Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas.
"Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar. Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana. "Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku? "Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak." "Apa? Pukul delapan?" Ze terkejut karena terlalu asyik menyiksa Hely menjadi lupa waktu, "Baiklah, aku ke perusahaan sekarang juga." "Baik, Pak." "Kali ini kau selamat lagi, tapi lihat saja nanti kalau kau berani melawan dan membangkang perintahku." Ze menunjuk ke wajah Hely sebelum akhirnya beranjak pergi. Sementara itu, setelah melihat Ze menghilang dari balik pintu, Hely menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Tidak peduli di mana ia berada saat ini, ia hanya ingin melemaskan seluruh otot di tubuhnya yang sempat menegang karena ulah Ze. "Lepas dari Ayah, kenapa aku harus menikah dengan pria yang tidak kalah kejam dari ayahku sendiri?" batin Hely bertanya-tanya. Alasan mengapa ia bisa bekerja di keluarga Chartwheel karena ia kabur dari desa setelah ibunya meninggal. Bahkan meskipun ia bisa bebas dari kekejaman sang ayah, ia harus membayar hutang yang sempat ibunya tinggalkan sebelum meninggalkan dunia ini. Setelah dua tahun bekerja dan berhasil melunasi hutang mendiang ibunya. Kini, ia justru harus memenuhi kebutuhan keluarga barunya dengan uang yang tidak seberapa. Mungkin dalam hitungan Minggu atau bahkan dalam hitungan hari, uangnya akan habis untuk membeli kebutuhan dapur dan rumah. Terlebih ia harus pergi berobat ke dokter. Haruskah Hely meminta uang pada Ze untuk memenuhi kebutuhan rumah ke depannya? "Astaga, perutku!" Hely menyentuh perutnya yang terasa keroncongan. Wanita itu lekas beranjak berdiri, membilas tubuhnya, dan bergegas mengganti baju. Setelah itu, ia pergi ke meja makan. Menikmati makanan yang sebelumnya Ze tolak karena rasanya tidak jelas. "Sudah kuduga. Tuan Ze memang sengaja ingin mengerjaiku. Sudah jelas-jelas masakanku ini enak," gumam wanita itu sambil mengunyah makanan. Tidak berselang lama, Hely menyelesaikan ritual sarapan paginya. Ia bergegas ke kamar untuk mengganti baju. "Apa aku harus memakai pakaian-pakaian mahal ini?" tanya wanita itu pada dirinya sendiri. Setelah sah menjadi istri Ze, Diana, ibu mertuanya memberikan banyak pakaian mahal pada Hely. Wanita itu tidak ingin putranya direndahkan orang lain karena pakaian istrinya tidak layak pakai. "Ya, benar. Pakaian-pakaian ini diberikan untukku memang untuk dipakai dan bukan untuk dijadikan sebagai pajangan." Akhirnya, Hely meraih gaun lengan panjang dengan panjang di bawah lutut. Warnanya hijau tua dan terlihat sangat cocok di kulitnya. "Apa aku beli salep saja di apotik?" Wanita itu menghela nafas berat, "Kalau uangku dipakai buat berobat, bagaimana kehidupanku selanjutnya? Apa aku minta uang saja sama Tuan Ze untuk kebutuhan rumah?" Tiba-tiba, wajah menyeramkan Ze terpampang jelas di pikirannya, "Ah, tidak-tidak. Lebih baik aku cari pekerjaan saja." Setelah bertarung dengan pikirannya, Hely merias wajahnya tipis-tipis. Kemudian, ia lekas keluar dan memesan taksi untuk pergi ke rumah sakit. *** "Apa Nona sudah menikah?" tanya seorang dokter yang kini bertugas untuk mengobati luka di tubuh Hely. "Iya, Dok, saya