kejam dari ayahku sendiri?" batin Hely bertanya-tanya.

Alasan mengapa ia bisa bekerja di keluarga Chartwheel karena ia kabur dari desa setelah ibunya meninggal. Bahkan meskipun ia bisa bebas dari kekejaman sang ayah, ia harus membayar hutang yang sempat ibunya tinggalkan sebelum meninggalkan dunia ini.

Setelah dua tahun bekerja dan berhasil melunasi hutang mendiang ibunya. Kini, ia justru harus memenuhi kebutuhan keluarga barunya dengan uang yang tidak seberapa. Mungkin dalam hitungan Minggu atau bahkan dalam hitungan hari, uangnya akan habis untuk membeli kebutuhan dapur dan rumah. Terlebih ia harus pergi berobat ke dokter. Haruskah Hely meminta uang pada Ze untuk memenuhi kebutuhan rumah ke depannya?

"Astaga, perutku!" Hely menyentuh perutnya yang terasa keroncongan.

Wanita itu lekas beranjak berdiri, membilas tubuhnya, dan bergegas mengganti baju. Setelah itu, ia pergi ke meja makan. Menikmati makanan yang sebelumnya Ze tolak karena rasanya tidak jelas.

"Sudah kuduga. Tuan Ze memang sengaja ingin mengerjaiku. Sudah jelas-jelas masakanku ini enak," gumam wanita itu sambil mengunyah makanan.

Tidak berselang lama, Hely menyelesaikan ritual sarapan paginya. Ia bergegas ke kamar untuk mengganti baju.

"Apa aku harus memakai pakaian-pakaian mahal ini?" tanya wanita itu pada dirinya sendiri.

Setelah sah menjadi istri Ze, Diana, ibu mertuanya memberikan banyak pakaian mahal pada Hely. Wanita itu tidak ingin putranya direndahkan orang lain karena pakaian istrinya tidak layak pakai.

"Ya, benar. Pakaian-pakaian ini diberikan untukku memang untuk dipakai dan bukan untuk dijadikan sebagai pajangan."

Akhirnya, Hely meraih gaun lengan panjang dengan panjang di bawah lutut. Warnanya hijau tua dan terlihat sangat cocok di kulitnya.

"Apa aku beli salep saja di apotik?" Wanita itu menghela nafas berat, "Kalau uangku dipakai buat berobat, bagaimana kehidupanku selanjutnya? Apa aku minta uang saja sama Tuan Ze untuk kebutuhan rumah?" Tiba-tiba, wajah menyeramkan Ze terpampang jelas di pikirannya, "Ah, tidak-tidak. Lebih baik aku cari pekerjaan saja."

Setelah bertarung dengan pikirannya, Hely merias wajahnya tipis-tipis. Kemudian, ia lekas keluar dan memesan taksi untuk pergi ke rumah sakit.

***

"Apa Nona sudah menikah?" tanya seorang dokter yang kini bertugas untuk mengobati luka di tubuh Hely.

"Iya, Dok, saya sudah menikah," sahut Hely polos.

Wanita itu sama sekali tidak tahu maksud dari pertanyaan yang dokter itu lontarkan. Dokter wanita dengan name tag Rani itu curiga dengan luka di tubuhnya.

"Sebaiknya Nona laporkan saja ke polisi tentang apa yang suami Nona lakukan. Jangan diam saja dan terus menerima penyiksaan," saran Dokter Rani.

"Ti-tidak, bu-bukan seperti itu kejadiannya, Dokter. Suami saya sangat baik dan luka di tubuh saya karena saya jatuh dari tangga," bohong Hely.

Ia merasa tidak perlu mengumbar masalah rumah tangganya pada orang lain karena seburuk apa pun Ze, pria itu tetap suaminya.

"Tidak perlu menyembunyikan hal yang sudah jelas-jelas bisa saya ketahui. Banyak pasien yang datang karena kekerasan dalam rumah tangga seperti Anda, Nona. Jadi, saya tahu betul luka-luka itu bukan karena jatuh dari tangga," sergah Dokter Rani menggebu.

"Tidak apa-apa, Dokter. Saya hanya tidak ingin mengumbar perihal masalah rumah tangga saya. Apa pun yang suami saya lakukan, itu semua terjadi bukan tanpa sebab," ujar Hely berusaha memahami sikap Ze selama ini padanya.

"Baiklah. Kalau begitu, ini resep obatnya dan Nona bisa menebusnya di bagian penebusan obat," balas Dokter Rani sambil menyodorkan selembar kertas.