sudah menikah," sahut Hely polos. Wanita itu sama sekali tidak tahu maksud dari pertanyaan yang dokter itu lontarkan. Dokter wanita dengan name tag Rani itu curiga dengan luka di tubuhnya. "Sebaiknya Nona laporkan saja ke polisi tentang apa yang suami Nona lakukan. Jangan diam saja dan terus menerima penyiksaan," saran Dokter Rani. "Ti-tidak, bu-bukan seperti itu kejadiannya, Dokter. Suami saya sangat baik dan luka di tubuh saya karena saya jatuh dari tangga," bohong Hely. Ia merasa tidak perlu mengumbar masalah rumah tangganya pada orang lain karena seburuk apa pun Ze, pria itu tetap suaminya. "Tidak perlu menyembunyikan hal yang sudah jelas-jelas bisa saya ketahui. Banyak pasien yang datang karena kekerasan dalam rumah tangga seperti Anda, Nona. Jadi, saya tahu betul luka-luka itu bukan karena jatuh dari tangga," sergah Dokter Rani menggebu. "Tidak apa-apa, Dokter. Saya hanya tidak ingin mengumbar perihal masalah rumah tangga saya. Apa pun yang suami saya lakukan, itu semua terjadi bukan tanpa sebab," ujar Hely berusaha memahami sikap Ze selama ini padanya. "Baiklah. Kalau begitu, ini resep obatnya dan Nona bisa menebusnya di bagian penebusan obat," balas Dokter Rani sambil menyodorkan selembar kertas. "Terimakasih, Dok. Kalau begitu, saya permisi," pamit Hely setelah menerima resep. Setelah itu, ia menebus obat ke apotik dan pergi ke bagian administrasi. Berobat di rumah sakit besar membuat uangnya semakin menipis. Sambil menghela nafas berat, Hely menatap lembar struk pembayaran. Ia pikir, untuk memiliki uang itu ia harus bekerja satu bulan penuh dan untuk menghabiskannya hanya butuh beberapa menit saja. "Sepertinya aku harus mencari pekerjaan secepat mungkin." Hely mulai melangkahkan kakinya keluar. Namun alih-alih mengayunkan tangan dan menghentikan taksi yang melintas, wanita itu justru terus berjalan menyusuri trotoar. "Aku naik bus saja deh sekalian belajar irit sebelum dapat pekerjaan," gumamnya setelah melihat halte bus di depan sana. Sesampainya di halte, ia memeriksa rute agar tidak salah naik bus. Jari telunjuknya terulur dan bergerak menyusuri rute. "Oke. Untuk sampai halte di dekat rumah, aku harus naik bus berwarna biru," lirihnya. Kebetulan sekali, bus biru itu datang. Jadi, Hely bisa langsung naik dan mencari tempat duduk setelah membayar. Sambil menunggu bus sampai ke halte di dekat rumahnya, wanita itu menatap ke samping, memperhatikan apa saja yang tertangkap netranya. "Lowongan pekerjaan? Aku tidak salah baca, 'kan?" Hely membaca tulisan dengan huruf kapital di selembar kertas yang tertempel di sebuah kaca cafe. Ia mengucek matanya beberapa kali untuk memastikannya. Beruntung kondisi jalanan sedang macet, "Saya turun di sini saja, Pak!" seru wanita itu sambil beranjak berdiri dan bergegas turun. Andai saat ini kondisi jalanan tidak macet, mungkin Hely tidak akan bisa turun karena bus akan berhenti dan menurunkan penumpang di halte berikutnya. "Asyik. Baru terpikir untuk bekerja, aku sudah bisa langsung mendaftar," batin Hely bersemangat. Wanita itu mendorong pintu berbahan kaca dan membuka suara. "Permisi? Apa lowongan pekerjaan di sini masih ada?" tanya Hely sambil mengedarkan pandangan menatap karyawan yang sedang bersiap untuk buka. "Masih, Mbak. Mari biar saya