"Terimakasih, Dok. Kalau begitu, saya permisi," pamit Hely setelah menerima resep.

Setelah itu, ia menebus obat ke apotik dan pergi ke bagian administrasi. Berobat di rumah sakit besar membuat uangnya semakin menipis. Sambil menghela nafas berat, Hely menatap lembar struk pembayaran. Ia pikir, untuk memiliki uang itu ia harus bekerja satu bulan penuh dan untuk menghabiskannya hanya butuh beberapa menit saja.

"Sepertinya aku harus mencari pekerjaan secepat mungkin."

Hely mulai melangkahkan kakinya keluar. Namun alih-alih mengayunkan tangan dan menghentikan taksi yang melintas, wanita itu justru terus berjalan menyusuri trotoar.

"Aku naik bus saja deh sekalian belajar irit sebelum dapat pekerjaan," gumamnya setelah melihat halte bus di depan sana.

Sesampainya di halte, ia memeriksa rute agar tidak salah naik bus. Jari telunjuknya terulur dan bergerak menyusuri rute. "Oke. Untuk sampai halte di dekat rumah, aku harus naik bus berwarna biru," lirihnya.

Kebetulan sekali, bus biru itu datang. Jadi, Hely bisa langsung naik dan mencari tempat duduk setelah membayar. Sambil menunggu bus sampai ke halte di dekat rumahnya, wanita itu menatap ke samping, memperhatikan apa saja yang tertangkap netranya.

"Lowongan pekerjaan? Aku tidak salah baca, 'kan?" Hely membaca tulisan dengan huruf kapital di selembar kertas yang tertempel di sebuah kaca cafe. Ia mengucek matanya beberapa kali untuk memastikannya. Beruntung kondisi jalanan sedang macet, "Saya turun di sini saja, Pak!" seru wanita itu sambil beranjak berdiri dan bergegas turun.

Andai saat ini kondisi jalanan tidak macet, mungkin Hely tidak akan bisa turun karena bus akan berhenti dan menurunkan penumpang di halte berikutnya.

"Asyik. Baru terpikir untuk bekerja, aku sudah bisa langsung mendaftar," batin Hely bersemangat.

Wanita itu mendorong pintu berbahan kaca dan membuka suara. "Permisi? Apa lowongan pekerjaan di sini masih ada?" tanya Hely sambil mengedarkan pandangan menatap karyawan yang sedang bersiap untuk buka.

"Masih, Mbak. Mari biar saya antar ke ruang manajer," balas karyawan yang berdiri tidak jauh dari pintu masuk.

"Terimakasih," kata Hely.

Akhirnya, ia masuk ke sebuah ruangan dan langsung bertemu dengan manajer cafe itu. Di sana, ia langsung diberi seragam tanpa perlu melakukan interview apa pun. Sepertinya, cafe itu sedang benar-benar membutuhkan karyawan.

"Ini saya tidak perlu melakukan tes apa pun dan langsung diterima?" tanya Hely tidak percaya. Padahal ia tidak membawa CV atau apa pun.

"Tentu saja perlu. Nanti akan ada orang penting yang datang ke sini. Dia melakukan reservasi satu jam yang lalu. Mungkin sebentar lagi akan segera sampai dan kau harus melayaninya dengan baik," balas manajer cafe.

"Baik, Bu. Saya akan bekerja dengan baik," kata Hely bersemangat.

"Bagus. Sekarang kau boleh bersiap," sanggah manajer cafe.

Hely pun bergegas meminta izin untuk keluar. Ia bertanya pada senior tentang apa saja tugasnya dan ternyata, ia hanya perlu mencatat pesanan pengunjung dan mengantarkan pesanan. Baru saja mengetahui tugasnya, orang penting yang dimaksud manajer cafe datang. Sontak, Hely langsung bergerak cepat. Apalagi penilaian diterimanya atau tidak bekerja di cafe itu dengan melayani tamu penting itu.

"Selamat siang," sapa Hely. Wanita itu tidak sadar dengan tamu penting yang akan ia layani.

Mendengar suara yang sangat dikenali membuat tamu penting itu menoleh ke samping. "Kau?"

"Tu-tu-tuan," terkejut Hely terbata.

Manik mata Ze menelusuri pakaian yang Hely kenakan. Dengan tangan yang terkepal kuat dan gigi yang saling dieratkan, pria itu menatap tajam manik mata istrinya. Sontak, Hely menundukkan kepalanya dengan tubuh yang bergetar. Ia merasa, kali ini ia tidak akan bisa lolos dari penyiksaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status