antar ke ruang manajer," balas karyawan yang berdiri tidak jauh dari pintu masuk. "Terimakasih," kata Hely. Akhirnya, ia masuk ke sebuah ruangan dan langsung bertemu dengan manajer cafe itu. Di sana, ia langsung diberi seragam tanpa perlu melakukan interview apa pun. Sepertinya, cafe itu sedang benar-benar membutuhkan karyawan. "Ini saya tidak perlu melakukan tes apa pun dan langsung diterima?" tanya Hely tidak percaya. Padahal ia tidak membawa CV atau apa pun. "Tentu saja perlu. Nanti akan ada orang penting yang datang ke sini. Dia melakukan reservasi satu jam yang lalu. Mungkin sebentar lagi akan segera sampai dan kau harus melayaninya dengan baik," balas manajer cafe. "Baik, Bu. Saya akan bekerja dengan baik," kata Hely bersemangat. "Bagus. Sekarang kau boleh bersiap," sanggah manajer cafe. Hely pun bergegas meminta izin untuk keluar. Ia bertanya pada senior tentang apa saja tugasnya dan ternyata, ia hanya perlu mencatat pesanan pengunjung dan mengantarkan pesanan. Baru saja mengetahui tugasnya, orang penting yang dimaksud manajer cafe datang. Sontak, Hely langsung bergerak cepat. Apalagi penilaian diterimanya atau tidak bekerja di cafe itu dengan melayani tamu penting itu. "Selamat siang," sapa Hely. Wanita itu tidak sadar dengan tamu penting yang akan ia layani. Mendengar suara yang sangat dikenali membuat tamu penting itu menoleh ke samping. "Kau?" "Tu-tu-tuan," terkejut Hely terbata. Manik mata Ze menelusuri pakaian yang Hely kenakan. Dengan tangan yang terkepal kuat dan gigi yang saling dieratkan, pria itu menatap tajam manik mata istrinya. Sontak, Hely menundukkan kepalanya dengan tubuh yang bergetar. Ia merasa, kali ini ia tidak akan bisa lolos dari penyiksaan."Apa yang kau lakukan di sini, Hely?" tanya Ze dingin."Sa-saya ... Saya sedang bekerja, Tuan," jawab Hely terbata. Pria itu beralih menatap sekretarisnya. "Kau urus pertemuan ini dan lakukan yang terbaik," ujar Ze memerintah. "Baik, Pak," jawab Nick tegas.Setelah mendapat jawaban, Ze menyentuh tangan Hely dan menariknya keluar. Pria itu ke arah parkiran yang masih kosong. Kemudian, ia menghempaskan tangan Helios kuat-kuat."Bekerja kau bilang? Semua orang sudah tahu kalau kau istriku dan kau bekerja di cafe kecil seperti ini?" tanya Ze geram."Maaf. Saya hanya--""Hanya apa? Kalau kau butuh uang, kau tinggal bilang dan aku akan memberikannya padamu," potong Ze menggebu."Bagaimana cara saya memintanya pada Tuan? Bahkan membagi makanan dengan saya saja, Tuan, tidak sudi," sanggah Hely menunduk sambil memainkan jemarinya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Ze berpikir sejenak. Meskipun terdengar masuk akal, ia tetap tidak bisa membenarkan keputusan Hely yang bisa mempermalukannya d
Melihat tidak ada pergerakan apa pun membuat Ze khawatir. Ia beranjak berdiri dan menendang kaki Hely. Namun sayangnya, ia sama sekali tidak mendapat respon apa pun dan hanya melihat wajah wanita itu yang sudah pucat pasi seperti mayat."Hely?" terkejut Ze.Pria itu lekas mengangkat tubuh Hely dan berjalan tergopoh-gopoh keluar. Lalu, ia membaringkan tubuh wanita itu di lantai. Setelah itu, ia memeriksa detak jantungnya."Ya Tuhan ... Hely, bangun!" panik Ze.Ia lekas memangku kepala Hely dan menjepit hidung wanita itu perlahan. Kemudian, ia mulai merapatkan bibirnya pada mulut Hely. Ia menarik nafas dalam-dalam dan meniupkannya perlahan. Ze melakukan beberapa kali hingga akhirnya Hely bangun dan mengeluarkan air dari mulutnya."Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk dengan manik mata yang membola.Sontak, Ze menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menghembuskan nafas lega. Hampir saja ia menjadi pembunuh jika ia gagal menyelamatkan Hely. Namun sayangnya, belum ada tiga menit wanita itu kembali ping
"Hei! Kenapa diam saja? Apa saya ... Ah tidak, sepertinya kita akan menjadi teman. Jadi, apa aku perlu mengenalkanmu pada pengacara kenalanku?" tanya Dokter Rani sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Hely.Dokter cantik itu merasa tidak nyaman berbicara dengan Hely yang jauh lebih muda darinya. Jadi, ia berusaha berbicara sedikit santai agar ia dan Hely sama-sama nyaman."Tidak perlu, Dok. Suami saya--""Aku, pakai aku kau saja biar lebih nyaman. Kau juga boleh menganggapku sebagai kakakmu," potong Dokter Rani mengoreksi."Suamiku memang orang yang dingin, tapi dia tidak sekejam itu. Dia hanya tidak bisa menerima saya menjadi istrinya," lanjut Hely setelah ucapannya sempat terpotong.Bagaimana bisa wanita itu membela Zu? Sudah jelas-jelas ia selalu disiksa hingga dirawat di rumah sakit dan koma berhari-hari."Tidak kejam bagaimana? Sudah jelas-jelas dia hampir membunuhmu. Lalu, kenapa kalian bisa sampai menikah kalau dia tidak mau menerimamu menjadi istrinya?" tanya Dokter Rani
"Siapa bilang? Saya hanya terkejut karena Tuan tiba-tiba ada di sini. Lagi pula, mana berani saya menganggap Tuan Ze hantu," sanggah Hely datar.Wanita itu berusaha menekan kuat-kuat rasa takutnya. Paling tidak, ia tidak boleh terlalu menunjukkannya karena pria itu akan semakin senang jika melihatnya ketakutan."Jadi, bagaimana kondisimu?" tanya Ze mengalihkan perhatian.Setelah memanggil dokter, ia sama sekali tidak menunggu dan menanyakan keadaan Hely. Jadi, ia cukup penasaran mengenai kondisi terkini wanita itu."Kata dokter, sih, saya sudah baik-baik saja," sahut Hely."Bagaimana tidak baik-baik saja sedangkan tiga hari ini kau hanya tidur? Aku yakin seharian ini pun kau hanya tidur. Benar bukan?" tanya Ze sinis."A-apa? Tiga hari?" tanya Hely terbelalak. Ia begitu terkejut mendengar pernyataan Ze tentang dirinya yang tidur selama tiga hari."Ya. Sejak pertama kali aku membawamu ke sini, sekarang sudah hari ketiga," jelas Ze mengangguk."Ya Tuhan ... Bagaimana bisa?" Hely terlihat
Mendengar pertanyaan dokter itu membuat Ze menoleh. Sejak tadi, ia sibuk menatap ke arah Hely yang sedang diperiksa dan sama sekali tidak sadar bahwa Dokter Rani menatapnya."Sial! Ada apa dengan dokter ini? Kenapa dia tidak melakukan tugasnya saja sebagai seorang dokter? Kenapa dia malah menanyakan hal yang bukan menjadi tugasnya? Dasar dokter sensus!" geram Ze dalam hati."I-ini ka-karena sa-saya ... Ini karena saja jatuh bergulingan, Dokter," sanggah Hely gelagapan. Ia memberi isyarat dengan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali agar Dokter Rani tidak bertanya lagi. Saat ini, Ze dalam mode aman dan ia tidak boleh mengubah mode aman itu menjadi mode siaga."Oh, jadi begitu. Baiklah, kalau begitu saya permisi karena pemeriksaan sudah selesai," pamit Dokter Rani. Wanita itu mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum dan pergi.Melihat bagaimana sikap Dokter Rani, Ze mulai curiga. Pria itu melipat kedua tangannya di depan dan menatap tajam Hely."Ke-kenapa? Apa ada yang salah?" t
Hely menatap serius suaminya dengan dahi yang berkerut dalam. Ia begitu penasaran dengan apa yang akan pria itu katakan padanya. Apalagi, pembahasan yang mulai dibuka tentang permasalahan pernikahan mereka yang belum lama digelar."Tuan? Kenapa Tuan malah bengong?" panggil Hely melihat suaminya melamun. "Ah, tidak. Aku hanya lapar dan aku ingin makan," sanggah Ze bergegas memakai bajunya dan berjalan ke arah sofa.Alih-alih lekas menikmati makanannya, Ze justru menatap Hely lekat. "Jika aku berkata seperti itu dan Hely mengadu pada Papa bagaimana?"Ternyata, apa yang pria itu katakan tadi hanya ada dalam ilusinya saja. Ia ingin sekali mengatakan hal itu pada Hely. Barangkali saja wanita itu mau menceraikannya, tetapi setelah dipikir-pikir, ia takut Hely akan mengadu pada ayahnya dan semuanya menjadi kacau.***Satu minggu kemudian, Hely sudah diizinkan pulang ke rumah. Kondisi luka di tubuhnya pun sudah mulai sembuh."Kartu ini untukmu dan kau bisa gunakan untuk segala kebutuhanmu ju
"Hei! Kenapa melamun? Aku Aka, siapa namamu?"Tangan kanan Draka senantiasa diulurkan dan tangan kirinya diayunkan di depan wajah Hely. Jujur, ini adalah pertama kali bagi pria itu mendapati seorang wanita yang seolah sama sekali tidak tertarik dengannya. Selama ini, ia tidak pernah mengajak satu wanita pun untuk berkenalan. Bahkan tanpa mengajak berkenalan pun, semua wanita akan berbondong-bondong menghampirinya."Maaf, aku sedang terburu-buru dan aku harus segera pulang," kata Hely bergegas pergi ke kasir meninggalkan Draka."Astaga! Hahaha ... Aku tidak salah lihat, 'kan? Bagaimana bisa aku diabaikan begitu saja? Menarik. Wanita itu benar-benar menarik." Draka tersenyum canggung sambil menggeleng pelan. Kemudian, ia berbalik dan mengejar Hely ke kasir.Di sana, wanita itu sedang meletakkan barang belanjaan di meja kasir. Setelah selesai, ia menoleh ke kanan dan mendapati Draka sedang memperhatikannya."Maaf, Mbak. Bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely sambil melirik Draka kh
Melihat temannya berusaha membongkar rahasianya di depan Hely, Draka langsung memberi isyarat agar Dokter Rani berhenti. Namun sayangnya, wanita itu mengabaikan isyaratnya. Hingga pada akhirnya, ia bergerak maju dan menarik Dokter Rani. Ia juga membungkam mulut temannya menggunakan telapak tangannya."Apa yang kau lakukan, Aka?" kesal Dokter Rani setelah memukul tangan Draka dan menjauhkan tangan pria itu dari mulutnya."Kalian saling kenal?" tanya Helios menatap dua orang itu bergantian."Kau kenal Rani?" tanya Draka pada Hely."Ya," sahut Hely singkat.Draka menoleh ke arah Dokter Rani dan menatapnya tidak percaya. Kenapa dunia begitu sempit? Andai ia tahu Dokter Rani mengenal Hely, maka selama satu Minggu ini ia tidak akan pergi ke supermarket hanya untuk melihat Hely. Ia hanya perlu bertanya pada temannya dan akan langsung bisa bertemu dengan Hely."Astaga, Rani! Kenapa kau tidak bilang?" ujar Draka frustasi."Bilang apa? Hely?" Dokter Rani balik bertanya karena tidak tahu maksud